13. Diusir

1872 Words
"KAMU BENAR-BENAR SUDAH KELEWATAN KALI INI MAHESA! KAMU TAU, PIHAK SEKOLAH TADI TELFON PAPA TEPAT DI DEPAN SEMUA REKAN KERJA PAPA, DAN KAMU TAU, SEMUA JADI MEMBICARAKAN PAPA, MENUDUH PAPA TIDAK BECUS NGURUS ANAK." "NAMA PRANATA TERCORENG GARA-GARA KAMU ANAK s****n!" Kembali mendapat amukan dari Irwan membuat Mahesa lama kelamaan merasa kebal. Cowok dengan seragam sekolah berantakan itu malah menunjukkan wajah seperti menantang. Dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana, Mahesa berjalan mengitari ruangan. "Nama Pranata tercoreng gara-gara Mahesa? Yakin? Kalau semua rekan Papa tau Papa suka gonta-ganti pasangan dan menelantarkan istirnya yang sedang sakit, kira-kira gimana respon rekan-rekan kerja Papa itu, hm?" tanya Mahesa sambil menaikkan sebelah alisnya. "Kamu menantang saya?" Mahesa menggeleng. "Enggak, Mahesa cuma bicara fakta." "Papa nggak mau tau, selama kamu diskors Papa nggak akan ngijinin kamu keluar rumah. Sampai masa skorsing kamu selesai." Sontak saja kedua bola mata Mahesa membulat sempurna. "NGGAK BISA GITULAH! MAHESA JUGA ADA KEPERLUAN LAIN." "APA? KEPERLUAN APA? NGURUSIN GENG MOTOR BEGAJULAN ITU, IYA?" "Mereka segalanya buat Mahesa. Lebih dari apa pun! Mereka, bisa kasih semua yang Mahesa nggak pernah dapat dari Papa!" tekan Mahesa menatap Irwan dengan berani. Plak! "ANAK KURANG AJAR!" Irwan menampar Mahesa dengan kencang. Lagi-lagi main tangan. Kalau di pikir-pikir, memang selama ini sifat Mahesa nurun dari siapa kalau bukan dari Papanya yang tukang pukul dan main tangan? Mahesa tertawa memegang pipinya yang terasa panas. "Puas, Pa?" tanya cowok itu. "AYO PUKUL MAHESA LAGI SEPUAS PAPA! SEKALIAN REKAM, BIAR SEMUA ORANG TAU, BAGAIMANA SIKAP ASLI SEORANG IRWAN PRANATA YANG KATANYA SUPER TERHORMAT DAN BERWIBAWA ITU!" Suara bariton Mahesa memenuhi ruangan. Urat-urat cowok itu sampai menonjol menembus kulit. "AYO PUKUL PA! PUKUL! TAMPAR MAHESA LAGI, TAMPAR!" Mahesa terus berteriak sambil menggerakkan tangannya untuk memukuli pipinya sendiri dengan kencang. Irwan memejamkan matanya, teriakan Mahesa sungguh mengganggu pendengarannya. Kedua tangan Irwan sudah mengepal kuat di samping badan. "Kenapa Papa diam? Dari tadi ini kan yang Papa tunggu-tunggu? Mahesa berontak dan Papa dengan leluasa main k*******n melampiaskan semua kemarahan Papa." "SHUT UP!" Duagh! "DEN MAHESA!" Mbok Ginem yang sejak tadi melihat dari dapur refleks memekik saat Irwan dengan sekuat tenaga menendang tubuh Mahesa. Tidak tanggung-tanggung, tendangan yang tepat mengenai perut Mahesa itu sukses membuat Mahesa terbatuk hebat dan limbung ke belakang sambil memegangi perutnya. "Aden!" "Jangan dibantu Mbok! Biar saja anak kurang ajar itu tahu akibatnya!" kata Irwan menahan Mbok Ginem yang akan mendekati Mahesa. Uhuk! Uhuk! Mahesa berusaha bangkit, namun dadanya tiba-tiba terasa sangat nyeri. Cowok itu terus terbatuk, sesekali memukul dadanya yang terasa sesak. "Mulai sekarang, keluar kamu dari rumah ini! Bawa juga Mama kamu yang penyakitan itu, saya sudah nggak mau lagi ngurusin anak nggak tau diuntung kayak kamu!" kata Irwan dengan begitu entengnya. "Mbok Ginem sekarang bereskan semua baju-baju Mahesa. Saya muak lihat mukanya!" "Tapi Tuan?" "Mbok turutin kemauan saya atau saya pecat!" Mbok Ginem langsung menegang. Mau makan apa kalau sampai benar-benar di pecat? "B—baik Tuan." Setelah itu Irwan langsung melangkah pergi, meninggalkan Mahesa yang masih terbatuk-batuk begitu saja tanpa ada sedikit pun rasa kasihan. Melihat majikannya yang sudah menjauh, Mbok Ginem pun segera berjalan mendekati Mahesa, membantu Mahesa untuk berdiri. "Aduhhh Aden, Mbok kan udah sering bilang sama Aden, kalau Papanya Aden marah udah diem aja jangan dilawan nanti kayak gini kan jadinya? Mbok gak tega kalau lihat Aden selalu dipukul, ditendang kayak gini sama Tuan," ujar Mbok Ginem sambil memapah Mahesa. Di dalam rumah ini, hanya Mbok Ginem yang selalu ada untuk Mahesa, memperlakukan Mahesa sudah seperti anaknya sendiri. "Coba sini buka bajunya, biar Mbok pijet pakai minyak kayu putih biar nggak sakit lagi d**a sama perutnya," kata Mbok Ginem setelah mendudukkan Mahesa di sofa. Mahesa malah tersenyum. "Mahesa gak pa-pa kok." "Ck, gak pa-pa gimana? Tadi batuknya udah kayak gitu, pasti sesek kan rasanya? Biar Mbok Ginem ambil minyak dulu sebentar." Ketika wanita itu akan pergi, Mahesa segera meraih tangannya. "Nggak usah Mbok. Mbok siapin aja baju-baju Mahesa biar Mahesa bisa cepat pergi dari rumah ini." Sejenak Mbok Ginem terdiam. Hingga sebuah elusan lembut pada punggung tangannya membuat Mbok Ginem akhirnya tersadar. Air mata secara otomatis keluar dari mata wanita paru baya itu. "Den Mahesa tau? Aden itu ngingetin Mbok sama almarhum anak laki-laki Mbok yang pertama. Dulu dia nakaaal banget sama kayak Aden gini. Setiap hari saat pulang sekolah juga selalu dapat marah dari Ayahnya." "Ayahnya? Suami Mbok?" tanya Mahesa larut dalam obrolan. Mbok Ginem mengangguk. "Iya Den, persis kayak Aden sekarang. Sampai suatu hari, suami Mbok marah besar gara-gara anak Mbok tadi ketahuan nyuri uang tantenya buat beli rokok, di situ dia dihajar habis-habisan sama Ayahnya. Mbok gak bisa nolong karena keadaan Mbok yang gak ada di rumah. Aden tau? Pas Mbok pulang, anak Mbok udah nggak bernyawa, dibunuh Ayahnya sendiri, di pukul pakai kayu sampai pembulu darah di otaknya pecah. Itu lah kenapa Mbok pilih pergi saja ke Jakarta buat lupakan semua itu. Eh ternyata di sini, Mbok harus lihat keadaan yang sama lagi." Mahesa tidak banyak berkomentar. Dia diam mendengarkan setiap kalimat yang Mbok Ginem ucapkan. "Mangkannya saat lihat Aden dipukul sama Tuan, hati Mbok rasanya sakiiiit banget. Mbok keinget anak Mbok dulu. Mungkin sekarang dia sudah bisa menikah dan punya anak kalau saja dia masih hidup." "Maafin Mahesa udah buat Mbok inget sama Almarhum anaknya lagi. Mahesa turut berduka cita," ujar Mahesa. Mbok Ginem berusaha menghentikan isakannya. Ia lalu menatap Mahesa dengan dalam dan penuh sayang. "Udah nggak pa-pa, Mbok siapkan dulu ya baju-bajunya Aden. Itu di meja sana ada minyak kayu putih nanti Aden urut pelan saja perut sama dadanya biar agak enakan." "Iya Mbok." "Yaudah kalau gitu Mbok tinggal dulu." **** Mahesa yang tertidur perlahan mengerjapkan matanya saat merasa ada sebuah tepukan lembut pada lengannya. Mahesa menggeliatkan badannya yang terasa masih sakit-sakit. "Den, bangun Den udah sore bentar lagi pasti Papanya Aden pulang. Ayo Den bangun, itu baju sama perlengkapan Aden udah Mbok siapin semunya." Sayup-sayup mata Mahesa terbuka. Cowok itu menyergitkan dahi. Tiba-tiba pusing menyerangnya, tapi dengan cepat menghilang. Mahesa lalu perlahan mengubah posisinya menjadi duduk. "Udah enakan Den badannya?" tanya Mbok Ginem diangguki Mahesa. "Yaudah, tadi Pak Ardi sudah Mbok suruh buat pindahin semua yang ada di koper ke apartemen Aden, ini tinggal tas yang isinya baju-baju kaos tadi gak masuk dalam koper," ujar Mbok Ginem menujuk tas sekolah Mahesa yang tergeletak di lantai. Mahesa hanya mengangguk saja. Dia kemudian berdiri meraih kunci motornya dan memakai jaketnya. Sebelum pergi, Mahesa menyalimi dulu tangan Mbok Ginem. "Mahesa pamit Mbok." "Den, jaga kesehatan ya? Kalau perlu apa-apa telfon Mbok saja. Kalau mau cari kerja, cari kerjaan yang bener ya Den? Jangan yang bisa mencelakan diri Aden sendiri, ingat sama Mamanya Aden. Pokoknya jangan sampai kenapa-kenapa. Itu pesan Mbok," ujar Mbok Ginem dengan sangat lembut sambil mengusap rambut legam Mahesa. "Iya Mbok. Kalau gitu Mahesa pergi dulu, assalamu'alaikum." "Wa'alaikumsalam, hati-hati Den bawa motornya. Jangan ngebut." Mbok Ginem mengikuti Mahesa hingga ke depan. Tak lama, motor majikannya itu melaju pergi, benar-benar pergi meninggalkan rumah. Kini Mbok Ginem tidak akan bisa lagi melihat Mahesa, jika saat malam tiba biasanya wanita aku akan diam-diam masuk ke dalam kamar Mahesa untuk sekedar mengecek keadaannya, sekarang tidak lagi. Jujur saja Mbok Ginem tidak terlalu berat melepas Mahesa pergi, malah ini lebih bagus daripada majikannya itu harus terus menerus merasakan k*******n dari Papanya. "Aden kasep kasihan ya Mbok? Kerja apa anak itu nanti," tiba-tiba Pak Ardi selaku supir rumah berucap di sebelah Mbok Ginem. "Semoga aja tetap dijalan yang bener Pak. Den Mahesa itu sebenarnya anak baik, cuma saja cara dia aja yang kadang salah. Saya pernah tuh mergokin Aden lagi bantuin anak-anak jalanan, dikasih nasi kotak, dikasih buku-buku juga," ujar Mbok Ginem menceritakan apa yang pernah ia lihat. "Bener Mbok, nanti deh kalau saya ada kenalan yang lagi butuhin tenaga kerja, biar saya kasih tau Mbok nanti kasih tau Aden. Kasihan harus bayar rumah sakit Nyonya sendiri dari sekarang." "Tuan benar-benar udah kelewatan kali ini, Pak." **** Di perjalanan, Mahesa terus teringat Mamanya. Apa Mamanya saat ini baik-baik saja? Apa Irwan benar-benar akan berhenti membayar biaya rumah sakitnya? Jika iya, dapat dari mana Mahesa uang sebanyak itu? Balapan, taruhan, iya kalau menang kalau kalah yang ada makin rugi. Mahesa sekarang benar-benar bingung harus apa. Mahesa melajukan motornya tak tentu arah, percuma dia ke apartemen toh tidak ada apa-apa di sana. Ke rumah sakit? Rasanya jangan dulu, Mahesa belum siap menerima keadaan di sana. Sekarang harus ke mana Mahesa pergi? Papanya sudah keterlaluan, Mahesa semakin yakin jika orang yang selama ini Mahesa sebut Papa sama sekali tidak pernah benar-benar sayang dengan keluarganya. Hingga pandangan Mahesa ditarik otomatis ke sebuah bangunan yang biasanya dia datangi. Panti Asuhan, entah kenapa Mahesa lewat jalan ini. Mahesa sendiri tidak sadar. Mahesa menghentikan motornya di tepi jalan, menatap nanar bangunan tua itu. Kakinya ingin mendekat namun pikirannya menolak. Yang ada Mahesa akan kena ceramah lagi oleh Bunda di sana. Mahesa belum mau dapat wejangan sekarang. Alhasil, Mahesa kembali menyalakan mesin motornya kembali melaju pergi. Namun entah kenapa tiba-tiba nama Selina melintas ke dalam pikirannya. "Gue butuh Selina," gumam cowok itu. Segera, Mahesa pergi ke rumah gadis itu. Lima belas menit perjalanan, kini Mahesa sudah berada di depan rumah Selina. Tanpa menunggu lebih lama, langsung saja Mahesa masuk. Tok! Tok! Tok! Mahesa mengetuk pintu coklat rumah Selina. Cukup lama tidak ada sahutan. Mahesa mengintip dari jendela di sebelahnya, tidak ada tanda-tanda ada orang yang hendak keluar. Tok! Tok! Tok! Cowok itu mencoba mengetuk lagi. "SEBENTAR!" Kali ini baru ada sahutan. Tepat saat pintu terbuka lebar, Mahesa tersenyum menyapa Selina yang malah menunjukkan wajah kebingungan. "Mahesa? Kok lo ada di sini?" tanya Selina. Gadis itu menarik tangan Mahesa, mengajak Mahesa untuk menjauh dari rumahnya. "Ngapain ke sini?" tanya Selina lagi. "Kenapa memangnya? Gak boleh kalau gue main ke rumah lo?" "Ya bukannya gitu, ini kan udah sore ngapain coba? Itu juga bawa-awa tas buat apa? Lo mau ke mana." "Gue diusir dari rumah," kata Mahesa. Spontan Selina membulatkan matanya. "K—kok bisa? Terus, sekarang lo mau tinggal di mana?" "Gue ada apartemen, gue bakal tinggal di sana." Mendengar itu baru membuat Selina bisa bernapas lega. "Gue pikir lo mau numpang sama gue, habisnya ke sini sama bawa tas gitu." Mahesa terkekeh pelan. "Enggaklah, rumah teman gue masih banyak." "Yaudah kalau gitu. Emang kenapa bisa sampai di usir? Gara-gara lo hajar anak IPS tadi ya?" tanya Selina menebak dan Mahesa mengangguk. "Gue juga diskors dua minggu." "HA? Dua minggu? Nggak kurang lama?" kaget Selina. Entah sudah berapa kali dia dibuat terkejut oleh cowok satu ini. "Pengen sebulan, tapi takut kelewat di drop out. Entar gue gak bisa lihat lo lagi di sekolah." "Apaan sih?!" "Blushing," tutur Mahesa. Selina jadi gugup sendiri. "Siapa yang blushing? Nih kena panas!" "Masa?" "Tau ah! Udah sana pulang lo, mau apa sih ke sini? Gue lagi beres-beres rumah." "Besok pulang sekolah ikut gue mau nggak?" tanya Mahesa. "Ke mana?" "Cari kerja dekat-dekat sini, kalau mau pulang sekolah besok gue jemput lo. Gimana?" "Emang mau cari kerja apa?" "Nggak tau, lihat aja besok. Mau ya?" tanya Maheaa sekali lagi dengan penuh harap. Selina mau menolak, tapi kasihan dilihat dari tampangnya, Mahesa seperti tengah butuh uang. Akhirnya Selina pun mengangguki kemauan Mahesa. "Yaudah, besok gue temenin deh," putusnya. Mahesa tersenyum lebar. Baru kali ini Selina melihat Mahesa tersenyum sebahagia itu. "Makasih, Selina." "Iya sama-sama, Sa."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD