26. Turun ke jalanan

1664 Words
Mungkin banyak orang yang bilang, buat apa sih tawuran? Buat apa sih berantem nggak jelas? Buat apa saling pukul dengan banyak masa yang bahkan bisa membahayakan diri sendiri? Apa yang didapat? Uang? Pujian? Atau apa? Tidak ada selain kerugian masing-masing. Mahesa memang tidak menyangkal semua itu. Namun, taukah mereka? Semua orang berpikir demikian karena tidak paham apa artinya pertemanan. Bagi Mahesa pertemanan, sahabat, solidaritas, semua itu harga mati. Apa pun akan Mahesa lakukan, jika ada satu saja orang berani mencelakai atau melukai sahabatnya. Mahesa akan mencari orang itu, dan melakukan apa yang orang itu lakukan terhadap sahabatnya itu. Tengah malam ini, Mahesa kembali menunjukkan taringnya. Mahesa tidak suka diusik ketenangannya. Mahesa tidak suka jika ada yang mempermainkannya. Hari ini, Mahesa dipancing secara paksa untuk keluar dan Mahesa meladeninya. Pantang bagi Mahesa untuk mundur jika sudah seperti ini. Siang tadi Mahesa mendapatkan informasi dari Laskar, jika ada salah satu anggota yang dikeroyok di jalan saat pulang sekolah, dan sekarang temannya itu masuk rumah sakit dengan luka yang cukup parah. Mahesa dan anggota inti lainnya sudah melihat sendiri keadaannya bagaimana, setelah bertanya-tanya, ternyata Vendo pelakunya. Geng itu, kumpulan itu, setelah kalah berkali-kali rupanya tetap tidak kapok juga. Mahesa tersenyum miring, ditatapnya dengan tajam kumpulan masa di hadapannya yang sudah membentang memenuhi lebar jalan. "Satu dari kami terluka, semua dari kalian dalam bahaya." Suara berat dan rendah Mahesa terdengar sangat mengerikan. Mahesa tidak sendiri. Anggotanya tidak kalah banyak. Selepas pulang kerja sebagai waiters restoran, Mahesa langsung datang ke basecamp guna menyusun strategi untuk balas dendam. Puluhan anggota Titan memanjang ke belakang, bersiap meratakan musuh yang ada di depan. Jarak Mahesa dengan Rafael—ketua Vendo hanya beberapa meter saja. Rafael dan anggotanya dengan jaket yang didominasi warna merah dan hitam, sementara Titan sendiri dengan jaket full hitam dengan logo sayap emas di punggung. Bedanya, milik Mahesa terdapat jahitan khusus pada d**a bagian kirinya. The Leader of Titan. Julukan dan kedudukan itu harus benar-benar Mahesa tunjukkan sekarang. "SERAAAANG!" Mahesa berteriak dengan sangat kencang, pun dengan Rafael. Kedua ketua itu membuat masing-masing anggota mereka maju menyerangg. Sekarang suasana jalanan sepi itu menjadi ramai dan sangat kacau. Adu pukul terjadi di mana-mana. Tebasan sajamn juga terdengar mengilukan di telinga. Saling serang tidak bisa lagi dihindari. Pilihan hanya ada dua, menang dengan segala risikonya, atau pulang sebagai pecundang. Kebanyakan dari pelajar itu memilih opsi yang pertama, memang dengan segala risikonya. Mereka tidak ingin sama sekali diberi julukan pecundang. Jika tidak bisa menyerang, maka mereka akan bertahan. "Gue nggak pernah main-main sama ucapan gue, Rafael. Lo udah berkali-kali mengusik ketenangan gue. Lo udah sering mancing-mancing gue. Rasanya lo nggak bisa diam jika gue tenang. Nggak masalah, malam ini, gue mau kita selesaikan semuanya," kata Mahesa dengan dingin kepada Rafael yang berdiri di depannya. Posisi Mahesa dan Rafael berada di tengah-tengah keributan. Jika bisa dilihat dari atas, mungkin Mahesa dan Rafael adalah pusatnya. Rafael tertawa sumbang. "Oke, memang ini yang gue mau. Gue mau, mengalahkan Mahesa dengan tangan gue sendiri. Gue mau rebut Titan dari tangan lo. Karena Titan, akan lebih kayak berdiri di pimpinan gue." Seringai Mahesa terlihat semakin menyeramkan. Pegangannya terhadap sebuah tongkat baseball pun semakin dia eratnya. Rahangnya mengeras dengan gigi yang bergemeletuk di dalam sana. Semua emosi Mahesa rasanya sudah berkumpul, seperti sebuah bom, hanya butuh disulut sekali, maka Mahesa akan meledak. "Loser?" "ANJING LO RAFAEL!" Bom itu akhirnya meledak hanya dengan satu kata. Mahesa langsung maju menyerang tanpa aba-aba. Cowok dengan headband di kepalanya itu menerjang layaknya singa yang sudah menemukan mangsa. Mahesa, siapa pun yang mencoba memancing cowok itu, sekalinya dapat, maka orang itu sendiri yang akan terkena kailnya. "Arrgg!!" suara erangan kesakitan dari Rafael sudah menjadi melodi yang sangat indah di telinga Mahesa. Semakin kencang erangan itu, maka semakin merdu. Mahesa dengan brutal, memukuli Rafael dengan tongkat baseball-nya. Rafael melawan dengan balok kayunya. Hingga sekali pukulan selanjutnya berhasil membuat Rafael terjatuh. Memanfaatkan kesempatan, Mahesa membuang tongkat baseball-nya sembarangan. Kemudian didudukinya tubuh Rafael. Tidak berhenti sampai di situ, Mahesa juga meraih tangan Rafael, memelintirnya dengan sangat kencang yang mana membuat Rafael meronta-ronta, merasakan jika mungkin sebentar lagi tangannya akan putus oleh Mahesa. "Sekarang bilang ampun sama gue! Bilang kalau lo nggak akan pernah lagi usik ketenangan gue, ketenangan teman-teman gue, dan jika lo melanggar, tangan ini akan lepas dari tubuhnya!" Mahesa benar-benar seperti psikopat sekarang. Lihat saja senyuman dan tatapannya, sangat mirip dengan manusia yang haus akan kesakitan korbannya. "Hah! Gue nggak takut! Ancaman lo nggak mempan Mahes—AAARGGG! BANGSATT!" Suara Rafael terpotong dengan erangan kesakitan. "Gue sudah beri lo pilihan, tapi kalau lo memilih pilihan yang salah, lo yang akan kalah." "AAARGGG!" Bugh! Serangan tiba-tiba dari arah belakang berhasil membuat Mahesa tersungkur dan melepaskan dirinya dari Rafael. Mahesa meringis sambil memegang tengkuknya yang terasa sangat sakit. Pandangan Mahesa juga seketika menggelap. Namun, Mahesa masih sadar. Jika kebanyakan orang akan langsung pingsan saat mendapat pukulan di daerah itu, tidak dengan Mahesa yang masih berupaya bangkit. "WOI BACKING MAHESA WOI! BACKING MAHESA!" Mahesa masih mendengar jelas teriakan itu, suara Laskar yang berkomando. Tepat saat Mahesa mengubah posisinya menjadi terlentang, saat itu juga Mahesa hampir kehilangan nyawanya jika sata tidak ada Rizal yang menahan serangan Rafael. Rizal menghalau Rafael yang akan menusukkan pisaunya kepada Mahesa. Cowok itu langsung bangkit, membuat Rafael berdecak kesal. Mahesa kini sudah kembali berdiri, ditemani dengan Rizal di sebelahnya, serta beberapa anggota lagi di sekitarnya. Rafael iri melihat kesolidan geng itu. Sementara dirinya sendiri? Semua yang Rafael bawa lebih fokus kepada kemenangan dan keselamatan dirinya sendiri. Tidak ada anggota yang membacking Rafael seperti anggota yang membacking Mahesa. "Lo aman bos?" tanya Rizal menyempatkan bertanya. Mahesa mengangguk dengan tatapan yang masih fokus kepada Rafael. "Gue aman, Jal. Sekarang lo bantu yang lain, biar gue selesaikan kuman satu ini." "Sendirian?" "Ya!" jawab Mahesa yakin. Rizal tidak bisa meragukan Mahesa. Dia yakin jika Mahesa sanggup. Lantas Rizal langsung meninggalkan Mahesa sendirian, dan lebih memilih untuk membantu yang lain. "Kita mulai lagi, one bye one!" kata Mahesa kepada Rafael. Dengan gaya tengilnya, Rafael meledek Mahesa dengan memutar-mutar pisaunya di tangan. "Siapa takut." Kyaa! Mahesa dan Rafael kembali saling serang. Jujur, Mahesa sedikit kewalahan melawan Rafael yang membawa s*****a tajam. Hingga saat Mahesa berhasil menepis jauh s*****a itu, barulah mereka seri saling melawan dengan tangan kosong. Wajah Mahesa ataupun Rafael sendiri sudah babak beluk. Mereka terlihat sangat kacau. Pukulan dibalas pukulan, tendang dibalas tendang, dan itulah yang sejak tadi terjadi. Bugh! Bogeman kesekian dari Mahesa, akhirnya sukses membuat Rafael kembali ambruk. Mahesa sungguh tidak mau membuang kesempatan. Dipukulinya Rafael kali ini benar-benar tanpa ampun. Dengan membabi buta, dan modal amarah dalam tubuhnya yang sudah bergejolak seperti lava, Mahesa akhirnya bisa melumpuhkan Rafael. Dugh! Tendangan kencang di wajah Rafael akhirnya berhasil membuat cowok itu tidak sadarkan diri. Seringai Mahesa tunjukkan. Rafael selalu tidak ada apa-apanya di tangan Mahesa. Rafael akan selalu kalah di olehnya. Mahesa sudah kembali berdiri, melihat maha karyanya yang sangat indah di wajah Rafael hingga tiba-tiba terdengar suara sirine mobil polisi yang semakin kama semakin kencang. Para pelajar itu seketika membubarkan dirinya masing-masing. Mereka berlarian tidak tentu arah. "CABUT! CABUT! MENCAR LANGSUNG KETEMUAN DI BASECAMP!" begitu Mahesa berteriak memberitahu teman-temannya. Setelan itu Mahesa langsung berlari menghampiri motornya. Sebelum benar-benar pergi Mahesa terlebih dahulu memastikan teman-temannya aman. Melihat mobil patroli polisi yang semakin dekat serta teman-temannya yang masih kalah kabur. Mahesa lalu nekat mengorbankan dirinya supaya temannya aman. Mahesa menaiki motornya, tanpa siapa pun sangka sebelumnya. Cowok dengan tampilan berantakan itu malah memainkan motornya telah di depan mobil polisi tersebut. Sepertinya polisi itu terkelabuhi, mereka memilih untuk mengejar Mahesa dan melupakan yang lainnya. Memangnya siapa yang akan sanggup menangkapi ratusan masa itu? Mustahil. Sekarang jadilah Mahesa kejar-kejaran dengan polisi hingga Mahesa salah memilih jalan. "Oh s**t!" Mahesa benar-benar merutuki dirinya. Berhadapan dengan g**g buntu sungguh membuat Mahesa geram. Kepala cowok itu menoleh ke belakang, para polisi sudah mengepungnya. Tamatlah riwayat Mahesa. Melawan juga tidak akan bisa. Malam itu, Mahesa tertangkap. **** "Oi, Mahesa chat gue! Mahesa chat gue anjir! Mahes—" "JALI APA NGGAK BISA LO LEBIH TENANG SEDIKIT?" Azka memarahi Rizal yang heboh. Tidak taukah Rizal jika Azka sedang fokus pada luka-lukanya? Karena bentakan Azka itu juga Rizal langsung terdiam. Sepertinya Azka memang perlu konsentrasi untuk lukanya. Baik Rizal paham, cowok itu kemudian berjalan menghampiri Laskar dan Kaylendra yang juga tengah melakukan hal yang sama. Mengobati luka-luka kecil. Dini hari ini, basecamp cukup ramai, ya syukurnya tidak ada yang benar-benar terluka parah. Mereka semua hanya luka kecil jadi bisa diobati sendiri. "Kar, Mahesa chat gue katanya kita nggak usah khawatir, bentar lagi Mahesa bakalan ditebus sama bokapnya. Mahesa juba nyuruh kita buat fokus sana anak-anak yang lain. Pastikan semuanya aman." Laskar langsung menghentikan aktivitasnya saag itu juga. Kabar dari Rizal yang lebih penting. "Terus Mahesa bilang apalagi?" tanya Laskar. Rizal kembali melihat ponselnya, membaca pesan yang Mahesa kirimkan. "Katanya, mungkin berapa hari ke depan, Mahesa nggak bisa masuk sekolah atau nemuin kita dulu," nada Rizal terdengar mengeja. Setelahnya dia menatap Laskar bertanya melalui tatapan mata tentang maksud dari pesan itu. "Kenapa Mahesa ngomong kayak gini?" gumam Rizal. "Tanyain, dia baik-baik aja kan?" suruh Laskar. Segera Rizal melakukan apa yang Laskar suruh. Di tempatnya, Kaylendra geleng-geleng kepala. "Lo berdua emang b**o apa pura-pura d***o? Mahesa bilang bentar lagi mau ditebus sama bokapnya, masa lo nggak tau artinya apa?" "Apa Kay?" Kaylendra menghela napasnya kasar. "Lo nggak lupa kan Jal, gimana beringasnya bokap Mahesa? Pasti Mahesa bakalan dihajar habis-habisan setelah ini. Yakin gue." Seketika Rizal dan Laskar terdiam. Kaylendra benar, Mahesa boleh menang di jalanan. Namun, di rumah, cowok itu pasti akan lebih menderita. "Ck, kasihan Mahesa," ujar Rizal termenung kepikiran akan bosnya itu. "Ya semoga aja Mahesa baik-baik aja. Nggak kebayang gue kalau seumpama nanti Mahesa habis di tangan bokpanya sendiri. Masalahnya baru pertama ini Mahesa ketangkap polisi," ujar Laskar. "Bener Kar, gue lebih takut Mahesa berhadapan sama bokapnya daripada Mahesa berhadapan sama musuh. Lo bayangin aja gimana Mahesa nanti mungkin hanya bisa pasrah tanpa perlawanan," kata Rizal. Mereka bertiga sama-sama menjadi kepikiran dengan keadaan Mahesa. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa selain berharap untuk kelangsungan hidup Mahesa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD