Pembela?

1195 Words
“Stefani! Kenapa kamu berulah lagi?!” “Kenapa?! Kamu marah karena saya mengusik Zahra?! “ “Iya. Saya juga tidak suka kamu menyakiti yang lain. Kita memang jin, tapi kita tidak boleh mengusik mereka! “ Stefani tersenyum miring. “Kita lebih kuat dari mereka, jadi wajar saja, ikan besar memakan ikan kecil.” “Stefani, jangan macam-macam! Kalo kamu menyakiti mereka, kamu akan berhadapan dengan saya! “ Stefani tertawa pelan. Ia mengarahkan tangannya ke arah Kelvin. Seketika Kelvin tersentak, seolah ada angin yang menerbangkan tubuhnya menghantam dinding. “Sepertinya kamu telah berubah menjadi ikan kecil, karena terus-terusan bergaul dengan mereka.” Stefani berbalik dan pergi. Sepasang mata yang sejak tadi menjadi penonton ilegal di balik dinding perpus seketika langsung menyembunyikan dirinya, saat melihat Stefani berbalik, berjalan ke arahnya. “Kak... “ “ASTAGFIRULLAH... “ “Kenapa sih kak? Kek habis liat jin aja. Eh, ada kak Kelvin di—“ “Ssttst...” Zahra langsung menarik tubuh Maryam untuk menjauh dari sana. Ia tidak ingin ketahuan sebagai penonton ilegal karena Maryam. “Kenapa sih, Kak? “ Maryam menepis tangan Zahra. “Tarik-tarik, emang aing kambing et dah..,” protes Maryam. “Ya udah pulang yuk... “ Zahra mengalihkan topik. Dahi Maryam berkerut. “Tunggu dulu. Tadi tarik-tarik sekarang main nyolonong ngajak pulang. Jelasin dulu, tadi kakak ngapain sih?” “Hem... “ Zhara bergumam, bingung harus menjelaskan apa. Maryam menatap Zahra, matanya refleks menyipitkan, “Kak stalker kak Kelvin ya? “ “Fitnah. Orang tadi gak sengaja liat.” “Tuh, benarkan. Berarti yang aku liat tadi kak Kelvin.” “Iya. Terus kenapa? “ “Kak aku dengar kak Stefani dan kak Kelvin juga dekat ya? “ “Eh, kamu kenal Stefani juga? “ “Gosip terhangat seantero sekolah.” “Gosap-gosip....dosa tahu. Gak boleh gosip. Gosip sama kayak gibah itu dosa.” “Iya kak tahu. Gue kan cuman dengar aja.. “ “Tetap aja. Kalo bisa tutup telinga gak usah dengar berita gak penting.” “Iya..iya... btw kak Kelvin baik ya Kak..” Maryam tersenyum simpul, bermaksud menggoda Zahra. Zahra tidak merespon dan terus berjalan mengabaikan perkataan Maryam. Zahra bahkan berjalan lebih cepat dari Maryam, membuat Maryam terpaksa harus berlari kecil menyamai langkah Zahra. “Cepat banget sih Kak jalannya,” protes Maryam setelah berhasil menyamai langkah Zahra. “Mikirin apa sih. Bengong-bengong aja kayak ada pikiran—“ “Aw,” Maryam meringis begitu tangan Zahra menoyor kepalanya. “Ini namanya k*******n dalam jalan—“ Zahra melirik tajam Maryam. Maryam langsung nyengir lebar, tidak jadi melanjutkan kalimatnya. “Gitu aja ngambek...,” sorohnya. “Lagian gak biasanya diem aja. Sepi tahu jalan diem-dieman kayak orang musuhan aja. Kan bosen jalan tanpa ngobrol, ngobrol kek.. “ “Beli es cream yuk di kedai.” “Gak punya uang.” “Kakak trakri.” “Wah, boleh tuh, Kak. Tapi btw ada angin apa nih kak, tiba-tiba traktir es cream. Ini bukan tindak penyogokan kannn? Gue penolak keras tindakan penyogokan karena itu awal dari korupsi, jangan mau jadi seperti tikus berdasi macam...” “Apaan sih, Dek. Gak jelas,” potong Zahra. “ Jadi mau atau gak? “ “Maulah kak, kuy lah...mana mau nolak, ulah-ulah tangga.” Keduanya berjalan menuju kedai. “Dek, kamu pesan ya. Kak tunggu di meja deket jendela. Oke.” Zahra menyerahkan dua lembar uang sepuluh ribuan pada Maryam. “Oke, siap laksanakan.” Zahra duduk di kursi itu, dan entah kenapa pikiran tadi masuk ke dalam otaknya membuat ia tanpa sadar merenungi sesuatu yang entah untuk apa. “..Kenapa? “ gumam Zahra, tanpa sadar. Zahra pikir, Kelvin sama jahatnya dengan Stefani. Dia hanya berpura-pura baik di depan Zahra, hal itu jelas terlihat saat kedua vampir bukan maksud Zahra jin, saat mereka membunuh gadis itu di kastil. Zahra sudah mengcap Kelvin sama jahatnya dengan Stefani. Jika dia baik, kenapa dia malah diam saja saat melihat Stefani membunuh gadis itu, tidak ada jin baik yang melakukan hal itu kan? . Lantas kenapa tadi Kelvin memarahi Stefani. Di sana tidak ada siapa pun sama seperti waktu itu. Mereka tidak menyadari kehadiran Zahra bukan? “Kak, Lo es cream cokelat kan? “ Maryam menyentuh pundak Zahra. Sebenarnya pelan, tapi respon Zahra yang berlebihan. Dia sedikit kaget. Membuat Maryam refleks mengerutkan dahi. “Iya. Kayak biasanya.” Zahra cepat-cepat menjawab, sebelum kerutan di dahi Maryam berubah menjadi pertanyaan. “Oke. Dugaan gue benar.” Maryam tersenyum lebar, lalu kembali ke meja kasir yang gabung dengan meja pemesanan. Sistem di kedai itu, pesan dan langsung bayar. Zahra segera menepis pikiran itu dari Kedai itu tidak terlalu ramai, mungkin karena sekarang sudah masuk waktu kerja lagi setelah waktu istirahat tadi pukul satu. Entahlah. Tapi suasana seperti ini sangat enak untuk bersantai. Zahra menghirup dalam-dalam aroma khas kedai ini, aroma es cream. Mulai dari aroma stowbery yang segar hingga aroma vanila yang manis. Yummy, sangat membangkitkan semangat buat makan eh minum es cream, entahlah. Satu hal yang Zahra suka lagi dari kedai ini, tempatnya yang bagus dan harga yang ekonomis itu poin utamanya Zahra sering ke sini bersama Abi. Setiap hari ahad sore, Zahra selalu menodong abi untuk mengajaknya makan es cream di kedai ini sembari menikmati suasana jalan sore yang kebetulan terlihat jelas di kaca lebar kedai ini. Kedai ini terletak di pinggir jalan, jadi Zahra mendapatkan pemandangan gratis, melihat aktivitas kebisingan jalan yang ramai di padati kendaraan. Zahra suka itu Tanpa sadar Zahra tersenyum kecil mengingat kenangan kecil yang manis itu. Ia jadi teringat abi yang selalu menasihatinya untuk selalu bersyukur apa pun yang terjadi. Zahra rindu Abi dan juga Umi. Zahra tersenyum, ia mengirimkan Al-Fatiah untuk kedua orangtuanya di sana. Yah... kini hanya cara itu yang bisa Zahra lakukan untuk melepas rindu pada orang tuannya. “Kak, wah, Lo pasti nangis ya.... ih gue merasa b**o udah terima lo ngajak makan es cream di sini. Gue lupa kalo tempat ini yang sering Lo kujungi sama paman dulu.” Maryam meletakan dua cup es cream, dengan tidak bersemangat. “Lo jadi sedih gini kan... kita makan di rumah aja yuk Kak. Gak tega gue liat Lo sedih gitu.” “Apaan sih, Dek. Gue gak sedih, gue cuman keingat Abi sama umi aja, makanya tadi barusan kirim doa.” “Iya, gue juga mau kirim doa buat paman dan bibi.” Maryam langsung menutup matanya, mulutnya komat-kamit sebelum akhirnya mengusap wajahnya dan bergumam ‘Aamiin' “Tapi, serius, Lo gak sedih Kak?” “Dua rius. Makan tuh es creamnya. Kalo di bawa pulang, cair di jalan.” Maryam tersenyum lebar. “Siap, laksanakan.” “Jangan lupa doa.” “Eh, iya lupa... “ Maryam nyengir. “Aamiin.” Ucap keduanya bersamaan. “ Eh, baju seragam mereka sama.” Zahra melirik kearah dua wanita yang tertangkap basah menatap kearah mereka. “Kak, di kayaknya ada kecelakaan deh di sana.” Maryam menunjukkan ke luar jendela. Benar. Ada kecelakaan di sana. Banyak orang berkerumun. “Eh, kalian sekolah di SMA dekat sini kan? “dua wanita yang tadi melihat ke arah mereka, menghampiri keduanya. “Eh, iya Kak...ada apa? “tanya Zahra canggung dan bingung. “Itu, ada kecelakaan. Kayaknya sekolah di tempat kalian deh. Coba diliat. Orangnya pingsan.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD