"Udah Sa, lagian lo kalau ada masalah tuh cerita jangan di pendem sendiri kayak gini. Kita juga kan yang ujungnya kena damprat," celetuk Laskar kepada Mahesa yang terus uring-uringan sejak pagi tadi.
Sekarang keempat inti Titan itu tengah berada di Wabes (Warung Belakang Sekolah) tempat yang sering digunakan untuk anak-anak nakal itu bolos pelajaran. Mereka hanya berempat karena Kaylendra pastinya akan menolak untuk bergabung. Kay, cowok jenius itu lebih mementingkan pelajaran daripada kumpul membolos tak jelas seperti yang teman-temannya lakukan sekarang.
"Ck, apa sih gini doang masa lo viral, bos?" Azka berdecak sambil kemudian menunjukkan ponselnya kepada Mahesa.
Melihat itu Mahesa langsung mengambil kasar ponsel Azka, memperhatikan isi video di dalamnya. Pertengkarannya dengan Selina saat di kantin tadi ternyata telah menyebar luas. Bukannya senang jadi viral, Mahesa malah geram bahkan hampir saja ponsel Azka rusak karena dilempar begitu saja oleh Mahesa jika tak langsung ditangkap oleh Azka.
"Selow, bos," kata Rizal sampai melongo melihat Mahesa tak percaya.
Laskar hanya menggelengkan kepalanya, cowok itu kemudian berpindah duduk di sebelah Mahesa. Menepuk pundak Mahesa sekali membuat Mahesa menatapnya datar.
"Lo bisa cerita sama gue ada apa, jangan kayak gini lah. Kata lo kita di sini keluarga? Dan sebagai keluarga harus saling terbuka bukan?" ucap Laskar.
Mahesa kemudian menghela nafasnya kasar. Cowok itu mengubah posisi duduknya menjadi duduk bersila sambil menatap jalanan kosong di depannya. "Bokap gue nyuruh gue keluar dari Titan, kalau enggak dia bakal usir gue dari rumah."
"Serius?" tanya Laskar kaget dan diangguki Mahesa.
"Kalau gue diusir gak masalah sama sekali, gue udah biasa hidup sendiri, tapi nyokap gue Kar, lo tau kan kondisi nyokap gue kayak gimana sekarang? Gue bahkan gak tau apa gue masih bisa nyenengin dia apa enggak."
Laskar hanya bisa terdiam, cukup tau dengan masalah yang tengah dialami sahabatnya itu. Diantara mereka berlima, bisa dibilang keluarga Mahesa yang paling tidak harmonis. Pak Irwan, Papa Mahesa hanya memberi keluarganya harta tanpa kasih sayang, Nelita, Mama Mahesa sendiri telah lama mengidap kanker yang tentunya membutuhkan uang yang tak sedikit. Tiap kali Irwan berulah yang dilakukan Mahesa hanya diam, munafik jika Mahesa tak membutuhkan Irwan. Oleh karena itu segala ancaman Irwan selalu berdampak besar bagi Mahesa.
"Lo yang sabar ya bos, semua pasti bakal ada jalan keluarnya." Hanya itu yang mampu Laskar katakan. Jujur, dia bingung harus bersikap bagaimana. Andai Mahesa benar-benar diusir, yang kemungkinan besar akan membawa Mamanya, Laskar bisa saja menolong namun Mahesa jelas tak akan mau menerima bantuan secara cuma-cuma begitu saja.
"Capek gue Kar, kayaknya kalau nyokap gue ntar nggak ada gue bakal ikut aja kali ya?" celetuknya yang langsung mendapatkan lemparan botol air mineral kosong dari belakang.
Mahesa meringis memegang kepalanya, saat menoleh ternyata pelakunya adalah Rizal. "Maksud lo apaan, Jal?" sentak Mahesa tak terima.
"Bos, sorry lagian lo jangan ngomong gitulah. Kalau lo mati entar siapa yang gue panggil bos?" balas Rizal terdengar sendu.
"Hidup mati gak ada yang tau, Jal," kata Mahesa, amarahnya seketika hilang mendengar penuturan Rizal.
"Bos, kalau semisal lo butuh bantuan kita, apa pun itu jangan sungkan buat minta tolong. Masa lo doang yang sering nolongin kita sementara kitanya enggak," ucap Azka.
"Betul! Pokoknya gue gak mau kalau lo sampai keluar dari Titan. Mau jadi apa Titan kalau gak ada lo nanti?" sahut Laskar. "Ya, nggak?" tanyanya kepada Azka dan Rizal, kedua cowok itu langsung mengangguk kompak.
"Yoi! Udah bos, jangan dipikirin. Bawa santai aja, nikmati tiap alurnya."
Azka melirik Rizal malas. "Halah kalau gak mikir Itu mah elu, Jal! Hidup lontang-lantung gak jelas. Masa depan suram gak ada tujuan."
"Weh jangan salah, gini-gini masa depan gue terjamin. Gue kan kerja di distronya Laskar, gajian selalu lancar, lumayan buat bantu-bantu Ayah gue bayar sekolah si kembar," balas Rizal menyangga pernyataan Azka.
Rizal sendiri memang berasal dari keluarga yang kurang mampu, dulu cowok itu sering dibuli oleh teman-teman sekelasnya, hingga Mahesa muak melihat semua itu membuatnya turun tangan membela Rizal dan kemudian mengajak Rizal bergabung dengan Titan. Sejak bergabung dengan Titan pun Rizal sering mendapatkan keuntungan, uang contohnya. Banyak anak-anak Titan yang rajin memberi Rizal pekerjaan. Sebelum bekerja di distro Laksar, Rizal sering bantu-bantu bengkel, servis motor untuk balap, kadang juga jaga bar di sebuah kelab malam, gajinya yang lumayan membuat Ayah cowok itu sampai menitipkan Rizal kepada Mahesa dan Laskar. Itu sebabnya mengapa Rizal selalu menyegani ketua dan wakilnya itu. Tanpa mereka berdua mungkin Rizal tak akan menjadi dirinya yang sekarang.
"Kayaknya bulan depan gue mau PHK beberapa karyawan deh," celetuk Laskar tiba-tiba membuat Rizal menegang.
"Ah serius lo, Kar? Jangan gitulah makan apa gue entar," sahut Rizal panik.
Laskar lantas terkekeh. "Canda deng! Haha!" gelaknya.
"Si taii!"
Laskar sendiri adalah yang paling kaya diantara keempat temannya. Namun meski begitu, Laskar tak pernah menyombongkan kekayaannya itu. Sebisa mungkin Laskar menyamakan dirinya dengan yang lain.
"Sa, masih aja bengong. Woi! Come on lah Sa jangan terlalu dipikir, bokap lo paling cuma ngancem kayak biasanya kan? Mana mungkin dia tega ngusir lo?" tutur Azka saat melihat Mahesa yang kembali terdiam.
"Tau, Ka! Pusing gue, dahlah cabut dulu ntar malem dugem kita biar otak kosong!" katanya lalu berdiri, mengambil jaket dan kunci motornya.
"Mau ke mana?" tanya Laksar menahan Mahesa.
"Cari hiburan."
"Janji dulu tapi gak bakal aneh-aneh hiburannya," peringati Rizal.
"Santuy paling-paling lewat depan markas lawan sama bawa petasan," jawab Mahesa asal sambil memakai jaket Titan kebanggaannya.
"Anjrit, itu mah namanya bunuh diri!" kesal Azka.
Setelahnya Mahesa terkekeh pelan. "Nggak Ka, gue mau nemuin Leon, kangen sama bocil satu itu."
"Kalau gitu nitip dong," kata Laskar.
"Nitip apaan?"
"Bentar gue ambil dulu." Laskar lalu berdiri menghampiri motornya, mengeluarkan sesuatu dari dalam tas sekolahnya. Sebuah robot mainan.
Laskar lalu memberikan mainan itu kepada Mahesa. "Minggu lalu gue janji mau beliin dia robot-robotan, tapi lupa mulu mau ke sana. Mumpung inget ntar kasih ya?"
Mahesa mengangguk anggukan kepalanya. "Oke."
"Sa, gue juga mau nitip," ujar Rizal.
"Nitip apaan lo?" sentak Azka yang menebak jika titipan Rizal pasti akan aneh-aneh.
"Nitip salam aja, maaf belum bisa datang."
"Benerkan tebakan gue? Eh Jal, bahkan si Leon gak bakal inget kalau pernah kenal sama lo!" balas Azka geram.
"Ya namanya juga usaha, biarpun cuma nitip salam kan yang penting niatnya," jawab cowok kelahiran kota Pahlawan itu.
"Semerdeka lo aja Jal, yaudah gue cabut duluan," pamit Mahesa.
"Tiati bos!"
"Yoi!"
Tak lama setelah itu Mahesa bersama motornya melaju pergi meninggalkan area belakang sekolah. Suara derum motor cowok itu perlahan samar-samar menghilang menandakan jika Mahesa telah jauh.
Masih di tempat masing-masing, Azka menatap Laskar dan Rizal bergantian. "Jadi gak enak gue sama pak bos, dia terlalu baik gak sih sama kita? Tapi kita malah kayak gak pernah ngertiin dia." ucapnya kemudian.
Laskar tersenyum tipis. "Lo kayak baru kenal Hesa kemarin aja Ka, tuh orang kan sifatnya emang kayak gitu. Dia gak suka terlihat lemah, harga diri terlalu penting baginya."
"Tapi apa salahnya minta tolong sama kita kalau emang dia butuh?"
"Jal, mungkin sekarang belum saatnya. Gue yakin nanti pasti Hesa bakal datang dan minta sendiri sama kita. Sekarang tugas kita sebagai sahabatnya cukup support dia dari belakang. Selalu dengerin kalau dia cerita," kata Laskar diangguki Azka dan Rizal.
"Yaudah lima menit lagi bel pulang. Sekarang ke mana kita?" tanya Azka setelah melihat jam tangan hangat melingkar di pergelangan kirinya.
"Pulang gue, mau jalan sama Anggi," balas Laskar.
"Yee bucin! Lo, Jal mau ke mana habis ini?" tanya Azka kepada Rizal.
"Pulang juga mau main sama si kembar, lama gak pulang haha. Ntar malem aja gue ke club."
"Ck, gak asik lo pada!" kesal Azka.
"Ya lo sendiri kenapa gak ngedate sama Nabila?" tanya Laskar.
Mendapat pertanyaan seperti langsung membuat Azka lesu. "Susah Kar, jaraknya terlalu jauh. Nabila susah buat di deketin."
"Miris banget yang terjebak di satu amin dua iman," ujar Laskar sedikit meledek.
"Ah asem lo! Dahlah mau ke basecamp aja tidur! Siapa tau di mimpi gue bisa jalan bareng sama Nabila."
Tak bisa untuk Laskar dan Rizal menahan tawanya. Melihat itu Azka semakin berdecak kesal. Dasar tukang ketawa di atas penderitaan orang!
"Ketawa aja terus sampe tuh mulut berbusa! Dahlah macam kentut badak lo pada. Cabut gue!"
****
Setelah belasan menit di perjalanan, akhirnya motor Mahesa berhasil terhenti di depan sebuah pagar besi bangunan yang tak terlalu besar. Cowok itu kemudian turun dari motornya, saat akan masuk Mahesa telah menadapat sambutan baik dari satpam yang menjaga tempat itu.
"Tumben ke sini sendirian, Den?" tanya Pak Hamdi selaku Satpam dengan begitu ramah kepada Mahesa.
"Iya Pak, yang lain masih ada urusan hehe. Kalau gitu Hesa ke dalam ya, Pak?"
"Oalah iya, Den silahkan-silahkan."
Pak Hamdi mempersilahkan Mahesa untuk masuk, benar saja baru beberapa langkah Mahesa menginjak rerumputan halaman bangunan yang cukup luas itu, anak-anak yang tengah bermain di sana langsung mengerubunginya.
"KAK HESAAA!!" begitu pekik mereka secara bersamaan sambil merentangkan tangan menghambur peluk kepada cowok itu.
Mahesa yang diserbu sampai harus terjatuh—duduk di atas rumput. Tawa cowok itu pecah kala bocah-bocah itu ingin menciumi wajahnya.
"Eh, ada siapa nih yang datang?"
Mendengar suara itu Mahesa langsung berdiri dan berjalan menghampiri Bu Ayun, wanita berusia lima puluh tahun yang mendirikan serta mengurus panti asuhan ini.
"Assalammu'alaikum, Bunda," kata Mahesa dengan sangat sopan setelah menyalimi tangan Bu Ayun.
"Wa'alaikumsalam." Senyum Bu Ayun langsung merekah setiap kali mendengar Mahesa memanggilnya dengan sebutan Bunda.
Tangan kanan Bu Ayun kemudian terulur mengacak gemas rambut Mahesa yang memang telah berantakan. Percayalah, Mahesa itu hanya tampangnya saja yang sangar, namun jika sudah bertemu dengan orang yang tepat, Mahesa langsung berubah seperti bayi.
"Yang lain ke mana, Sa?" tanya Bu Ayun.
"Masih ada urusan, Bun. Mungkin minggu depan mereka ke sini."
Mereka yang dimaksud adalah anak-anak Titan yang lainnya. Bu Ayun memang telah lama mengenal Mahesa dan teman-temannya. Pertama kali bertemu saat Bu Ayun yang baru saja dari pasar dihadang oleh beberapa preman. Saat telah tak mengerti lagi harus berbuat apa, Mahesa dan teman-temannya datang menolong. Mereka juga mengantar Bu Ayun pulang ke panti asuhan ini, dan sejak itu Mahesa seperti menemukan rumah keduanya di sana, setelah basecamp.
"Kak Hesa kok baru ke sini? Leon udah kangen tau sama Kakak."
Sontak saja Mahesa melihat bocah laki-laki yang telah berdiri di belakang Bu Ayun sambil memegang robot mainan yang telah hilang tangannya. Refleks Mahesa terkekeh pelan, pantas saja Laskar membelikan bocah itu robot baru.
"Leon, sini," panggil Mahesa sambil berlutut dan mengayunkan tangannya.
Tanpa ragu Leon mendekat dan langsung memeluk erat tubuh Mahesa. Bagi Mahesa, Leon sudah seperti adiknya sendiri.
"Kakak kenapa lama banget ke sininya? Gak kangen ya sama Leon?" tanya bocah berusia enam tahun itu setelah melepaskan pelukannya.
"Kata siapa gak kangen, hm?"
Bu Ayun yang melihat itu lalu mengusap kepala Leon. "Kak Hesa kan sekolah, harus banyak belajar. Kalau ada waktu senggang pasti Kakak ke sini nemuin Leon, iya kan Sa?"
Mahesa mengangguk mantap. "Leon, lihat deh aku bawa apa."
"TARAA!!!"
Bola mata Leon langsung berbinar senang melihat apa yang Mahesa bawa. Bahkan bocah itu sampai langsung menjatuhkan robot miliknya. Mengambil alih pemberian Mahesa.
"Buat Leon kak?"
"Iya, itu dari Kak Laksar."
"Kak Laksar?" ulang Leon diangguki Mahesa. "Bilangin kak Laskar ya kak, aku suka mainannya."
"Iya, dijaga ya yang baik ya?"
"Siap Kak!"
"Yaudah, sana gih buat mainan."
Setelah mengucapkan terima kasih, Leon langsung berlari masuk ke dalam rumah sambil berteriak jika dirinya dapat mainan baru. Senyum Mahesa tak kunjung luntur melihat betapa senangnya bocah itu.
"Kak Hesa, mainan buat kita gak ada ya?" celetuk salah satu bocah laki-laki kepada Mahesa dengan raut wajah sedihnya.
Mahesa kembali tertawa pelan. "Ada dong!" katanya lalu membuka tas sekolahnya, mengeluarkan beberapa mainan yang tadi dia beli sebelum datang kemari.
"Berbagi ya? Jangan rebutan, Kakak ke sininya sendirian jadi gak bisa bawa banyak. Nanti kalau Kakak ke sini lagi, Kakak bawain yang banyak. Oke?" kata Mahesa kepada anak-anak itu.
"Oke kak!"
"Bilang apa dulu sama Kak Hesa?" ujar Bu Ayun.
"TERIMA KASIH KAK!!" teriak mereka secara bersamaan.
Setelahnya semua anak-anak itu langsung berlarian membagi mainan yang Mahesa bawa.
Mahesa menghembuskan nafasnya pelan sambil tersenyum tipis. Bu Ayun yang melihat itu lantas kembali mengajak Mahesa untuk berdiri lalu berjalan mengikutinya. Mereka berdua duduk di bangku yang ada di sana menatap setiap anak yang tengah bermain bebas.
"Kalau ada apa-apa jangan sungkan cerita sama Bunda," ucap Bu Ayun tiba-tiba membuat Mahesa langsung menatapnya. Dari ekor mata Bu Ayun melihat itu, ia lalu tertawa pelan. "Bunda sudah kenal kamu sejak setahun yang lalu Sa, setiap kamu ada masalah larinya selalu ke sini, sendirian. Ada apa hm? Ayah kamu lagi?"
Mahesa masih tak percaya, tebakan wanita itu selalu benar.
"Bunda peramal ya?" tanya Mahesa terdengar konyol.
Bu Ayun menggelengkan kepalanya dan tersenyum. Ia lalu mengubah posisinya menjadi menghadap Mahesa. "Gimana sama keadaan Mama kamu?" tanya Bu Ayun.
Mahesa menggeleng pelan. "Sama aja, Bunda. Kayaknya malah makin parah, tiap hari Hesa harus lihat Mama nangis kayak nahan sakit. Hesa takut Mama tiba-tiba pergi," tutur cowok itu.
"Papa kamu tau?"
"Tau, tapi nggak peduli. Yang dia peduliin cuma istri barunya."
Mendengar jawaban Mahesa sontak saja membuat Bu Ayun terkejut bukan main. "Sudah menikah?" tanyanya diangguki Mahesa. "Sebulan yang lalu, sama janda anak satu, seusia Leon gitu lah anaknya."
Prihatin, hanya kata itu yang terlintas. Mahesa sebenarnya anak yang baik, hanya saja faktor keluarga yang membuat anak itu jadi seperti ini. Mahesa hanya sedang mencari kesenangan yang tak dia dapatkan di rumah. Namun kesenangan yang Mahesa cari adalah salah, menjadi anak sekaligus ketua geng motor yang kapan saja bisa mengancam keselamatannya sendiri.
Bu Ayun kemudian menarik Mahesa dan memeluknya dari samping. Mahesa pun menyandarkan kepalanya pada d**a Bu Ayun.
"Masih ada Bunda di sini, kalau butuh apa-apa langsung bilang ya? Dan ingat, jangan pernah benci sama Papa kamu. Dia udah banting tulang selama ini buat kebutuhan kamu. Kecewa boleh tapi jangan sampai membencinya."
Mahesa mengangguk. "Iya Bunda."
Tapi nggak janji, lanjut Mahesa dalam hati.