Rara
Aku berjalan lesu menuju kantor sambil sesekali melirik jam tanganku. Jam segini, maksudku setengah delapan pagi, kantor tempatku kerja masih sangat sepi. Ah, ngomong-ngomong kantor, bawaannya aku ingin marah terus. Aku tidak tahu Tuhan merencanakan apa untukku sampai-sampai aku harus memiliki atasan macam Pak Danu. Ganteng sih, tapi menyebalkan. Yang benar saja, masak iya aku harus jadi sekretarisnya selama enam bulan tanpa dibayar sebagai syarat supaya aku tidak jadi dipecat. Bagaimanapun juga, aku tidak mungkin resign dari kantor ini hanya karena sayarat gila itu. Aku ingat betul bagaimana perjuanganku agar bisa bekerja di kantor ini.
“ Suram banget muka lo, Ra?” aku langsung menoleh begitu mendengar suara Dea.
“ Lagi ada masalah?” tanya Dea lagi.
“ Pak Danu itu gimana sih De?”
“ Kenapa tiba-tiba tanya Pak Bos? Lo udah liat dia? Gimana, ganteng kan?”
“ Jawab aja pertanyaan gue. Dia orangnya gimana?”
“Baik kok, ramah juga.”
“ Suka seenaknya sendiri nggak?”
“ Setau gue sih enggak. Yang agak galak malah adiknya. Itu kalau menurut gue sih. Tapi adiknya udah jarang ke kantor.” Dea merapikan surainya yang tertiup angin.
“ Emang adiknya kemana?”
“ Sibuk ngurus anak pertamanya. Lucu banget tau nggak sih Ra? Mana suami adik Pak Danu juga kece abis. Denger-denger sih dosen.” Dea tersenyum menerawang sambil menatap langit. Ini anak lebay banget lama-lama.
“ Gue nggak butuh informasi suami adiknya Pak Danu. Mau kece kek, mau jelek kek, ya bodo amat. Gue butuhnya informasi tentang Pak Danu. Dia orangnya kaya apa? udah.”
“ Kok lo tiba-tiba kepo sama Pak Danu sih? Naksir ya? Gue bilang juga apa? Tapi gue saranin lo mundur dari sekarang deh daripada---“
“ Lo brisik banget sih De,” potongku yang langsung membuat Dea mencebik kesal.
“ Iya, iya, lo kenapa kok tiba-tiba penasaran sama Pak Danu?” lanjut Dea.
“ Gue disuruh jadi sekretarisnya selama enam bulan tanpa dibayar.”
“ Whaaat? Terus buat apa lo kerja kalau nggak dibayar? Terus kerjaan lo di bagian accounting gimana?”
“ Gue kerja dobel De. Tapi gue cuma digaji buat jatah accounting aja. Gila nggak? Suka s***p emang tuh bos satu. Dia kira gue robot apa ya?!”
“ Bentarrr… kok gue nyium keganjilan disini. Lo buat salah apa sama Pak Danu sampai dia jadi jahat begitu? Setau gue dan pegawai kantor ini, dia itu baik. Serius. Lo buat salah apa Ra?” Tanya Dea dengan mata memicing tajam.
“ Ceritanya panjang.”
“ Ceritaaa.”
“ Ntar lah, gampang.”
“ Sekarang aja Ra. Mumpung masih sepi.”
“ Ntar.” Balasku sambil berjalan cepat meninggalkan Dea
“ Rara!”
***
“ Duduk dulu.” Suara Pak Danu menginterupsi. Tanpa harus menunggu dua kali, aku langsung duduk. Disini aku berasa seperti tawanan. Entah kenapa aku merasa tegang sekali.
“ Kamu hanya perlu mengatur jadwal saya ketemu klien dan mencatat semua hasil rapat. Saya bercanda waktu bilang kamu tidak saya gaji. Kamu tetap saya gaji, tapi hanya separuh. Itu bukan termasuk gaji pokok kamu, itu bonus. Jadi santai saja. Masalah ini juga sudah saya komunikasikan ke Vian. Kamu pasti paham siapa Vian karena dia yang menhandle penuh masalah gaji karyawan kantor ini.” Gaya santainya benar-benar membuatku muak. Dia menyuruhku santai sementara gaji yang aku dapat hanya separuh? Yang benar saja?!
“ Lalu tugas saya dibagian accounting bagaimana pak?”
“ Ya tetap dikerjakan.”
“ Apa bisa pak? Maksud saya, kerja satu bagian saja—“
“ Atau mengundurkan diri saja?” potong Pak Danu yang langsung membuatku menegakkan kepala dan menatapnya tidak percaya.
“ Pak, saya---“
“ Nanti kamu saya kasih nomor adik saya. Sebelumnya dia yang mengatur seluruh jadwal saya. Berhubung dia lagi sibuk dengan anak pertamanya, jadi sementara kamu yang gantiin.” Lagi-lagi Pak Danu memotong kalimatku.
“ Kenapa harus saya pak?”
“ Karena cuma kamu saya punya alasan ngasih gaji hanya separuh.”
“ Kalau saya tidak mau?”
“ Surat pengunduran diri kamu langsung saya tanda tangani.”
SHITTT! Dasar lintah darat!
***
Danu
Aku hanya tersenyum miring begitu melihat Diara tampak kesal menatapku. Saat ini aku benar-benar menikmati peranku sebagai boss jahat. Kapan lagi, aku bisa begini? Seingatku, sejauh ini aku selalu baik pada pegawaiku. Baru kali ini saja aku merasa aku benar-benar menjadi orang jahat. Dan entah kenapa, ini terasa begitu menyenangkan.
Drrrt
Satu pesan masuk.
Adek Bawel
Sumpah demi apa, abang gue yang paling ganteng akhirnya punya nomor cewek! Selamat ya mas! Pengingkatan. Haaa!
Aku langsung mendengus begitu membaca pesan dari Dek Una, adik kandungku.
Me
Berisik! Buruan lo kirim berkas rapat bulan lalu ke email yang tadi gue kasih. Sekalian lo kasih arahan ke dia gimana cara mengatur jadwal gue.
Adek Bawel
Siap pak boss! Selamat berkencan ya…
Me
Kencan pala lo!
Adek bawel
:p
Aku membanting pelan Handphone-ku diatas meja. Adikku satu itu benar-benar paling bisa bikin aku kesal. Aku berjalan kerah sudut ruangan untuk mengambil air minum. Namun, belum sempat aku meneguk minumku, tiba-tiba saja pintu ruangan kerjaku terbuka.
“ Masss!” mataku melotot begitu aku melihat Dek Una datang. Nah, itu anak ngapain kesini?
“ Kok kesini? Anakmu gimana?” tanyaku tepat setelah Dek Una menutup pintu.
“ Sama papanya. Barusan pas balesin chat, aku udah otewe sini kok.”
“ Oooh”
“ Yang namanya Diara mana, mas?” tanya Dek Una sambil celingukan. Aku ikut celingukan begitu aku juga tidak menemukan dimana Diara berada. Bukannya tadi perempuan itu duduk di sofa sambil mengecek beberapa hasil rapat?
“ Tadi disitu kok, tapi entah kalau---“
Klek!
Aku dan Dek Una kompak menoleh begitu mendengar suara pintu kamar mandi ditutup. Dan reaksi Dek Una berikutnya sama sekali tidak pernah terbayang sedikitpun di benakku.
“ Rara!!! Loh kamu?!”
“ Mbak Luna?”
Aku seperti orang bloon begitu melihat Dek Una dan Diara berpelukan. Mereka saling kenal?
“ Kamu kok di Jakarta sih Ra?”
“ Papa pindah tugas di Jakarta. Jadi otomatis aku sama mama ikutan ke Jakarta.”
Aku bingung sendiri begitu melihat Dek Una tampak akrab dengan Diara. Mereka kenal dimana sih? Kenapa bisa sampai seakrab itu?
“ Dek, kamu kenal dia?” tanyaku setelah aku mendapat celah untuk bertanya. Mereka berdua tampak sangat bersemangat sampai melupakan keberadaanku.
“ Kenal banget mas. Dia adik kelasku dulu di SMA. Rumahnya tetanggaan sama Bude.” Aku hanya ber-oh ria mendengar jawaban Dek Una. Masuk akal juga sih, Dek Una kan SMA di Bandung.
“ Mbak, jadi Pak Danu ini---“
“ Iya, dia kakak kandungku, Ra.” Potong Dek Una sebelum Diara menyelesaikan kalimatnya. Diara menatapku dengan tatapan tak percaya.
***
Rara
Sudah dua hari ini aku pulang pergi ke kantor naik bis. Motorku belum aku ambil dari bengkel. Dan memang, kata pegawai bengkelnya, motorku belum selesai diperbaiki. Sebenarnya ini udah kali ketiga motorku masuk bengkel setelah insiden kabel gas putus. Maklum, itu motor sudah tua. Aku sudah memilki motor itu sejak aku kuliah semester dua. Coba hitung berapa tahun?
“ Pulang naik bis lagi?” tanya Dea begitu sore itu kami bersiap untuk pulang.
“ Iya De. Motor gue masih belum selesai diperbaiki.”
“ Gue anterin ya?”
“ Nggak usah De. Rumah kita kan berlawanan. Ntar kamu pulang kemalaman.”
“ Nggak papa Ra,”
“ Jangan De, aku yang nggak enak beneran. Lain kali aja. Lagi pula aku mau mampir-mampir dulu.” Tukasku bohong. Aku hanya tidak ingin merepotkan Dea.
“ Ya sudah. Kalau gitu aku pulang dulu ya,”
“ Iya. Hati-hati ya!”
Setelah Dea pulang terlebih dahulu, aku berjalan pelan menuju halte yang sebenarnya terletak cukup jauh dari gerbang kantor. Sebenarnya Papa menyarankan aku naik taxi saja. Namun aku menolak dengan tegas. Ongkos Taxi teralu mahal jika dibandingkan dengan bis. Uangnya bisa aku tabung.
Aku semakin mempercepat langkah agar aku segera sampai halte. Namun tidak ada seratus meter aku berjarak dari halte, bis sudah datang dan menurunkan penumpang.
“ Yaaah, bisnya datang!” aku berlari secepat yang aku bisa agar segera sampai di halte. Namun sepertinya aku harus merelakan waktuku untuk menunggu bis yang kedua karena tak kekejar.
Setelah sampai di halte, aku terduduk lesu. Napasku masih sedikit ngos-ngosan. Badanku juga berkeringat. Benar-benar tidak nyaman.
Drrrt
Satu pesan masuk dari nomor tak dikenal.
0857421xxxxx
Ikut mobil saya saja. Kalau sudah sore, jarak kedatangan bis selanjutnya sangat lama…
Aku mengerutkan kening begitu membaca pesan itu. Ini nomor siapa?
0857421xxxxx
Saya ada mobil hitam yang berhenti sekitar seratus meter arah barat.
Setelah membaca pesan kedua, aku langsung menoleh. Benar saja, aku melihat ada mobil hitam berhenti tidak jauh dari halte. Itu mobil kaya pernah lihat?
0857421xxxxx
Cepat turun atau saya tinggal.
Me
Ini siapa?
Akhirnya aku memutuskan untuk membalas pesan itu. Mataku langsung melebar begitu melihat seseorang turun dari mobil. PAK DANU?!
Aku bahkan mendelik tak percaya ketika Pak Danu keluar dari mobilnya dan berjalan mendekat kearah halte.
“ Kamu belum simpan nomor saya? Saya kan sudah menyuruh kamu untuk menyimpan nomor saya.” Pak Danu kini sudah berdiri menjulang di depanku. Apa aku belum pernah bilang kalau Pak Danu memiliki postur tubuh yang cukup tinggi untuk ukuran orang Indonesia? Tinggiku saja hanya sebatas lehernya.
“ Lupa pak.” Jawabku sekenanya.
“ Cepat simpan.” Ucapnya dengan nada bossy.
“ Nanti kan bisa pak.”
“ Ya sudah ayo ikut saya. Saya antar.”
“ Nggak usah pak. Saya naik bis saja.”
“ Nunggu satu jam disini mau? Kalau sore biasanya macet jadi lama.”
“ Biasanya nggak nyampe satu jam kok pak.”
“ Ya sudah terserah kamu saja.” Pak Danu langsung kembali ke mobilnya begitu aku menolak tawarannya. Lagi pula dia kenapa sih sok baik menawarkan tumpangan? Modus ini pasti.
“ Oh iya, kamu jangan mikir macam-macam. Maksud saya berbaik hati mengantarkan kamu bukan karena ada maksud terselubung atau semacamnya. Saya hanya kasihan melihat kamu harus lari-lari seperti tadi. Kalau kamu kelelahan terus sakit dan tidak masuk kantor, saya juga yang repot. Satu lagi, ingat ya, besok ada rapat jam delapan. Jangan sampai telat atau gaji yang separuh saya potong lagi menjadi seperempat. ” ucap Pak Danu tepat sebelum dia masuk mobil. Praktis aku melongo. Please deh, meskipun dia bosnya, emang bisa ya, motong gaji seenaknya? Huuu!
Setelah mobil Pak Danu pergi, aku kembali duduk di halte. Sambil menunggu bis datang, akhirnya aku membuka aplikasi game.
Sepuluh menit
Tiga puluh menit
Empat puluh lima menit
Satu jam
…
Aku menguap begitu merasa oksigen di kepalaku berkurang. Aku melirik jam tanganku dan aku sangat terkejut begitu melihat jam sudah menujukkan pukul enam sore. Aku mulai panik dan mondar mandir di halte. Apa aku naik taxi saja ya? Tapi sia-sia dong nunggu lama kalau ujungnya aku naik taxi?
Baru saja aku kembali duduk di kursi halte, aku melihat ada bis datang. Praktis aku buru-buru berdiri. Aku mendesah lega begitu aku berhasil masuk bis. Namun sayangnya, aku terpaksa berdiri karena kursi penumpang terisi penuh.
“ Pak, kok tumben bis 3A lama banget. Jalanan macet ya?” tanyaku pada petugas bis.
“ Bis 3A lagi banyak yang rusak. Jadi yang beroperasi di jalan cuma dua bis saja.”
“ Pantesan saya lama banget nunggunya.”
“ Maksudnya mbak?”
“ Ya ini pak, saya nunggu satu jam lebih. Eh taunya malah penuh.”
“ Maaf mbak, in ibis 2B. Mbaknya salah masuk bis?”
“ Hah?!!! Ini bukan 3A?”
“ Bukan mbak….”
Aku langsung merutuki diri saat itu juga. Bisa-bisanya tadi aku lupa melihat nomor bis. Ini gimana?
“ Pak, pemberhentian bis terdekat dimana?”
“ Tuh mbak, ada halte di depan. Mbak turun situ terus naik aja bis 4A. Setelah itu, dua halte depannya baru deh mbakanya ganti 3A.”
“ Hah? Muterbalik dong pak? 4A kan arahnya nanti berlawanan.”
“ Ya mau gimana lagi mbak? daripada nggak nyampai rumah?”
“ Ya sudah pak.”
Akhirnya, setelah aku berhenti di halte depan, aku langsung turun dan menyetop taxi. Bodo amat sama ongkos mahal. Ya Tuhan, apes banget hari ini.
Ini nih, akibat nolak niat baik orang.
***