Episode 10

1343 Words
Kebenaran yang keliru "Apa yang kau lakukan? Kau cari mati ya?!" bentak Dimas. "Dia, dia datang lagi." ujar Alya dengan tubuh gemetar. Dimas terdiam, mencoba mencerna apa yang Alya katakan. Diantara keterkejutan, Dimas berusaha bersikap tenang. Kesadaran Alya kembali saat cairan dingin mengalir mengenai kakinya. "Maaf aku tidak sengaja. Aku akan membersihkannya." Alya melepaskan pelukan sembari melihat sekeliling. Gadis itu tampak linglung. Melihat Alya yang seperti itu, Dimas buru-buru menghentikannya. "Aku yang akan membereskannya. Kau duduk saja." perintah Dimas. Alya menurut, duduk bersandar di kepala ranjang sembari menarik selimut. Matanya tak lepas memperhatikan Dimas yang mulai memungut pecahan gelas. "Dia siapa? Kenapa dia datang lagi? Apa hantu itu mengenal Adinda? Dia menakutkan, bagaimana jika hantu itu terus datang?" gumam Alya. "Sepertinya kau harus kembali ke rumah sakit. Jika dibiarkan, kau benar-benar bisa gila Dinda." Entah sejak kapan, Dimas sudah berdiri di samping Alya dengan tangan terlipat di d**a. Alya tak menyadarinya karena terus memikirkan sosok menyeramkan yang baru saja dia lihat. "Kau tidak akan mengerti. Hantu itu benar-benar nyata. Aku tidak sedang berhalusinasi, Dimas! Dia.. Dia menyentuh pipiku." ujar Alya panik. "Apa kau yakin itu nyata? Bisa saja kau sedang bermimpi. Berhenti membuat lelucon dan kembalilah ke kamarmu. Sudah ku katakan aku tidak suka..." "Aku tidak akan kembali ke kamarku. Kamar itu menakutkan!" potong Alya. Dimas berdecak malas sembari duduk di samping Alya. "Semalam aku sudah berbaik hati membiarkanmu menginap. Tapi untuk malam ini, aku tidak bermaksud melakukan itu. Kau sudah cukup merepotkan dengan memecahkan gelas. Ku harap kau paham dan segera tinggalkan kamar ini." geram Dimas. "Aku bersumpah aku benar-benar melihatnya Dimas!" ucap Alya nyaris berteriak. Tangan Alya tanpa sadar sudah menggenggam tangan Dimas. Melalui genggaman itu, Dimas sadar kalau Alya sangat ketakutan. Rasa simpati Dimas terusik. Melihat Alya yang masih saja gemetar, mau tidak mau Dimas terpaksa merelakan tempat tidurnya. "Oke baiklah aku mengalah. Tapi ingat, hanya untuk malam ini. Besok siang kau harus ke rumah sakit untuk memeriksakan kondisi kesehatanmu. Aku yakin kau hanya berhalusinasi." ujar Dimas sembari mengambil bantal dan selimut. "Kau mau kemana?" tanya Alya. "Kau sudah tau kalau aku bukan penyuka sesama jenis. Akan sangat bahaya jika kita tidur di ranjang yang sama." "Bu-bukankah kau tidak menyukaiku? Lalu apa masalahnya?" Alya memelas, tak ingin Dimas jauh dari jangkauannya. "Apa aku tidak lebih menakutkan dari hantu itu? Harusnya kau lebih takut pada sesuatu yang nyata daripada hantu yang tidak mungkin bisa memangsamu." ejek Dimas. "Kau, kau tidak mungkin melakukan sesuatu terhadapku. Jika kau ingin, kau tidak akan melewatkan malam pertama kita." balas Alya dengan kepala tertunduk. Dimas berdecak malas sembari berbaring di sisi Alya. "Kau memang pandai mendebat. Tidurlah, sudah lewat tengah malam." perintah Dimas. Alya mengangguk dan bergegas merebahkan diri. Saat Dimas mematikan penerangan, Alya langsung menempelkan tubuhnya ke tubuh Dimas. "Maaf tapi aku benar-benar ketakutan." ujar Alya menenggelamkan kepalanya tepat di punggung Dimas. Dimas hanya menghela napas panjang. Meski sudah memejamkan mata, sulit bagi Dimas untuk tertidur saat seorang wanita tengah meringkuk ketakutan di belakangnya. Nyaris satu jam Dimas hanya memejamkan mata tanpa melakukan pergerakan. Menyadari Alya sudah tertidur pulas, Dimas berbalik menatap Alya. "Apa yang sebenarnya terjadi padamu? Apa tekanan itu begitu besar hingga kau memilih melupakan segalanya?" tanya Dimas nyaris tidak terdengar. Dimas masih ingat penjelasan orang tuanya tentang keadaan Dinda. Dimas juga tau kalau dia salah satu penyebab amnesia yang dialami Dinda. Perlahan tangan Dimas terulur merapikan anak rambut yang menutup sebagian wajah gadis itu. "Jika sejak dulu kau bersikap tegas seperti ini, kau tidak perlu menjalani kehidupan rumah tangga seorang diri. Aku tidak bisa menjanjikan cinta, Adinda. Cinta itu bukan sesuatu yang bisa dipaksa. Aku benar-benar ingin menjalani rumah tangga dengan orang yang tepat. Ku rasa kau juga memimpikan hal semacam itu. Aku sudah memberimu kesempatan untuk kabur. Bukankah kau punya alasan untuk meninggalkan rumah ini? Lalu kenapa dengan bodohnya kau masih bertahan?" gumam Dimas. Alya yang sudah tertidur pulas, tentu saja tidak bisa mendengar apa yang Dimas katakan. Saat Dimas hendak berbalik, tangan Alya terulur memeluk tubuhnya. "Zein... Zein..." Dimas mengerutkan kening. Laki-laki itu berusaha melepaskan pelukan Alya. Semakin Dimas berusaha melepaskan diri, semakin Alya memeluk tubuhnya dengan erat. "Zein kumohon, ini hanya salah paham." isak Alya dalam tidur. "Zein? Siapa Zein?" tanya Dimas. Tak ada jawaban. Alya sudah kembali tidur dengan tenang. "Menarik sekali. Apa Dinda juga menyukai seseorang?" tanya Dimas pada dirinya sendiri. Karena hari semakin larut, Dimas akhirnya jatuh tertidur. Alya masih memeluk tubuhnya dengan erat dan Dimas pun sudah tidak berusaha untuk melepaskan pelukan itu. *** Lagi-lagi Alya tidak merasa risih terbangun dalam pelukan Dimas. Laki-laki itu masih tertidur pulas seolah sedang memeluk guling. Alya menatap Dimas tanpa berkedip. Dimas laki-laki yang sangat tampan. Bahkan saat tertidur pun Dimas tetap terlihat bersinar. "Apa kau tau? Tubuh ini memiliki reaksi yang berbeda saat berada di dekatmu. Seolah-olah tubuh ini sedang menantikan perlakuan manis dari seorang suami. Kau menyia-nyiakan wanita yang salah, Dimas. Pasti ada alasan kenapa aku terjebak di tubuh ini. Kurasa alasannya adalah, agar aku bisa membuatmu mencintainya." ujar Alya lirih. Setiap terbangun dalam pelukan Dimas, Alya merasa begitu tenang. Karena itulah Alya berpikir pasti Dinda punya perasaan terhadap suaminya. Hanya saja, Alya masih merasa bingung. Bagaimana mungkin Dinda mencintai seseorang yang tega meninggalkan istrinya di malam pertama mereka? Bukan dalam waktu yang sebentar, Dimas bahkan meninggalkan Dinda selama 5 tahun. "Sepertinya aku harus membaca buku itu lebih banyak lagi." gumam Alya. Sebelum Dimas terbangun, Alya melepaskan pelukan dan keluar dari kamar. Dimas yang sebelumnya masih pura-pura tidur, perlahan membuka mata. "Dia bicara apa? Seolah-olah sedang membicarakan orang lain. Apa penyakitnya benar-benar parah? Buku? Buka apa yang mau dibaca wanita itu? Lalu siapa Zein? Apa Dinda mengenal laki-laki lain selama aku di Belanda?" Dimas mengerutkan kening, mencoba mencerna apa saja yang dikatakan Dinda. Laki-laki itu mulai menarik kesimpulan kalau penyakit Dinda akan semakin parah jika dibiarkan begitu saja. "Aku tidak mau peduli, tapi aku harus bertanggungjawab atas kejadian yang menimpa Dinda. Hari ini saja, hari ini akan ku paksa Dinda berobat ke dokter." ujar Dimas. *** Yuni tampak senyum-senyum sendiri saat Dimas dan Alya duduk di meja makan. "Sepertinya sebentar lagi mama akan menimang cucu." canda Yuni. Seketika Alya tersedak makanan yang baru saja masuk ke mulutnya. Dengan sigap Dimas mengambilkan air minum untuk Alya. Melihat itu senyum di wajah Yuni semakin merekah. "Jangan membuat kesimpulan yang bisa membahayakan nyawa orang, Ma. Apa yang terjadi tidak seperti yang mama pikirkan." ujar Dimas. "Terserah kalian saja, yang pasti mama sudah sangat senang melihat kalian tidur di kamar yang sama." balas Yuni. "Itu terjadi karena Dinda sakit dan hari ini aku berencana membawa Dinda ke rumah sakit." Alya mengerutkan kening. "Aku baik-baik saja, aku tidak sakit Dimas." "Apa kepalamu sakit lagi? Bagian mana yang sakit?" tanya Yuni panik. Alya menggeleng. "Aku benar-benar tidak sakit, Ma. Sepertinya ada kesalahpahaman disini." "Kau bukan dokter yang bisa mendiagnosis kondisi seseorang. Hari ini aku akan membawamu untuk memastikan kalau kau memang baik-baik saja." tegas Dimas. "Itu pilihan yang tepat. Terlepas kau sakit ataupun sehat, sudah seharusnya kita kembali ke rumah sakit untuk kontrol ulang." tambah Yuni. Alya akhirnya mengangguk patuh. Dimas pasti menganggapnya gila atau berhalusinasi atas kejadian semalam. Sangat wajar jika laki-laki itu memaksanya ke rumah sakit. *** Dalam perjalanan ke rumah sakit, Alya memilih bungkam. Hatinya berdenyut nyeri saat melewati tempat dimana dia dan Zein mengalami kecelakaan beberapa bulan lalu. "Aku tidak bermaksud mencampuri urusan pribadimu, tapi ada satu hal yang mengganggu pikiranku. Semalam kau berkali-kali menyebut nama seseorang. Zein, siapa dia?" tanya Dimas memecah keheningan. "Apa aku mengigau?" "Lebih dari itu. Kau bahkan menangis." jawab Dimas. "Mungkin karena aku terlalu bersalah dan sangat merindukannya." ujar Alya tanpa sadar. Seketika Dimas menghentikan mobil. Tindakan Dimas yang gegabah membuat mobil dibelakang mereka kehilangan kendali dan menabrak tanpa bisa dicegah. Benturan kecil terjadi, hanya tabrakan ringan tapi berefek sangat fatal pada Alya. Wanita itu berteriak histeris sembari menutup telinga dan memejamkan mata. Keringat dingin membanjiri pelipis Alya. Bayangan kecelakaan yang terjadi beberapa bulan lalu membuat Alya kehilangan kesadaran. Dimas tampak panik dan segera membawa Alya ke rumah sakit. Dimas tidak peduli kalau mobil dibelakang terus membunyikan klakson untuk memintanya berhenti. To be continue....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD