Lie

2982 Words
“Alhamdulillah, akhirnya kita punya tempat tinggal ya, Pa, Ma.” Kerly tersenyum memandang rumah yang kini akan mereka tempati. Rumah yang bahkan lebih kecil dari kamarnya, rumah itu hanya memiliki satu kamar berukuran kecil dan sebuah dapur kecil yang tidak besar dari lemarinya dulu. Kerly tersenyum, ia membuka pintu rumah itu. Mungkin jika dulu Kerly belum mengerti arti rumah yang sesungguhnya, Kerly akan marah dan menganggap ini bukan rumah tapi hukuman, bukan rumah tapi sebuah kandang. Tapi sekarang tidak. Bagi Kerly rumah adalah ibu dan ayahnya serta kebahagiaan yang meliputi mereka dalam kebahagiaan itulah rumah yang sesungguhnya. Bukan cuman sebongkah batu yang disebut rumah. Rumah yang bahagia bukan rumah penuh kemewahan tapi rumah penuh ketaqwaan. “Maafin papa, hanya ini tempat yang mampu papa sewa. Tapi papa janji, papa bakal sewa apartemen atau hotel kalo papa punya uang. Papa janji.” Mama mengelus pucuk kepala Kerly. Kerly tersenyum memandang wajah yang selama ini selalu menyayanginya. “Kamu tidur di kamar itu ya, sayang. Di kamar itu ada kasur, kamu bisa tidur di sana.” “Lalu papa sama mama? “ “Biar papa dan mama tidur di ruang ini.” “Itu gak adil, Ma. Biar, Kerly tidak di sini sama mama dan papa aja.” “Gak sayang. Kamu tidur di kamar aja, kamu jugakan lagi sakit.” Mama menatap seduh Kerly. “Maafkan kami ya, sayang.” “Ma, kenapa kalian selalu minta maaf? Kalian gak salah.” “Bahkan rumah ini gak seberapa kamar kamu. Gak ada pendingin ruangan, televisi atau soda untuk duduk. Semuanya gak ada.” “Gak masalah, Ma, Pa. Yang penting kalian ada di sini.” Kerly tersenyum lebar. “Jangan tersenyum seolah kamu bahagia, sayang. Itu malah menyakitkan hati papa. Papa tidak sanggup melihat kamu pura-pura tersenyum. Maki saja papa, setidaknya itu bisa mengurangi rasa bersalah papa.” Papa Kerly berpaling dari Kerly. Kerly meraih tangan papanya. “Siapa bilang Kerly pura-pura bahagia, Pa? Kerly memang bahagia. Kerly bahagia kita bisa mendapat rumah ini. Tidak besar memang, tapi rumah ini bakal jadi rumah yang istimewa. Rumah kita, kita bisa ini rumah ini dengan kebahagiaan tidak perlu barang-barang yang mewah atau mahal di sini, karena rumah ini sudah penuh dengan kebahagiaan kita.” “Dari mana kamu belajar kalimat semanis ini, sayang? “ mama mengecup dahi Kerly. “Dari siapa lagi kalo bukan dari mama dan papa. Selama ini Kerly selalu diam, jarak ngomong bahkan senyum padahal dulu kita berlinang harta. Papa tahu kenapa? Karena kebahagiaan bukan terletak dari seberapa banyak uang yang kita punya, tapi seberapa luas hati kita menerima segala yang diberikan pada kita. Kecil pun, kalo disyukuri akan terasa lebih besar ,begitu pun sebaliknya, Pa. Sebesar apapun nikmat tanpa syukur akan terasa hambar dan selalu kurang.” “Pa, Ma, mungkin ini jalan Allah untuk kita. Untuk kita semakin dekat dengan-Nya. Dulu rumah kita terlalu besar, hingga suara azan pun tidak terdengar. Sekarang rumah kita kecil, tapi suara azan akan terdengar memenuhi rumah kita.” Mama memeluk Kerly. “Sayang, kamu seperti lilin yang menerangi kami dalam kegelapan ini.” “Dan lilin itu akan habis karena ingin memberi cahaya pada yang lain,” sahut papa pelan. “ Mama dan papa tertegun. “Pa, Ma, kita bukan keluarga yang sedih bukan? Kita masih punya harta berharga. Harta yang tidak akan membuat kita bersedih.” “Kerly, kamu mungkin kuat dalam menghadapi ini semua, kamu tersenyum, kamu tertawa, kamu terlihat kuat. Tapi papa, papa tidak tahan melihat kamu yang harus kuat demi mengadapi semua ini. Papa tidak mau kamu harus berusaha keras dalam banyak hal. Papa tidak rela jika kamu kesulitan. Bahkan sekarang, kamu menahan lapar karena tidak mau menyulitkan kami. Ini membuat papa semakin merasa tidak berguna sebagai seorang ayah, suami. Papa gagal! “ “Pa..” Mama menyentuh punggung tangan suaminya. “Papa gak gagal. Papa masih tetap jadi suami dan ayah terbaik.” “Tidak. Itu semua hanya kalimat hiburan, tapi kenyataan tidak semanis itu.” Kerly memberi isyarat pada mamanya untuk mengucapkan slogan andalan mereka. Kerly memberi aba-aba. “My King, my kingkong, my father, my ever,” kata keduanya bersamaan lalu langsung memeluk papa bersamaan. “My kingkong, jangan sedih ya....kita bisa hadapi semua ini bersama.” Mama menghibur papa. “Iya, Pa. Papa gak boleh sedih, titik,” sahut Kerly membenarkan. Papa tersenyum kecut dan perlahan mencoba melepaskan pelukan Kerly dan istrinya. Kerly enggan melepas pelukannya dari tubuh papa. Kerly merasa kegelisahan masih memenuhi hati papanya, bahkan papanya tidak tersenyum saat slogan itu diucapkan, tidak biasanya. “Kerly...” lirih papa pelan, seperti permintaan untuk mau melepaskan. “Papa, hati papa masih sedihkan ? biarkan Kerly peluk papa sampai hati papa merasa baikan.” “Papa baik-baik aja.” Papa mengatakan itu dengan susah payah. Ia tidak bahagia, semua itu jelas dari intonasinya. “Orang yang baik-baik aja, gak akan mengklaim dirinya baik-baik aja, Pa. Papa tahu kenapa? Karena kebahagiaan itu seperti sinar yang memancar di wajah jadi tanpa mengatakan itu semua orang akan tahu kalo dia bahagia.” “Apa Papa bahagia? “ Papa tertegun sebelum menjawab pertanyaan Kerly. “Bahagia,” jawabnya pelan lalu melepaskan pelukan Kerly. Papa berbalik hendak pergi. “Aw! “pekik Kerly. “Kenapa sayang? Apa kakinya sakit?” papa kembali menghampiri Kerly, berjongkok memeriksa kaki Kerly yang di gips. “Yang mana sakit ? Yang mana sayang?” tanya papa cemas. “Pa, gak yang sakit. Kerly cuman mau papa bahagia.” Papa memalingkan wajahnya dari anak dan istrinya itu. Ia tidak tahan melihat penderitaan mereka. “Saya yang salah! “ gumamnya pelan. Papa Kerly menjauh dari keluarganya. “Saya harus berusaha, apapun akan saya lakukan! Apapun, asal mereka tidak lagi menderita seperti ini! “ ** “Gue di mana? “Sarah mengucek pelan matanya yang entah sudah berapa lama tertutup. Begitu menyadari sesuatu, Sarah spontan terperanjat dari tidurnya dab berubah posisinya menjadi duduk. Sarah menatap sekelilingnya, Sarah tidak tahu di mana tempat di berada sekarang. Sebuah ruangan kubus berukuran minimalis dan tidak ada apapun sejauh mata memandang. Ruangan itu terbuat dari kayu-kayu reok yang saat Sarah menggerakkan tubuhnya lantai kayu itu berderit seolah jeritan tikus kejepit. Sarah mencoba mengingat-ingat kembali apa yang terjadi sebelum akhirnya dia ada di sini. Sarah bangkit berdiri, kepalanya hampir menyentuh langit-langit atap ruangan itu. Ruangan itu hanya sedikit lebih tinggi dari tubuh Sarah. Bisa diperkirakan sekitar 167 cm jika mengukur dari tubuh Sarah yang memiliki tinggi 165 cm. Sarah mengintip keluar dari atas celah atap yang menamakan sinar matahari dari luar ruangan kayu itu. “Kenapa dia masih tidur sejak kemarin?” Sarah dapat mendengar suara itu, tapi ia masih kesulitan untuk melihat wajahnya dikarenakan celah itu lebih tinggi dua centi dari tubuhnya, Sarah mencoba menjijit. “Selain kelelahan mungkin dia juga shock.” Sarah mampu melihat kedua orang yang berbicara itu tapi mereka membelakangi Sarah. Mereka memakai jaket tebal yang menutupi tubuh dan juga kepala mereka. Tapi Sarah yakin dari suaranya mereka adalah perempuan. “Kenapa kamu terlihat gelisah?” “Wajar saja aku gelisah. Kita sedang bermain dengan nyawa.” “Sudahlah. Tidak perlu di cemaskan. Kali ini kita yang akan memenangkan permainan itu.” Mata Sarah membulat telur, mendengar kalimat itu membuat bulu kuduk Sarah berdiri. Bagaimana bisa mereka mengatakan itu, seolah nyawa adalah mainan yang jika rusak atau mati bisa di ganti dengan yang baru. “Semoga saja.” “Sebaiknya saya melihat kondisi Sarah dulu.” Sarah kaget mendengar namanya disebut, di tambah lagi satu diantara mereka hendak pergi menemui dirinya di dalam ruangan ini. Sarah panik. “Tidak perlu. Tadi dua menit yang lalu saya sudah mengeceknya, dia masih tidur.” Sarah menghela nafas lega. Ia menurunkan tubuhnya dan mengusap dadanya yang berdetak sangat kenceng tadi. “Saya harus pulang sekarang.” Kali ini Sarah mendengar suara cowok, jelas itu buka suara kedua gadis tadi. Sarah kembali menjijit, mengintip dari celah atap. “Saya harus sekolah, sudah dua hari saya tidak sekolah.” Deg! Jantung Sarah rasanya berhenti seketika saat melihat siapa pemilik suara itu. Sarah bisa melihatnya karena dia tepat menghadap ke arah celah Sarah mengintip. “Apa mungkin kita bawa dia ke pondok saya? Kita bisa membawanya ke gudang.” “Tidak bisa begitu, Ilham.” Sarah tersentak, itu benar Ilham. Ilham berdecak pelan, dan tanpa sengaja matanya menangkap sepasang mata yang mengintip dari celah atap. “Saya rasa kita bisa pulang sekarang,” kata Ilham pelan, ia memandang ke arah Sarah. Sarah sadar, tatapan Ilham kaget arahnya. Sarah langsung menurunkan tubuhnya. Ia takut bukan main, aksinya tertangkap basah. “Apa maksud kamu? “ terdengar saura dari luar. Ilham tersenyum, pandangannya masih menatap lurus, celah yang sekarang tidak terisi sepasang mata lagi. “Ada apa? “ “Dia sudah sadar, Kak.” “Benarkah? “ Suara tawa terdengar dari luar, rasanya sekujur tubuh Sarah seperti es yang dingin. Entah apa yang akan terjadi. Ia pasrah, jika harus mati di sini. “Ini saatnya.” ** “Dek, kenapa harus masuk buat ekosistem sungai? Kenapa gak buat ekosistem di halaman depan aja. Kan di situ juga ada.” “Itu mah gak asik kak, gak rame.” Maryam mengambil sebongkah pasir. “Yang pentingkan rantai ekosistem. Ada abiotik dan biotiknya. Udah lengkap.” “Pokoknya itu gak seru kak, enakan ekosistem sungai, ada kecebong, ada pohon, ada air, kan lebih enak gitu.” “Oke mau ngantuk ekosistem di sungai, tapi seharusnya gak usah jam segini juga, Dek. Jam satu siang gini, matahari masih di atas kepala, panas banget. Kenapa gak sore aja, pas udah agak dinginan.” “No protes, Kak. Kakak bilang cuman mau ngambil 30 persen bagian. Jadi proses mengambil keputusan cari ekosistem di mana itu urusan aku. Beda kalo misalnya kakak ambil 50 persen, itu baru bisa ambil keputusan. Kalo sekarang 80 persen keputusan ada di tangan aku. Aku pemegang persentase terbesar, delapan banding tiga.” Zahra menghela nafas, membiarkan rasa ingin protesnya tidak terlaksana dan lebih memilih membiarkan saja sepupunya itu melakukan aksinya. Zahra memilih berteduh di bawah pohon yang lumayan rindang, setidaknya mampu mengurangi sengatan matahari dari kulitnya yang tidak mengabdung banyak melanin. Zahra tidak sanggup berdiri lama di bawah sinar matahari yang membuat kulit putih pucatnya memerah layaknya lobser rebus. Berbeda dengan Maryam yang memiliki kulit kuning langsat, ia tidak perlu takut kulitnya memerah atau bercak merah jika berlama di bawah sinar matahari. Hal ini karena kulit berpigmentasi dipercaya dapat melindungi dari efek buruk ini, karena melanin memiliki properti antioksidan dan penangkal radikal bebas Zahra sebenarnya tidak terlalu mengerti mengenai per- pigmentasian kulit, ia hanya pernah membacanya di sebuah artikel yang mengatakan orang-orang berkulit gelap memiliki lebih banyak melanin di kulit yang melindungi dari paparan sinar matahari, melanin yang ada akan menyerap radiasi UV dan melindungi kulit dari dalam, dan dibantu juga oleh kolagen sebagai molekul pembentuk jaringan kulit yang bertindak memberikan perlindungan terhadap penyakit dan cedera. Semakin tebal kulit dan semakin banyak melanin yang terkandung di dalamnya, semakin baik pula perlindungan terhadap proses penuaan, termasuk timbulnya keriput dan garis halus. Maka dari itu, orang yang memiliki kulit lebih gelap sering terlihat lebih awet muda dari orang-orang berkulit pucat. Dan juga banyak bukti penelitian yang menunjukkan bahwa orang dengan kulit lebih gelap memiliki tingkat kejadian kanker kulit yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan orang-orang kulit putih. Zahra gambarkan semua itu dengan perumpamaan sederhana, kulit putih itu ibarat baju putih, saat terkena debu akan mudah terlihat karena tidak ada warna dasar yang mengcover itu, sedangkan kulit sawo matang atau kuning langsat ibarat baju yang berwarna, saat terkena debu, debu itu akan terserap, menyatuh dengan warna dasar. Begitulah yang Zahra pahami. Itulah kelebihan kulit berpigmentasi yang di dalamnya mengandung melanin selain bisa melindungi dari sinar UV matahari, juga bisa mencegah kanker kulit juga. Setiap warna kulit memiliki keistimewaannya masing-masing, tidak ada alasan untuk mengeluh. Kenapa ada orang yang begitu mendambakan kulit putih, dan tidak mensyukuri apa yang ada. Bawasannya Allah menciptakan sesuatu pasti ada hikmahnya, bahkan seekor lalat yang kecil sekali pun memiliki hikmah dalam penciptaannya. Standar kecantikan yang seolah membuat kulit putih menjadi warna kulit terbaik hanyalah sekadar standar yang manusia buat. Tinggi, pendek, mancung, pesek, putih, hitam itu semua merupakan ciri fisik bukan kekurangan fisik. Itu semua Allah ciptakan agar kita mudah saling mengenal dan menyukuri apa yang Allah tetapkan. "Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya," (QS. At-Tin 95: Ayat 4) “Lagian udah lama juga kita gak ke sungai ini, Kan. Apa salahnya main ke sini,” kata Maryam seraya mengambil beberapa kecebong di sungai. Maryam akan membuat ekosistem sungai untuk mendapat nilai tambahan, sebenarnya tugas ini bersifat sunnah muakkad tidak wajib jadi jika dikerjakan mendapat nilai, jika ditinggalkan tidak masalah. Tapi Maryam tidak ingin membuang kesempatan sekecil adapun jika sudah berhubungan dengan nilai, dia rela panas-panasan untuk mengambil apa saja yang dibutuhkan untuk membuat replika ekosistem sungainya. “Dek, entar sore aja yuk balik ke sini lagi. Panas gini, gak baik lama-lama di bahwa sinar matahari,” panggil Zahra. “Nanggung tahu, Kak. Dikit lagi nih.” “Kamu tadi pake sunblock gak? “ “Pake.” “Ya udah, cepat ya, kalo ada yang mau dibantu panggil aja.” “Iya.” Maryam sibuk dengan tugasnya sedangkan Zahra menikmati angin sepoi dari sungai. “Kak, berenang di sungai yuk,” teriak Maryam yang sekarang sibuk mencari batu-batu kecil di pinggir sungai. “Gak ah, Dek.” “Ayolah, Kak. Kayaknya seger kalo berenang, lagian rok aku juga setengah basah kena air,“ teriak Maryam lagi. “Gak mau,” sahut Zahra. “Kamu aja sana.” “Temenin! “ “Big No!” Maryam tidak lagi membujuk Zahra, hal itu tidak akan berhasil, Zahra bukan orang yang mudah dibujuk jika sudah mengatakan big no. Maryam memutar otaknya. “KAK! “ teriak Maryam tiba-tiba. Zahra kaget, buru-buru ia berlari karena mendengar suara teriakan Maryam, Zahra takut terjadi hal buruk pada Maryam. “Maryam...,” panggil Zahra. Tapi tidak ada sahutan. Zahra makin cemas, tanpa pikir panjang Zahra turun ke tepi sungai. “Maryam...! “ panggil Zahra lagi. Diam-diam Maryam tertawa di belakang Zahra, lalu keluar dari persembunyian dan langsung mendorong Zahra ke sungai. “Gimana, Kak? Segerkan? “ tanya Maryam tanpa perasaan bersalah. Zahra mendelik kesal. “ MARYAM! “ “Yes, i am.” Maryam langsung masuk ke dalam sungai menyusul Zahra yang hendak ke tepi sungai. “Gak lucu! “sergah Zahra. “Idih, gak usah marah gitu kali Kak. Dulu pas kecil kita biasakan berenang di sini.” “Iya emang, tapi sekarang kan beda, kita juga gak bawa baju, terus gimana pulangnya?” cibir Zahra. “Yaudah maaf deh. “ “Bisa gak kata ya udahnya di hilangi? Kalo salah itu minta maaf bukan yaudah. Kalo mau minta maaf egonya buang dulu.” “Iya, iya, maaf,” jawab Maryam, seenaknya. “Gak tulus.” “Ih, bener ini mah tulus, Kak.” “Tulus itu dirasa bukan diomongi.” “Oke, fiks.” Maryam menarik nafas panjang. “Aku salah, maafin aku, Kak,” kata Maryam kali ini dengan sepenuh hati. “Terus gimana kita mau pulang? “ tanya Zahra masih dongkol. “Itu mudah, Kak. Kita tinggal berdiri di sinar matahari terus baju kita bisa kering dan pulang,” jawab Maryam enteng. “Iya, baju kering plus gue pingsan,” kesal Zahra. Zahra ke tepi, keluar dari air sungai. “Kakak kok udahan sih? Batu juga bentar.” “Kak....,” rengek Maryam. Zahra memilih mengacuhkan perkataan Maryam dan tetap pada pendiriannya untuk ke tepi. “Kak....” Zahra terus ke tepi. “KAK! “teriak Maryam tiba-tiba. Zahra spontan menoleh, takut terjadi sesuatu pada Maryam. Maryam tertawa saat melihat wajah cemas Zahra. “Dek! “ kesal Zahra karena lagi-lagi Maryam mempermainkannya. “Hahahahhah, cie, cemas nih ye....” Maryam terus tertawa. Zahra memperhatikannya dengan dongkol. Tiba-tiba tawa Maryam berhenti, wajahnya terlihat kaget. “Kakak, ada yang narik kaki aku !” Tubuh Maryam mulai masuk ke dalam air. Zahra langsung berlari masuk ke sungai. “Kakak! Kakak tolong!” teriak Maryam. Zahra mengapai tangan Maryam dan membawanya ke tepi. “Bohong lagi! “ sengit Zahra. “Gak ada yang narik kamu! “ “Gak, Kak. Kali ini aku jujur, tadi ada yang barik kaki aku! “ “Bohong! Bercanda kamu tuh gak lucu ya, tenggelam itu bukan lawakan! “ “Kak, tapi, gue bener gak bohong! Tadi beneran ada yang narik kaki gue! “ Zahra memutar matanya. “Udahlah, Dek. Gue mau pulang !” “KAK LO MASIH GAK PERCAYA GUE!” Maryam menghadang langkah Zahra. “Orang yang dua kali berbohong, gimana mau dipercaya ?” “Kak, terus kenapa Lo tadi tolongi gue? Lo pasti ngerasakan kalo gue tadi bener-bener ketakutan.” “Entahlah, guenya aja yang terlalu cemas walaupun gue tahu Lo suka bohong! “ Maryam tertengun, bukan Zahra yang salah. Wajar saja jika Zahra tidak mempercayainya, sejak tadi ia terus membohongi Zahra. Ia memang salah. Maryam ingat perkataan mamanya, satu kebohongan dapat membuang semua kepercayaan. Perkataan orang yang pernah berbohong akan terus di ragukan sekali pun ia mengatakan kebenaran. Seharusnya Maryam ingat itu. Ia terlalu menganggap remeh sebuah kebohongan. Di zaman dewasa ini kebohongan seolah hal yang biasa, ‘tapi bohong’ satu kalimat mansyur yang sering disebut setelah melakukan kebohongan, prank. Kata prank seolah membenarkan semua tindakan jahil, berbohong atau apapun itu dengan alibi hanya bersenang-senang. Tua, muda, menganggap kebohongan seolah hal biasa. Hal biasa yang seolah tidak perlu dikhawatirkan. Mereka lupa, bahwa satu kebohongan membawa ribuan kebohongan lainnya. Satu kebohongan itu seperti sebuah pohon yang akan menumbuhkan ribuan cabang kebohongan. *** Maryam mondar-mandir di dalam kamarnya, ia sedang memikirkan kejadian tadi siang. Awalnya Maryam pikir ia hanya berhalusinasi merasakan kakinya ditarik sesuatu, tapi malam ini ia yakin kalo kakinya benar-benar di tarik sesuatu. Ada lembam di pergelangan kakinya. Jelas kakinya tadi benar-benar di tarik. “Apa gue harus kasih tahu kak Zahra?” Maryam bergumam tidak jelas. Ia ingin memberitahu semua hal ini pada Zahra. Bukan cuman ini, tapi semua hal aneh yang akhir-akhir ini ia alami. “Tapi gimana kalo kak Zahra gak percaya?” Maryam menarik langkahnya kembali. Ia makin bingung. Maryam kembali memperhatikan lembam pada pergelangan kakinya itu, entah kenapa Maryam seperti pernah melihat lembam serupa dengan ini. “Tapi di mana?” Maryam berusaha mengingat-ingat. “Di buku karangan paman!“ seru Maryam. Maryam segera mencari buku bersampul hijau yang waktu itu ia pinjam dari Zahra. Maryam membuka lembar pada buku itu dan benar saja, ada gambar lembam pada buku ini. “Kenapa dibuku jurnal punya paman, ada gambar gini? Apa yang di bahas juga gak sinkron sama gambarnya?” “Buku apa ini sebenarnya? Kenapa ada banyak hal yang ada di sini, mulai dari foto gadis itu, dan foto lembam ini? Sebenarnya apa yang terjadi? Apa kak Zahra tahu tentang ini?” Maryam mencoba membaca dengan cermat, ia hendak meraih ponselnya tapi tangannya malah menjatuhkan benda di atas nakasnya. Maryam menunduk, mengambil barang itu, ia menoleh ke arah kolong ranjangnya, ada sesuatu yang menyalak di sana. Maryam menajamkan matanya, lampu kamar tiba-tiba meredup. Maryam menengadah ke atas lampu dan tiba-tiba.... “Astagfirullah!” Maryam terbangun, ia tertidur di lantai dengan posisi tangan memeluk buku bersampul hijau itu. “Sejak kapan aku tidur di sini? “ "Apa kali ini beneran mimpi atau...? " Maryam tertegun. "Sebenarnya apa yang terjadi?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD