“Stefan! Ini sudah kelewat batas!” teriak Zahra, murka. Ia menarik Stefani ke belakang gedung sekolah.
Stefani memberontak melepaskan lengannya dari genggaman tangan Zahra. Tapi ia gagal. Zahra kekuatan Stefani melemah, Zahra tela melakukan sesuatu padanya.
“ZAHRA LEPASKAN! “ Stefani menggeram.
“Maaf. Tapi... “ Zahra menatap jauh. Ia mulai melafadzkan ayat Qursi membuat Stefani merasa kepanasan.
“Zahra. You burn me! Help...”
“Argh!! “
“Stoped!!! “
“Argh...! “
“Persetan! Zahra!”
“Arrgghh.”
“Lepas!
“Panas! “
“Arghgg.... “
Stefani menggeram kesakitan, ia memohon, menangis, berteriak meminta Zahra untuk berhenti. Zahra menutup mata akan hal itu. Rasa ibanya hadir tapi Zahra mengabaikannya. Stefani hampir membunuh manusia—batin Zahra.
“Zahra!! Jangan siksa saya! Saya bukan... Aarrggghhhh... “
“ZAHRA! “
Zahra mengeratkan genggamnya di lengan Stefani. Ia menutup mata, tidak ingin terkena tipu muslihat Stefani. Mulutnya terus membaca ayat Qursi berulang-ulang.
“Hentikan Zahra! “ Suara itu bersamaan dengan sesuatu yang tiba-tiba mengejutkan Zahra. Tangan Zahra terlepas dari lengan Stefani.
Stefani beringsut menjauh dari Zahra dan berlari di belakang pemilik suara itu.
“Kenapa kamu melakukan itu, Zahr ?” sentak suara itu.
“Ilham...”
“Kenapa kamu melakukan itu, Zahr? Saya kecewa.”
“Ilham, kamu gak tahu siapa dia.”
“SAYA TAHU.”
Mata Zahra membelalak. “Apa maksud kamu? “
“Beginikan cara kamu memperlakukan sesama makhluk Allah?” sengit Ilham.
“B-bukan begitu. Tapi dia sudah banyak berulah. Bahkan dia yang menyebabkan kecelakaan kamu sabtu kemarin.”
Ilham mengabaikan perkataan Zahra. Ia malah menoleh pada Stefani yang berdiri di belakangnya, minta perlindungan.
“Sudah pergilah sekarang,” ujar Ilham.
“ILHAM—“ Zahra tercengang melihat Stefani sudah melarikan diri dari sana.
“Bukan seperti itu seharusnya muslimah. Kamu salah, Zahra. Kamu tidak akan hebat dengan melakukan itu! Begitukah cara melakukan sesama makhluk Allah SWT? Saya kecewa sama kamu Zahr! Kecewa! Saya pikir... ternyata semua itu salah.”
Ilham berbalik, hendak pergi begitu saja tanpa peduli akan keberadaan Zahra di sana. Zahra mematung mencerna tiap kalimat yang Ilham lontarkan. Kenapa rasanya begitu sakit? Zahra melihat punggung Ilham yang berjalan menjauh darinya. Matanya berlinang tanpa sadar.
“Padahal saya hanya ingin menolong kamu mas kaca,” cicit Zahra, kecewa.
“Zahra....”
Zahra tahu siapa pemilik suara itu. Zahra segera menghapus kasar air mata yang entah sejak kapan lolos dari kelopak matanya.
“APA? MAU MARAH JUGA !” teriak Zahra, ia membuang wajah dari Kelvin yang berdiri sepuluh kaki darinya.
“Stefani yang salah. Dia wajar mendapatkan itu. Saya hanya berusaha melindungi semua orang,” gumam Zahra.
“Tidak, saya tidak marah padamu,” jawab Kelvin. “Saya hanya ingin di sini. Saya tidak bisa apa-apa untuk membuatmu tidak sedih, tapi saya bisa di sini berharap kehadiran saya bisa menghilangkan rasa sedihmu.”
“Buat apa?! Pergilah! “
“Saya tidak akan meninggalkan kamu, Zahr. Saya akan mendukung kamu apapun yang terjadi.”
“Saya tidak butuh.”
“Bukan kamu yang butuh, tapi saya yang butuh. Saya bahagia jika melihatmu bahagia. Kebahagian saya terletak pada kebahagiaanmu.”
“PERGI KELVIN!” teriak Zahra.
“Apa jika saya pergi, kamu akan bahagia? Jika ia, saya akan pergi.”
Pertahanan Zahra runtuh. Air matanya jatuh. “Pergilah dari sini! Saya tidak ingin ada kamu di sini!”
“Jangan menangis, Zahr? Apa kehadiran saya begitu menyakitkanmu? “
“YA! Pergilah! Saya mohon.”
“Baiklah, Zahra.” Kelvin berbalik dan menghilang.
Zahra terduduk. Hatinya seperti mencolos keluar. Ada sesuatu tidak kasat mata yang mengores hatinya. Rasanya sakit, begitu pedih, hingga Zahra tidak bisa menghentikan laju air matanya. Zahra kecewa. Ia kecewa pada dirinya atau pada siapa ?
“Maaf...,” gumam seseorang dari kejauhan.
Ia melihat sorot kesedihan di mata Zahra. Hal itu membuat ia merasa bersalah, tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. Belum waktunya. Ya.. Sekarang belum waktunya. Zahra harus bersabar. Orang itu berbalik lalu pergi.
.....
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
"Wahai anak cucu Adam! Janganlah sampai kamu tertipu oleh setan sebagaimana halnya dia (setan) telah mengeluarkan ibu bapakmu dari surga, dengan menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan aurat keduanya. Sesungguhnya dia dan pengikutnya dapat melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman."
—QS. Al-A'raf 7: 27—
☘️☘️☘️
“Zahr, Lo dari mana aja sih? “tanya Sarah.
“Hem,” Zahra bergumam tidak jelas. Ia tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya mengenai kejadian tadi.
“ Lo di cariin pak iiii...” tambah Sarah.
“Tenang. Tadi gue udah minta izin sama pak..... Jadinya Lo gak di hukum kayak mereka.”
Zahra menoleh. Dia baru sadar ada beberapa anak laki-laki yang di hukum karena membolos saat pelajaran olahraga. Entah membolos ke kantin atau ngerok di wc sekolah. Rentina mata Zahra tanpa sengaja menangkap salah satu anak di barisan itu, sedang menatap ke arahnya. Zahra langsung memalingkan wajahnya dan kembali membelakangi mereka.
“Eh, mata Lo kenapa, Zahr? “ tanya Sarah. Ia meneliti wajah Zahra. Mata Zahra merah dan kantung matanya sedikit sembab, khas orang yang habis menangis.
“Zahr, Lo keingat abi dan umi Lo ya? “Kerly mengusap punggung tangan Zahra.
Zahra membisu. Andai abi dan umi ada di sana. Mungkin dia bisa menceritakan segalanya.
“Gue tahu, ini berat buat Lo. Don’t sad, you not alone, we always be there for you.”
“Yap. Lo, gak boleh serakah. Kita ini sahabat, jadi kesedihan Lo bukan miliki Lo sendiri. Lo harus bagi ke kita.” Sarah menambahkan. Kerly tersenyum.
“Gue setuju sama Sarah. Lo gak boleh ambil hak itu dari kita! Gak boleh. Titik.”
Zahra tersenyum kecil. Hatinya menghangat mendengar semua itu.
“Eh, tumben Lo setuju sama gue. Ada angin apa nih?”tanya Sarah.
“Angin persahabatan.”
“Ouwh, so sweet...” Sarah membuat pose seimut mungkin.
Senyum Zahra berubah menjadi tawa kecil. Zahra membentangkan tangannya di udara. Kerly dan Sarah langsung memeluk Zahra. Mereka bertiga berpelukan lalu tertawa bersama.
“Nah, gitu dong. Jangan sedih, lagi ya Lo. Gue gak mau kehilangan kang ceramah gratis kayak Lo,” ujar Sarah.
Kerly tersenyum. “Betul tuh Zahr. Kalo Lo sedih terus, kan gawat gak ada yang benerin Sarah kalo lagi konslet.”
“Idih, gue berasa barang, segala pake konslet,” protes Sarah.
“BTW kalian lebih bagus pake rok panjang kayak tadi. Enak jugakan? Gak bingung mau duduk di mana aja.”
“Iya, sih, enak Zahr. Cuman ya itu... “ Sarah berpikir sejenak. “Gak instagramebel. Gak bisa buat pose-pose gitu.”
“Buat apa sih pose pake rok ketat, pendek gitu? Gak ada untungnya tahu. Kalian cuman bakal ngundang buaya-buaya rawa. Kalian rela gitu, di liatin foto kalian sama mereka? Kan gini keliatan lebih aman. Cowok menundukkan pandangnya, cewek menjaga kehormatan. Kita harus saling membantu.”
Sarah tersenyum, baru kali ini dia tidak kesal saat Zahra menggelar ceramah dadakannya. Terkadang ia memang suka memacing Zahra untuk mengeluarkan kata-kata panjangnya itu. Ia suka mendengar ilmu yang biasanya ia dengar di masjid atau sosial media. Baginya apa yang Zahra katakan dengan luapan perasaan dan ekspresi membuat Sarah merasa itu sesuatu yang berbeda. Sarah merasakan ada banyak harapan dan kasih sayang dari setiap kata yang Zahra ucapkan. Ia dapat merasakan getaran itu meski Sarah selalu mengabaikannya.
Zahra selalu bilang, hidayah ada untuk orang yang mau menjemputnya. Sarah sudah berada di loket bus, menjemput hidayah dan tinggal meraihnya. Tapi saat hidayah itu ada, Sarah menarik kembali tangannya. Ia berlindung dengan tameng ‘hatinya belum siap’.
Tidak.. itu salah. Bukan hatinya yang belum siap tapi keegoisannya.
“Jadi mulai besok pakai rok panjang lagi ya...” Zahra menampilkan senyum paling lebarnya.
“ZAHRA AWAS!! “pekik Kerly tiba-tiba, menunjukkan ke belakang.
“Ha? “ Zahra malah menoleh, mengikuti telunjuk Kerly.
Mata Zahra mengerjap. Ada bola basket di depan matanya. Sangat dekat hanya berjarak dua inci. Untuk sekejap, semua orang seperti tersihir suasana. Mereka membisu antara kaget dan takjub melihat bola basket yang dua inci lagi mengenai wajah Zahra.
“Wow...” suara Willy memecah hening.
Dan seketika suara tepuk tangan gemuru terdengar. Mereka bertepuk tangan untuk sebuah aksi dari si penangkap bola basket di hadapan Zahra.
“Apa kamu terluka? “suara itu terdengar bersamaan dengan bola basket yang tersingkap lalu menampilkan sosok pemilik suara.
Zahra langsung menunduk. Menghindari kontak mata dengan ya.. siapa lagi kalo bukan jin itu. Kelvin.
“Y-ya...alhamdulillah.” Zahra membalik tubuhnya lagi, membuang wajah dari jin itu.
“Bagus kalo gitu,” kata Kelvin terdengar lega.
Selanjutnya terdengar derap langkah menjauh darinya. Kelvin sudah berada di tengah lapangan lagi. Kembali melanjutkan hukumannya.
“Zahr, Lo gak ngucapin terima kasih gitu sama Kelvin? “ Sarah menyikut lengan Zahra.
Zahra memutar bola mata. Buat apa? Dia jin!—batin Zahra.
Zahra melirik ke arah lapangan, Kelvin memergoki hal itu. Zahra menyesali aksi bodohnya itu dan memilih kembali ke kelas. Jam olahraga telah berakhir.
“Sweet coupel. Prince dan princess,” goda Willy begitu Zahra sampai di lorong kelas.
Zahra mendengus, kesal. Dan melewati Willy tanpa ingin merespon.
“Zar, kalian cocok tahu..,” Willy mengejar Zahra.
Zahra tidak peduli.
“Princess Muslimah.... cie... malu ya..,” Willy terus mengajar langkah lebar Zahra.
Zahra berdecak. Begitu sampai di depan kelas dan makhluk bernama Willy itu masih saja mengikutinya.
“G-gila.. princess muslimah udah kayak atlet aja, jalanya ngebut banget,” protes Willy begitu ia berhasil menyamai langkahnya dengan Zahra.
Zahra mendelik, Willy langsung gentar. Ia cepat-cepat beringsut masuk ke kelas, takut tiba-tiba ada laser yang keluar dari mata Zahra. Zahra menghela nafas panjang, hendak masuk ke kelas.
“Zahr, pulpen kamu ketinggalan di lapangan.” Suara Kelvin menarik perhatian anak di kelas.
Zahra enggan menoleh. “Jangan sok tahu deh. Semua orang punya pulpen. Bisa aja itu punya orang,” jawab Zahra acuh. Zahra menyambung langkahnya.
“Saya bisa pastiin ini punya kamu. Saya sangat yakin.”
Zahra mematung. Ia mengedarkan pandangnya dan benar duganya, anak-anak di kelas sudah berbisik heboh.
“CIE....”
Kalimat itu terdengar. Satu orang, lalu bersambung serempak semua orang di kelas bersama-sama mengatakan hal itu. Zahra malu bukan main.
“Cie... jangan-jangan kalian pacaran ya? “ goda Willy.
Zahra menggeleng keras. “Aku gak—“
“Backstreat ya...? Udah gak usah malu-malu, princess muslimah,” potong Willy secepat kilat. Willy berusah tetap menjaga sorak di kelas.
“CIE, Zahra... “
“Cie...”
“Cie.... “
Zahra kesal. Ia langsung pergi dari kelas. Dari dulu Zahra selalu membenci kalimat cie. Dan apa tadi mereka katakan.. berpacaran? Tidak mungkin.
“Enak saja bilang pacaran! “ Zahra mendumel. Ia memilih duduk di kursi kantin paling ujung. Dia tidak akan membiarkan ke kelas sampai mereka berhenti mengatakan cie.
“Ini buat kamu.”
Sebungkus teh manis tiba-tiba muncul di hadapan Zahra. Zahra mendongkak.
“Ngapain sih kamu ke sini?” ketus Zahra. “Bisa gak, gak usah dekat-dekat saya! Kamu tuh bikin saya kesel aja tahu gak! Orang-orang salah paham!”
“Kamu marah sama saya? “
“YA! “
“Saya tidak melakukan apapun.”
“Tidak melakukan apapun?! Kamu melakukan banyak hal! Kamu buat mereka salah paham. Kenapa kamu harus nolongi saya! Kenapa kamu selalu ganggu saya!”
“Saya rasa, saya tidak melakukan kesalahan.”
“Apa yang kamu lakukan salah! Saya lebih suka terkena bola basket ketimbang diolok seperti tadi!”
“Kamu marah karena mereka mengatakan ‘pacar’? “
“Ya! “
“Tapi apa itu pacar? Apa sejenis pasangan? “
Zahra menghela nafas panjang. “Ya!”
“Dari mana mereka tahu?”
“APA?!” mata Zahra menyalak tajam. “PERGI DARI SINI! “
“Kamu gak suka teh manis ?”
“GAK! Pergi !”
“Apa yang salah dari teh manis? Kamu marah pada mereka bukan pada teh manis. Kenapa kamu melampiaskan pada teh manis. Minumlah! Saya tidak mungkin meminumnya. Ini akan sia-sia. Kalo saya membuangnya.”
“Saya tidak mau!”
“Kenapa? Karena saya yang memberikannya?” sahut Kelvin, dingin.
“IYA! “
“Kalo Ilham yang memberikannya kamu pasti menerimanya kan? “ Kelvin menghela nafas panjang. “Saya hanya mencoba menjadi baik. Dengan begitu, tuhan akan mengampuni saya. Saya mencoba melakukan itu, agar kamu tidak membenci saya lagi. Saya tidak seburuk yang kamu pikirkan.”
***