27. Ruang kosong yang mulai terisi

1864 Words
Ibaratkan kalimat sekali melangkah maka dia akan langsung menembus ke ruang yang berbeda. Ruang hampa tanpa batas. Kematian. Beruntung Mahesa masih punya beberapa orang yang peduli dengannya dalam rumah besar itu. Bayangkan saja jika Mahesa dibiarkan begitu saja setelah habis tepar di tangan Papanya sendiri. Mungkin pagi ini darah tak akan lagi mengalir dalam tubuh cowok itu. Keadaan Mahesa benar-benar sangat kacau, sangat kacau dari yang sebelum-sebelumnya. Kemarin malam rasanya akan menjadi malam yang tidak akan pernah Mahesa lupakan, di mana dia hampir meregang nyawa di tangan Irwan. Kemarin Mahesa sudah ingin pasrah saja jika sewaktu-waktu malaikat mau menyapanya. Mahesa juga sudah siap seandainya dia tak bangun pagi ini. Namun, ternyata Tuhan berkehendak lain, pagi ini Mahesa masih diberi napas dan juga kesadaran. Mata Mahesa mengerjap pelan sambil menatap langit-langit kamarnya. Rasanya seluruh badan Mahesa remuk. Gerak sedikit saja sakitnya minta ampun. Bahkan untuk mengedipkan mata saja Mahesa harus benar-benar menahan sakit. Seluruh badannya tidak ada yang tidak terluka. Hingga Mahesa akhirnya kembali memejamkan mata, tanpa bergerak sedikit pun. Menikmati sensasi sakit dalam dirinya. Kali ini Bapak Irwan Pranata telah mirip monster mesin penghancur. Persis dengan Mahesa saat sedang berhadapan dengan musuh. Di sekolah Garuda, Selina berjalan dengan senyum yang tak kunjung luntur dari wajahnya, gadis itu melangkah bersama dengan Anggi hendak menuju kelas Laskar. Biasanya Selina akan malas-malasan jika diajak Anggi ngapel, tapi kali ini dia langsung mengiyakan dan Anggi bisa langsung menebak alasannya. Apalagi kalau bukan untuk bertemu seseorang yang beberapa hari terakhir sukses mengisi beberapa ruang kosong dalan hati temannya itu. "Nggi, menurut lo Titan itu kayak apa?" Selina tiba-tiba menyeletuk, masih sambil berjalan. Anggi yang awalnya fokus ponsel pun menoleh menatapnya. "Kenapa tiba-tiba tanya kayak gitu?" Selina sedikit mengalihkan pandangannya. "Ya ... karena gue pengen tau aja." Anggi mencibir. "Pengen tau? Tentang Titan? Lo ngigo ya, Lin? Nggak salah nih format pertanyaannya?" "Ish gue serius!" kesal Selina membuat Anggi tertawa geli. Sambil mengantongi ponselnya Anggi bergumam. "Ti—tan, pandangan awal gue sih Titan itu geng motor yang suka tawuran. Baku hantam, isinya juga anak-anak troublemaker yang nggak makan aturan. Bebal, keras kepala, kejam, dan nggak kenal ampun. Intinya semua hal buruk deh. Tapi, setelah gue kenal lebih dalam, Titan jauh ... lebih baik dari semua apa yang telah gue ucapin barusan." Selina diam mendengarkan dengan seksama. "Titan itu kumpulan remaja yang kata gue sangat solid. Titan juga nggak seburuk apa yang orang lihat atau pikir pertama kali. Nyatanya Titan hanya akan nyerang dan bergerak jika dia diusik. Kumpulan itu sendiri selalu bawa hal positif sejauh gue ada gabung di sana. Orang-orangnya juga humble dan nggak neko-neko. Mungkin mereka emang minum, dan ngerokok, kadang juga taruhan, tapi ya gue rasa wajar nggak sih semua cowok kayak gitu?" "Tapi mungkin balik sama kepribadian masing-masing juga. Kalau orangnya kayak Kaylendra sih mau dekat sama bandar n*****a juga dia nggak akan terpengaruh." Selina mengangguk paham. "Kalau Mahesa, selama ini lo lihat dia kayak apa?" Anggi melirik Selina dengan penuh arti membuat Selina terpaksa membuang muka sementara dirinya tertawa. Akhirnya sampai juga kan ke pertanyaan utama? "Mahesa ya? Gue kurang tau sih, orangnya nggak terlalu terbuka, beda kalau sama Laskar, Azka, dan Rizal yang santai-santai aja meski aibnya terbongkar. Tapi sejauh ini, gue kenal Mahesa orangnya baik kok, sebagai seorang pemimpin gue rasa Mahesa cukup mengayomi anggotanya. Laskar juga sering cerita tentang kebaikan-kebaikan Mahesa lainnya, kayak dia yang rela nggak jajan demi nolong ibu-ibu hamil, dia yang selalu berkorban demi teman-temannya, dia yang perhatian dengan caranya sendiri, dia yang selalu jadi tempat curhat terbaik, dia yang suka menolong, pokoknya baik deh meski mukanya serem sama tukang pukul gitu," Selina menjabarkan apa yang dia ketahui tentang sosok Mahesa. Di mata musuh mungkin Mahesa adalah pimpinan perang yang beringas dan brutal. Namun di mata orang terdekatnya, Mahesa adalah adalah orang yang berjiwa sosial tinggi. Selina tertegun mendengar segala ucapan Anggi. Waktu itu sebenarnya Selina juga sempat pernah memergoki Mahesa datang ke sebuah pasti asuhan, sendirian. Namun, karena keadaannya Selina masih belum kenal dengan Mahesa jadinya dia hanya diam saja. Toh kalau speak up juga nggak ada gunanya. "Lin, lo mau nunggu di luar apa ikut masuk ke dalam? Laskar mager katanya, gue suruh langsung masuk aja," tanya Anggi saat mereka telah sampai di depan kelas para pentolan sekolah itu. "Ikut masuk aja deh," jawab Selina. "Halah, kayaknya bentar lagi gue dapat partner bucin deh." "Ish apa sih!" "Haha! Yaudah ayo." Anggi mengajak Selina untuk melangkah ke dalam. Banyak pasang mata yang memperhatikan keduanya, tapi mereka hanya berani melihat tanpa berbuat apa-apa karena mereka tau siapa Anggi, kekasih dari panglima tempur Titan. Sejak Anggi pacaran dengan cowok berbadan besar itu, satu sekolah langsung tidak ada lagi yang berani mengganggunya. "Aduh, aduh mimpi apa nih abang pagi-pagi udah diapelin cewek cantik?" celetukan itu berasal dari Rizal. Tidak bisa diragukan lagi, Rizal selalu saja heboh dalam hal apa pun. "Omongan lo, Jal, belum tau aja kalau pawangnya ngamuk kayak apa," balas Azka yang duduk di sebelah cowok itu. "Inyong wes tau, Ka, kena semprot ketua plus wakilnya." "Ngomong lo campur-campur gitu udah kaya nasi bungkus aja," kata Laskar kemudian menatap Anggi. "Kemarin ditanyain bunda, kenapa langsung pulang," ujar Laskar kepada Anggi. Anggi mencibikkan bibirnya. "Lah situ kan yang bilang kalau bunda keluar. Gimana sih?" "Ya mana gue tau kalau orangnya ternyata ada di dalam." "Rumah lo sih kegedean, Kar. Rumah udah kayak labirin, mau cari kamar mandi aja harus ngelewatin tujuh kecamatan dulu," sahut Rizal. "Holang kaya mah bebas, Jal. Cuma Laskar doang di sekolah ini yang rumahnya punya peta sendiri," balas Azka. "Ck, lo berdua bisa diem nggak!" sentak Laskar. "Oh ya Kar, Mahesa mana ya? Nih kekasih gelapnya nyariin." Tanpa aba-aba, Anggi langsung menarik tangan Selina begitu saja membuat Selina yang tidak siap harus melotot tajam kepada Anggi yang malah cengengesan tanpa dosa. "Es milo campur banana, halo nweng Selina. Buseet makin cakep aja nweng. Spill scincare-nya dong." Tidak segan-segan, tangan Laskar langsung melayang menyentil dahi Rizal dengan kuat dan penuh semangat. "Rasain!" ledek Azka. "Jahat kamu mas." Anggi tidak lagi bisa menahan tawanya, sedangkan Selina hanya tersenyum malu. Tidak cukup nyaman berada diantara mereka. Berbeda dengan Anggi yang sudah setiap hari bertemu dengan para cowok itu. "Jali, mumpung nggak ada pawangnya, trabas ajalah!" Anggi malah mendukung. "Nggi!" tegur Selina pelan. "Iya, iya. Eh Mahesa jadi ke mana?" tanya Anggi kemudian. Laskar lalu menatap teman-temannya secara bergantian. "Mahesa nggak masuk sih," jawab Laskar. Sebelah alis Selina terangkat. "Kenapa emangnya? Bolos, Kar?" "Kurang tau juga kalau itu Lin, biasanya kalau bolos ajak kita-kita kok. Cuma dari tadi pagi nomornya nggak aktif ya, Jal?" Rizal mengangguk. Mata Selina memicing, memperhatikan cowok-cowok itu. "Muka kalian lebam biru-biru gitu," ada jeda sebentar dari Selina untuk memastikan jika lebam di wajah cowok-cowok itu bukan lebam biasa. "Habis berantem ya?" Sontak Laskar dan ketiga temannya menegang. Anggi juga baru sadar jika wajah pacarnya lebam-lebam. Segera Anggi berjalan semakin mendekat untuk memastikan. Laskar sempat berusaha menjauh, tapi Anggi cukup gesit berhasil meraih wajah cowok dengan postur tubuh mirip gapura g**g itu. "Berantem sama siapa? Tawuran?" tanya Anggi dengan nada marah setelah melihat luka di wajah Laskar. Laskar terdiam. Tatapan Anggi kemudian tertuju kepada Azka, Rizal, dan Kaylendra. Azka dan Rizal langsung menunduk. Sedangkan Kaylendra masih tetap dengan wajah dasarnya. Tidak merasa terganggu sama sekali. "Habis tawuran sama siapa kalian?" tanya Anggi galak. "Santai kali, Nggi, kita juga udah sering kayak gini. Lo cuma orang baru tau apa sih?" balas Azka. Tutur katanya yang terkesan meremehkan langsung membuat Laskar menatapnya tajam. "Omongan lo jaga!" sentak Laskar tidak terima. "Ya lagian bener kali Kar, cewek lo cuma orang baru. Suka-suka kita lah mau tawuran kek berantem segala macem. Dulu juga kayak gini, tapi bedanya nggak ada yang marah-marah." "Jangan mancing gue Azka!" Laskar semakin berang. "Lo dua apaan sih? Harus pakai acara ribut?" tegur Rizal menengahi Laskar dan Azka. Sementara itu Anggi menggelengkan kepalanya menatap Laskar penuh kecewa. "Mangkanya dari kemarin nomor lo nggak bisa dihubungi. Sesusah itu emangnya buat jujur? Cape gue kalau cara lo kayak gini terus Kar, katanya mau buktiin ke Abang kalau lo baik tapi mana? Semua omongan lo itu hanya sampai di bibir, Kar. Gue kecewa." Setelah itu Anggi langsung menarik tangan Selina mengajak Selina pergi dari kelas itu. "SELINA?!" teriakan Laskar diabaikan begitu saja. "AARGGG!" Brak! Laskar memukul kencang meja di hadapannya dengan kepalan tangan. Sangat kencang. Napas cowok itu juga langsung naik turun. Pandangannya menajam, sukses membuat seisi kelas langsung senyap. Ketar ketir ketakutan sendiri. **** Di dalam kelasnya, Selina terus mencoba menghubungi nomor Mahesa dan tetap tidak ada respon. Anggi dan Gisel sendiri melihat Selina sangat panik dan khawatir. "Ck, tetep nggak bisa, Anggi!" gerutu Selina kesal. Selina lalu membanting ponselnya begitu saja di atas meja. Gadis itu menyisir rambutnya ke belakang dengan jemari. Ke mana Mahesa? Apa dia baik-baik saja? Selain berhasil mengisi ruang kosong dalam hatinya. Mahesa juga berhasil mengisi hampir sebagian pikirannya. Tiap malam Mahesa selalu mampir dalam pikiran Selina. Seliweran membuat Selina susah tidur karena terus kepikiran sosoknya. "Lin! Lin! Mahesa video call, Lin!" Mendengar kehebohan Anggi, cepat-cepat Selina mengambil ponselnya. Benar saja ada panggilan video masuk dari Mahesa di sana. Senyum Selina langsung merekah. Gadis itu berduri berjalan menuju pojok kelas agar tidak diganggu. Setelahnya Selina langsung menggeser tombol biru yang ada di atas layar ponselnya. "Hai." Suara berat dan serak yang pertama kali menyapa pendengaran Selina. Kamera cowok itu menyorot ke langit kamar membuat kening Selina mengerut. "Lo kenapa nggak sekolah, Sa? Lo sekarang di mana?" "Di rumah." Hanya dua kata, disertai ringisan pula. Selina semakin yakin jika Mahesa tidak sedang baik-baik saja. Tidak hanya satu kali, Mahesa juga meringis beberapa kali membuat jantung Selina berdebar kencang takut terjadi apa-apa dengan cowok itu. "Sa? Are you okey?" "Oke." Jawabannya selalu singkat membuat Selina semakin penasaran. "Mahesa, tunjukin muka lo dong," pinta Selina pada akhirnya hanya demi menuntaskan rasa penasarannya. Lama Mahesa tak kunjung melakukan apa-apa, hingga beberapa detik kemudian, kamera perlahan berubah angle dan betapa terkejutnya Selina kala melihat wajah penuh luka milik Mahesa. "Astagfirullah Sa! Itu muka lo kenapa? Lo habis berantem sama siapa ha? Sa, itu parah banget! Udah diobatin?" Selina memekik khawatir. Warga kelas pun sampai melihat ke arahnya tanpa Selina sadar. Bukannya menjawab, Mahesa malah terkekeh di seberang sana. Lalu tak lama dia mengerang kesakitan. Bagaimana tidak sakit. Hampir seluruh wajahnya lebam, mata cowok itu juga bengkak bagian kanan. Laku suruh bibirnya berdarah dan biru. Rahang, kening, pelipis, semuanya terluka sampai biru-biru kemerahan. Selina yakin buat bicara saja rasanya akan sangat menyiksa. "Sa? Nanti pulang sekolah gue ke rumah lo. Sharelok ya?" ujar Selina. "Enggak usah, Lin. Gue baik-baik aja kok, ssttt." Selina berdecak kesal. "Baik dari mananya. Lo ngomong aja susah gitu. Pokoknya gue nanti ke rumah lo. Kalau lo nggak mau kasih alamatnya gue bisa cari gue sendiri." "Keras kepala." "Lo juga!" "Yaudah, habis ini gue sharelok. Tapi ke rumah guenya minta antar Laskar atau nggak Kaylendra ya?" kata Mahesa. "Kalau nolak nggak sudah datang." "Tapi Sa—" "Assalamualaikum anak-anak." Sial, baru saja akan protes, guru pengajar sudah keburu datang. Selina menghela berat. Mau tidak mau Selina harus mengakhiri panggilan itu. "Nanti gue telfon lagi," katanya kepada Mahesa. Mahesa hanya mengangguk pelan, dan setelah itu Selina langsung mematikan sambungan telponnya dan kembali ke tempat duduknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD