12. Amarah

1975 Words
Barisan panjang murid-murid nakal SMA Garuda kini tengah berjalan memenuhi lorong sekolah. Tidak hanya lima orang, tapi sudah puluhan. Mereka secara berbondong-bondong berjalan menuju satu tempat. Kelas IPS, kelas yang tempatnya paling pojok di mana murid-murid berandal lainnya berada. Dengan dasi terikat di kepala, Mahesa berjalan memimpin puluhan temannya. Aura menyeramkan terus menyebar dari diri Mahesa. Matanya yang tajam membuat siapa pun akan langsung menunduk saat tak sengaja melakukan kontak mata dengannya. "Eh, eh itu mereka mau ngapain? Kok tumben ramean?" Selina, Anggi, dan Gisel mengintip dari balik pintu. Mereka bertiga yang akan ke kantin tidak sengaja melihat puluhan anggota Titan berjalan membuat harus berhenti sejenak. "Kayaknya mau ngelabrak anak IPS deh," jawab Anggi. "Gue gak sengaja kemarin dengar Laskar telfonan sama yang lain," lanjut Anggi lagi. Kening Selina mengerut. "Labrak? Cowok kok labrak-labrakan, ngapain?" tanyanya. Gisel memutar kedua bola matanya malas. "Ampun deh, Lin. Cara ngelabraknya cowok jelas beda lah sama cara ngelabrak cewek." "Kalau cewek kebanyakan pakai mulut. Kalau cowok langsung hantam pakai bogeman!" imbuh Anggi hingga Selina bergidik ngeri. "Heran gue, apa nggak bisa mereka itu sehari aja tenang gak bikin keributan?" gerutu Selina. "Gimana ya Lin, embel-embelnya aja udah badboy, kalau kalem sehari mah bukan badboy namanya," kata Anggi. "Lagi, kok lo santai aja pacar lo mau berantem?" tanya Gisel kepo. Anggi lantas berdiri dengan tegak dan angkuh. "Buat apa gue takut? Yang ada gue takut sama yang mau diajak berantem, takut kelewat pulang jalur tangan Laskar," ujar Anggi menyombongkan pacarnya itu. Selina terkekeh. "Kalau sama Laskar sekali bogem langsung mental." "Badan segede gapura g**g gitu gimana mau gak mental," balas Anggi. "Eh udah habis tuh, cabut yuk," ajak Anggi saat gerombolann anak laki-laki itu sudah tidak lagi terlihat. Ketiganya langsung keluar kelas. Masih berdiri di koridor menatap ke depan dia mana punggung cowok-cowok itu perlahan menjauh dan menghilang. "WOIIII TUNGGUIN AH ELAH GUE BARU AJA KELAR BOKER LO TINGGAL! WOIII!" Sontak Selina, Anggi, dan Gisel langsung memutar kepalanya. Di belakang sana terlihat Rizal, berlari tunggang-langgang menuju ke arahnya, mengejar teman-temannya. Wajah Rizal yang kocak membuat murid yang lain yang melihatnya jadi tertawa. "JALI!" pekik Anggi. "Ngapain lo larian kayak gitu? Takut ketinggalan iya?" tanya Anggi saat Rizal melewatinya. Rizal sempat berhenti sejenak, mengumbar senyum kepada ketiga cewek itu. "Iya nih masa gue ditinggal. Parah banget mereka! Kalau gitu yaudah ya cantik, doain abang ya?" "Dihh, aamiin. Udah sono lo!" usir Anggi. Cowok itu mengangguk. "Babay, muach!" Setelah itu Rizal langsung berlari pergi. Tawa pun terdengar sangat puas keluar dari masing-masing mulut ketiga cewek itu. "Cape banget sama yang namanya Rizali Pambudi," ujar Anggi di sela tawanya. Perut Selina juga jadi kaku. "Tapi kalau nggak ada spesies kayak Jali, gak bakalan lengkap pasukan Titan." "Gak ada pencair suasananya gitu ya?" tebak Gisel. "Nah bener, pasti tegang terus kalau gak ada Jali," balas Anggi. "Dia humoris, penyayang juga kan? Punya adek kembar kata Laskar. Terus juga pekerja keras banget. Sering tuh bantu-bantu di distronya Laskar. Segala kerjaan kata Laskar dia ambil, asal gak nyopet sama maling aja, katanya," ujar Anggi bercerita. "Dia juga udah gak punya ibu kan?" tanya Selina. Anggi mengangguk. "Dia juga dari kalangan sederhana. Dulu sering dibuli karena miskin, tapi sejak Mahesa ngajak dia masuk Titan, udah gak ada yang berani. Malah takut semua, ya secara sih backingannya banyak ya kan?" "Iya, beruntung banget sih yang jadi pacarnya Rizal. Gak bakal tuh tau yang namanya sedih," kata Gisel. Mendengar penuturan Gisel membuat Anggi dan Selina tersenyum penuh arti. "Kalau lo suka, teman lo ini bisa bantu kok," kata Anggi kepada Gisel sambil merangkul bahu temannya itu dari samping. Gisel berdecak kesal, melepaskan tangan Anggi dengan kasar. "Nggak tertarik, makasih!" "Idih! Hati-hati say, sekarang lagi jamannya nelen ludah sendiri!" peringati Anggi melirik Selina yang merasa. "Nyindir!" kesal Selina. "Sekali dayung dua pulau terlampaui haha!" "s****n!" umpat Selina dan Gisel bersamaan. **** "WOI! MANA TEMEN LO YANG NAMANYA MEGAN?" "KELUAR LO MEGAN!" "WOI JANGAN BERANINYA MAIN BELAKANG GILIRAN DISAMPERIN NGUMPET." "MEGAN DI MANA LO, KELUAR SINI SATU LAWAN SATU KALAU BERANI!" Keadaan kelas paling pojok itu langsung riuh. Murid cewek-cewek berhamburan keluar hanya menyisakan laki-laki di dalam. Anggota Titan lebih mendominasi daripada pemilik kelas itu sendiri. Mahesa menyapu pandangannya ke seluruh penjuru kelas mencari di mana yang namanya Megan. Hingga Mahesa tersenyum miring. Cowok dengan kemeja sekolah terbuka hanya terlihat dalaman kaos hitam itu langsung melompati meja, berjalan dengan langkah besar menuju kursi belakang. "Lo yang namanya Megan?" tanya Mahesa kepada satu cowok yang dari tadi hanya duduk diam memperhatikan. Mahesa langsung menarik kerah depan cowok itu, memaksanya agar berdiri. Namun, setelah itu tangan Mahesa di tepis dengan kasar. Cowok itu membenarkan letak kerahnya dan berjalan sedikit mundur. Keduanya berhadapan dengan masing-masing mengangkat dagu seolah menantang satu sama lain. "Kalau gue Megan emang kenapa? Masalah buat lo?" ujar cowok itu yang seketika mampu membuat darah dalam tubuh Mahesa rasanya mendidih. "Anjing! Berani lo gabung sama Vendo sedangkan lo sendiri ada di wilayah Titan, hm?" Mahesa bertanya sambil terus maju mendesak Megan. "Ini sekolah umum, bukan cuma anggota Titan yang bisa sekolah di sini. Lagian, lo gak bisa paksain semua orang untuk gabung geng motor pecundang lo itu!" Kata-kata pecundang yang Megan lontarkan sontak saja membuat seluruh anak-anak Titan berang. "WOI! JAGA YA BACOT LO!" teriak Laskar yang akan maju tapi ditahan oleh Kaylendra. "Biar Mahesa yang selesain dia," kata Kaylendra. Mahesa terkekeh, meremehkan. "Pecundang? Mau tau siapa pecundang sebenarnya?" Bugh! Tanpa aba-aba, Mahesa melayangkan pukulan keras yang tepat mengenai rahang Megan. Mahesa memukul mundur cowok itu hingga tubuhnya terpelanting ke belakang membentur tembok. Tidak sampai di situ, Mahesa lalu maju, menarik bagian depan kemeja Megan, memaksa cowok itu untuk kembali berdiri. "Lo yang pecundang, b*****t!" Bugh! Mahesa kembali melayangkan kepalan tangannya untuk Megan. Lagi, Megan yang belum siap harus kembali tersungkur. Dari ujung bibir dan hidungnya sudah mengeluarkan darah segar. Sementara itu sorak riuh murid lain yang menonton semakin memperkeruh suasana. Tidak ada yang melerai, mereka semua malah mendukung Mahesa. Di sini, Megan tidak punya satu pendukung pun. "Ayo bangun, pecundang!" tantang Mahesa. Megan meringis, cowok itu dengan susah payah kembali berdiri. Namun, belum sempat tegak dia sudah kembali limbung karena tendangan yang Mahesa berikan. Cowok itu benar-benar tidak membiarkan Megan melawan. Keadaan Megan sudah sangat kacau. Memang ini resikonya yang harus dia ambil saat berkhianat. Megan dulu anggota Titan, tapi keluar karena tidak sependapat dengan peraturan-peraturan yang Mahesa buat. Cowok itu memberontak dengan membocorkan apa-apa saja yang dia tau dari Titan untuk geng motor lawan supaya dia mendapat imbalan uang. Alasan seperti itu bagaimana bisa Mahesa tidak marah? "Lo minta ampun dan cium kaki gue atau lo gue habisi sekarang!" kata Mahesa penuh penekanan sambil berjongkok mensejajarkan tingginya dengan Megan. "Gue gak sudi cium kaki lo! Gila aja gue!" balas Megan. Brak! Mahesa mendorong kepala Megan kencang, membenturkan kepala cowok itu pada tembok yang sukses membuat Megan keliyengan bukan main. "Pilihan ada di tangan lo sekarang, cium kaki gue, atau—" "Gue lebih milih gak hidup, daripada harus cium kaki lo! Emang lo siapa ha? Lo cuma ketua Titan, yang jika tanpa adanya anggota lo, lo gak akan punya teman. Memang siapa yang mau temenan sama lo? Anak dari seorang pengusaha yang kerjaannya gonta-ganti pasangan. Menyedihkan!" "JAGA UCAPAN LO b*****t!!!" Bugh! Bugh! Bugh! Mahesa kalap, cowok itu memukuli Megan dengan membabi buta. Mata cowok itu menggelap tidak ada lagi kata kasihan. Mahesa tidak peduli di mana dirinya sekarang. Mahesa tidak suka jika ada orang yang berani bawa-bawa masalah keluarganya. Mahesa sangat membenci hal itu. "Anjiiiinggg! Mati aja lo sekalian mulut sampah!" Duagh! Napas Mahesa memburu. Tendangan terkahir dari Mahesa berhasil membuat Megan langsung kehilangan kesadarannya. Cuih! Mahesa juga meludahi wajah Megan. Murid-murid lain yang menonton sama-sama dibuat merinding. Mahesa jika sudah marah, dia akan sangat liar dan sulit dikendalikan. Sejauh ini yang berani mengusik Mahesa, maka orang itu akan benar-benar hancur. "MAHESA GIBRAN PRANATA! APA YANG KAMU LAKUKAN?" Spontan Mahesa menoleh ke belakang. Persis seperti Mahesa, murid yang lainnya pun langsung menegang. Pak Bambang masuk ke dalam kelas. Beliau tercengang melihat melihat apa yang Mahesa lalukan terhadap Megan. Pak Bambang sampai geleng-geleng kepala. "Saya benar-benar kecewa dengan kamu Mahesa. Ikut saya ke ruang kepala sekolah sekarang!" "Yang lain, bawa teman kalian ini ke UKS! CEPAT!" Setelah itu Mahesa diseret dengan sangat kasar oleh Pak Bambang. "Laskar, Kaylendra, Rizal, dan Azka. Kalian berempat juga ikut saya!" **** Ruang kepala sekolah langsung terasa mencekam. Di dalam sana jelas ada kepala sekolah yang duduk berhadapan dengan Mahesa, di sebelah Mahesa ada Irwan. Pihak sekolah menelfon Irwan dan entah tumben karena apa, Irwan mau datang ke sekolah. Laskar, Kaylendra, Azka, dan Rizal berdiri di samping Mahesa. Sedangkan Pak Bambang dan Bu Fitri selaku guru BK berdiri di sebelah Irwan. "Sekarang apa pembelaan kamu?" Kepala Sekolah bertanya kepada Mahesa. Mahesa tidak membuka mulutnya, dia hanya diam menatap lurus ke dapan. Melihat putranya yang membisu membuat Irwan marah. "KEPALA SEKOLAH TANYA ITU JAWAB!" bentak Irwan membuat Mahesa terjingkat. Namun, Mahesa tetap diam. "Pak Irwan, sabar Pak," ujar Pak Bambang menenangkan. "Anak kurang ajar tukang buat malu kayak dia gak bisa dikasih sabar, Pak!" "Mahesa, kenapa kamu memukuli Megan sampai kayak gitu? Kalau tadi tidak dicegah, orang tua Megan bisa memasukkan kamu ke dalam penjara loh," ujar Bu Fitri dengan nada yang lebih pelan. Bu Fitri telah lama mengurusi murid-murid seperti Mahesa. Caranya menghadapinya bukan dilawan dengan bentakan, tapi dengan kelembutan. Api tidak bisa dilawan pakai api juga kan agar padam? Tak kunjung mendapatkan jawaban dari Mahesa. Kepala sekolah lalu mengangkat pandangannya melihat keempat teman Mahesa. "Kalian juga, masih tidak mau bicara? Kalian melindungi Mahesa iya?" tanya Kepala Sekolah. "Saya sebagai kepala sekolah di sini benar-benar sudah tidak paham lagi dengan kalian! Terutama kamu Kaylendra, kamu murid berprestasi di sekolah ini, jangan gara-gara salah pergaulan nama baik kamu jadi tercoreng kayak sekarang!" "Kalian ini sudah kelas dua belas. Harusnya lebih banyak belajar, pikirkan masa depan kalian. Ini enggak, malah masalah yang dikedepankan. Mau jadi apa kalian nanti ha?" Kepala sekolah lalu mengeluarkan amplop putih dari lacinya. "Ini teguran terkahir buat kalian, kasih ini kepada orang tua kalian, bilang jika kalian diskor dari sekolah satu minggu!" Laskar, Kaylendra, Azka, dan Rizal langsung melotot tajam. Yang benar saja satu minggu diskor? Sudah jelas, Laskar pasti langsung kena banned seluruh aset yang Ayahnya berikan. Kaylendra, Mama dan Papanya pasti akan sangat kecewa nanti. Azka? Pasti akan kena marah habis-habisan. Lalu Rizal? Ayahnya jelas akan sangat kecewa. "Teman-teman saya gak salah, Pak! Mereka gak ngapa-ngapain. Mereka cuma lihat. Yang buat Anjing itu babak belur hanya saya. Jadi yang berhak dapat hukuman itu saya, bukan mereka." Mahesa angkat bicara dengan tenang. "Sa?" panggil Laskar, masalahnya dia melihat Irwan sudah tidak sedang baik-baik saja. Tatapan Irwan mulai kembali menajam. Laskar hanya takut Mahesa habis di tangan Papanya sendiri. "Kalau Bapak mau kasih hukuman, hukum saya, enggak dengan teman-teman saya," ujar Mahesa lagi. Di sebelahnya, Irwan sangat mati-matian agar tidak marah sekarang. Di rumah nanti, lihat saja anak itu. Bisa-bisanya dia baru bicara hanya untuk membela teman-temannya. Sedangkan dirinya sendiri tidak dibela sama sekali. "Baik, kalau begitu, hukuman kamu saya tambah jadi dua minggu," putus kepala sekolah. "Selama itu juga kamu wajib diawasi oleh orang tua dan wali kelas. Paham?" Mahesa menganggukkan kepalanya. "Sekarang kalian bisa keluar dari ruangan saya." Setelah mendengarkan itu, Irwan berjalan keluar terlebih dahulu tanpa menunggu Mahesa. Mahesa menatap kepergian Papanya dengan nanar. Irwan terus berjalan seperti tidak ada seorang Mahesa di di sekitarnya. "Sa, harusnya kita dapat hukuman sama-sama tadi," ujar Azka menepuk bahu Mahesa. "Kalau lo gak mau pulang, lo bisa ke rumah gue Sa," kata Laskar. "Mahesa? Lo aman kan?" tanya Rizal. Mahesa tidak menyahuti, dia hanya berjalan lurus dengan tatapan kosong. Entahlah seperti ada banyak pikiran di kepalanya. Hingga tatapan Mahesa bertemu dengan Selina yang baru saja keluar dari laboratorium bahasa. "Mahesa, hai?" sapa Selina dengan riang, bisa ditebak jika Mahesa sama sekali tidak memberikan respon apa-apa membuat bahu Selina langsung merosot kecewa. "Dia kenapa?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD