Dosa - Dosa Pembawa Maut

672 Words
Inspektur Thornton termenung di ruang kerjanya yang tenang pagi itu. Ruangannya memiliki jendela yang tentunya bisa dimasuki sinar matahari. Namun alih - alih membiarkan cahaya matahari pagi menerangi ruangan dengan banyak dokumen termasuk di atas meja kerjanya itu, Inspektur justru tidak membukanya sejak pagi tadi dan membiarkan keadaan remang - remang yang tercipta karena warna gorden yang gelap. Keadaan ruangan juga menjadi sedikit pengap. Namun Inspektur Thornton seolah tidak merasakan hal itu. Di atas mejanya terpampang beberapa dokumen kasus yang pernah dia tangani sebelumnya. Berdasarkan arahan dari Hartley beberapa hari yang lalu, terdapat tiga nama bangsawan yang sekarang dokumen kasus yang terjadi pada mereka sedang berada diatas meja kerja Inspektur Thornton. Nama - nama itu adalah Lord Sebastian Fairfax dari Kensington, Sir Edward Pembroke dari East End, dan Lady Arabella Cavendish dari Belgravia. Ketiganya merupakan bangsawan yang menjadi korban pembunuhan dalam satu setengah tahun terakhir ini. Pikirannya sedang melayang mengingat apa yang dikatakan Hartley saat dia menangani kasus pembunuhan di Lake district yang belum lama selesai. Greed, itulah yang dikatakan Hartley saat itu. Setelah mendengar hal itu dari Hartley saat itu, Inspektur Thornton menyadari bahwa empat kejadian pembunuhan itu memiliki pola yang selama ini tidak dia sadari. Empat kasus yang telah dia tangani itu berkaitan dengan tujuh dosa pembawa maut. Lord Sebastian Fairfax yang terkenal malas dan selalu lambat, mencerminkan Sloth. Sir Edward Pembroke yang sombong, angkuh, dan cenderung narsistik, mencerminkan Pride. Dan yang selanjutnya adalah, Lady Arabella Cavendish. Wanita yang mengalami obesitas namun tidak terlihat bahwa dia akan sudi mengurangi nafsu makannya yang gila itu. Perilaku wanita itu tentulah mencerminkan Glutton. Lalu pada kasus yang baru saja terjadi belum lama ini, Sir Reginald Netherbridge yang serakah –Greed. Namun menurut pemikirannya, hanya dua orang yang dari semua korban pembunuhan itu yang tanpa disadari sebenarnya sifatnya dapat terlihat di kesehariannya. Keangkuhan Sir Edward Pembroke dan keadaan obesitas Lady Arabella Cavendish memang secara kasat mata dapat terlihat. Namun untuk kedua korban sisanya, Inspektur Thornton baru mengetahui sifat mereka setelah menyelidiki kasusnya yang sudah terjadi dan melalui penuturan dari orang - orang disekitar korban ketika interogasi dilakukan. Itulah yang menurut Inspektur Thornton menjadi permasalahannya. Dan bila benar apa yang diasumsikan Hartley bahwa pola dalam kasus ini adalah terkait dengan tujuh dosa pembawa maut, tentunya bukan hal yang mudah pula menemukan siapa target pembunuhan berikutnya yang akan dilakukan seseorang yang berada dibalik layar semua kasus pembunuhan itu. Menyadari bahwa ada sosok perancang tindak kejahatan yang berada dibalik layar ini beserta kemungkinan besar pola pembunuhan berantai yang dilakukannya, memang sudah merupakan kemajuan. Hanya saja hingga saat ini sama sekali belum dapat diketahui tentang identitasnya. Bahkan belum ada petunjuk sama sekali siapa orang yang merencanakan semua tindak kejahatan ini dengan begitu rapi. Tidak ada nama - nama yang terpikirkan oleh Inspektur Thornton hingga saat ini untuk dicurigai. Dengan terjadinya empat pembunuhan itu, berarti masih tersisa tiga dosa pembawa maut lainnya yaitu Wrath, Envy, dan Lust, yang berarti akan ada tiga lagi kasus pembunuhan yang akan terjadi. Jangankan untuk memperkirakan siapa orang yang akan menjadi target selanjutnya, apakah korban berikutnya adalah pria atau wanita juga belum dapat diasumsikan. Itulah yang membuat Inspektur Thornton termenung sejak tadi dan bahkan tidak menyadari bahwa kopinya yang sedari tadi berada di meja sudah dingin. Ditengah lamunannya itu, akhirnya Inspektur Thornton tersadar karena mengingat dia memiliki janji dengan Hartley untuk bertemu pukul setengah dua belas nanti. Dia melihat kearah jam yang berada pada dinding didepannya dan ternyata waktu sudah menunjukan pukul setengah duabelas. Cukup lama juga dia terdiam di dalam ruang kerjanya itu, pikirnya. Dokumen - dokumen yang sejak tadi terpampang mulai dia bereskan kembali. Alih - alih memasukannya kedalam tas, Inspektur Thornton membiarkan dokumen - dokumen itu tertata rapi diatas mejanya. Pertemuannya kali ini dengan Hartley tidak dia maksudkan untuk membicarakan kasus ini, begitulah pikirnya. Seraya beranjak dari meja kerjanya, diambilnya topi berwarna coklat yang biasa dia gunakan bepergian dari gantungan di dekat pintu masuk ruangan dan segera keluar dari ruang kerjanya yang pengap dan remang - remang itu dan bersiap meninggalkan Scotland Yard.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD