Rara
Aku berlari tergopoh ketika melihat jam tangan ternyata sudah menunjukkan pukul delapan kurang tiga menit. Aku semakin mempercepat lariku begitu melihat Dea, teman baruku, datang. Dea yang tiba-tiba menoleh dan mendapati aku berlari langsung mengerutkan kening.
“ Lo kenapa lari-lari begitu Ra?” tanya Dea begitu aku berdiri di depannya.
“ Biar ada temen. Gue masih asing banget sama kantor ini. Takut salah ruangan lagi kaya kemarin.” Jawabku sambil mengatur napasku yang sedikit ngos-ngosan.
“ Kirain apaan. Makanya, jadi cewek jangan mudah pikun. Umur aja lo masih muda, tapi pikunnya minta ampun.”
“ Nggak gitu De, gue cuma masih ngerasa asing aja sama kantor ini.”
“ Lama-lama lo juga hapal.”
“ Hmmm, yayaya.” balasku menggumam tidak jelas.
“ Ngomong-ngomong, seminggu lo kerja disini lo udah pernah lihat pak bos belum sih?” tanya Dea ketika kami hendak masuk lift.
“ Belum. Beliau pasti sibuk. Gue denger kemarin, katanya beliaunya sering ada rapat sama perusahaan luar negri.”
“ Eh Ra, lo panggil pak bos dengan sebutan beliau, lo kira umur bos kita berapa tahun?”
“ Paling juga seumuran bokap gue. Biasanya bos-bos perusahaan besar kaya gini kan yang umur segituan lah.” Timpalku sambil mengedikkan bahu.
“ Eitssss… jangan salah. Bos kita pasih muda, tau Ra. Mana ganteng gila.”
“ Masak sih?”
“ Huum. Serius. Gue aja waktu pertama kali tahu kalau Pak bos kita itu masih semuda itu, langsung syok. Serius deh, karyawan cewek disini pada berlomba dapetin dia.”
“ Termasuk lo?”
“ Udah yakin nggak bakal dilirik, jadinya gue udah mundur teratur dari awal. Dan tau nggak lo? Lebih kerennya lagi, bos kita itu terkenal super duper pinter. Dulunya aja dapet penghargaan jadi lulusan terbaik waktu kuliah. Itu kalau dari yang aku denger sih.”
“ Sebegitunya? Emang ada ya, laki-laki sempurna kaya gitu? Bukannya cuma ada di n****+-n****+?”
“ Nah itu masalahnya Ra. Karena nggak ada manusia yang sesempurna itu di dunia ini, jadi bos kita itu punya kekurangan yang fatal.” Kali ini suara Dea terdengar mulai pelan. Bahkan nyaris berbisik.
“ Emang apa kekurangan bos kita sampai lo sebut fatal?”
“ Dia doyannya batangan. Makannya barusan gue bilang dia nggak bakal lirik gue.” Dea menunjukkan cengiran andalannya.
“ Seriusss? Kok bisa?”
“ Ya bisa. Gue juga nggak tahu kenapa.”
“ Diiih… nggak jadi deketin lah, kalau kaya gitu.” Aku bergidik sendiri. Dea langsung terbahak begitu melihat reaksiku.
“Emangnya lo ada niatan deketin?”
“ Nggak juga sih. Gue nggak minat deketin cowok duluan.”
“ Pertahankan, Ra!”
Hai semuanya, ngomong-ngomong aku belum kenalan dengan kalian. Jadi perkenalkan, namaku Diara Nata Ayunda, biasa dipanggil Rara. Umurku belum ada dua puluh tiga tahun dan aku memiliki seorang adik laki-laki berumur enam tahun di bawahku. Dia bernama Azidan Nata Abuya, biasa dipanggi Zidan. Saat ini di umurku yang ke dua puluh tiga, aku sangat bersyukur karena aku bisa diterima kerja di salah satu perusahaan elit yang cukup terkenal.
Hm, sudah dulu ya, lain kali kita sambung lagi.
***
Danu
Ting!
Pintu lift terbuka. Aku melangkah lebar keluar dari lift untuk menuju kantin perusahaan. Aku lapar. Dari pagi belum sarapan. Di tambah lagi, kemarin sore aku juga tidak makan. Komplit sudah, cacing di perutku menuntuk haknya dengan bringas.
“ Nu, sini!” aku langsung menoleh begitu mendengar suara familiar milik kakak sulungku.
“ Udah Nunggu lama mas?” tanyaku begitu duduk.
“ Belum kok. Tadi habis nganterin Lia ke dokter kandungan.”
“ Huh! Pamer terus semenjak Mbak Lia hamil.” Aku mencibir.
“ Pamer dari mananya sih?”
“ Enggak mas, aku cuma becanda. Ngomong-ngomong aku pesen makanan dulu ya mas, aku laper banget.”
“ Ya,”
Setelah pesan makanan, aku kembali duduk bersama Mas Aji. Dia adalah kakak sulungku. Selain memiliki kakak, aku juga memiliki satu adik perempuan. Jangan tanya, semua saudaraku sudah menikah. Adikku justru adalah yang pertama kali menikah di antara kami bertiga.
“ Sambil nunggu pesananku datang, kamu mau ngomong apa mas?”
“ Oh itu. Nggak terlalu penting sih. Cuma mau ngobrol aja Nu. Semenjak aku nikah, kayaknya kamu semakin kesusahan ngurus perusahaan Ayah. Dek Una juga lagi sibuk ngurus bayinya.”
“ Ah ituuu. Santai aja mas. Aku bisa meng-handle semuanya kok. Kamu kaya nggak tau aku kaya gimana aja. Seorang Wardanu selalu bisa diandalkan. Masalah perusahaan Ayah, Mas AJi jangan terlalu ambil pusing. Fokus aja sama usaha kamu mas.”
“ Oke Nu. Makasih banget loh ya.”
“ Santai aja kali mas.”
Tak berselang lama, pesanankupun datang. Sambil sesekali ngobrol, aku menyantap sarapanku. Eh salah, makan siang maksudku. Ah entah itu disebut makan siang atau sarapan.
“ Kalau gitu aku balik dulu ya Nu?” pamit Mas AJi setelah kami selesai ngobrol ngalor-ngidul.
“ Iya mas.”
“ Jangan terlalu memforsir diri. Jangan sampai sakit.”
“ Siap mas!”
Setelah Mas Aji pulang, aku langsung bergegas menuju ruanganku. Aku berjalan santai menuju lift.
Ting!
Lift terbuka lebar. Aku langsung masuk dan menekan angka tiga karena memang ruanganku berada di lantai tiga. Setelah lift tertutup, aku melirik sejenak kearah perempuan yang berdiri disampingku sambil menutup setengah wajahnya dengan berkas yang dia bawa. Dia terlihat seperti menyembunyikan wajahnya. Dia kenapa? Sariawan? Flu?
“ Mau keruangan saya?” tanyaku begitu perempuan itu ikut keluar lift.
“ Ehm… iya pak.” Jawabnya serak.
“ Kamu sakit?”
“ Sedikit pak. Uhuk! Uhuk!” aku langsung mengerutkan kening begitu perempuan itu tiba-tiba terbatuk sambil membelakangiku.
“ Ini berkas untuk bapak tanda tangani. Saya ke kamar mandi dulu.” Ucap perempuan itu dengan wajah menunduk sebelum akhirnya langsung ngacir ke kamar mandi.
Aku berdiri mematung untuk beberapa saat. Sebentar, rasanya aku pernah melihat perempuan itu. Tapi di mana? Lagi pula wajahnya tadi tidak sepenuhnya terlihat.
***
Aku meregangkan otot-ototku begitu aku selesai menandatangani seluruh berkas. Setelah aku merasa lebih baik, aku segera beres-beres meja kerjaku. Aku melirik sejenak jam kecil yang ada di meja kerjaku. Aku mendesah berat begitu melihat jarum jam sudah berada pada angka enam. Ah, ternyata aku sudah duduk selama itu.
“ Mas Danu mau langsung pulang?” tanya Pak Rahman begitu aku keluar dari lift. Pak Rahman ini adalah salah satu tangan kananku di kantor. Sebenarnya lebih tepatnya beliau ini adalah tangan kanan ayah, hanya saja setelah ayah sering sakit dan memintaku untuk mengurus perusahaan, jadi bisa dibilang Pak Rahman juga tangan kananku. Karena beliau lebih tua dariku, Pak Rahman tidak kuperbolehkan memanggilku dengan sebutan ‘pak’ seperti pegawai yang lain. Menurutku, panggilan itu terlalu tua untukku.
“ Iya nih pak.”
“ Hari ini melelahkan ya Mas? Tapi saya ikut senang karena seluruh klien kita memuaskan.”
“ Iya pak. Terimakasih banyak pak, atas bantuannya.”
“ Sama-sama Mas.”
“ Mari pak…”
“ Iya…”
Setelah berpisah dengan Pak Rahman, aku segera menuju parkiran. Awalnya aku tidak tahu kalau ternyata ada salah satu pegawai sedang kesusahan menyalakn motor metiknya. Namun gara-gara aku mendengar dia berteriak pasrah, akhirnya aku kembali turun dari mobil dan menghampirinya.
“ Ada apa dengan motornya?” tanyaku begitu sampai di depan pegawaiku itu. Dia perempuan dan rambutnya panjang sepunggung.
“ Ini susah dinyalain p---“ Perempuan itu langsung memalingkan wajahnya begitu melihatku. Aku bahkan belum melihat wajahnya sama sekali.
“ Saya tidak gigit. Jangan takut.” Ucapku satu detik kemudian.
“ Eee saa.. saya naik taxi saja pak. Motor ini biar di tinggal disini dulu. Besok saya bawa ke bengkel.” Ucapnya dengan kepala menunduk.
“ Imej saya di mata karyawan sini buruk banget ya, sampai kamu tidak mau melihat wajah saya?” tanyaku sambil berjalan mendekati motor untuk melihat kondisi motor itu.
“ Bu.. bukan gitu pak.”
“ Ah, ini kabel gasnya putus.”
“ Iya pak.” Jawab perempuan itu lagi-lagi dengan wajah tertunduk dalam.
“ Kalau kamu tidak mau melihat wajah saya, kamu saya pecat, … Diara?” ucapku begitu melihat name tag nya. Diara Nata Ayunda. Hm, bagus juga namanya.
“ Bapak tau nama saya?” tanya perempuan itu sambil mendongak namun menutupi wajahnya dengan tas yang dia bawa. Perempuan ini kenapa sih?
“ Name tag kamu.” ucapku sambil menunjuk name tag nya dengan dagu.
“ Ah, iya pak.”
“ Wajah kamu sigitu jeleknya ya, sampai kamu tutup seperti itu? Atau beneran mau saya pecat?”
“ Jangan pak… Saya mohon.”
“ Tidak sopan kalau kamu bicara sama orang sementara wajah kamu ditutup seperti itu. Turunkan tasnya.” Ucapku dengan nada perintah. Untuk beberapa detik lamanya, perempuan itu tampak gusar. Namun detik berikutnya aku langsung mundur satu langkah begitu perempuan itu tiba-tiba setengah menunduk sambil mengatakan kalimat yang membuatku gagal paham.
“ Pak, jangan pecat saya ya. Waktu itu anggap saja saya yang salah. Saya tidak bermaksud narik kerah bapak. Saya mohon pak, jangan pecat saya. Ya ya? Saya butuh pekerjaan ini. Saya mohon.” Ucap perempuan itu dengan mata terpejam dan kedua tangan dikatupkan di depan wajahnya.
Untuk beberapa detik lamanya, aku diam dan mencerna kalimat perempuan itu. Awalnya aku benar-benar tidak paham dengan maksud kalimatnya. Namun begitu dia membuka matanya, aku langsung ingat semuanya.
“ Ahhhh… itu kamu!” seruku dengan suara naik satu oktaf.
***