Di dalam kamarnya yang bernuansa kuning pastel, Selina tidak bisa tidur nyenyak. Selina masih belum bisa melupakan apa yang terjadi kepadanya tadi siang. Selina masih shock dengan apa yang dialaminya, terlebih lagi saat melihat kondisi Mahesa tadi. Selina sekarang hanya bisa diam duduk di jendela kamar sambil menatap keluar, bayangan dirinya diseret paksa dengan beberapa orang tidak dikenal, dibius hingga bangun-bangun sudah ada di rumah sakit dengan badan yang sakit semua.
"Selina?"
Suara lembut itu membuat Selina memutar kepalanya, terlihat Mama yang masuk ke dalam kamar dengan tongkat penyangga di kedua tangannya, melihat itu Selina langsung mendekat membantu Mamanya untuk duduk di tepi kasur.
"Mama ngapain ke kamar Selina?" tanya gadis itu.
Melihat Mamanya yang diam membuat Selina menghela napas berat. "Ada apa, Ma?" tanya Selina lagi.
"Uang bulanan udah habis Lin, Papa kamu sama sekali nggak kirim uang buat Mama, buat kita, buat kamu juga," ujar Yura—Mamanya Selina. "Sekolah masih belum nagih uang SPP kan?"
Selina refleks menggeleng. Dia jadi merasa bersalah, dulu saat masih kelas satu dan dua, Selina mendapatkan beasiswa full dari sekolah, namun ketika kelas tiga beasiswanya terpaksa harus dicabut karena nilai Selina yang turun karena saat itu Selina sedang sakit, cukup lama yang membuatnya ketinggalan banyak materi dan berakhir dengan nilai-nilai yang merosot drastis.
Selina diam menatap ke lantai, bingung juga harus berbuat apa. Sejak kecelakaan waktu itu, Mama Selina harus mengalami lumpuh permanen dan mustahil untuk bisa kembali berjalan normal, karena hal itu pula Yura dikeluarkan dadi tempatnya bekerja karena dianggap tidak bisa nenghandle pekerjaan. Sejak Yura lumpuh juga, Papa Selina jadi jarang pulang, bahkan ini sudah hampir dua bulan Selina tidak melihat Papanya di rumah, entah ke mana dan apa yang sedang orang itu lakukan, jelasnya Selina sangat tidak peduli. Anggap saja Papanya itu tidak mempunyai tanggung jawab.
"Lin, Mama boleh minta izin sama kamu?" ujar Yura tiba-tiba.
Selina mengangkat kepalanya menatap Yura. "Apa?" tanyanya.
"Biar Mama cari kerja ya? Apa pun itu asal dapat uang biar bisa nyambung hidup. Ya, Lin?"
"Ma, bukannya Selina nggak ngizinin Mama, tapi kan Mama tau sendiri kerja serabutan tuh hasilnya nggak pernah sesuai sama tenaga yang dikeluarkan. Selina nggak mau nanti demi uang yang nggak seberapa Mama jadi sakit yang nanti bakalan makin mempersulit keadaan Ma," kata Selina memberi pengertian kepada Mamanya, tentang apa yang dia takutkan selama ini.
"Terus sekarang harus apa? Kita punya banyak pengeluaran tapi nggak ada pemasukan sama sekali."
Selina membuang pandangannya, gadis itu melihat keluar jendela. "Nanti biar Selina yang pikirin jalan keluarnya," katanya. "Mama sudah makan?" tanya gadis itu mendapat gelengan kepada dari Yura.
"Yaudah, biar Selina keluar, beli nasi goreng aja ya nanti makan berdua," kata Selina.
"Kamu ada uang?" tanya Yura.
Selina mengangguk sambil tersenyum. "Mama tentang aja, Selina masih ada tabungan. Kalau gitu Selina pergi dulu ya."
"Hati-hati," pesan Yura.
Setelah menyalimi tangan Yura, Selina langsung meraih jaket baseball yang tersampir di belakang pintu, memakainya untuk pergi keluar. Dalam hati Selina masih sangat merasa takut, apalagi jika teringat kejadian tadi, tapi Selina juga tidak mungkin membiarkan Mamanya kelaparan malam ini.
Selina sudah keluar dari dalam rumah sederhananya. Gadis itu menarik napas panjang sebelum kembali melangkah. Udara malam yang dingin ikut menemani tiap langkah Selina. Gadis itu berjalan seorang diri ditemani dengan bulan dan bintang yang bersinar terang malam ini. Jujur, Selina membenci hidupnya sekarang yang serba kekurangan. Selina bisa menjadi sosok yang sangat menyenangkan di sekolah, semua Selina lakukan hanya untuk mengalihkan pikirannya dan menutupi masalahnya.
Malam ini tidak terlalu sepi, masih banyak kendaraan yang lalu lalang, membuat ketakutan Selina sedikit berkurang. Hingga sampai di tenda penjual nasi goreng pinggir jalan, barulah Selina bisa sedikit pernapas lega.
"Nasi gorengnya satu ya, Pak. Dibungkus nggak pedes," ujar Selina memesan.
"Siap Neng, ditunggu ya."
Selina mengangguk kemudian mengambil duduk di kursi yang telah disiapkan. Sesekali Selina membalas orang yang mengajaknya bercengkrama. Selina itu sangat ramah dengan siapa saja.
****
Hampir mirip dengan keadaan Selina, Mahesa juga merasakan hal yang sama. Irwan, Papanya itu mulai tidak peduli saat tau jika Mamanya sakit. Apa semua lelaki seperti itu? Hanya mau enaknya doang, giliran kayak gini mereka menghilang seolah tidak pernah terjadi apa pun di antara mereka sebelumnya. Mahesa juga laki-laki, tapi Mahesa punya tekad jika dia tidak mau jadi seperti Papanya nanti. Mahesa janji jika dia akan memperlakukan seorang wanita layaknya ratu, dalam keadaan apa pun, Mahesa tidak ingin sama sekali membuat seorang wanita menangis atau terluka. Dari keluarganya, Mahesa berhasil belajar banyak hal.
Selepas tawuran, Mahesa langsung di bawah ke rumah sakit, hanya diobati luka-lukanya saja, tidak sampai dirawat. Sisanya Mahesa memilih untuk memulihkan tenaganya di basecamp, tidur di sana hingga malam tiba dan mengharuskannya untuk kembali pulang.
Teman-teman Mahesa sudah melarang cowok itu untuk pulang sendiri tapi Mahesa bebal, untung saja sekarang dia bisa sampai di rumah dengan selamat.
Mahesa terdiam di atas motornya, cowok itu menatap rumah yang hampir tidak ada kehidupan di dalamnya. Rumahnya boleh besar, orangnya juga banyak, seperti tukang kebun dan asisten rumah tangga, tapi rasanya tetap saja sepi, tidak seperti dulu. Kadang Mahesa suka merindukan keramaian dan kehangatan dalam rumah itu. Saat Mama dan Papanya masih bercanda-canda, saat Mama dan Papanya masih suka tertawa dengan hal receh sekalipun. Namun, semua itu harus dikuburnya dalam-dalam. Hanya ada kenangan di dalamnya. Mahesa menghela berat, cowok itu lalu turun dari atas motor, berjalan dengan gontai memasuki rumah.
Sampai di dalam Mahesa langsung masuk ke dalan kamar untuk bersih-bersih badan. Tanpa Mahesa ketahui, dari dapur Mbok Ginem tengah memperhatikannya, wanita itu melihat Mahesa sedang tidak baik-baik saja. Terlebih lagi saat melihat wajah majikannya itu yang penuh lebam, Mbok Ginem berani taruhan, jika Irwan tau, pasti Mahesa akan kena marah besar, tapi syukurnya Irwan sedang tidak ada di rumah sekarang. Mbok Ginem pun berinisiatif untuk membuatkan Mahesa sup jagung.
****
Kembali kepada Selina, setelah mendapatkan nasi gorengnya, Selina langsung bergegas pulang sebelum terlalu malam. Tanpa Selina sadar, seseorang dari tadi telah memperhatikannya. Motor yang dikendarai oleh orang itu mendekat kepada Selina. Selina yang mendengar ada suara pun mulai berharap-harap cemas. Keringat dingin mulai membanjiri wajah Selina, hingga motor itu melaju tepat di sebelahnya yang membuat Selina semakin panik.
"Butuh tebengan nggak?" tanya si pengendara.
Tapi tunggu, Selina seperti mengenal suara itu. Selina lantas menghentikan langkahnya untuk memastikan jika pendengarannya tidak salah, dan benar saja saat orang itu membuka kaca helmnya barulah Selina bernapas lega. Gadis itu tak segan untuk memukul tangan orang itu.
"Nyebelin banget, gue kira siapa!" maki Selina.
Orang itu ternyata Kaylendra, sejak keluar dari rumah, Kaylendra terus mengawasi Selina, jangan tanya kenapa, karena Mahesa lah yang menyuruhnya. Bukan hanya Kaylendra, Mahesa juga menyuruh anggotanya untuk bergilir menjaga kawasan rumah Selina, takut terjadi apa-apa dengan gadis itu.
Apakah Mahesa peduli? Jawabannya iya.
"Naik, biar gue antar," kata Kaylendra meski terdengar dingin tapi cowok itu tulus.
Selina menimang sebentar, tidak ada salahnya tapi Selina merasa tidak enak. Alhasil gadis itu menggeleng. "Makasih Kay, tapi rumah gue udah deket kok."
"Jangan nolak, ini perintah."
"Perintah?" tanya Selina bingung.
Kaylendra mengangguk. "Mahesa nyuruh beberapa anggota Titan buat jagain rumah lo dan sejak tadi juga gue udah ngikutin lo."
Selina tercengang mendengar penjelasan singkat Kaylendra. Melihat itu Kaylendra mendesah berat.
"Buruan naik, gue antar biar cepet sampai dan gue bisa cepet pulang," ujar cowok dingin itu.
Banyak pertanyaan dalam pikiran Selina, termasuk mengapa Mahesa melakukan semua ini untuknya. Bahkan mereka tidak saling kenal, hanya kebetulan saja Anggi pacaran dengan Laskar, teman Mahesa yang membuat Selina kerap kali ngobrol sekata dua kata dengan Mahesa.
"Ekhem! Gue di sini bukan buat nungguin lo bengong," tegur Kaylendra geram.
"Kalau emang bener lo disuruh Mahesa, terus apa alasannya Mahesa lakuin semua ini buat gue, Kay?"
"Besok tanya sendiri sama orangnya," jawab Kaylendra malas.
"Mahesa besok udah sekolah? Bukannya tadi dia parah banget?"
Kaylendra berdecak kesal karena Selina yang banyak tanya. "Mahesa itu keturunan Hercules kalau lo nggak tau."
"Tapi Kay—"
"Lo naik apa gue tinggal, bodo amat kalau lo diculik lagi," ucap Kaylendra memotong kalimat Selina membuat Selina langsung menganggukkan kepalanya dan naik di jok belakang motor Kaylendra.
Lihat saja, seorang Kaylendra Angkasa saja bisa tunduk dengan perintah Mahesa, jadi sampai sini bisa terbayang kan bagaimana sosok Mahesa di mata teman-temannya?
"Kay, makasih ya?"
Dari balik helmnya Kaylendra tersenyum miring. "Bilang makasih sama Mahesa, kalau bukan karena dia yang nyuruh, ogah banget gue ngerepotin diri sendiri kayak gini."
Selina terdiam, Kaylendra tetaplah Kaylendra, cowok dingin dengan mulut yang kadang tidak bisa dikontrol.
"Iya, Kay."
****
"BERANTEM TERUS, BERANTEM TERUS KERJAAN KAMU! BISA GAK SEKALI AJA BUAT PAPA BANGGA DENGAN PRESTASI? JANGAN BUAT PAPA SELALU MALU DENGAN TINGKAH KAMU YANG URAKAN ITU MAHESA!"
Lagi-lagi Mahesa kena amukan Irwan. Sepertinya tidak bisa semalam saja Mahesa tidur tenang tanpa rasa sakit dan tanpa beban pikiran.
Mahesa yang awalnya sedang enak-enak tidur di kamar setelah makan sup jagung tiba-tiba dibangunkan dengan kasar oleh Irwan dengan cara menariknya begitu saja dari atas ranjang hingga Mahesa harus merasakan mencium dinginnya lantai kamar. Tidak puas sampai di situ, Irwan juga menyeret Mahesa keluar kamar, hingga sampai di ruang tengah, tempat di mana Mahesa selalu mendapatkan amukan empuk dari orang yang dia panggil dengan sebutan Papa itu.
"Asal kamu tau, tadi, rekan Papa gak sengaja lihat kamu di rumah sakit sama teman-teman berandal kamu itu. Kamu pasti habis tawuran, IYA KAN?!" bentak Irwan.
Mahesa hanya diam menatap kosong ruang hampa di depannya. Percayalah suara Irwan hanya numpang lewat di telinga Mahesa.
"Setiap hari kamu buat Papa malu! Papa bosan dengar berita buruk tentang kamu! Di nama kamu itu ada nama Pranata, membuat siapa pun yang tau nama itu akan langsung segan sama kamu dan menganggap kamu berwibawa seperti Papa dan Kakek kamu, tapi apa? Kamu malah mencoreng nama baik itu dengan kelakuan buruk kamu!"
Mahesa memejamkan matanya meresapi setiap ucapan Irwan, jadi Papanya itu malu punya anak sepertinya? Pikir Mahesa. Lalu buat apa dulu Mahesa dilahirkan? Memang Papanya pikir siapa yang sudah membuat Mahesa seperti ini kalau bukan Papanya itu sendiri?
"Lihat Papa Mahesa!" Dengan kasar Irwan menarik dagu Mahesa agar anak itu menatapnya, Mahesa meringis karena merasakan sakit.
"Apa yang kamu dapat selama ini dari tawuran hm? APA?!"
"Apa kamu ingin terlihat keren dan menyeramkan dengan semua luka lebam ini? Kalau iya, sini biar Papa buat muka kamu semakin terlihat keren."
Plak!
Satu tamparan melesat sempurna pada pipi kanan Mahesa.
Plak!
Diikuti lagi dengan tamparan selanjutnya pada pipi kiri Mahesa. Saking kuatnya tamparan Irwan, ujung mata kiri Mahesa yang awalnya memang telah terluka harus kembali mengeluarkan darah.
"Jangan kamu pikir Papa juga gak tau kalau selama ini uang Papa yang hilang itu karena kamu yang ngambil," kata Irwan.
"Kecil-kecil udah belajar jadi maling!" desis Irwan membuang mukanya.
Di tempatnya Mahesa terkekeh pelan. "Kenapa Papa gak bunuh Mahesa saja kalau Papa malu punya anak kayak Mahesa?" ujar cowok itu.
Seperti biasa, dari dapur Mbok Ginem terus melihat Mahesa dimarahi tanpa bisa melakukan apa pun. Bersama dengan asisten rumah tangga yang lain, Mbok Ginem berharap agar amarah Irwan segera meredah.
"Mahesa juga gak minta dilahirin Pa," lanjut Mahesa begitu terdengar memilukan di telinga para asisten rumah tangganya.
"JAGA UCAPAN KAMU!" Irwan kembali membentak. "Besok, Papa mau kamu hadiri acara bisnis Papa, kalau enggak kamu bakal tau akibatnya."
Setelah mengatakan itu Irwan langsung pergi begitu saja meninggalkan Mahesa. Pria itu berjalan keluar rumah, hingga tak lama terdengar suara mobil yang perlahan menghilang. Itu artinya Irwan telah pergi entah ke mana.
Mata Mahesa memicing tajam melihat ke arah pintu utama. Kemudian cowok itu memilih untuk kembali ke kamarnya dengan perasaan yang tidak bisa di definisikan.
Di dalam kamar Mahesa langsung menutup pintunya rapat-rapat. Cowok itu berjalan menuju depan cermin besar di lemarinya, Mahesa melihat dirinya yang sangat menyedihkan, pantas saja bukan kalau Papanya yang katanya super berwibawa itu malu?
"AAARGGGG!"
Pyar!
Mahesa bertiak sekencang mungkin untuk mengalihkan sakit hatinya. Tidak tanggung-tanggung, amarah yang menguasai Mahesa juga membuat cowok itu refleks meninju kaca di depannya, tidak sampai pecah semua, hanya ada beberapa keping yang jatuh.
Mahesa menunduk melihat kakinya yang berdarah terkena pecahan kaca.
"Hesa cape, Ma."