****
“Saya sudah tahu.”
“Tahu apa? “
“Kamu...”
“Hem... “
“Apa karena itu....sejak kapan? “
“Sudah lama. Hanya belum sepenuhnya.”
“Kenapa? “
“Karena dia—“
“Ilham...”
Suara itu memecah keheningan malam. Menghentikan percakapan yang tengah berlangsung. Ilham menoleh dan mendapati Kiyai tersenyum ke arahnya. Kiayi rupanya sudah berada di belakang Ilham.
“Sedang apa berdiri di sini? “tanyanya, sembari tersenyum.
Ilham balas tersenyum. “Apa ada yang pak kiyai butuhkan ?”
“Nak Ilham, ada masalah? “
“Maksud pak kiyai? “
“Tidak baik berdiri di luar, malam-malam seperti ini. Bisa masuk angin.” Kiyai tersenyum, simpul.
“Ngeh pak kiyai.”
“Nak Ilham dengar kabar itu? “
Ilham terkesiap, lalu ia mengangguk sekilas sembari memaksa senyum tampil di wajahnya .
“Jadi, bagaimana, nak? Apa keputusanmu? “
“Saya tidak tahu, pak kiyai. Saya bingung.”
“Bingung kenapa? “
Tatapan Ilham menerawang jauh. “Saya masih ragu pak kiyai, bagaimana jika semuanya....” Ilham terdiam.
“Tapi mereka akan datang dalam waktu dua pekan lagi. Tetapkan hatimu nak Ilham. Niatkan segalanya untuk sang Ilhai... Jangan ragu. Jaga biarkan dakwah setan mengenaimu.” Kiyai tersenyum. Ia menepuk pelan pundak Ilham.
“Masuklah. Hari semakin malam.“ Kiyai tersenyum. Kiyai melirik ke arah gelap malam. “ Dia masih bersembunyi di sana bukan?”
Ilham mengangguk pelan. “Dia sering datang ke sini, Pak kiyai.”
Kiyai mengangguk. “Dia juga sering terlihat di majelis ilmu. Tapi dia tidak mendekat. Kenapa?”
***
“Zahr... “
Panggil Kelvin, langkah Zahra terhenti. Kelvin berdiri di belakang Zahra dengan jarak sepuluh langkah, seperti biasa. Zahra menoleh dan tersenyum kecil.
“Kenapa? “tanya Zahra.
Zahra mulai membuka diri, ia tidak lagi memusuhi Kelvin. Kelvin ingin berubah dan Zahra telah mengambil peran untuk membantu Kelvin.
“Bolehkah saya menunggumu salat? “
Dahi Zahra berkerut.
“Ehm... Saya hanya ingin melihat bagaimana kamu salat,” sambung Kelvin.
“Dari mana kamu tahu saya mau salat duhha?” bingung Zahra.
“Hem....“Kelvin berguman pelan. “Saya.. “
“Kamu ingin belajar salat? “
“Ya.”
“Kalo—“
“Kelvin... “ Terdengar suara yang mengintrupsi percakapan mereka. Zahra menatap ke arah sumber suara. Kelvin menoleh. Ilham berdiri di sana.
“Apa bisa kita bicara? “ tanya Ilham.
Kelvin terkesiap. Ia menimbang-nimbang permintaan Ilham. Kelvin menoleh sekilas pada Zahra, Zahra hanya memberi isyarat untuk menerima permintaan Ilham.
“Baiklah.” Kelvin berbalik sepenuhnya menghadap Ilham dan membelakangi Zahra.
“Kita bicarakan ini di taman.”
Kevin mengangguk. Zahra melihat keduanya pergi menjauh, ia berbalik begitu Kelvin dan Ilham tidak lagi nampak oleh matanya. Zahra melanjutkan langkah menuju musholah, sebentar lagi bel berbunyi.
Sepuluh menit berlalu, Zahra telah selesai bersamaan dengan bel sekolah yang berbunyi nyaring, pertanda jam istirahat telah berakhir. Zahra cepat-cepat mengenakan sepatu dan kaus kakinya.
“Ada yang berkelahi di koridor... “
Zahra mendongka. Ia mendengar sekilas percakapan dua orang gadis saat melewatinya. Zahra terlalu terburu-buru menggunakan sepatunya, hingga tidak tahu yang terjadi.
Zahra mempercepat langkahnya ke kelas. Ia takut terlambat. Tapi langkah Zahra malah terhalang oleh kerumunan orang. Zahra mendesah kesal, bagaimana ia bisa ke kelas jika tidak melewati koridor.
“Siapa sih yang berantem?” Zahra bergumam pelan.
Dengan susah payah Zahra berhasil menerobos kerumunan orang. Mata Zahra terbelalak saat melihat Kelvin tergeletak di lantai, lalu retina matanya menangkap sosok Ilham yang berdiri di depan Kelvin. Nafas berantakan, matanya menatap tajam Kelvin. Kelvin melihat kearah Zahra, tatapannya sayu. Zahra tertegun.
Ilham mengikuti gerak mata Kelvin. Sudut matanya menangkap Zahra berdiri di sana. Ilham membuang nafas keras, ia menatap Kelvin sesaat lalu berbalik dan pergi dari sana.
“Kalian berkelahi! Di sekolah! ”
Suara guru menyadarkan Zahra, membela kerumunan menjadi terpencar. Zahra langsung berlari mengejar langkah Ilham. Ilham berhenti menyadari Zahra mengejarnya. Zahra berhenti dengan nafas memburu di belakang Ilham.
“Kenapa kamu melukai Kelvin?! “tanya Zahra.
Ilham mendengus. “Kamu tidak tahu apapun !”
“Apa yang saya tidak tahu ?” Zahra menantang. “Bukannya kemarin kamu marah saat saya melukai Stefani. Kamu mempertanyakan kelakuan saya dan kecewa karena saya melukai makhluk Allah. Sekarang bagaimana? “
Ilham melanjutkan langkahnya.
“Jawab mas Kaca! “desak Zahra.
“Percuma,” sahut Ilham.
“Apa yang percuma!? Mas kaca yang saya kenal adalah orang baik. Kamu bukan mas Kaca yang dulu. Stefani sudah mempengaruhimu! “
“Bukan Stefani. Jauhi Kelvin. Dia bukan jin baik.”
“Lalu siapa yang baik? Stefani?! Saya kecewa sama mas Kaca.” Zahra berbalik. Ada Stefani di belakangnya.
“Ilham... “ panggil Stefani.
Zahra membuang muka begitu Stefani melewatinya, berjalan menuju Ilham.
“Kamu di panggil ke BK,” kata Stefani.
Ilham tertegun. Setelahnya ia melangkah menuju ruang BK, meninggalkan Zahra dan Stefani di sana. Stefani menatap Zahra sekilas lalu pergi dari sana.
.
.
“Kelvin tidak menyerang saya. Saya yang telah menyerangnya, Bu. Saya yang memulai perkelahian tadi.”
Zahra mengintip dari celah pintu yang terbuka. Ia melihat Ilham, mengatakan hal itu.
“Kenapa? Ilham, Ibu kecewa sama kamu. Kamu siswa berprestasi di sini. Kenapa kamu membuat ulah?” bu guru refleks memijat pelan kepalanya. “Kamu tahu, hal ini bisa berpengaruh pada beasiswa yang kamu dapatkan.”
“Maafkan saya, Bu.” Ilham menunduk dalam.
“Kelvin, apa Ilham melukaimu? Kamu bisa melaporkan hal itu pada dewan guru, itu hak yang kamu miliki.”
Kelvin menggeleng. “Tidak perlu, Bu. Ilham sudah mengakui perbuatannya. Saya rasa sampai di sini saja. Saya memaafkan Ilham.”
Guru berjilbab cream itu, menatap kedua siswanya. “Baiklah. Ibu rasa, masalah ini tidak perlu sampai ke dewan guru. Kelvin, Ibu salut dengan kebaikan kamu. Dan Ilham, yang kamu lakukan salah, tapi ibu salut dengan kejujuran kamu. Ibu harap, setelah ini kalian tidak lagi melakukan hal ini.”
Kelvin menjulurkan tangannya, “Maaf.”
Ilham menatap tangan Kelvin di udara. “Tidak perlu. “
Kelvin menarik kembali tangannya. Ia tersenyum, namun Ilham tidak membalasnya.
“Semua sampai di sini, tapi nama kalian ibu catat di buku ini. Dan kalian mendapat hukuman. Nanti akan ibu beritahu, setalah ibu dapatkan hukuman yang tepat untuk kalian.”
“Baik, Bu,” sahut keduanya.
Keduanya beranjak dari kursi. Zahra segera menjauhkan dirinya dari pintu.
“Kelvin... “ panggil Zahra begitu melihat Kelvin keluar dari balik pintu. Kelvin tersenyum.
Ilham baru saja keluar dari ruangan itu. Zahra menoleh. Mereka saling berpapasan. Zahra langsung memalingkan wajahnya begitu Ilham melewatinya.
“Apa yang Ilham lakukan? “ tanya Zahra.
“Entahlah....” Kelvin mengangkat bahunya ke atas.
“Katakan saja. “
“Dia ingin, saya menjauhi kamu.”
“Kenapa? “
“Mungkin karena saya jin kafir.”
“Lalu? “
“Ilham tahu itu. Dan dia merasa, saya monster berbahaya, yang bisa melukai siapa pun.”
“Kenapa dia mengatakan itu?”
“Hem. Wajar saja, Zahr. Saya mengerti, saya ini vampire. Saya jahat. Ilham pasti tahu itu.”
Zahra menghela nafas panjang. Ia tidak setuju hal itu. Kelvin memang jin kafir tapi bukakah dia ingin bertaubat? Kenapa Ilham tidak melihat hal itu?
“Ilham hanya berniat baik. Sebaiknya kamu memang menjauh dari saya. Tidak perlu membantu saya.”
“Sudahlah. Jangan begitu.”
“Kenapa kamu ingin membantu saya? “
“Karena kamu ingin bertaubat.”
Kelvin tersenyum kecil. “Kamu sangat baik, Zahr. Kalo begitu apa boleh saya minta bantuan sekarang? “
“Apa? “
“Karena masalah tadi, saya tidak mengikuti pelajaran. Jadi.... apa boleh saya meminjam catatanmu? “
Zahra refleks tertawa.
“Kenapa? “ bingung Kelvin.
“Kamu serius ingin sekolah? “
“Hem.” Kelvin mengangguk pelan. “Apa salahnya?”
“Tidak salah sih. Cuman, kamukan jin.”
Kelvin cemberut. “Apa salahnya jika vampir ingin pintar?” gumam Kelvin, pelan.
“Bukan begitu.” Zahra menghentikan rasanya. “Hem. Maaf.”
“Is okey.”
“Kamu bisa pinjam catatan saya, setelah Sarah. Sarah akan mengembalikan catatan saya nanti sore.”
“Hem. Kalo begitu, apa boleh saya langsung mengambil di rumahmu?”
“Eh...” Zahra berpikir sejenak. “Boleh.”
***
Zahra menatap langit. Langit terlihat nampak bak lukisan dalam bentuk nyata di depan matanya, perpaduan warna yang sangat indah. Zahra berdecak kagum, tidak henti-hentinya ia mengucap pujian untuk Sang pencipta semua ini. Alam semesta ini. Allah.
Tangan Zahra bergerak membuka kaca jendela, yang semula ia tutup karena tadi hujan. Dan sekarang hujan telah reda. Riak air masih nampak meninggal jejak di genteng atau bunga hias milik bulek.
“Wah, aroma tanah... “ Zahra menghirup dalam-dalam. Senyum lebar menghiasi wajah cantik gadis berkulit putih itu. Mata cokelat muda milik Zahra perlahan menutup, ia ingin khusyuk menikmati aroma tanah.
“DOR! “
“ASTAGFIRULLAH !!” sentak Zahra.
Maryam tertawa puas melihat wajah kaget Zahra. Zahra mencibik kesal.
“Ngapain sih, Dek ? Ganggu aja!” sengit Zahra.
“Jangan marah dong, Kak. Habisnya, Lo sih, senyam-senyum. Kek apa aja tahu.. Ula-ula tangga.”
“Terserah dong! Dari pada kamu, kurang kerjaan. Gangguin orang aja. Dosa tahu. Mana masuk gak ucap salam ....”
“Heheheeh....” Maryam mengaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Maaf, Kak.”
Zahra memutar bola matanya.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam,” jawab Zahra. “Lain kali, diterapi ya adabnya. Jangan main ‘dor-dor' aja.”
“Iya, Kak.” Maryam mengangguk patuh. “Btw, di depan ada kak Kelvin. “
“Kelvin? “ tanya Zahra memastikan.
Maryam mengangguk, yakin. “Buruan gih, Kak. Kasihan kalo nunggu lama.”
“Temenin.”
“Oke.”
Keduanya lalu berjalan menuju teras. Zahra melihat Kelvin berdiri di sana. Ia tersenyum ramah pada Maryam dan Zahra.
“Mau pinjam catatan ya? Bentar ya, saya ambil dulu.” Zahra berbalik. Di depan pintu, bulek muncul.
“Eh, Zar, kenapa temenanya gak di suruh masuk dulu...”
“Hem, itu, Bulek...” Zahra menoleh pada Kelvin. “Mau masuk dulu? “
“Ayo, nak, masuk aja. Gak enak nunggu di luar,” pinta bulek.
Kelvin mengangguk. “Terimakasih, Tante.”
Bulek dan Maryam melangkah masuk duluan, Zahra di belakang Kelvin. Kelvin hendak masuk, tiba-tiba ia terpental. Kelvin terjatuh dan bajunya basah. Maryam dan bulek kaget. Zahra teringat mengenai ayat Qursi yang ia pasang agar jin kafir tidak bisa masuk ke rumah.
“Kenapa, Kak?” cicit Maryam, bingung.
Zahra melihat Kelvin. Kelvin menahan rasa sakit pada tubuhnya.
“Bulek, apa pakaian almarhum paman boleh dipinjamkan? Ehm, baju Kelvin basah karena tersandung tadi.” Zahra menggigit pelan bibirnya. Tadi ia baru saja berbohong. Zahra merasa tidak ada pilihan. Ia merasa tidak bisa berkata jujur. Jadi.... Zahra terpaksa berbohong. Kenapa hatinya merasa ini salah? Bukannya dia melakukan hal yang benar? Kelvin memang jin kafir, tapi dia ingin bertaubatkan?
Bulek mengangguk. “Tentu boleh, Nak.”
“Kalo gitu, biar Maryam yang ambilin, Ma” Maryam berbalik dan berjalan ke kamar bulek.
“Ayo masuk, kenapa malah diam di sana. Udara di luar dingin, gak baik buat kesehatan, kelamaan di luar entar jsdi masuk angin. Ayo masuk... “
Zahra buru-buru mengambil ayat Qursi yang ia tempel di sebelah pintu dan menyimpannya di saku roknya.
Kelvin nampak ragu untuk masuk. Zahra memberi isyarat untuk tidak ragu. Kelvin menarik nafas dan mencoba masuk. Ia tidak terpental. Kelvin menghembus nafas lega.
“Kak, Ini bajunya.” Maryam memberikan baju pada Kelvin.
“Ganti baju di kamar mandi saja.” Bulek mengajak Kelvin ke kamar mandi khusus tamu.
Zahra ke kamar, mengambil buku catatan miliknya, lalu menyimpan gantungan ayat qursi di dalam nakas.
Bulek dan Maryam mengobrol ringan dengan Kelvin. Zahra berjalan ke ruang tamu untuk memberikan buku catatannya. Kelvin sudah mengganti bajunya dengan baju milik Palek. Kaus bermotif garis-garis itu sangat pas, Kelvin kenakan. Ada udara segar dari penampilan Kelvin. Kelvin terlihat lebih fleksibel tidak seperti biasanya dengan hoodie hitam atau jaket hitam bertudung yang menutupi setengah wajahnya ya g terkesan seram.
“Itu pakaian suami tante pas masih muda, “ kata bulek. “Pas sama kamu ya...”
Kelvin tersenyum. Mata hitam legamnya menyipit. Terlihat sangat tampan.
“Ma, apa papa seganteng kak Kelvin pas pakai baju ini? “tanya Maryam, polos. Pertanyaan benar-benar tanpa filter.
Bulek tersenyum geli.
“Papa kamu tampan, tapi Kelvin sepertinya lebih tampan saat menggunakannya.”
Kelvin tersenyum, malu.
“Nak, Kelvin rumahnya di mana? “tanya Bulek.
“Di dekat, sini, tante. “
“Oh, ya... Di mana? Kok tante gak pernah liat? “
“Karena rumah saya ada di hutan. Ada kastil tidak kasat mata ada di dalam hutan.”
Hening.
“Ini bukunya.....,” kata Zahra memecah hebing. Zahra menyodorkan buku catatannya pada Kelvin. Kelvin tersenyum senang, ia langsung beranjak dari kursinya.
“Kalo gitu, saya pamit pulang, Tante....”
Zahra dan Maryam mengantar Kelvin menuju pintu.
“Saya pulang, ya Zahr,” pamit Kelvin.
“Iya.”
“Hati-hati di jalan kak Kelvin.”
Kelvin tersenyum “Bajunya nanti akan saya kembalikan.”
“Santuy aja, Kak.”
Kelvin melangkah pergi. Maryam dadah-dadah gak jelas.
“Hati-hati, Kak. Di sini rawan cabe-cabean, kalo ketemu di jalan jangan lupa baca doa,” pekik Maryam, heboh sendiri.
Zahra menjitak pelan Kepala Maryam. Adiknya itu sudah berlebihan. Maryam mengadu, tidak sakit, hanya ia tidak terima saja, kepalanya di jitak. Maryam hendak protes, tapi ia kaget, saat menoleh. Kelvin ternyata sudah tidak ada di sana. Ia baru melihat Kelvin berjalan sejauh sepuluh langkah dan sekarang sudah tidak ada.
“Lah, kak Kelvin, jalannya cepat banget. Dah ngilang aja kayak jin,” gumam Maryam.
Zahra diam-diam terkekeh. Dia memang jin—batin Zahra.
“Kenapa Lo, Kak ?” tanya Maryam.
“Enggak. Emang kenapa? “
Maryam memutar bola matanya. “Entahlah. Gue males debat, kak.”
Zahra meraih pundak Maryam. “ Ya udah, masuk yuk.. “
Maryam pasrah saja, ia melangkah masuk bersama Zahra.
“Eh, Kak, btw, sejak kapan Lo hafal alamat rumah bulek? Biasanya Lo kan gak pernah ingat.”
“Emang gak ingat.”
“Lah...? Terus kak Kelvin bisa dateng ke sini dari siapa? Dari gue ? Gue gak ngigau kok kalo tidur.”
***
“Sadaqllahualazim....”
Samar-samar, suara dari musholah terdengar syahdu dikeheningan malam. Ilham tersenyum lebar, melihat semangat dan wajah polos para santri, meski terlihat mengantuk mereka tetap bersemangat, apa lagi saat membaca doa pulang.
“Baca doanya yang tenang. Jangan buru-buru..,” Ilham tersenyum, ketika menangkap basa santri yang menguap lebar. Ilham memberi isyarat untuk santri itu untuk menutup mulutnya. Anak kecil itu tersenyum polos, tertangkap basah.
“Ingat ya, pulang langsung ke rumah. Jangan main ke mana-mana. Faintum? “
“Faina.”
Serempak mereka.
Ilham tersenyum dan bangkit. Anak-anak ikut bangkit, mereka langsung membentuk barisan panjang ke belakang. Menunggu giliran menyalami tangan Ilham.
“Assalamualaikum, Nak Ilham.”
“Eh, Pakde. Waalaikumsalam. Pakde, kenapa nyusul saya ke sini? Ada sesuatu? “
“Itu, Nak Ilham. Pak kiyai minta nak Ilham cepat pulang. Makanya Pakde jemput aja.”
“Ada apa memangnya pakde? “
“Hem, Pakde juga gak tahu. Tapi nak Ilham di suruh pulang.”
“Ya udah, Pakde. Saya tutup musholah dulu, terus baru ikut Pakde.”
“Iya, Nak.”
Setelah semua santri pulang, Ilham dan Pakde pulang. Mushola tempat Ilham mengajar lumayan jauh dari pondok, Pakde dan Ilham mengisi perjalanaan pulang dengan berbincara ringan.
“Kakak... “
“Astagfirullah,” pakde mendelik kaget.
Ilham tertegun. “Sudah pergilah....”
“Kakak...”
Mata Ilham berlinang. Sebutan itu begitu ia rindukan.
“Nak Ilham.” Pakde menatap Ilham bingung. “Dia? “
“Kakak... “
Pakde makin bingung. Ilham terisak pelan. “Dia sangat mirip, tapi dia bukan adikku.”
“Kakak. Aku adikmu.”
Ilham terisak. Ia menatap lekat.
“Nak Ilham... “Pakde menepuk pelan pundak Ilham, menyadarkan Ilham .
Ilham menoleh. “Dia.. sudah membunuhnya, Pakde.”
“Kakak, aku kembali.”
“Bukan. Kembalilah ke alammu. “
“Tidak, mau! “ matanya menyalak tajam.
Pakde mundur ketakutan.
“Balaskan dendam saya dulu! Dia telah membunuh saya! “
“Pergilah!! “
Sosok itu menghilang. Pakde menatap Ilham. Ilham tersenyum kecut.
“Nak Ilham, sebenarnya apa yang terjadi? Yang tadi... ? Nak Ilham punya adik? “
***