Menyimbak Tirai

1640 Words
Zahra menyimbak tirai yang menutupi jendela lebar itu. Zahra ingin kabur melalui jendela. Tapi begitu melihat keluar jendela, Zahra di buat kaget. Ternyata benar dugaanya. Tempat ini mirip kastil kuno yang di gambar di n****+-n****+ atau televisi. Bahkan interiornya pun hampir mirip. Zahra memutar otak, bagaimana dia bisa kabur lewat jendela dengan ketinggian seperti ini? Hal pertama yang terlintas dibenak Zahra yaitu, membuat tali dari kain. Yap. Dengan kaki terseok, Zahra mencari ke sana-ke sini kain untuk aksinya tersebut. Dua puluh menit berlalu, Zahra telah selesai dengan kain talinya. Zahra melihat keluar jendela, ia refleks meneguk ludah, sedikit merasa takut dengan ketinggian itu. “Ya Allah.” Zahra memantapkan hati dan segera melempar tali kain keluar jendela. “Kamu pasti bisa, Zahr...,” gumam Zahra, menyemangatkan dirinya sendiri. “Bismillahi rahmanni rohim.” Awalnya semua baik-baik saja, tapi di pertengahan jalan, tali kain yang Zahra gunakan hampir terlepas semua jelas kesalahan Zahra yang tidak memeriksa ulang atau mengikat dengan kencang. “Ahhhhhh....,” teriak Zahra, saat tali itu akhirnya benar-benar lepas. Zahra mengerjap, menatap menara yang tadi ia turuni. Ia sudah berada di tanah dengan selamat. Keadaan yang tidak kurang satu apapun dan ia sekarang terbaring di rumput hijau. “Hem, mau kabur ?” Suara itu refleks membuat Zarah mengubah posisinya menjadi duduk. Ia menatap orang yang berdiri di hadapannya dari ujung kaki hingga kertas dengan takut-takut. Zahra menduga itu Kelvin. Dan Yap, dugaannya benar. Kelvin bersedekap d**a melihat Zahra, wajah yang pucat terlihat kecut menatap Zahra. Zahra segera berdiri, ia sedikit mengadu lantaran kakinya yang terasa ngilu. “Kenapa kamu mau kabur? “tanya Kelvin masih dengan intonasi yang sama. Zahra membuang muka. Baginya jelas itu pertanyaan terkonyol yang pernah ia dengar. Bagaimana bisa dia bertanya alasan kenapa, jelas dia ingin kabur dari sana. Ia di tahan. Dan mereka bukan manusia. Mereka jin. “Saya mau pulang. Ini bukan rumah saya,” jawab Zahra. “Sekarang kastil ini milik kamu. Ini Rumah kamu.” Zahra mendengus. Bukan itu maksudnya. Ia hanya ingin pulang. Titik. “Selamanya ini tidak akan menjadi rumah saya. Saya mau pulang! Kenapa kalian menahan saya di sini! “ bentak Zahra, kesal. “Kamu terluka, jadi kamu tidak boleh pulang,” sahut Kelvin, tenang. “Itu hanya alasan. Apa jika saya sudah sembuh kalian akan membiarkan saya pergi?! Saya rasa tidak ! Sembuh atau tidak, ini bukan urusan kalian!” “Ini urusan saya. Karena kamu jodoh saya! Saya sangat menyukai kamu.” Kelvin menghentikan langkah Zahra. Ia berdiri di hadapan Zahra. Zahra refleks mundur lima langkah, membuat jarak di antara mereka. “Jangan pergi....,”katanya lagi. “Setidaknya hingga lukamu sembuh.” “Saya tidak akan termakan muslihat kalian,” Zahra berdecak. Ya Allah, lindungi hamba dari tipu muslihat setan dan sekutunya—batin Zahra. “Jangan berusaha terlihat baik. Jelas kita berbeda. Sesungguhnya setan adalah musuh yang nyata.” “Saya tidak sedang menipu,” jawab Kelvin. “Lalu apa? Biarkan saya pulang! “ “Apa kamu lupa kenapa kamu bisa berada di sini? “ Zahra tertegun. Tidak mungkin ia lupa. “Sosok berjubah hitam itu. Apa kamu lupa?” pertanyaan itu membuat lutut Zahra gemetar. Zahra refleks menutup matanya, seolah semua kejadian itu kembali berada di depan matanya. “Nyawa kamu terancam jika pulang. Tetaplah di sini, karena hanya di sini kamu bisa aman,” bujuk Kelvin. “Saya hanya berusaha membantu dan menyelamatkan kamu,” sambung Kelvin, menyakinkan Zahra. *** “Kamu bodoh sekali, Vin.” Suara itu menghentikan langkah Kelvin. Kelvin menoleh dan mendapati Stefani melihatnya dengan tatapan mengejek. “Apa yang salah? “ Kedua alis Kelvin terangkat ke atas. “Kamu salah karena bodoh. Sejak kapan kamu menjadi Kelvin yang berbeda? Lemah.” “Ini bukan lemah atau kuat. Kamu memang tidak mengerti, karena kamu belum masuk sepenuhnya.” “Oh, ya....terus apa namanya jika bukan bodoh?” Stefani sudah muak. Ia kesal akan banyak hal. “Cinta.” Stefani mendengus. “Cinta...persetan dengan cinta! “ “Tutup mulutmu, Fani! Makhluk tidak jelas sepertimu tidak akan mengerti! Saya berusaha mendapatkan hatinya, bukan kendali atas dirinya. Kamu jelas tahu hal itu.” “Dan karena kecerobohan kamu, dia hampir membunuh kita, benarkan? “ “Saya tahu kamu benci pada gadis itu, tapi kamu harus ingat, kamu tidak akan pernah bisa membuat Zahra kesulitan. Ada saya di depan, belakang, kanan, kirinya. Jadi ingatlah semua batasmu! “ “Kamu tahu, Vin. Saya semakin membenci semua ini! “ “Bukannya dari dulu kamu membenci semua ini, “tandas Kelvin. “Yap! Dan semua KARENA KAMU!!! “ Stefani tiba-tiba menyerang Kelvin. Kelvin tidak membalas, ia hanya menghindar. “Jangan macam-macam, Fan ! Saya tidak membalas kamu bukan karena saya takut padamu, tapi saya masih menganggapmu sahabat,” kata Kelvin tenang. Stefani mengeram kesal. “Nikmati saja semuanya sekarang. Kamu berada di sini bukan karena saya tapi karena diri kamu sendiri.” “Tapi jika kamu tidak hadir,” Stefani terdiam dengan kata-katanya sendiri. “Semua mungkin berbeda.” “Tidak akan ada yang berbeda. Pilihan kamu yang membawa kamu ke sini. Ingat saya tidak pernah memaksamu, kamu yang datang sendiri. Jadi nikmati saja semua ini.” Kelvin berjalan pergi, baru dua langkah ia menoleh kembali. “Dan jangan macam-macam pada Zahra. Kamu tentu tahu, siapa yang akan kamu hadapi.” **** Bab 4 : “Zahra, kenapa kamu tidak makan lagi hari ini? Sudah dua hari kamu tidak makan.” Kelvin berdiri di depan pintu kamar Zahra. Zahra mengharamkan mereka untuk masuk jika tidak ingin terbakar karena lamunan surah Qursi yang Zahra baca. Kelvin berdecak. Tidak ada sahutan dari dalam kamar. Pria berpenampilan serba formal, dengan rambut yang di atur klimas persis seperti vampire modern yang digambarkan manusia. Kelvin mondar-mandir. Ia sangat mencemaskan keadaan Zahra. “Apa gadis mu itu berulah lagi ?” Stefani tertawa mengejek. “Zahra tidak sama seperti gadis lain, jadi.. saya rasa kamu buang-buang waktu.” “Diam,” sentak Kelvin. Rahangnya mengeras. “Lebih baik sekarang kamu panggil pelayanmu. Panggilan dia untuk membujuk Zahra.” “Kenapa harus saya? “ Stefani enggan. “Fani, jangan menolak. Ingat, saya tetap menjadi pemimpin di kastil ini.” Stefani nampak kesal. Ia memutar langkah lalu menghilang. Dua menit berikutnya Stefani datang lagi. “Dia berjalan ke sini,” kata Stefani, ketus. Tidak lama terdengar suara langkah kaki di tangga. Muncul seorang gadis bertubuh mungil. Gadis itu memberi salam hormat. Gadis itu nampak tidak berani mengangkat kepalanya. Ia terus menunduk. Stefani bersidekap d**a. “Pergilah, masuk ke dalam kamar itu.” Gadis itu mengangguk kecil, lalu dengan langkah kecil pula ia masuk ke dalam kamar Zahra. Kondisi fisik Zahra semakin melemah, meski begitu Zahra tetap melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslimah. Ia tetap salat dan berdzikir memohon perlindungan Yang Maha Kuasa. Di sana tidak ada air, sehingga Zahra berwuduh dengan bertayamum lalu untuk arah kiblat, Zahra memantapkan hati bahwa kemana pun arah salatnya ada muka Allah di sana. Hal inilah yang bisa di lakukan seorang muslim jika tidak mengetahui arah kiblat secara pasti. “Assalamualaikum, Warohamtullahi Wabarokatuh... “ Zarah menoleh ke kanan lalu ke kiri, mengakhiri salatnya. Gadis itu baru saja selesai melaksanakan salat isya. Di sini tidak terdengar kumandang azan bahkan tidak ada jam untuk mengetahui kapan waktu salat. Patokan Zahra hanyalah matahari. Ia menyingkap gorden tebal itu dan membiarkan cahaya bulan masuk ke dalam kamar bernuansa dingin itu. “Ya Rabb, tolong hamba....” lirih Zahra seraya menatap bulan yang bersinar. Tiba-tiba ada suara langkah kaki mendekat. Zahra spontan langsung menoleh. “Maaf, nona...,” cicit gadis itu pelan. Zahra menatap tajam gadis bertubuh mungil itu. Entah kenapa wajahnya mengingatkan Zahra pada seseorang. “Kenapa kamu bisa masuk ke sini? “tanya Zahra, bingung. “Kamu bukan jin...,” gumam Zahra, menyadari bahwa gadis itu tidak berkulit pucat, dan bernafas sepertinya. Gadis bertubuh mungil itu mengangguk pelan. Sangat pelan. Baru Zahra sadari ia sedikit gemetar. Nampan makanan yang ia pegang menjelaskan semua itu. “Kenapa kamu bisa di sini? “ tanya Zahra. “Saya tawanan di sini.” Mata Zahra terbelalak. “Apa mereka juga menawan manusia lainnya di sini? Maksud saya, manusia selain kita.” Gadis itu mengangguk kecil. “A-ada lagi manusia selain kita. Mereka ada yang datang sendiri dan a-ada yang menjadi tawanan seperti saya.” “Kenapa kamu gemetar? Saya juga manusia.” “Saya hanya tidak ingin membuat kesalahan,” jawab gadis itu pelan. “Kenapa kamu tidak kabur? “ “Banyak yang berusaha kabur. Tapi mereka hanya akan berujung dengan kematian.” Gadis itu meletakan nampan di atas nakas. “Makanlah nona. Jika kamu tidak makan, bagaimana kamu bisa sembuh dan kabur dari sini..” “Apa maksud kamu? “ “Saya akan membantu kamu untuk kabur dari sini, Nona. Nona bisa kabur melalui trowongan rahasia. Akan saya antarkan nona ke sana. Tapi sebelum itu, makanan ini duku, Nona.” Zahra menatap gadis itu, apa yang gadis itu katakan sangatlah tulis. Tatapan matanya tidak terlihat sedang berdusta. “Kenapa harus saya kabur sendirian? Kenapa kita tidak kabur bersama saja? “ “Itu akan sangat sulit, Nona. Saya juga harus menyelesaikan sesuatu sebelum pergi dari sini.” Gadis itu mengeluarkan sesuatu dari dalam kantong rol lusuhnya. “Tolong bawalah surat ini bersamamu, Nona. Berikan surat ini pada “Surat apa ini?” Zahra membuka surat itu, ia tidak mengerti isi surat itu sama sekali. Ada gambar bulan purnama dan sesuatu yang mirip goa lalu pisau dan topeng. “Akan saya jelaskan lain kali. Saat saya berhasil keluar dari sini. Sekarang kamu cepat selesaikan makan, sebentar lagi waktu yang tepat untuk kamu kabur dari sini.” Zahra mengangguk. Ia tidak berselera makan, meski makanan itu terliat sangat menggoda perutnya. Zahra tidak ingin makan. Ia makan seadanya agar memiliki tenaga untuk kabur. “Saya sudah selesai.” Zahra buru-buru berdiri. Kakinya masih sakit sebenarnya tapi Zahra memaksakan diri. “Sekarang kamu keluarlah menggunakan jubah milikku ini. Mereka pasti mengira kamu, adalah saya. Setelah melewati koridor panjang, kamu berbelok ke kanan. Lalu ikuti koridor itu saja, di ujung koridor ada gambar yang sangat besar, kamu tekan bagian bahwanya, perhatikan terus sekitar sebelum masuk ke terowongan kecil yang ada di pojok kanan bawah.” “Ikutlah bersama saya.” Zahra mencoba terus membujuk gadis itu. Gadis itu mengangkat kepalanya. Zahra seperti mengenal raut wajah gadis itu. “Insyallah, untuk sekarang kamu saja. Kita bisa tertangkap jika kabur bersama. Saya akan di sini menggantikan kamu.” Zahra terharu, ia memeluk gadis itu sebelum pergi. “Terima kasih, Kak.” “Kakak? “ gadis itu nampak terkejut mendengar panggilan yang Zahra sematkan untuknya. “Selama ini saya tidak memiliki, Kakak. Bolehkan saya memanggil Kakak ? Jika kita bertemu lagi maka, saya akan memanggil itu.” Gadis itu mengangguk. Ia melepas pelukan Zahra dan menyuruh Zahra untuk segera pergi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD