28. Love

1077 Words
Selina berdiri kaku di depan rumah besar Mahesa. Entah sudah berapa kali dia meneguk ludah, antara takut dan malu untuk masuk ke dalam. Kedua tangannya pun memegang erat paperbag isi makanan yang dia bawa. Berkali-kali juga Selina menarik napas. Namun, keberanian tetap saja tidak mau berkumpul. Hingga pagar rumah itu tiba-tiba terbuka. Terlihat pria peruh baya dengan badan sedikit berisi keluar dari dalam pagar sambil membuang ampas kopi. Dia terheran-heran melihat sosok Selina. Sedangkan Selina hanya senyum-senyum saja. "Halo, Pak. Selamat siang menjelang sore," begitu sapa Selina dengan semanis mungkin. **** "Itu namanya Pak Ardi, gue udah anggap dia kayak Papa kedua gue. Orangnya baik bahkan jauh lebih baik dari Papa gue sendiri." Selina menganggukkan kepalanya. Tadi, setelah bertemu dengan Pak Ardi, Selina langsung disuruh masuk. Pak Ardi juga sempat bercerita sedikit tentang Mahesa dan apa yang terjadi kepada cowok itu. Jujur, saat pertama kali melihat kondisi Mahesa, hati Selina terasa sakit, apalagi saat tau jika yang melakukan semua itu adalah Ayah dari cowok itu sendiri. Selina berpikir apa setidak punya hati dan perasaan itu Ayah Mahesa? Selina menarik napasnya panjang. Sekarang saja dia masih tidak tega tiap kali mendengar rintihan keluar dari mulut Mahesa. Bagaimana tidak, kata Mahesa semua tubuhnya seperti akan remuk saat digerakkan. "Nih makan lagi." Selina tersadar dari lamunannya. Dia kembali menyuapkan bubur itu untuk masuk ke dalam mulut Mahesa. "Terakhir ya?" kata Mahesa sebelum membiarkan bubur itu memasuki mulutnya. Selina melotot. "Nggak! Ini masih banyak. Habisinlah! Tadi kata Pak Ardi lo belum makan apapun dari kemaren malam. Lo kau mati hm?" "Gitu amat ngomongnya. Nanti kalau gue beneran mati lo nangis-nangis," balas Mahesa. "Dih najis, nggak bakal!" sanggah Selina. "Udah ayo buka mulut!" Mahesa kalah, cowok itu membiarkan Selina terus menjejalkan makanan hambar itu untuknya. Padahal hanya bubur yang bisa dimakan hanya dengan sekali telan, tapi Mahesa benar-benar butuh effort lebih untuk makanan itu. "Lagian kenapa sih, Sa, lo pakai acara tawuran ribut segala macem. Faedahnya buat lo itu apa? Selain babak belur kayak gini?" celetuk Selina. Cowok yang telanjangg dadaa itu menatap Selina. Melihat tatapan Mahesa yang seperti itu langsung membuat Selina ketar-ketir takut Mahesa tersinggung dan marah. "K—kalau nggak mau cerita juga nggak pa-pa," kata Selina kemudian. Mahesa terdiam sejenak, mengambil napas. "Temen gue dikeroyok sama anak buah Rafael, dia ketuanya geng Vendo. Temen gue sampai masuk rumah sakit, kritis karena ada luka di kepalanya. Lo bayangin aja Lin, gimana gue nggak marah lihat temen gue digituin. Gue juga yakin, kalau lo ada di posisi gue lo bakal berbuat hal yang sama." Mahesa akhirnya bercerita. "Nggak hanya gue yang marah, Laskar, Azka, Rizal, bahkan Kay juga marah saat tau itu. Temen kita nggak salah apa-apa tiba-tiba dikeroyok kayak gitu. Hati gue sakit, Lin, mangkanya gue langsung balas dendam dan nyerang balik. Tapi sayangnya gue s**l kemarin. Polisi datang, dan gue nggak mau teman-teman gue tertangkap." "Jadi lo yang akhirnya nyerahin diri buat melindungi temen-temen lo yang lain?" potong Selina dan Mahesa mengangguk. Terdengar helaan napas kasar dari Selina. Mahesa menyadari itu membuatnya tersenyum miring. "Mungkin orang yang nggak ngerti bakalan mikir kalau gue bodoh. Gue bisa aja pergi, tapi orang-orang itu nggak tau aja seberapa berharganya arti temen buat gue. Bahkan kalau harus mati pun gue rela demi mereka," ujar Mahesa seakan tau apa yang tengah Selina pikirkan tentangnya. "Teman, itu segalanya buat gue Lin, cuma mereka yang mau nerima gue. Mereka yang selalu support dan nyemangatin gue saat gue terpuruk," Mahesa memberi jeda kalimatnya untuk manarik napas. Memberi oksigen untuk paru-parunya. Tiba-tiba sesak menyerang cowok itu. "Gue—" Melihat Mahesa yang kesusahan melanjutkan kalimatnya pun membuat Selina menaruh mangkuk buburnya di atas meja yang ada di dekatnya. Dia lantas mendekat, merapatkan jarak antara dirinya dan Mahesa. Setelah itu tangan Selina terulur mengusap punggung tangan Mahesa. "Kenapa?" tanyanya. Mahesa menatap Selina sekilas. "Dadaa ... gue sakit," katanya. Mahesa terus memijit dadanya sendiri. Melihat hal itu jelas Selina panik. Dilihatnya memang dadaa Mahesa ada lebam-lebam biru. Kini Selina merasa takut jika ada ada luka dalam pada badan cowok itu. "Masih sakit?" tanya Selina dan Mahesa mengangguk. Selina lalu turun dari atas kasur dan berjalan mencari minyak kayu putih atau semacamnya, beruntung dia segera menemukannya. Selina kemudian langsung membalurkan minyak itu kepada d**a Mahesa. "Masih sakit?" tanya Selina lagi. Kali ini Mahesa menggeleng sambil menatap gadis itu. Padahal jelas dadanya masih sesak. "Enggak," kata Mahesa. Selina akhirnya bisa bernapas lega. "Nggak periksa ke rumah sakit memangnya?" Mahesa menggeleng membuat Selina menghela napas panjang. "Jangan dianggap sepele ya, Sa? Kalau ngerasa sakit lagi langsung bilang sama Pak Ardi, atau enggak lo chat gue biar gue langsung ke sini, nanti gue anterin lo periksa." Kedua ujung bibir Mahesa terangkat. Hati Mahesa menghangat karena tutur lembut Selina. Perhatian dan kekhawatiran gadis itu tidak dibuat-buat, dia sangat tulus. Mungkin ini yang Mahesa selama ini cari. Selina Anaya, mungkin jika dari segi wajah Selina tidak secantik cewek-cewek lain di sekolahnya atau yang pernah dia temui, tapi bagi Mahesa sendiri. Selina tak hanya cantik wajahnya. Namun, juga hatinya. "Lin," panggil Mahesa. Selina mengangkat pandangannya menatap cowok itu. "Iya, ada yang sakit lagi?" Mahesa menggeleng, lalu tersenyum manis, demi apapun Mahesa sangat tampan jika seperti itu. Luka-lukanya justru membuat Mahesa semakin terlihat keren. "Kenapa lo baik banget sama gue? Padahal kita baru aja akrab. Pertemuan pertama kita juga nggak bisa dibilang baik. Gue juga nakal, apa lo nggak takut sama gue yang nyeremin ini?" Selina tertawa geli mendengar penuturan Mahesa. "Emang kalau mau berbuat baik harus ada alasan dan tujuannya gitu ya? Itu artinya nggak ikhlas dong gue?" "Sa, jujur awalnya gue takut sama lo. Siapa emang yang berani sama seorang Mahesa Gibran Pranata, trouble maker SMA Garuda, panglima tempur Titan, bla bla bla. Awalnya gue takut, tapi semakin lama gue semakin ngerasa kalau nggak ada yang perlu ditakuti dalam diri lo. Lo sama kayak anak yang lain, dan gue melihat lo enggak dari sisi buruk lo doang. Gue lihat lo dari segala sisi, gue juga nggak hanya mendengarkan berita buruk tentang lo, berita tentang kebaikan lo juga gue terima. Itu sebabnya kenapa gue bisa senyaman ini jika dekat sama lo. Gue yakin jika lo sebenernya orang baik, Sa," jelas Selina panjang lebar yang sukses membuat Mahesa tertegu. Selina terkekeh pelan. "Seandainya lo tanya apa gue suka sama lo apa enggak. Pasti dengan gampang gue jawab kalau gue suka sama lo. Sangat suka!" "Cinta?" tanya Mahesa. "Sayang," koreksi Selina sambil tersenyum dan menggeleng. "Tapi sebulan dua bulan lagi mungkin gue bisa ubah perasan ini jadi cinta."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD