Bab 4

1255 Words
Danu Aku mengetuk kemudi sambil menunggu lampu lalu lintas menyala hijau. Sampai saat ini, entah kenapa tiap kali aku berhenti di lampu merah, aku selalu ingat kejadian itu. kejadian dimana Diara mencengkram kerahku dengan amarah yang meletup-letup. Kalau dipikir-pikir lagi, waktu itu aku yang salah. Tapi ya sudah lah, sudah berlalu ini. Aku langsung menginjak gas begitu lampu mulai menyala hijau. Namun belum ada dua menit setelahnya, aku kembali menepikan mobilku ketika melihat ada anak SMA duduk di trotoar dengan motor tergeletak di depannya. " Kamu kenapa dek?" tanyaku begitu aku turun dan menghampiri anak itu. Anak itu mendongak sejenak dan tersenyum pias. Celana pramukanya robek dan terdapat bercak darah cukup banyak menetes di jalan. Suasana jalan sangat sepi mengingat hari sudah petang. Belum lagi, jalanan ini memang bukan jalanan yang biasanya ramai. " Ini tadi ada nenek-nenek nyebrang jalan sembarangan. Niat menghindar, eh malah jatuh. Udah keburu ngebut, jadi ngerem-pun udah nggak bisa." Jawab anak itu pelan. Aku dapat melihat anak itu menahan sakit. " Jam segini kok masih di jalan?" tanyaku kemudian sambil menegakkan motornya. " Habis les mas." " Motor kamu rusak parah. Harus dibawa ke bengkel." " Iya mas, nanti." Jawab anak itu sambil berusaha berdiri namun gagal. " Ayo aku antar ke rumah sakit." tawarku sambil jongkok di depan anak itu. " Nggak usah mas. Saya nggak papa." " Celana sekolahmu robek. Darah kamu keluar banyak. Sudah menelfon orang rumah?" " Hape saya mati mas." Untuk beberapa saat lamanya, aku mengamati anak itu. Wajahnya pucat dan tampak lelah. " Arghhh..." anak itu mengaduh sambil memeriksan kakinya. Dia menyingkap celana sekolahnya yang robek. Aku meringis begitu melihat betisnya ternyata juga robek. Eh apa sih bahasanya? " Ayo aku antar ke rumah sakit. Tenang aja, aku bukan orang jahat." Kali ini tanpa menunggu lama, anak itu akhirnya mau aku bawa ke rumah sakit. Sepanjang perjalanan, anak itu tampak kesakitan. Aku meringis membayangkan betapa perihnya luka itu. " Nama kamu siapa dek?" " Apa mas?" " Nama kamu siapa?" " Zidan mas." jawabnya dengan suara lemah nyaris seperti bisikan. Setelah melihat kondisi anak itu yang semakin melemah, aku mempercepat laju mobilku. Entah kenapa aku merasa aku harus tanggung jawab dengan anak ini. *** Rara Aku melirik jam dinding entah untuk kesekian kalinya. Zidan kemana sih, jam segini belum pulang? Apa dia main ke rumah temen? Tapi kenapa hapenya mati? " Ma, Zidan kok belum pulang ya?" tanyaku pada mama yang saat ini sedang menonton Tv. " Tadi sih pamitnya mau les, Ra." " Tapi udah jam delapan loh ma. Masak iya selama itu? Bisanya maghrib juga udah sampai rumah." " Main sama temennya kali." Jawab mama santai. " Mama nih. Anak belum pulang kok santai banget. Nggak khawatir apa?" " Bukannya nggak khawatir, Ra. Zidan kan udah gede. Lagian ini malem minggu. Bisa aja dia langsung main sama temen-temennya. Terus hape mati. Lagian selama ini adikmu itu anaknya nggak neko-neko." " Ah terserah mama aja deh. Aku---" aku mengentikan kalimatku begitu tiba-tiba pintu terbuka dan disana Zidan masuk dengan kaki diperban. " Zidaaaan!" aku langsung menjerit dan menghampiri adikku. " Kamu kenapa Dan?" tanyaku begitu aku sudah berdiri tepat di depan Zidan. " Kecelakaan mbak, itu di luar ada tamu." " Tamu?" " Orang yang nolong aku. Mama sama papa mana mbak?" " Mama di ruang tengah. Kalau papa lagi nemenin Pakde ke Tangerang." " Oh..." " Ya udah aku temuin tamunya dulu sementara kamu panggil mama." Zidan mengangguk dan berjalan tertatih menuju ruang tengah. Setelah itu, aku langsung keluar rumah untuk menemui siapa orang yang sudah berbaik hati menolong adikku. Mataku menyipit begitu melihat seorang laki-laki berdiri bersandar di samping mobil dengan kepala menunduk menatap layar hape. " Masnya yang nolongin adik saya ya?" tanyaku begitu sudah berdiri tidak jau dari orang itu. " Eh iya, saya---" " Pak Danu?!" aku langsung menutup mulutku dengan kedua tangan begitu melihat ternyata orang itu adalah Pak Danu. " Ah, dia adikmu?" tanya Pak Danu beberapa detik kemudian. Dia memasukkan hapenya ke dalam saku celana sebelum akhirnya berjalan kearahku. " Dia tadi jatuh. Katanya dia mau ngindarin nenek-nenek nyebrang jalan, tapi malah jatuh." Saat ini Pak Danu sudah berdiri tepat di depanku. Aku memejamkan mataku sejenak. Aduh, kenapa orang yang nolongin Zidan harus Pak Danu sih? Kan aku jadi nggak enak. Pasalnya, tadi siang aku sempat mengejeknya. Astaga, mati kau Ra! " Kamu tampak beda kalau di rumah." Keningku berkerut samar begitu mendengar kalimat Pak Danu barusan. " Ini saya aslinya begini." jawabku akhirnya. " Cantik." " Apa?!" *** Danu "Cantik." " Apa?!" " Hah?! Eh, enggak. Saya nggak bilang apa-apa." tandasku cepat begitu aku menyadari aku sudah keceplosan. Ya Tuhannn, bisa-bisanya... " Barusan bapak bilang saya cantik?" " Pede sekali kamu. Eee, itu bunganya cantik. Iya, itu bunganya yang cantik. Cantik banget." Timpalku cepat sambil menunjuk bunga anggrek ungu yang ada di pot dekat kursi duduk. " Bapak suka bunga?" " Kamu nggak mempersilahkan saya duduk?" kali ini aku berusaha mengalihkan pembicaraan. " Oooh iya pak, lupa. Mari duduk dulu." Aku mengusap dadaku lega. Ya Tuhan, hampir saja. Aku tidak tahu kenapa ya, Diara ini keliatan cantik banget dengan muka polosnya tanpa make up. Wajah baby face-nya makin keliatan. " Bapak mau minum apa?" " Nggak usah, Diara. Saya sebentar lagi juga---" " Rara pak. Panggil Rara aja. Diara kepanjangan." Potong Diara –eh maksudku Rara- cepat. Belum juga aku duduk lima detik, tiba-tiba Zidan –anak yang aku tolong tadi- datang bersama perempuan paruh baya yang aku yakini adalah ibunya. Mereka mirip. " Itu ma. Namanya Mas Danu. Dia yang tadi nolong aku." aku tersenyum sopan. " Mas, ini mama saya." Lanjut Zidan satu detik kemudian. Aku hanya mengangguk sopan sambil tersenyum seadanya. " Saya Danu, tante..." aku memperkenalkan diri sopan sambil bersalaman dengan Ibu Zidan. " Panggil ibu saja. Saya nggak biasa di panggil tante." Praktis aku mengerutkan kening. Bingung. Ibu? " Mama asli Jogja mas, makanya ngerasa aneh kalau di panggil tante. Di Jogja lebih banyak yang manggil mama ibu daripada tante." Jelas Zidan yang membuatku mengangguk mengerti. "..." Akhirnya aku dan Bu Ratih – mamanya Zidan- berbincang untuk beberapa saat lamanya. Zidan ikut duduk di samping mamanya sementara Diara –eh, maksudku Rara- duduk di sampingku. " Ra, tumben kamu nggak banyak bicara?" " Nggak papa ma." " Mungkin dia sudah bosan bicara sama saya bu," " Loh, kalian saling kenal?" Bu Ratih tampak kaget. " Kami kerja satu perusahaan bu," jawabku sambil melirik Rara yang entah kenapa dari tadi banyak diam. " Dia ini bos aku ma..." suara pelan Rara membuat mamanya sekali lagi terkejut. " Apa? Jadi ini bos galak yang kamu maksud? Galak darimananya?" " Maaaa...." Mata Rara melotot. " Rara bilang, saya galak bu?" " Nggak pak!" jawab Rara cepat. " Mama nih..." Rara menatapku dan Bu Ratih bergantian. Dan entah kenapa, aku tersenyum. Aku sendiri tidak tahu kenapa aku tersenyum. " Rara kalau kurang bener kerjanya, jangan bosan diingetin ya Mas Danu." " Siap bu." "..." *** " Saya pulang dulu." Pamitku malam itu setelah aku makan malam di rumah Rara. Sebenarnya aku menolak, namun Bu Ratih sama sekali tidak menerima penolakan. Dia juga membawan beberapa makanan untuk aku bawa. Sebagai rasa terimakasih katanya. Saat ini tinggal Rara saja yang mengantarkanku keluar. Bu Ratih dan Zidan sudah masuk beberapa detik yang lalu. " Iya." " Makasih loh, ini." ucapku tulus sambil mengangkat bingkisan makanan yang aku bawa. " Hmmm." " Kamu kok jadi judes gitu sama saya? Dari tadi diem terus. Yang harusnya marah kan saya. Saya kamu katain bos galak. Saya mana pernah ngatain kamu." " Kalau bapak mau pulang buruan napa sih? Lama bener." Aku melongo. Seriusan aku diusir? Waaaah... ini perempuan satu memang bawahan kurang ajar. " Mentang-mentang ini di rumah kamu terus kamu bisa seenaknya ngusir saya kaya gitu?" " Ini sudah malam, bapak. Kalau sampai ada tetangga saya yang lihat kan nggak enak." " Itu hanya alibi kamu saja kan, supaya saya cepat pulang." " Saya serius pak," " Ya sudah." Akhirnya aku membuka pintu mobil. " Saya duluan." " Makasih pak." Ucap Rara cepat sebelum akhirnya dia balik badan dan berlari masuk kedalam rumah. Dan untuk kesekian kalinya, aku tersenyum tanpa alasan. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD