Apa dia marah?

1005 Words
“Kenapa? “ tanya Sarah bingung. Tangan gadis kecil itu malah membeku di udara, senyumnya yang tadi lebar mendadak juga hilang. “Kurang ya? “tanya Sarah lagi. Gadis kecil itu menggeleng pelan, lalu memalingkan wajahnya dari Zahra dan Sarah. Sayup-sayup terdengar suara tangis dari mulut kecilnya. “Ada apa? Kenapa kamu nangis?" bingung Sarah. “Ada apa? “ Zahra menghampiri gadis kecil itu. Ia menyamakan tingginya dengan gadis kecil itu. “Apa kakak buat kesalahan?” tanya Zahra lembut, seraya mengusap air mata gadis kecil itu. “Kakak gak salah. Aku cuman sedih karena ingat ibu yang lagi sakit di rumah . Ibu butuh uang buat beli obat, juga buat makan, dari semalam ibu belum makan apa-apa, aku jualan bunga supaya bisa kasih ibu uang buat beli obat sama makanan, tapi dari pagi gak ada yang beli bunga yang aku jual. Baru kakak berdua yang beli.” Gadis kecil itu menatap buket bunganya yang masih banyak lalu menunduk sedih. “Jangan sedih... gimana kalo kakak bantuin jualan buket bunganya? “ “Iya, kita bakal bantui kamu. Kita bakal buat semua orang datang ke lapak ini,” tambah Sarah bersemangat. “Benaran, Kak? “ mata gadis kecil itu berbinar terang. “Iya.” . . “Huft....” Sarah menghela nafas panjang. “Ternyata jualan itu gak mudah ya,” gumam Sarah pelan. “Gue rasa tempat di sini gak strategis, jarang ada orang yang lewat karena posisinya di ujung gini.” “Iya, kamu bener. Kita harus ngelakuin sesuatu yang bisa menarik perhatian mereka.” “Ngelakuin apa? “tanya Sarah. “Hem, gimana kalo baca puisi? “ Zahra mulai membayangkan hal yang ingin dia katakan dalam puisinya. “Baca puisi...boleh juga sih, tapi ada yang kurang. Gimana kalo baca puisi plus musik, musikalisasi puisi. Pasti rame banget.” “Musiknya dari mana? “ “Hem....Gue ada ide, tunggu bentar.” Sarah berlari kecil, ke belakang. Lima menit berlalu, Sarah datang dengan membawa satu ember dan dua panci yang rusak. Sarah nampak kerepotan dengan bawaannya itu. “Benda ini?” Zahra langsung membatu Sarah. "Kamu dapat dari mana? "tanya Zahra takjub. “Tadi beli sama bapak pemulung di sana. Rumahnya gak terlalu jauh dari sini.” “Masyallah. Kok kamu tahu aja sih?" "Iyalah, Sarah gitu loh." "Masyallah banget ya..." "Iya dungs." Sarah tersenyum bangga. “Jadi, ayo kita mulai sekarang! “ “Ayo! Bissmilah! “ “Allahuakbar! “ “Allahuakbar! “ teriak mereka bersemangat. Mereka membagi posisi, Zahra bertugas menjadi pembaca puisi dan pemegang panci. Sarah bermain pedang dengan ember bocor, dan gadis kecil itu memegang panci untuk memberikan sound krincing. “Mulai? “ tanya Zahra. “Mulai... “ Zahra menarik nafas dalam, menghilangkan segala rasa gugup yang menerpanya. “Bismillah.” Bunga! Bunga mekar bak langit senja Warna menyentuh hati rasa Aromanya menemai jiwa Terpaan angin menggoyangkan mu lembut. Laksana air yang sedang menari Laksa api yang berkobar. Bunga... Keindahanmu wujud nyata lukisan Ilahi Lukisan indah yang dititipkan di bumi Sebagai pengindah, dataran bumi Sebagai pemanis, bak madu. Bunga... Izinkan aku menyimpanmu dalam rumahku... Puisi selesai dibacakan tapi tidak membawa efek apa pun. Banyak orang yang nampak melirik tapi rupanya hal itu tidak mampu menarik mereka untuk sekedar datang melihat-lihat. “Belum ada yang datang,” cicit Sarah, kecewa. Ekspetasi yang tinggi tidak serupa realita yang ternyata sangat jauh dari apa yang mereka harapkan. Sarah menghela nafas panjang. “Rencana ini gak berhasil.” “Kak, udah mau sore Kak. Sebentar lagi semua malam dan aku belum dapat uang yang cukup buat beli obat.” Gadis kecil itu menunduk sedih. “Hem, gimana kalo semua bunganya kakak yang beli aja? “ “Jangan, Kak. Bunga ini mudah layu. Kakak bakal rugi kalo beli semuanya. Lagian aku lebih suka kalo bisa berusaha sendiri.” “Masih ada waktu, Kak. Aku masih bisa berusaha kan, Kak...” Zahra mengangguk pelan. Ia salut dengan kegigihan gadis kecil di hadapannya itu. Zahra bangkit, ia baru hendak mulai menjajakan buket namun tiba-tiba terdengar petikan gitar menyapa pendengarnya dan secara mendadak banyak orang yang datang ke lapak gadis kecil itu. “Dek, bunganya satu.” “Dek, saya juga mau bunga satu.” “Bunga mawarnya.” “Aku mau bunga mawar putih.” “Aku juga.” “Aku mau.” “Wah, ternyata buket di sini bagus-bagus ya. Bungannya juga cantik-cantik.” “Untung kita di kasih tahu mas ganteng.” “Iya, ya, dia, selebgram itu kan? Yang kemarin booming main pianonya itu kan? " “Iya.” “Wah ternyata bisa main gitar juga ya.” “Mana ganteng lagi.” “Iya ihh...” Mata gadis kecil itu berbinar terang, senyumnya merekah lebih indah memandangi kelopak bunga yang sekarang mulai habis terjual. Zahra mengedarkan pandangnya mencari asal suara petikan gitar itu. Rupanya suara gitar itu berasal dari belakang lapak gadis kecil itu. Zahra tersenyum menatap punggung belakang pemain gitar itu. “Terima kasih... “ pekik Zahra. Suara gitar berhenti dipetik. “Terima kasih karena sudah mau bantu, karena kamu banyak orang yang beli buket bunga. Terima kasih, kamu oran—“ Dia berbalik, menghentikan perkataan Zahra. Itu Kelvin. Bukan orang. “Kelvin....” Zahra tersenyum canggung. Ia berusaha menghampiri Kelvin. Tapi Kelvin lagi-lagi menghindari Zahra. Ia langsung buru-buru pergi. “Kenapa dari kemarin, Kelvin jauhin aku terus ya ?” gumam Zahra merasa perasaan tidak nyaman. “Apa aku membuat kesalahan ? Apa Kelvin marah padaku ?” Pertanyaan itu terus saja memenuhi benak Zahra. Zahra tidak bisa menepis perasaan itu, meski sekarang ia sudah sampai di rumah. Pertanyaan itu seolah terus mendesak Zahra untuk mengingat sekiranya ada perbuatan yang membuat Kelvin marah padanya. *** Amina mengajak Zahra untuk bertemu di rumah pohon. Zahra ke rumah pohon setalah ia meminta izin pada bulek. Mereka janjian pukul dua siang, Zahra sengaja datang lebih awal dua puluh menit. Ia berencana mendekorasi rumah pohon dengan hiasan-hiasan dinding yang cantik. Zahra naik ke rumah pohon, bertepatan dengan itu, Zahra melihat Amina baru saja sampai. Zahra baru hendak menyapa Amina dari atas, tapi Amina tidak ke rumah pohon, ia malah berjalan lurus ke dalam hutan. Zahra penasaran. Ia turun dari rumah pohon, dan mengikuti Amina diam-diam. Amina berhenti di sebuah pohon besar. “Hanya Zahra yang bisa,” kata Amina pelan. “Hanya aku? “ Zahra bergumam pelan, dahinya berlipat, apa maksud dari hanya Zahra? Krek! Zahra mendongka, tapi Amina tidak ada lagi di tempat terakhir yang Zahra liat. Zahra kaget, ia menoleh ke kanan dan ke kiri mencari keberadaan sahabatnya itu. Mustahil orang bisa menghilang dalam hitungan menit. “Zahr....” tepukan pelan mendarat di bahu Zahra. Zahra terperanjat, jantungnya langsung berdetak cepat. Sangat sulit bagi Zahra untuk memberanikan dirinya, menoleh ke belakang...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD