11. Secuil perhatian (2)

1117 Words
Jam istirahat telah berbunyi, tapi Selina masih saja melihat Mahesa dihukum hormat pada bendera di lapangan sana. Selina merasa kasihan dan tidak enak kepada cowok itu. Gara-gara menolongnya Mahesa jadi dihukum. Selina berdiri di balik pilar lantai tiga, menatap Mahesa dari atas sana. Ternyata Mahesa tidak seburuk apa yang Selina lihat selama ini. Mahesa lebih dari itu. Dia sangat baik, tapi karena banyak hal buruk dalam dirinya, Mahesa jadi dicap buruk. "Ekhem! Gimana Lin? Udah kesemsem belum sama bapak ketua?" Anggi tiba-tiba nongol dari belakang, langsung berdiri di sebelah Selina. "Gak heran sih, semua anak Titan tuh punya daya tarik yang pasti susah buat lo lawan," sahut Gisel juga. Kedua cewek itu berdiri mengapit Selina. "Gimana ya Lin, gue udah pernah telan ludah sendiri. Awalnya gue pikir Laskar itu gak baik buat gue, terlihat dari dia sehari-hari yang tukang berantem, sering bolos, gak pinter, tapi dari semua itu ada satu kelebihan yang bisa buat gue tertarik sama Laskar," ujar Anggi sambil membayangkan pacarnya satu itu. "Cara dia memperlakukan perempuan yang buat gue tergila-gila sama Laskar sekarang." "Semua anak Titan kayak Laskar gak sih? Mereka memperlakukan semua perempuan like a queen. Mereka menjaga banget yang namanya perempuan," balas Gisel sangat setuju. "Yes! Jadi kalau lo suka sama Mahesa, gue mah yes yes aja. Kalau anggotanya aja kayak gitu, pasti ketuanya lebih kan?" tanya Anggi. Selina masih diam menyimak, sesekali melihat ke bawah menatap Mahesa yang sesekali mengelap keringatnya karena kepanasan. "Gue tau kenapa Mahesa dihukum, Laskar yang cerita sama gue. Lo tadi telat ditolongin kan sama Mahesa? Bahkan Mahesa sampai rela nyerahin dirinya ke Pak Bambang agar lo bisa bebas masuk kelas dan ikut ulangan," kata Anggi. "Sweet banget jodoh orang," tutur Anggi menumpukan kedua tangannya sambil menatap lurus ke depan. "Jodohnya Selina tuh," goda Anggi melirik Selina yang masih diam. "Lin, samperinlah Mahesanya, kasih minum atau apa gitu biar seneng doi," kata Anggi lagi. Selina menarik nafasnya panjang. Gadis itu melihat Anggi dan Gisel secara bergantian. "Nanti kalau satu sekolah tau gue deket-deket sama Mahesa yang ada malah buat masalah gak sih?" Anggi memutar kedua bola matanya malas. "Gini nih, belum dicoba udah pesimis duluan." "Bukannya pesimis, gue cuma mikir dampak kedepannya aja. Mahesa kan banyak yang suka, gue yakin fansnya pada bar-bar. Kalau nanti gue dibuli gimana?" tanya Selina membuat Anggi dan Gisel sama-sama menghela napas kasar. "Selina Auri Anaya, dengar ya? Siapa yang berani buli lo? Gak bakal ada! Gue yakin gak bakal ada yang berani. Lo dekat sama Mahesa, otomatis lo dilindungi sama seluruh anggotanya! Lihat gue, ada gak yang berani buli gue saat gue deket sama Laskar? Gak ada!" jawab Anggi hiperbola. "Tapi, Nggi?" "Jangan banyak tapi-tapi! Udah sana buruan ke kantin terus beli air minum kasih ke Mahesa. Buruan!" desak Gisel mendorong Selina. Selina mau tak mau harus melakukan saran kedua temannya. Melihat Selina yang mulai menjauh, Anggi dan Gisel lalu melakukan tos karena rencananya berhasil. **** Dengan gugup Selina berjalan ke arah lapangan. Sambil mencengkeram kuat botol air mineral di tangannya, Selina mencari keberadaan Mahesa yang sudah tidak lagi melakukan hormat. Selina terus mengedarkan pandangannya sesekali berdecak kesal, hingga Selina berhasil dibuat meneguk ludahnya susah payah saat melihat Mahesa yang sudah duduk di tepi lapangan, bersama teman-teman cowok itu yang lain. Kalau seperti ini bagaimana caranya Selina kasih minum? Ini mah namanya bunuh diri di kandang macan. Bisa habis nanti Selina diledekin. "Apa gue puter balik aja ya? Gak jadi kasih minumnya?" gumam gadis itu ragu. "NWENG SELINA? NGAPAIN BERDIRI DI SANA? PANAS, MENDING SINI NGADEM SAMA KITA-KITA." Tuh kan? Belum juga mendekat. Dengan cepat Selina langsung berbalik badan. Malu, l demi apa pun Selina sangat malu sekarang. Ternyata para cowok itu telah melihat keberadaannya. Astagaaa rasanya Selina ingin punya jurus menghilang saja sekarang. "Sa, samperin tuh Selina, dia nyariin lo pasti," kata Laskar menyenggol bahu Mahesa. "Iya tuh bos malu dia mau kemari, samperin sana masa cewek sih yang nyamperin cowok?" sahut Azka. "Lihat tangannya pegang apa? Itu sih fiks Selina mau ngapelin lo bos. Udah buru sana!" desak Rizal. Mahesa berdecak menatap teman-teman laknatnya itu. Hingga kemudian Mahesa memilih untuk berdiri, berjalan menghampiri Selina yang sudah akan berjalan pergi. Dari tempatnya, Laskar, Azka, dan Rizal tertawa puas. Setidaknya mereka bisa melihat Mahesa sedikit dekat dengan perempuan. Dari jaman dahulu kala, Mahesa, cowok satu itu seperti sangat anti dengan yang namanya perempuan. Selina terus mengumpat dalam hati sambil berjalan menunduk hingga dengan sangat cepat seperti kilatan petir tiba-tiba saja tubuh Selina dipaksa berbalik. Selina menahan napasnya saat badan gadis itu menabrak d**a bidang Mahesa. Mahesa sendiri langsung terdiam, sepertinya dia terlalu kuat menarik tangan Selina. "Sorry." Mahesa melepaskan Selina. Keduanya terdiam, sementara di tepi lapangan sana teman-teman Mahesa sudah bersorak heboh. Selina yang sudah kelewat malu langsung pergi begitu saja. Namun, Mahesa tidak mau membiarkannya. Mahesa mengejar Selina hingga sampai di koridor, Mahesa baru dapat kembali meraih tangan Selina. "Lepas, Sa," kata Selina tanpa bentakan. "Maafin temen-temen gue," balas Mahesa. Selina menggeleng. "Nggak pa-pa kok," ujarnya. Sekarang Mahesa yang bingung harus ngomong apa lagi. Sampai Mahesa melirik botol minum yang Selina pegang. Tanpa permisi Mahesa merampas botol itu membuat Selina melotot tak percaya. "MAHESA!" pekik Selina. Tidak memperdulikan Selina, Mahesa malah meminum air dalam botol itu, membuat jakun cowok itu naik turun. Beberapa tegukan hingga air itu habis tidak tersisa. "Ahhh ... tau aja kalau gue haus. Makasih ya?" kata Mahesa setelah minum dengan tampang tanpa dosanya. Mahesa lalu meremas botolnya dan melemparnya dengan asal ke arah tong sampah, meski tidak masuk. "Ish! Emang tuh minum buat lo?!" tanya Selina. "Kalau gak buat gue terus buat siapa?" "Ya ... ya buat gue lah!" jawab Selina gelagapan membuat Mahesa tertawa. Hingga entah sadar atau tidak tangan Mahesa tiba-tiba terulur mengacak rambut Selina gemas. Sekali lagi Selina menahan napasnya. Panas dingin diperlakukan Mahesa seperti itu. Tubuh Selina rasanya langsung tersihir karena Mahesa. Lain halnya dengan Selina. Para murid kelas sepuluh yang melihat kejadian itu juga sampai memekik kegirangan. Padahal bukan mereka yang diperlakukan seperti itu, tapi mereka ikut merasakan dampaknya. "Lucu amat kalau gugup. Makasih ya sekali lagi minumnya. Tadi gue mau ke kantin tapi gak jadi untung ada lo," ujar Mahesa sangat lembut. Selina langsung berdecak kesal. Menepis tangan Mahesa dari atas kepalanya. "Apasih Sa! Iya sama-sama!" "Gimana tadi ulangannya? Dapat nilai berapa?" tanya cowok itu. Oh ayolah ke mana perginya sifat Mahesa yang katanya dingin, beringas, dan suka bentak itu? "Ulangannya lancar, tapi belum keluar nilainya," jawab Selina. "Tapi tadi bisa jawab semua soal kan?" "Bisalah! Emangnya gue itu elo?" Mahesa terkekeh. "Iya lo genius sedangankan gue bodoh." Mendengar itu membuat Selina menegang. Astaga apa dia salah ngomong barusan? "Em maksud gue bukan gitu, Sa." "Gue tau, yaudah kalau gitu gue balik sama temen-temen. Nanti pulang gue tunggu di gerbang."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD