3. Niat baik yang dipandang buruk

2103 Words
"MAHESA LAGI MAHESA LAGI! Apa kamu gak bosan berurusan terus sama saya, ha? Saya saja udah sangat bosan ngurusin kasus kamu yang selalu itu-itu saja. Niat gak sih kamu sekolah?" Mahesa hanya menunduk saat menerima amukan Bu Fitri, guru BK yang identik dengan sanggul jumbo kebanggaannya itu. Katanya juga Bu Fitri itu keturunan orang keraton. "Kenapa lagi kamu berantem? Gara-gara apa? Cewek? Atau apa?" tanya Bu Fitri masih dengan nada tinggi. "Malah diem. Jawab!" gertak Bu Fitri hingga Mahesa terjingkat. Sementara itu di luar ruang BK, keempat teman Mahesa ketar-ketir sendiri melihat ketuanya itu mendapat amukan. Mereka berempat mengintip dari celah jendela. "MAHESA, AYO JAWAB!" "Ya saya nggak terima Bu kalau ada cowok yang semena-mena sama cewek! Saya gak suka lihat cewek dikasarin. Apa saya masih salah?" Akhirnya Mahesa menjawab dengan cepat dan lantang. Bu Fitri sampai geleng-geleng kepala. Masalahnya Mahesa berantem di sekolah tidak sekali dua kali lagi, sudah puluhan kali jika diakumulasikan dari kelas satu. Entahlah Mahesa rasanya tidak enak kalau tidak memukuli orang sekali saja. Lemahnya pengendalian emosi Mahesa yang membuat cowok itu jadi tukang pukul. "Apa pun alasan kamu, tetap saja cara kamu itu salah. Semua masalah gak bisa main asal pukul saja, Mahesa," ujar Bu Fitri. "Kalau bisa diomongin baik-baik juga gak bakal saya main pukul," jawab Mahesa membela diri. Bu Fitri menghela nafasnya panjang. Tak mengerti lagi dengan anak muridnya satu ini. Bebal, tidak makan aturan. Di hukum berulang kali juga akan sama saja. Dari hukuman ringan, sedang, hingga berat semua telah Bu Fitri berikan namun tetap saja Mahesa tidak pernah berubah. "Mahesa, di mata semua guru kamu sudah buruk. Kalau tidak ada saya, mungkin kamu sudah didrop out dari sekolah. Kasus kamu itu sudah banyak. Jadi saya mohon sama kamu, lebih jaga emosi. Kamu sudah kelas tiga, kalau kamu sampai didrop out, kamu sendiri yang akan susah. Paham?" "Jadi saya harus diam saja saat ada cewek di tindas? Kalau cewek itu sampai diapa-apain yang kena juga sekolah kan, Bu?" kata Mahesa. Bu Fitri mengangguk. "Iya, saya paham maksud kamu itu baik. Saya juga paham jika kamu sebenernya anak yang baik. Tapi pandangan setiap orang itu beda-beda Mahesa." "Saya sudah membantu kamu sejauh ini, saya harap kamu juga bisa bekerja sama dengan baik sama saya," sambung Bu Fitri sambil menandatangi surat panggilan orang tua untuk Mahesa. "Sampaikan sama orangtua kamu, dan usahakan ada salah satu dari mereka yang datang," kata Bu Fitri memberikan surat panggilan itu kepada Mahesa. Mahesa tersenyum miring menatap surat itu. "Kadang saya heran, ke mana orang tau kamu setiap dipanggil tidak pernah datang. Entah kamu yang tidak menyampaikan panggilannya atau emang mereka yang tidak peduli." Tidak berniat membalas ucapan Bu Fitri, Mahesa langsung berdiri dari duduknya. "Sudah boleh keluar kan Bu?" tanyanya. Bu Fitri mengangguk. "Iya silahkan, pintunya nggak pindah kok." "Permisi." Mahesa pergi tak lupa membawa surat panggilan itu, namun belum ada satu menit di luar, surat itu sudah berakhir ke dalam tong sampah. Teman-teman Mahesa yang melihat itu hanya bisa diam. Hingga Mahesa yang akhirnya menatap mereka. "Pa kabar bos?" celetuk Rizal lawak sambil nyengir dan melambaikan tangan kanannya. Sekali lagi Mahesa sama sekali tidak tertarik untuk bercanda. Cowok dengan dua kancing atas kemeja terbuka itu memilih untuk melenggang pergi. Bukan mengarah ke koridor menuju kelas, melainkan ke belakang sekolah. Bisa ditebak Mahesa akan ke mana. Pasti bolos. Sudah dibilang kan, kalau Mahesa itu tidak pernah kapok, tidak pernah bisa makan aturan. Mau menasehati Mahesa hingga mulut berbusa pun akan sama saja. Hati kalau sudah keras seperti itu akan sulit untuk melunakkannya. "Ikan hiu main trampolin, Yah ditinggalin." Kening Azka mengerut samar, menatap Rizal geram. "Sejarah dari mana ikan hiu bisa main trampolin? Lo pikir di dunia laut ada pelatihan lompat indah? Makin ngawur aja pantun lo lama-lama," ujar Azka. "Mumpung masih ada kesempatan bernafas, seenggaknya biarin temen lo ini bahagia, Ka," balas Laskar. "Masalahnya kebahagian nih anak buat pusing temennya. Yang ada dia bahagia kita yang stres." "Ck, ribut mulu heran. Samperin tuh bos lo!" kata Kaylendra menengahi ketiga temannya itu, lalu langsung berjalan begitu saja meninggalkan mereka bertiga untuk menyusul Mahesa. Laskar, Azka, dan Rizal saling tatap sejenak hingga suara teriakan kencang berhasil membuat mereka bersamaan menegang. "KENAPA KALIAN BERTIGA BERDIRI DI SINI? BUKANNYA MASUK KELAS BELAJAR MALAH KELUYURAN!" Sontak mereka memutar kepala, terlihat Bu Fitri yang sudah berkacak pinggang dengan raut wajah marah. Matanya pun melotot menyeramkan. "Ampun Bu, ini kita mau ke kelas kok," ujar Laskar dengan suara bergetar. "KALAU BEGITU CEPAT!" Hanya butuh sepersekian detik. Ketiga cowok itu langsung berlarian pergi dari depan ruang BK. Bu Fitri kembali dibuat pusing oleh tingkah anak-anak itu. Kenapa bisa ada modelan seperti mereka yang setiap hari selalu membuat naik pitam. "Nyuwun pengapurane Gusti Pangeran, sampeyan paringi kulo sabar ...," lirih Bu Fitri berbahasa jawa sembari mengelus d**a. **** "Lin, Nggi, gue duluan ya? Bye!" Gisel berpamitan kepada Selina dan Anggi. Gadis itu melambaikan tangannya sambil masuk ke dalam mobil jemputannya. "Hati-hati, Sel!" teriak Anggi. Setelah mobil Gisel melaju pergi meninggalkan sekolah, tinggal lah Selina dan Anggi berdua. Keduanya menunggu jemputan masing-masing. Anggi yang menunggu Laksar pacarnya sedangkan Selina yang menunggu taksi pesanannya. Hingga tak lama, terdengar suara derum motor yang saling bersahutan. Itu adalah kelima pentolan sekolah. Siapa lagi kalau bukan Mahesa dan teman-temannya. Mereka ramean menjemput Anggi di depan gerbang. Pasti mereka baru saja bolos. Sungguh tidak ada takut-takutnya. Kelima motor besar itu berhenti tepat di depan Anggi dan Selina. Kedatangan mereka tentu saja membuat kaum hawa lainnya merasa iri. Mereka ingin menjadi Anggi, iya karena hanya gadis itu yang bisa dekat dan interaksi secara langsung dengan kelima anggota inti Titan. Anggi juga sudah seperti Ratu dalam geng motor tersebut. "Ikan hiu pakai batik, Udah nunggu lama ya cantik?" lagi-lagi Rizal berpantun. Katanya biar memikat, seperti satu tokoh dalam buku fiksi yang sering dia dengar dari cerita saudara-saudaranya. Mendengar pantun Rizal jelas orang mana yang tidak kesal. Azka salah satunya, cowok itu sampai menghela nafasnya panjang lalu menatap Rizal yang ada di sebelahnya dengan datar. "Jali ganteng, coba pikir gimana caranya hiu pakai batik?" tanya Azka. Laskar tertawa sambil geleng-geleng kepala. "Ikan hiunya mau pergi kondangan kali, Ka," sahut cowok itu. "Jal, lain kali kalau mau ngepantun yang masuk akal dikit. Jangan cacat logika gini," kata Anggi angkat suara. "Yo jenenge kan inyong baru belajar," jawab Rizal dengan nada ngapak. "Lo orang mana sih sebenernya Jal? Kenapa bahasa lo jadi jawa ngapak gitu? Lo Surabaya kan bukan Tegal?" tanya Mahesa bingung. "Aing teh campuran orangnya," jawab Rizal kali ini dengan gado-gado bahasa sunda. "Udahlah g****k yang ada lama-lama ngeladenin lo, Jal." Azka memilih kembali memakai helmnya karena kesal. Laskar pun langsung menatap Anggi. "Ayo pulang," ajaknya. Anggi mengangguk namun dia melirik Selina sekilas. Temannya itu sejak tadi terus membuang pandangan. Saat mereka semua tertawa pun Selina hanya diam seperti tak nyaman berada di antara mereka. Melihat itu sepertinya Anggi tau apa masalahnya. Anggi lalu menoleh ke arah berlawanan dan benar saja. Mahesa ternyata sudah curi-curi pandangan kepada Selina. Satu ide langsung muncul di kepala Anggi. "Oh ya Kar, Selina bareng kita aja boleh nggak? Kasihan kalau suruh nunggu sendirian di sini," ujar Anggi sontak membuat kedua bola mata Selina membulat sempurna. "Nggak! Nggak usah, gue nunggu taksi aja," tolak Selina dengan cepat. "Bener juga kata Anggi mending bareng sama kita aja. Searah juga kan sama rumah Anggi?" ucap Azka setelah membuka kaca helmnya. Anggi mengangguk. "Iya searah kok, beda g**g doang. Bareng aja ya Lin." "Enggak! Udah lo semua pulang aja duluan," Selina masih menolak. Salah satu alasannya tidak mau ikut bersama mereka adalah karena ada Mahesa di sana, entah kenapa Selina tidak nyaman saja dengan cowok itu. "Neng, udah sama kita-kita aja, hemat uang jajan daripada buat naik taksi kan? Mending sama kita gratis. Untung lagi kalau pilih dibonceng Mahesa, minta makan sate dulu juga bakalan langsung diturutin," kata Rizal asal jeplak. "Ayo Lin, pulang sama mereka aja. Lo mau dibonceng siapa?" tanya Anggi dan sekali lagi Selina menggeleng. "Naik taksi aja Nggi." "Ck, buruan udah sini bareng gue!" celetuk Mahesa tiba-tiba yang refleks membuat keempat temannya plus Anggi dan Selina menatapnya tidak percaya. Mahesa membalas semua tatapan itu secara bergantian dengan sebelah alis terangkat. "Kenapa lo semua lihatin gue kayak gitu?" tanyanya ketus. "Uhuk ... Uhuk ..." Anggi berpura-pura batuk sambil berjalan mendekati Laksar. "Sayang, kok tenggorokan aku tiba-tiba kering ya? Buruan pulang yuk aku haus." Seakan paham dengan kode yang kedua bucin itu berikan, Azka dan Rizal pun melakukan hal yang sama. Batuk-batuk udah kayak kena TBC. Yang normal hanyalah Kaylendra, cowok itu langsung menyalakan kembali mesin motornya dan langsung pergi begitu saja. Melihat Kaylendra, Anggi jadi tak habis pikir, dia lantas naik ke jok belakang motor Laskar. "Lin, duluan ya? Haus banget nggak tahan," ujar Anggi kepada Selina. "Yaudah sana puas-puasin minum!" kesal Selina. Setelah itu Selina melihat ketiga motor itu pergi secara bergantian. Hanya Mahesa yang masih tetap diam. Selina memutar kedua bola matanya jengah menatap Mahesa. Dia menghela nafas dengan suara yang keras. "Nungguin apa lo masih di sini?" tanya Selina akhirnya kepada Mahesa. "Naik," kata Mahesa sambil melirik tempat kosong di belakangnya. "Nggak, makasih gue bisa pulang sendiri," tolak Selina lagi. "Gue bilang naik!" "Eng—gak! "Batu banget sih?" sentak Mahesa. "Dih, gak ngaca? Lo juga batu! Udah sana gue bisa pulang sendiri!" "Yaudah." Selina yang awalnya memandang ke arah lain seketika langsung mengalihkan tatapannya menjadi mengarah ke Mahesa. Tatapan mereka pun mau tak mau harus saling bertemu, namun dengan cepat Selina kembali berpaling hingga kemudian dia mendengar suara derum motor yang menyala dan selang beberapa saat derum motor itu semakin terdengar samar-samar menghilang. Dengan ragu Selina kembali menolehkan kepalanya, benar saja Mahesa sudah melaju pergi meninggalnya. Tapi Selina peduli apa? Toh dia sudah pesan taksi online. **** Motor sport hitam milik Mahesa berhasil terparkir sempurna di halaman rumah. Pukul satu dini hari Mahesa baru pulang, dengan seragam sekolah yang masih melekat pada tubuhnya. Tampilan Mahesa sudah sangat berantakan, ditambah lagi lebam di beberapa bagian wajah akibat berkelahi dengan preman di jalan tadi. Mahesa bisa menebak, mungkin Papanya akan marah besar setelah ini. Tapi persetan, Mahesa sama sekali tidak peduli. Ceklek! Pintu utama rumah itu terbuka, tanpa ada rasa takut sedikit pun Mahesa melangkah masuk, benar saja, cowok itu tersenyum miring ketika melihat Papanya sudah menunggu di sofa ruang tengah. Melihat itu Mahesa hanya diam, hingga Irwan akhirnya memutar kepala menatapnya. Tak menunggu lama, Irwan langsung berdiri, darah Irwan seakan mendidih, dengan sekali tarikan Irwan langsung berhasil membuat punggung Mahesa membentur tembok dengan cukup kencang. Irwan juga sampai mencekik leher Mahesa karena saking kuatnya cengkeraman Irwan terhadap kerah kemeja cowok itu. "Kamu benar-benar nantangin Papa, Mahesa!" ujar Irwan penuh penekanan. Bahkan wajah Mahesa yang sudah memerah serta nafas yang mulai pendek-pendek pun tetap tak membuat emosi Irwan mereda. "Papa keras sama kamu supaya kamu jadi anak yang berguna! Nggak cuma numpang nama di kartu keluarga dan malu-maluin keluarga!" bentak Irwan malah semakin menguatkan cengkeramannya. Demi apa pun rasanya nyawa Mahesa sudah berada di ujung sekarang. Cowok itu sudah memejamkan mata seolah siap jika sewaktu-waktu malaikat mencabut nyawanya. Namun yang terjadi justru sebaliknya, Irwan tiba-tiba melepaskan cengkeraman itu membuat Mahesa yang telah lemas kehabisan napas langsung terjatuh ke lantai. Mahesa terbatuk-batuk di sana. "Kamu dengar anak kurang ajar, ini peringatan terkahir buat kamu. Kalau kamu masih kayak gini, lihat saja Papa akan benar-benar usir kamu dan Mama penyakitan kamu itu dari rumah ini. PAHAM?!" Sambil terus berusaha mengumpulkan oksigen dalam tubuhnya, Mahesa mencoba berdiri. Dia membalas tatapan tajam Irwan. "Lebih kurang ajar mana, laki-laki yang sekarang pulang tengah malam dengan banyak luka demi menyelamatkan seorang perempuan daripada laki-laki yang selalu rapi dan berwibawa tetapi selalu menyakiti perempuan?" Perkataan Mahesa membuat kedua tangan Irwan kembali mengepal. Melihat perubahan raut wajah Papanya itu, Mahesa lalu terkekeh pelan. "Kalau saja Mahesa bisa, Mahesa sudah hajar Papa tiap kali Papa nyakitin Mama, tapi Mahesa nggak pernah lakuin semua itu karena Mahesa masih menganggap Papa sebagai orang tua Mahesa!" "CUKUP!" Bugh! Entah apa yang sebenarnya cowok itu rasakan. Mendapatkan pukulan keras dari Irwan pada tulang hidungnya malah membuat Mahesa tertawa. Lalu perlahan sebuah cairan kental berwarna merah pekat mengalir begitu saja dari kedua lubang hidungnya. Mahesa mengangkat pandangannya, menatap Irwan dengan d**a yang sudah naik turun. "Terima kasih Pa atas pukulannya, sekarang Mahesa lebih yakin, kalau Papa sebenarnya nggak pernah sayang kan sama Mahesa?" "Jaga omongan kamu, kalau Papa nggak sayang, Papa sudah telantarin kamu dari dulu!" balas Irwan masih dengan nada tinggi. "Kalau sayang nggak mungkin Papa tega main tangan sama Mahesa!" "Kamu dengar Mahesa." Telunjuk Irwan terangkat untuk Mahesa. "Papa lakuin semua ini karena Papa sudah tidak tau lagi harus bilangin kamu dengan cara apa." Mahesa menyeringai. "Api dibalas dengan api ya kebakaran, Pa."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD