Bab 3

1706 Words
Rara               “ Ayo masuk…” Mbak Luna mengajakku masuk ke rumahnya. Praktis aku mengekor di belakang sambil sesekali celingukan. Rumahnya gede!             Hari ini niatnya Mbak Luna mau ngasih tau aku gimana caranya ngatur jadwal rapat Pak Danu dan lainnya. Aku juga kurang paham sebenernya. Ya iya lah, orang aslinya aku daftarnya bagian accounting bukan sekretaris apa asisten. s***p emang tuh bos satu. “ Aku ambil mapnya bentar ya, kamu duduk sini dulu.” Mbak Luna mempersilahkan aku duduk di ruang tamunya. Mataku menatap keseluruh sudut ruangan dan aku cukup terkagum dengan desain ruang tamunya. Sepertinya, suami Mbak Luna ini orang kaya deh. “ Loh sayang, udah makan?” aku langsung menoleh kearah ruang tengah begitu mendengar suara Mbak Luna. “ Udah dong ma,” sahut suara lembut milik laki-laki yang di buat-buat seperti suara anak kecil. “ Dia makan banyak nggak mas?” “ Nggak terlalu. Masih nggak enak mungkin.”             Kali ini aku mengakkan badanku ingin melihat Mbak Luna sedang ngomong sama siapa. Mataku menyipit begitu melihat seorang laki-laki berdiri tepat di depan Mbak Luna sambil membopong anak kecil. Ah, mungkin dia suami Mbak Luna. Wajahnya nggak begitu terlihat soalnya lagi nunduk. “ Ada tamu ya?” “ Adik kelasku dulu waktu SMA.” “ Oooh, yang gantiin kamu itu.” “ Iya.”             Untuk beberapa saat lamanya, aku hanya memainkan ponsel sementara Mbak Luna mengambil map yang dia maksud.  “ Adik kelasnya Luna ya?” “ Eh?!”             Aku mendongak dan mataku langsung melebar begitu melihat suami Mbak Luna berdiri menjulang di depanku sambil membopong anak kecil. BUSSSET! GANTENG BANGET ANJIR! “ Eh iya… emmm…” “ Panggil Mas Reza aja Ra.” Timpal Mbak Luna yang tiba-tiba sudah duduk di sofa sebelah. “ Ah iya mbak.” jawabku akhirnya. “ Pa… pa… paaa…” Aku langsung meringis gemas melihat anak Mbak Luna berusaha manggil papanya sambil menggerakkan tangannya lucu. Sumpah, anak itu lucu banget…! “ Berapa tahun mbak?” tanyaku sambil melirik anak Mbak Luna yang saat ini sedang asik dengan papanya. “ Dua bulan lalu baru ulang tahun yang pertama.” “ Ganteng banget tau mbak… jadi gemes.” “ Makasih loh Ra. Tapi ngomong-ngomong aku sebel tau nggak sih, tuh bocah kaya duplikat bapaknya. Emaknya nggak dapet apa-apa masak. Mulai hidung, bentuk wajah, bibir, semua milik bapaknya dia embat. Padahal mah wajah emaknya juga pengen nurun ke anaknya.” “ Tapi matanya mirip kamu loh mbak.” “ Masak sih?” “ Iya mirip. Matanya bagus kaya punya emaknya.” “ Haha… kamu bisa aja sih Ra.” Aku dan Mbak Luna kompak tertawa. “ Sayaaang, tamunya dibikinin minum. Junanya lagi nggak bisa di tinggal.” Tiba-tiba ada teriakan dari arah ruang tengah. Mbak Luna langsung menepuk jidat begitu mendengar itu. “ Astaga Ra, maaf ya. Malah dianggurin. Bentar, aku bikini minum dulu.” “ Nggak usah mbak, nggak papa.” aku menahan tangan Mbak Luna nggak enak. “ Santai aja. Bentar ya,”             Sementara Mbak Luna pergi ke dapur, aku membuka map yang tadi Mbak Luna bawa. Ngomong-ngomong aku jadi nggak konsentrasi setelah dengar suami Mbak Luna manggil sayang kaya barusan. Duh, mereka cocuitt banget dah. Bikin jones kaya aku mupeng. Sialan emang. “ Kamu yang gantiin posisi Luna di kantor ya?” lagi-lagi aku mendongak mendengar suara lembut milik suami Mbak Luna. Njir! Hot Daddy banget sih nih orang. Mbak Luna kok nggak kejang-kejang ya, hidup tiap hari sama laki-laki kinyis model begini. Kalau aku mah, udah kejang tiap hari kali ya, lihat senyumnya yang aduhai. Astagaaa…! Mikir apa aku ini. “ Eh iya mas.” Jawabku sok manis. Duh, sumpah ya, bener kata si Dea. Suami adiknya Pak Danu itu kece abis. Nah, adiknya Pak Danu kan Mbak Luna. Berarti yang di maksud Dea itu Mas Reza ini kan? “ Sejak kapan kerja di kantor Danu?” tanya suami Mbak Luna –maksudku, Mas Reza- sekali lagi. “ Belum lama mas. Belum ada sebulan.” “ Yang betah ya,” Mas Reza tersenyum. Nah kan, senyumnya aduhai. Coba aja Pak Danu kalau di kantor mau senyum manis kaya gini. Loh? Kok malah inget bos kupret satu itu? “ Ini Ra, minumnya. Es jeruk nggak papa ya?” “ Nggak papa mbak. Makasih banget loh ini. Jadi Ngrepotin. Heee…” aku nyengir. “ Ah santai aja…” ***             “ Jadi, Mas Danu itu orangnya perfeksionis banget. Dia paling anti tuh, sama kesalahan-kesalahan kecil yang nggak penting. Aku dulu sering kena marah juga kalau kerja nggak bener.” jelas Mbak Luna setelah dia selesai menerangkan bagaimana mengatur jadwal rapat Pak Danu – si bos kupret-. “ Waaah… terus aku gimana mbak? Aku orangnya ceroboh.” “ Tenang aja. Mas Danu itu baik kalau sama orang lain. Aku kan adiknya. Jadi dia suka seenak jidat sama aku.” “ Tapi aku takut juga mbak.” keluhku jujur. “ Santai aja. Sebenernya kalau aku boleh tahu, kamu kenapa sampai mau kerja double gitu? Emang kamu sanggup?” tanya Mbak Luna sambil merebahkan badannya di sandaran sofa. “ Sebenernya ada sesuatu mbak, antara aku sama masnya Mbak Luna.” “ Sesuatu apa? Kamu kencan sama Mas Danu?” Mata Mbak Luna berbinar. “ Eiiiit… bukan bukan. Apaan kencan, masalah lah iya mbak.” Timpalku cepat. Enak aja kencan. Ogah banget sama laki-laki penyuka batangan kaya gitu. “ Masalah? Masalah apa?” “ Kalau aku cerita sama Mbak Luna, janji ya, Mbak Luna jangan ngetawain.” “ Emangnya kenapa?” “ Janji dulu mbak…” “ Ya tergantung. Cerita kamu gimana dulu.” “ Hm… gimana ya? ya udah, aku cerita aja.”             Saat itu juga, aku benar-benar menceritakan kronologi pertemuan pertamaku dengan Pak Danu. Semuanya tanpa terkecuali. Termasuk kejadian di lift, di parkiran, bahkan perjanjian gaji separuh. Bodo amat lah, biarin Mbak Luna tahu.  Perlu kalian ketahui saja, aku sama Mbak Luna ini dulu deket banget. Dari dulu waktu SMA, kami sering curhat-curhatan. Padahal, Mbak Luna ini adalah kakak kelasku. Kami kehilangan kontak satu tahun terakhir ini karena tasku kecopetan. Jadi dah, semua isinya terpasuk Hapeku hilang. “ Hahahaha! Terus terus?” “ Ya udah gitu. Aku kan jadi nggak enak mbak, sama Pak danu.” “ Ah… Mas Danu itu orangnya baik banget. Luarnya aja kadang dia keliatan nyeremin. Tapi percaya sama aku, dia orangnya baik. Nggak tegaan juga.” “ Masak sih mbak? Tapi dia tega tuh mbak, gaji aku dia potong separuh.” “ Hmmmm kalau itu aku nggak tau.” Mbak Luna meringis. Nah loh? “ Oh iya mbak, aku mau tanya sesuatu. Tapi Mbak Luna jangan bilang sama Pak Danu.” Ucapku dengan suara pelan. “ Tanya apa?” “ Pak Danu itu beneran gay ya mbak?” “ HAHAHAHA!”             Aku terdiam melihat Mbak Luna langsung tertawa terbahak begitu mendengar pertanyaanku. “ Aduh, perut… haha.. perutku sakit… aduh…” “ Ada yang lucu ya mbak?” tanyaku polos. Nah, emang aku nggak tau kenapa Mbak Luna tiba-tiba ketawa sekenceng itu sampai perutnya sakit. “ Dapet gossip dari mana kamu, Ra?” tanya Mbak Luna balik setelah tawanya berhenti. “ Dari temen kantor mbak. Banyak sih, yang bilang.” “ Enggak Ra. Itu gossip bohong. Nggak bener. Mas Danu 100% normal. Dia emang orangnya cuek. Kan tadi aku udah bilang, dia itu perfeksionis. Jadi, urusan cewek juga dia nggak sembarang asal pilih. Saking pemilihnya, dia udah nolak entah berapa puluh cewek. Dari yang biasa aja, sampai yang cantik bohay juga dia tolak. Katanya belum nemu yang srek. Nah, dari situlah, Mas Danu kena gossip kalau dia gay. Itu gossip udah lama. Udah ada sejak dulu.” Jelas Mbak Luna panjang kali lebar. Aku hanya menganguk mengerti. Namun dalam hati aku masih nggak percaya. Siapa tahu Pak Danu emang beneran gay dan Mbak Luna aja yang nggak tahu? Bisa aja kan? *** Danu             Aku mengetuk-ngetuk bulpoin ke meja sembari menunggu Diara mencerna apa yan baru saja aku jelaskan. Ini cewek kenapa lemot banget nah? “ Paham nggak?” tanyaku setelah beberapa saat kemudian. “ Bapak bisa jelasin sekali lagi?” “ Apa?! Masih nggak paham juga? Kumu dengerin saya ngomong nggak sih barusan? Saya sudah jelasin dua kali masih nggak paham juga? Itu otak apa bukan?” aku menggertakkan gigiku tanda aku benar-benar nggak habis pikir sama nih perempuan satu. “ Maaf pak. Tapi kan ini memang bukan bidang saya. Jangan salahkan saya dong, kalau saya lemot. Saya nggak pandai urusan beginian. Makanya saya daftar kerjanya di bagian yang bukan kaya gini. Saya mana paham. Lagian asisten kok ikut mikir kaya gini? huh!” “ Waaah… kamu sopan banget ya, ngomong sama saya. Barusan kamu mendengus kan?” “ Bapak juga jangan keterlaluan dong, sama saya. Sudah saya cuma di gaji separuh. Kerjaan saya di bagian accounting sampai harus saya bawa pulang. Saya manusia loh pak, bukan robot.” “ Ya sudah, surat resign kamu segera di urus biar saya cepat tanda tangani.”             Mata Diara langsung memicing tajam kearahku. katakan aku keterlaluan. Tapi masa iya, kaya gitu aja dia nggak paham-paham? Aku bilang kaya gitu cuma buat menggertak aja. Kerja Diara di bagian accounting bagus. Jadi sebenarnya sayang kalau dia sampai resign. “ Susah memang ngomong sama orang kelewat pinter kaya bapak. sebelumnya saya minta maaf karena kurang sopan. Tapi pak, nggak semua orang bisa mikir cabang-cabang seperti itu. kapasitas otak saya sama otak bapak berbeda. Satu lagi, saya mohon pak, saya butuh banget pekerjaan itu. Jangan menyuruh saya resign. Saya mohon.” Diara langsung menunduk setelah menyelesaikan kalimatnya. Melihatnya begitu, aku jadi merasa nggak enak sendiri. Kayaknya barusan aku udah keterlaluan. “ Ya sudah. Kamu boleh keluar. Yang ini biar saya urus sendiri. Tapi ingat, kamu masih harus ikut saya rapat nanti siang. Jangan lupa dicatat yang bagus kaya waktu itu.” kataku akhirnya. “ Siap bapak!” Diara tersenyum sumringah. Setelah itu, dia langsung berdiri dan berjalan keluar ruanganku. Namun, belum sempat dia menarik gagang pintu, dia menoleh ke belakang. “ Bapak jangan galak-galak ya, jadi cowok. Ntar lakunya susah.” Tepat setelah mengatakan itu, Diara langsung membuka pintu dan keluar begitu saja.             Aku langsung melotot begitu mendengar ucapan Diara. Dia bilang apa barusan? Ajaran Dek Una ini pasti. Dasar adek durhaka! ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD