“Kak, Lo gak kenapa-napa kan? Gue cemas banget dengar kabar anak sebelas IPS dua ada yang kena pot bunga.” Maryam membolak-balik wajah dan tubuh Zahra, memastikan keadaan Zahra. Zahra membiarkan Maryam melakukan itu, meski ya... agak lebay karena Zahra tahu itu bentuk perhatian Maryam, yang takut kehilangan Zahra. Uwu..
“Alhamdulillah, Dek. Si jin nolongin tadi.”
“Eh, Jin?” Maryam berpikir sejenak, lima detik berikutnya, baru Zahra mengangguk kecil. “Oh kak Kelvin."
" Idih serem banget Lo kasih julukan kak, lagian gak baik tahu kak kasih julukan gitu, dulu kakak pernah bilang gitu, lupa ya... Lagian kak Kelvin itu lebih pantes di sebut prince.”
“Bukan julukan sih. Emang dia jin.”
“Idih..ingat dah di tolongi barusan. Kalo gak ada kan Kelvin bisa ce—“
“Itu semua bisa terjadi atas KEHENDAK ALLAH. Jangan lupa dek.”
“Et dah, Bang. Iya ingat Kak. Maksudnya perantaranya kan kak Kelvin gitu, yang udah nolongi Lo, gitu loh maksud anak sholeha ..”
“Gak balik ke kelas? “tanya Zahra, mengalihkan topik. Ia sudah cukup lelah mendengar nama Kelvin sejak tadi dari duo sahabatnya, siapa lagi kalo bukan fans nomor satu Kelvin Sarah dan Kerly juga mulai mengikuti jejak Sarah, meski baru amatiran. Sekarang keduanya sudah mojok di belakang buat selfi. Yap. Kepentingan beranda i********:.
“Eh, buset ngusir gue nih kak, ceritanya? Gue dah jauh-jauh Lo datang ke kelas Lo. Disugihi minum kek...," protes Maryam.
“Mau minum apa entar gue beliin, ambil di ruang BK, ya.. “
“Ihh... Gak lucu tahu kak.”
“Udah balik sana ke kelas. Bentar lagi bel masuk.”
“Parah dah princess muslimah, adik lucu gue masa di usir sih..” Sarah kembali dari singgasanahnya di pojok.
“Tuh, Lo kak, di marahin kakak angkat gue kan...” Maryam tersenyum lebar, mendapat tim dukungan. Ia langsung pindah posisi duduk di sebelah Sarah.
“Pasti datang ke sini karena denger berita pot bunga’kan ?”
“Eh, kok tahu sih Kak... “
“Iya dong, benar kan...”
“Yakin?"
"YAKIN."
“Wah jawaban kita sama... itu artinya kita...."
"SEHATI.. “
Girang keduanya, heboh. Seolah mereka baru mendapat kado ulang tahun. Mereka memang seperti itu setiap bertemu. Saling memengaruhi dalam hal diluar 'kewarasan'.
Zahra menggeleng-geleng tidak mengerti dengan sikap gak jelas dua makhluk di hadapannya ini.
**
Lagi. Stefani marah akan keegoisan Kelvin. Jika saja... Stefani membuang nafas berat. Kelvin dan cinta butanya! s**l—batin Stefani mengumpat. Dia harus melakukan aktivitas seperti ini! Sekolah. Ck. Stefani tidak suka tempat yang berisi anak manusia itu. Duduk seharian di kelas mendengarkan para orang yang di sebut ‘guru' menceritakan banyak hal tentang ini itu, lalu menyuruh para siswa untuk mengerjakan tugas. Semua berlomba-lomba mendapatkan angkat terbaik, angka yang katanya bisa menjadi sendok emas mereka di masa depan. Bagaimana bisa? Di dunia jin, ia hanya mengandalkan kemampuan bukan angka-angka bertinta merah itu.
“Menyebalkan,” Stefani mendengus, membayangkan semua yang akan dilakukannya, monoton seperti hari-hari sebelumnya.
Stefani menatap kaki buatnya, ingin rasanya ia menggunakan kekuatannya dan melayang di udara. Ia lelah harus berjalan, terutama menggunakan sepatu. Ini sangat menyebalkan!
“Kita harus menyamar menjadi manusia.”
“Buat apa?”
“Ikuti saja Stefani. Jangan banyak bertanya.”
“Saya tidak mau. Kamu jelas tahu hal itu.”
“Ada sesuatu yang harus saya lakukan di sana.”
Kelvin memang gila! Dan gilanya, ia terseret semua ini. Apa sebenarnya yang ingin ia lakukan di dunia manusia.
“Tumben Lo gece banget dateng ke sekolah. Biasanya Lo kan telat muluk.”
Stefani menoleh, ada dua orang siswa yang berjalan berlawan dari Stefani. Mereka sedang asik bercerita, tidak mengindahkan Stefani di sana.
“Biasa, gue ada PR.”
“Dasar Lo. Ngerjain PR itu di rumah bukan di sekolah... “
“Lo lupa ya, sekolah tuh seperti rumah kedua. Gak salah dong gue ngerjain PR di rumah kedua gue.”
“Klise. Alasan Lo dah basi. Makanya tiap hari tuh belajar, bukan ngebucin muluk! “
“Tempa aja Lo. Stalker ya Lo... “
“Idih, najong!”
Stefani berjalan melewati kedua siswa itu dengan dahi berkerut tanpa sadar. Ia tidak mengerti beberapa kata yang mereka ucapkan, jangan lupa, Stefani bukan remaja berusia belasan, ia jin berusia 117 tahun. Secuil dari umur mereka.
‘Bucin, gece, stalker, najong' kalimat apa itu? Seingat Stefani, kata yang dia pelajari kalah itu sudah termasuk modern, tepatnya 50 tahun yang lalu dan sekarang...kenapa mereka cepat sekali berubah!
Stefani sampai di kelas. Ia melihat pintu kelas yang setengah terbuka. Itu artinya Stefani tidak menjadi yang pertama datang ke kelas.
Samar-samar, saat langkahnya mendekati kelas, Stefani mendengar sesuatu. Tubuhnya seketika terasa panas, Stefani menggeram menahan sakit, namun anehnya langkah kakinya malah terus memaksa tubuhnya untuk mendekat bukan berlari menjauh. Meski sakit, harus Stefani akui ada sesuatu yang membuatnya terus melangkah maju, memasuki kelas. Terlihat seseorang tengah khusyuk dengan memegang buku tebal, di tangannya, bukan sekedar buku, itu Al-Qur’an. Stefani tahu jelss.
Orang itu mengangkat kepalanya menyadari kehadiran Stefani. Stefani ingat siapa nama manusia itu, ya, dia Ilham, ketua kelas mereka.
Ilham refleks menghentikan lantunanya dan langsung bangkit dari kursinya.
“Pagi,” sapanya.
Stefani menarik senyum tampil di tengah rasa sakit yang baru saja berhenti menyiksanya.
“Pagi,” Stefani memaksa suaranya untuk keluar, hal itu berimbas pada suaranya yang terdengar serak. Kesialan apa ini—batin Stefani. Bertemu dengan manusia seperti Ilham adalah kesialan bagi jin seperti Stefani. Satu pekan lebih, Stefani selalu menghindar berurusan atau kontak mata dengan manusia sejenis Ilham. Stefani tidak ingin terbakar konyol. Dari yang dia amati Ilham merupakan anak yang religius dibanding anak-anak lain di kelas. Ia tidak bisa dekat dengan manusia seperti ini, entahlah, setiap dekat Ilham, Stefani merasa terbakar. Ada sesuatu dari Ilham, dan Stefani tidak tahu apa itu. Dia hanya sering melihat Ilham seperti melafadzkan sesuatu tanpa suara, ruas jari-jemarinya bergerak naik turun, seperti orang yang tengah menghitung.
“Pasti sakitkan," gumamnya pelan. Bukan kalimat tanya yang mesti Stefani jawab.
Stefani memilih diam.
Ilham bergerak menjauhi kursi yang tadi ia duduki. Dugaan Stefani, Ilham hendak keluar kelas, mengingat hanya ada mereka berdua di kelas. Cowok dan cewek, dalam agama Islam situasi seperti ini harus dihindari, apalagi berada di ruangan tertutup, seperti kelas. Ini di lakukan guna menghindari diri dari adanya Fitnah. Ya... meski Stefani jin bukan manusia.
Stefani menjatuhkan dirinya di kursi tempat duduknya. Ilham yang berada di ambang pintu, entah mengapa menoleh ke belakang, membuat Stefani refleks kembali mengangkat kepalanya.
“Kamu dengar apa yang tadi saya baca? “
Stefani tidak suka situasi seperti ini, situasi di mana dia harus menjawab pertanyaan mereka sembari tersenyum, seolah-olah ia dengan senang hati melakukannya. Ia tidak suka hal ini, tapi ia terpaksa, agar terlihat normal seperti manusia yang terlalu suka berbasa-basi.
“Hem, hanya sedikit.” Stefani meragakan kata 'sedikit' dengan jarinya.
“Terasa familirkan?”
“Hem... “ Stefani teringat rasa sakit yang membakar tubuhnya, namun anehnya ia terus berjalan mendekat.
“Itu surah Ar-Rahman. Nikmat Tuhan mana lagi yang kamu dustakan..” Ilham tersenyum simpul, tapi senyum itu bukan ia berikan untuk Stefani tapi untuk kaum ubin lantai kelas. Ya, sejak tadi Ilham menundukkan.
“Surah itu yang menarik kaum jin beriman ke pada Allah SWT. Mereka mendapatkan hidayah setelah mendengar surah itu.”
Stefani hanya mengangguk kecil seolah dia tertarik pada informasi yang Ilham berikan. kenyataannya, ia sama sekali tidak peduli.
Cihh...jika tidak dalam penyamaran bodohnya ini, tidak akan mau Stefani seperti ini. Dia akan melayang di udara atau menerobos keluar melalui jendela. Sayang itu tidak bisa ia lakukan.
Sial gara-gara Kelvin—batin Stefani.
“Dan saya berharap kamu juga bisa mendapatkan hal itu, seperti mereka dari golongan jin.”
***