"Anjrit pelan Jal, sakit b**o!" Laskar meringis kesakitan kala Rizal menyentuhkan kompresan es batu di pipi lebam Laskar.
"Badan doang gede Kar, Kar, kena bogem dikit langsung aduh-aduh. Lo lihat si Kay, meski kecil gitu tuh anak lebih banyak numbangin anak-anak Vendo dari pada lo!" sahut Mahesa yang lewat di depan Laskar dan Rizal.
Kay yang mendengar namanya disebut hanya melihat sekilas lalu memilih melanjutkan untuk membersihkan luka-lukanya.
"Yang lain aman semua kan?" tanya Mahesa memperhatikan setiap anggotanya.
Semua anak-anak Titan sama-sama mengacungkan jempol pertanda mereka baik-baik saja. Mahesa mengangguk lalu mengambil duduk di sebelah Azka yang sibuk membersihkan darah dari keningnya. Azka sempat terkena goresan pisau lawan saat berkelahi tadi.
"Kalau nggak kuat bawa ke rumah sakit aja," ujar Mahesa membuat Azka berhenti sejenak lalu menatapnya.
"Cuma luka kecil bos, amanlah!" jawab Azka. "Akh!"
Mahesa hanya geleng-geleng kepala. Dia lalu menyandarkan punggungnya ke tembok, mengambil ponsel dan menyalakannya. Benar saja, sudah banyak panggilan masuk ke dalam ponsel cowok itu.
"Enak banget jadi bos, muka udah ganteng, penuh lebam pun tetep ganteng. Lah gue apa kabar," celetuk Rizal.
"Jangan bilang dari tadi lo lihatin Mahesa?" tanya Laskar.
"Dikit."
"Serem nih anak lama-lama, awas aja Sa, pulang entar dijadiin kekasih gelap lo sama Jali," balas Azka.
"Udah jangan banyak omong, benerin dulu tuh luka lo. Kalau udah beres baru dah mau lo ngomong sampai berbusa juga gue jabanin," kata Rizal.
"Ka, butuh jasa jahit luka nggak?" tanya Laskar tiba-tiba.
Sontak saja Mahesa, Kay, dan Rizal menatap Laskar takut. Apalagi Azka yang sudah menelan ludahnya secara susah payah.
"Mau jahit pakai apaan lo?" tanya Mahesa.
"Tuh benang layangan banyak di rumah gue. Mau warna apa tinggal bilang," jawab Laskar asal yang langsung mendapat toyoran dari Rizal.
"Aw, sakit Jali! Demen banget dah lo toyor kepala gue. Makin pinter nanti!" protes Laskar.
"Makin d***o iya!" balas Kay.
Setelah itu Kay langsung berdiri dari duduknya. Cowok itu juga kembali mengenakan jaketnya.
"Mau ke mana Kay?" tanya Mahesa.
"Cabut," jawab Kay singkat.
"Bareng yang lain aja, bahaya kalau jalan sendiri," kata Mahesa.
"Cekilah bos gue satu ini perhatian banget dah," sahut Rizal.
"Sama temen aja perhatian setengah mampus giaman sama pacar entar."
"HIYAA ...." balas Azka dan Rizal bersamaan.
Mahesa hanya bisa geleng-geleng kepala. Cowok itu juga ikut mengambil jaket dan kunci motornya.
"Cabut juga bos?" tanya Laskar.
"Hm, mau tidur tenang gue di rumah."
"Yaudah balik bareng-barenglah kita biar aman," ujar Laskar memberi saran.
Mahesa mengangguk. "Boleh, ayolah yang mau balik."
"Gue di sini aja Sa, pala gue pusing, ntar malah pingsan di jalan lagi gue-nya," kata Azka.
Mahesa menatap Azka kasihan. "Mau sama siapa lo di sini? Kalau balik ayo gue boncengin, biar motor lo entar siapa gitu yang bawain."
"Enggaklah Sa, sampai rumah yang ada malah kena amuk entar."
"Gue nggak balik juga deh," celetuk Rizal.
"Napa juga lo, Jal?" tanya Laskar.
"Mau temenin Azka lah! Kasihan anak orang masih muda. Kalau nanti diem-diem dinikahin demit di mari kan nggak lucu, Kar," jawab Rizal.
"Yaudah siapa lagi yang mau tetep di basecamp?" Mahesa bertanya lantang kepada teman-temannya yang lain.
"Gue tinggal Bang," balas Moreo mengangkat tangannya.
"Gue juga nggak balik lah, mau habisin WI-FI di sini."
"Enak aja! Lawan gue dulu sini!" sentak Laskar tak terima.
"Kalem Kar, canda gue."
"Yaudah, yang balik bareng gue ayo, yang tetep mau di basecamp juga silahkan. Ntar kalau ada apa-apa jangan sungkan hubungi gue atau Laskar," kata Mahesa tegas.
Laskar malah menunjukkan ekspresi kagetnya. "Kenapa gue juga Sa? Lo lupa gue kalau tidur udah kayak mau simulasi mati?"
"Hubungi gue aja entar," sahut Kay tiba-tiba dengan suara dinginnya.
Mahesa langsung mantap Laskar sinis. "Lama-lama gue turunin jabatan juga lo, Kar," katanya pada Laskar.
"Gas Sa! Gue dukung Laskar turun jabatan!" balas Rizal.
"Turunkan jabatan Laskar! Turunkan jabatan Laksar!"
"Semangat banget, Jal?" tanya Azka.
"Yoilah! Kalau Laskar turun jabatan nanti biar gue mencalonkan diri jadi wakil Titan. Bweh keren nggak tuh! Jali, si wakil Titan!"
"s***p!" umpat Azka kesal.
Setelahnya mereka langsung bersalaman satu sama lain. Sebagian dari mereka memilih untuk tetap tinggal di basecamp, dan sisanya pulang bersamaan guna menjaga satu sama lain.
Mereka selalu seperti itu lepas tawuran. Masalahnya mereka yang menang, dan semua itu bisa saja membuat geng lawan berambisi untuk melakukan balas dendam. Pernah kejadian satu bulan yang lalu. Setelah menangnya Mahesa dalam balapan liar, ada salah satu anak Titan yang nekat pulang sendirian, alhasil dia langsung terkapar di rumah sakit karena dikeroyok.
Untuk mengantisipasi hal itu terjadi maka Mahesa selalu menekankan pentingnya kebersamaan kepada anggotanya. Mereka datang bersama-sama, maka pulang pun demikian. Biasanya Mahesa yang pulang paling akhir karena harus memastikan jika teman-temannya benar-benar aman.
Bagi Mahesa, semua yang ada di Titan adalah keluarga. Titan sudah jadi rumah kedua untuk Mahesa.
****
Ceklek! Perlahan Mahesa membuka pintu utama rumahnya. Definisi seperti maling rumah sendiri. Dengan menghadap-endap cowok itu berjalan ke dalam. Ruangan yang gelap sedikit membuat Mahesa lega, atau justru tidak.
"Dari mana aja kamu jam segini baru pulang?"
Sontak Mahesa langsung menegang. Perlahan dia menengokkan kepalanya ke belakang. Terlihat Irwan Pranata, ayahnya sudah berdiri di ambang pintu kamar. Wajah tegas Irwan membuat pria itu terlihat masih cukup menly dengan umur yang sudah menginjak kepala empat serta sedikit kerutan di wajahnya.
"Pergi pagi pulang malem! Udah kayak anak urakan!" bentak Irwan tepat di depan wajah Mahesa.
Melihat banyak luka di wajah Mahesa membuat tangan Irwan terangkat dan yang Mahesa rasakan selanjutnya adalah tamparan keras dari orang yang selama ini dia panggil dengan sebutan Papa itu.
Plak!
"Tawuran lagi iya? Sampai kapan kamu mau jadi kayak gini, Mahesa!"
"Kamu tahu? PAPA CAPEK-CAPEK KERJA BUAT KAMU TAPI INI BALASAN YANG PAPA DAPAT? Papa nggak butuh kamu jadi cowok sok jagoan, numbangin banyak orang! Nggak butuh! Papa cuma mau kamu jadi anak yang berguna! Bukan malu-maluin keluarga kayak gini!"
Mahesa menunduk menerima semua perkataan ayahnya. Namun, tangan Mahesa mengepal, entah apa yang tengah Mahesa lawan dalam dirinya.
"Papa mau kamu keluar dari geng motor nggak jelas kamu itu!" tukas Irwan penuh penekanan.
Lantas Mahesa langsung mengangkat kepalanya. Membalas tatapan Irwan.
"Sampai kapan pun Mahesa tetap nggak mau ninggalin Titan! Papa nggak tau apa-apa tentang kumpulan Mahesa!" balas Mahesa.
Plak! Satu lagi tamparan kuat mengenai pipi kiri Mahesa. Luka di sudut bibir cowok itu yang telah mengering kini kembali mengeluarkan darah segar.
"Apa yang kamu banggakan dari sekedar kumpulan pelajar tanpa moral itu? APA!"
"Nggak ada yang bisa kamu dapatkan di sana selain pulang dengan luka memar kayak gini," tambah Irwan.
"Tanpa Papa tahu ada banyak hal yang aku dapatkan, semua yang nggak ada di rumah ini, bisa aku dapat di sana. Termasuk kasih sayang yang telah lama hilang."
Tangan Irwan terangkat hendak kembali memukul wajah Mahesa, namun saat melihat wajah Mahesa yang sudah banyak luka membuat Irwan kembali menurunkan tangannya.
"Kenapa nggak jadi? Ayo gampar Mahesa lagi! Itukan yang selalu Papa ingin lakukan?"
"Kalau besok kamu masih kayak gini lagi? Papa nggak akan segan buat hajar kamu!" peringati Irwan dengan dingin.
Setelah itu Irwan langsung melenggang pergi dari hadapan Mahesa, meninggalkan Mahesa sendiri di sana.
"AKH!"
****
Brum!
Brum!
Semua mata terdiam memandang tiap motor yang baru saja datang. Dari motornya saja sudah bisa ditebak siapa mereka.
"Wagelaseh! Hebat bener gue nyelip tadi. Udah kayak pembalap internasional belum?" tanya Rizal tepat setelah melepas helmnya.
"Halah! Belum pernah aja lo nyelip bawah kontainer!" balas Laskar.
"Metong dong say?"
"Jangan sering-sering kayak gitu lo, Jal! Bahaya, nyawa nggak ada yang tau sampai kapan berhenti masa berlakunya," ujar Mahesa.
"Bener! Bisa aja pas pulang entar lo kaku di jalan kan nggak ada yang tau," balas Laskar.
"Serem banget ya tuh mulut."
"Lo tadi balik jam berapa, Ka? Udah seger aja padahal kemarin udah teler banget," kata Mahesa kepada Azka yang sudah terlihat lebih fresh dari pada kemarin setelah tawuran. Sebuah plester pun sudah terpasang di kening Azka.
"Subuh tadi balik bareng Jali sama yang lain. Lumayan enakan habis buat tidur," jawab Azka.
"WI-FI aman kan, Ka?" tanya Laskar.
"Aman, agak lemot dikit aja tadi."
"Anjir! Lo buat streaming apaan aja woi WI-FI gue!" ucap Laskar.
"Yaelah Kar, dari kemarin tuh WI-FI udah lemot kali. Waktunya isi ulang tuh!" balas Mahesa.
"Kaya doang WI-FI masih itung-itungan," sahut Kay.
Laskar kicep di tempatnya. Cowok itu hanya bisa tersenyum tipis. "Iyalah iya ntar gue isiin! Kurang apa coba gue sama kalian? Kurang apa?"
"Alay! Dahlah cabut kelas yok!" ajak Azka lalu dikuti yang lainnya.
Mereka berlima berjalan menyusuri koridor sambil sesekali tertawa karena candaan Rizal. Tawa yang terlihat tanpa beban membuat siapa pun akan ikut tersenyum saat melihatnya. Para cewek pun serasa tak mau memalingkan tatapannya dari deretan wajah tampan itu.
Dari koridor yang sama namun dari arah yang berlawanan. Terlihat seorang cewek dengan paras cantik bertubuh ideal berjalan ke arah mereka berlima. Semakin dekat hingga kemudian mereka berpapasan. Mahesa dan keempat temannya pun membuka jalan untuk cewek itu.
"Anggi sayang, bweh makin cakep aja pacar gue satu ini," celetuk Laskar ketika cewek yang ternyata tengah lewat itu adalah Anggi, kekasih Laskar.
Anggi yang menjadi pusat perhatian Mahesa dan yang lainnya itu lantas tersipu malu. Gadis itu lalu mencubit lengan Laskar kuat membuat Laskar mengaduh kesakitan.
"Aw beb sakit, seneng banget KDRT sama aku," kata Laskar.
Mahesa yang melihatnya lalu memutar kedua bola matanya malas. "Badan doang gede, tapi sama cewek takut!" celetuk Mahesa.
"Beda cerita dong bos, cewek kan harus disayang, iya kan, Nggi?" balas Laskar.
"Sayang sih sayang, tapi lihat keadaan juga Kar. Gitu-gitu tanpa lo tahu bos iri sama lo. Dia kan jomblo," ujar Rizal.
Pletak! Refleks Azka menyentil jidat Rizal. "Rem tuh omongan. Digebukin Mahesa baru tau rasa lo!" katanya.
"Udahlah cabut! Biarin Laskar ngebucin," ucap Mahesa.
Keempat cowok itu lalu melangkah pergi meninggalkan Laskar bersama pacarnya. Kepergian keempat teman Laskar menimbulkan tanya di kepala Anggi, masalahnya tidak biasanya mereka seperti itu.
"Paketu kenapa dah tumbenan sensi gitu sama kita?" tanya Anggi.
Laskar hanya menaikkan kedua bahunya acuh. Tangannya lalu bergerak menyelip di pinggang Anggi. "Lagi datang bulan kayaknya. Udah ngapain mikirin si jones Mahesa."
"Hati-hati tuh mulut kedengaran orangnya mampus kamu habis di tangan ketua sendiri," tegur Anggi.
"Iya sayang ... yaudah kelas yuk aku antar kamu," ujar Laskar diangguki Anggi. Mereka lalu berjalan berdua menuju kelas Anggi di koridor Bahasa.
****
Kantin SMA Garuda kini sedang ramai-ramainya. Dari kelas sepuluh hingga kelas dua belas berkumpul menjadi satu. Meja paling pojok sudah menjadi hak paten milik anak-anak Titan, tak seorang pun ada yang berani menempati meja tersebut, saat ada atau tidak ada orangnya, termasuk Selina, Anggi, dan Gisel. Meski Anggi adalah pacar dari salah satu anggota Titan namun tak pernah terlintas dalam benak Anggi untuk mengajak teman-temannya duduk di sana, kalau pun kantin penuh, kecuali Laskar sendiri yang mengajaknya untuk gabung.
Saat ini Selina, Anggi, dan Gisel tengah memesan bakso di penjual yang ada di dekat pintu masuk kantin. Selina dan Anggi yang memesan sementara Gisel mencari tempat duduk. Mata Gisel menyapu seisi kantin, hingga dia melihat ada satu tempat kosong.
"Guys! Gue udah nemu tempat, ke sana dulu ya ntar kalian nyusul biar nggak didahului orang!" ujar Gisel yang langsung berlari pergi.
Selina dan Anggi hanya bisa geleng-geleng kepala. "Temen lo tuh," kata Selina kepada Anggi.
"Najong! Dia kan sahabat lo dari TK kalau lo lupa," balas Anggi.
"Sahabat karena terpaksa."
Setelahnya kedua cewek itu sama-sama tertawa ringan. Percayalah, semua perkataan tadi hanyalah candaan semata. Nyatanya mereka bertiga telah terbiasa bersama sejak duduk di bangku SMP hingga sekarang. Hokinya lagi mereka selalu mendapat kelas yang sama.
"Neng, ini baksonya tiga sama es jeruknya tiga. Semuanya empat puluh lima ribu, Neng."
Sontak Selina langsung memutar kepalanya lalu mengambil alih nampan berisikan bakso yang disodorkan padanya.
"Makasih Mbak. Nggi, bayar gih," kata Selina.
"Kok gue?" tanya Anggi.
"Ah elah ntar gue ganti takut amat lo dasar kere," maki Selina membuat Anggi berdecak namun tetap membayar baksonya.
Setelah membayar, mereka lalu berjalan mencari keberadaan Gisel. Anggi sampai harus berjinjit-jinjit untuk bisa melihat di mana temannya itu duduk.
"Tuh anak nyempil di mana dah? Susah bener dicarinya," gerutu Anggi.
"Nah! Itu dia orangnya. Ayo, Lin!" Anggi menarik begitu saja lengan Selina membuat kuah bakso dan es mereka yang ada di atas nampan bergoyang.
"Kalem dong Nggi, tumpah nih!" protes Selina.
Bruk!
Pyar!
Benar saja, belum juga Selina menutup mulut, semuanya langsung kejadian. Suara ribut dari pecahan mangkok dan gelas sukses menarik perhatian semua pengunjung kantin.
Mata Selina membulat sempurna, begitu juga mulutnya yang sudah terbuka lebar. Matany menatap nyalang pecahan beling di lantai tersebut.
"Ya, Lin gimana dong," lirih Anggi takut.
"Astaga! Selina! Anggi!" pekik Gisel menghampiri kedua temannya. Lihatlah, bahkan Gisel sampai tau di mana letak kejadian karena saking ramainya orang yang mengerumuni Selina dan Anggi.
"Lo punya mata nggak sih!"
Bentakan seseorang dengan suara baritonnya berhasil membuat tubuh Selina menegang. Selina mengangkat kepalanya, terlihat seorang cowok dengan dua kancing atas kemeja terbuka, dasi yang dikalungkan sembarangan, dan juga rambut yang acak-acakan.
"Ma—Mahesa," gumam Selina.
"Mahesa! Mahesa maafin temen gue ya? Semua ini salah gue yang asal tarik Selina." Anggi berucap kepada Mahesa berhadap Mahesa akan memaafkan mereka.
Namun sepertinya orang yang Selina tabrak itu tak tertarik dengan Anggi. Tatapannya tetap tajam kepada Selina.
"Lo lihat seragam gue? Kotor! Lain kali kalau jalan tuh pakai mata! Bukan cuma ngandelin mata kaki!" bentak Mahesa penuh penekanan membuat Selina harus sesekali menutup matanya.
"Anggi, udah jangan khawatir, kamu dan Selina nggak akan kenapa-kenapa kok. Mahesa emang lagi sensi aja sejak tadi pagi," kata Laksar kepada Anggi.
Anggi mengangguk paham. "Tolong mintain maaf aku sama Selina ke Mahesa ya, Kar?"
"Pasti honey."
Sementara itu Azka dan Rizal yang ada di sana hanya bisa menghela nafas kasar. Melihat garangnya ketua Titan dan juga bucinnya wakil Titan.
"Heran, pemegang jabatan tertinggi di Titan nggak ada yang pernah bener," celetuk Rizal.
"Jali! Jangan sembarang kalau ngomong," tegur Azka.
Kay sebagai orang paling normal pun langsung mendekati Mahesa. Dia menepuk pundak Mahesa membuat Mahesa menatapnya.
"Udah cuma tumpahan bakso. Hikmahnya lo punya alasan buat bolos hari ini," ujar Kay.
Mahesa terdiam, matanya kembali menatap Selina tajam. Cowok itu maju selangkah mendekati Selina.
"Selamat lo kali ini!" sentak Mahesa sambil menunjuk Selina tepat di wajahnya.
"Cabut!"
Perintah itu tak bisa dibantah. Mahesa diikuti teman-temannya yang lain pergi dari hadapan Selina. Mereka membuka jalan dari kerumunan dengan kasar. Sorakan pun bergemuruh mengiringi perginya Titan dari kantin.
"Lin, udah, kata Laskar tadi Mahesa cuma lagi sensi aja kok. Tenang ya?" ucap Anggi menenangkan Selina.
Setelahnya terdengar hembusan nafas kasar dari Selina. "Lumayanlah senam jantung siang-siang."
"Terus basko kita gimana? Yaelah padahal udah bayangin makan bakso hari ini," celetuk Gisel yang langsung mendapatkan toyoran dari Anggi.
"Kasar banget lo Nggi!"
"Lagian, udah tau temen habis kena amuk macan kelaparan lo masih aja bercanda. Masih mending Mahesa nggak ngapa-ngapain kita tadi," kata Anggi memarahi Gisel.
"Ck, yaudah deh. Kelas yuk?"
****