Hitam
"Akhirnya kau bangun juga. Kau membuat semua orang panik, Dinda!" omel Dimas.
Alya memperhatikan sekeliling dengan pandangan kosong. Matanya tertuju pada selang infus yang tentu saja terhubung ke tubuhnya. Masih dalam keadaan linglung, Alya mencoba mengingat apa yang sebenarnya terjadi.
Saat berusaha mengingat, kepala Alya di dera rasa sakit yang luar biasa. Kejadian kecelakaan yang menimpanya dan Zein beberapa bulan lalu kembali menghantui pikiran. Dimas yang panik segera memanggil dokter.
"Sebenarnya apa yang terjadi dok?" tanya Dimas setelah dokter selesai memeriksa kondisi istrinya.
"Saat ini kami masih belum bisa memastikan lebih rinci. Tapi sepertinya apa yang menimpa Adinda adalah akibat trauma yang dia alami. Benturan yang hebat saat jatuh dari tangga, membuat gumpalan darah beku di kepalanya. Kami tidak melakukan operasi untuk mengangkat gumpalan darah itu karena dinilai tidak membahayakan. Faktor psikis lebih berperan dalam hilangnya ingatan Dinda dan rasa trauma yang dia alami. Kita harus menemukan penyebab pasti rasa trauma itu untuk memberinya terapi penyembuhan." jelas dokter.
"Tapi ini aneh. Dinda terluka karena jatuh dari tangga, lalu bagaimana bisa wanita itu berteriak histeris karena kecelakaan kecil?" tanya Dimas lagi.
"Bisa jadi bukan kecelakaan yang membuat Dinda takut melainkan takut akan benturan. Tapi itu hanya prediksi. Kita tidak bisa menyimpulkan kebenaran tanpa mendengar penjelasan langsung dari orang yang bersangkutan. Ajaklah Dinda bicara dan pancing dia untuk mengungkapkan apa yang ada dipikirannya. Jika perlu, saya akan membuat surat pengantar agar Dinda bertemu psikolog." tawar dokter.
"Saya akan memintanya jika nanti memang di butuhkan. Untuk saat ini sepertinya Dinda hanya perlu diperiksa secara fisik." tolak Dimas.
Dimas kembali ke kamar Dinda setelah berbincang bersama dokter. Laki-laki itu mengerutkan kening mendapati tempat tidur yang sudah kosong. Dinda menghilang menyisakan infus yang masih menetes akibat tidak dilepas secara benar.
"Dia benar-benar membuatku pusing." omel Dimas sembari keluar mencari keberadaan Dinda.
Setelah puas berkeliling dan tanya kesana-kemari, akhirnya Dimas menemukan Dinda yang tampak sedang berdebat dengan seseorang yang dia kenal. Senopati, tidak sengaja Dinda bertemu dengannya saat sedang mengunjungi ruang rawat Zein.
"Kau benar-benar wanita yang menakutkan. Kalaupun kau begitu ingin mengetahui tentang kebohongan Dimas, tidak seharusnya kau menyelidiki masalah pribadiku sampai sedetail ini."
"Aku tidak tau kalau kalian berteman. Aku juga mengenal Zein, antara aku dan Zein, itu tidak ada hubungannya denganmu." balas Alya.
Seno tersenyum sinis. "Apa mungkin kebetulan seperti ini bukan sesuatu yang sudah direncanakan?"
"Untuk membuktikan soal kebohongan Dimas, aku tidak perlu menyelidiki siapapun. Aku ini wanita dan dia laki-laki. Hanya dengan menaiki tubuhnya, aku sudah bisa memastikan dia masih punya hasrat terhadap wanita atau tidak. Lalu kenapa aku harus menyusahkan diri menyelidiki orang-orang disekitarmu? Huh kau terlalu naif, Seno." ejek Alya.
Meski kepalanya masih berdenyut nyeri, Alya terus mencoba mengalihkan agar Seno tidak menanyakan bagaimana dia bisa mengenal Zein. Alya tau Seno dan Zein berteman dekat, hanya saja, Alya tidak menyangka akan bertemu Seno dalam kondisi seperti ini.
"Nak Dinda, astaga tanganmu berdarah!" teriak Nurul panik.
Buru-buru wanita paruh baya itu menarik Alya duduk dan menyeka tangan Alya menggunakan tisu.
"Apa kau juga dirawat? Seharusnya pihak rumah sakit memberi pembalut luka untuk menutup bekas jarum infus." omel Nurul.
"Bukan mereka yang salah, Tan. Aku yang melepaskan benda itu sendiri. Ku pikir aku tidak terlalu sakit untuk tinggal lebih lama." ujar Alya.
"Ah nak Seno maaf jika Tante keluar terlalu lama. Terimakasih sudah menjaga Zein selama Tante pergi." ucap Nurul.
Ternyata tadi Nurul meminta Seno menjaga Zein selama beliau pergi. Alya yang kebetulan berada di rumah sakit yang sama, malah tidak sengaja bertemu Seno.
"Saya senang melakukannya, Tan. Tapi ngomong-ngomong, siapa dia? Bagaimana tante bisa mengenalnya?" tanya Seno langsung.
"Ya ampun Tante pikir kalian saling mengenal. Sepertinya tadi kalian sedang berdebat." ujar Nurul bingung.
"Secara kebetulan kami memang saling kenal, hanya saja aku masih bingung bagaimana bisa dia juga mengenal Zein."
Alya berdecak malas. "Lalu kenapa jika aku mengenal Zein? Apa urusannya denganmu? Memangnya apa yang bisa diketahui oleh laki-laki yang sudah bertahun-tahun meninggalkan Indonesia?"
"Aku juga ingin tau siapa laki-laki itu dan bagaimana kau mengenalnya?" tanya Dimas yang tiba-tiba masuk ke ruangan.
Alya menganga, tak menyangka jika Dimas bisa menemukan keberadaannya.
"Anu, apa kalian tidak bisa diskusi di tempat lain? Tante takut Zein akan terganggu. Tidak baik berbicara di dekat orang sakit." ujar Nurul tidak enak.
"Sepertinya begitu lebih baik. Aku tidak tau kalian punya masalah apa, tapi sebaiknya bawa istrimu pergi dari sini." perintah Seno.
"Apa yang harus ku katakan? Bagaimana jika Dimas dan Senopati curiga?" gumam Alya pelan.
"Jadi nak Dinda sudah punya suami? Ah lain kali kita bisa bercerita panjang lebar. Untuk sekarang sebaiknya nak Dinda mengikuti mereka." ujar Nurul sedikit terkejut.
"Maaf Tan, aku tidak bermaksud mengganggu kenyamanan tante dan Zein. Karena kebetulan di rawat di rumah sakit yang sama, aku berniat menjenguk kalian."
Alya tampak menyesal sembari memegang kedua tangan Nurul. Nurul hanya tersenyum dan berharap tidak ada kesalahpahaman antara mereka. Setelah berpamitan secara sopan, Dimas meminta Seno menjaga Dinda selama dia menyelesaikan masalah administrasi. Alya tampak berpikir keras. Dibawah intimidasi Seno yang terus menatap ke arahnya, Alya tidak bisa berpikir jernih.
***
"Jadi bagaimana kau akan menjelaskan situasi ini?" tanya Dimas.
Alya meremas jari-jemari di bawah meja. Sejak tadi, Seno dan Dimas tengah menunggu penjelasannya.
"Dia Zein, tunangan sahabatku, Alya." ujar Alya setelah cukup lama diam.
"Kau juga mengenal Alya?" tanya Seno penasaran.
Alya mengangguk. Bagaimana mungkin Alya tidak mengenal dirinya sendiri. Hanya saja, jiwanya kini tengah terjebak dalam tubuh Adinda, seseorang yang tidak dia kenal.
"Siapa Alya? Lalu bagaimana mungkin kau bermimpi dan mengigau menyebut nama tunangan orang lain? Apa kalian punya hubungan khusus?" tanya Dimas bertubi-tubi.
Alya melongo. "Aku mengigau menyebut nama Zein?"
Dimas mengangguk singkat sembari melipat tangan di d**a. Seno menyeruput kopi yang dia pesan sambil terus mengintimidasi Alya.
"Aku dan Alya, kami berteman dekat. Aku mengetahui semua tentang Alya, pun sebaliknya." ujar Alya berbohong.
"Kalau kau dan Alya memang berteman dekat, lalu kenapa aku tidak melihatmu saat pemakamannya?" tanya Seno.
"Saat Alya kecelakaan mobil, aku juga mengalami kecelakaan. Aku jatuh dari tangga, sempat koma 2 bulan dan nyaris melupakan segalanya." jelas Alya.
Seno menerawang. "Entah kebetulan seperti apa yang tengah terjadi. Atau mungkin hari itu adalah hari sial yang membuat banyak kecelakaan dan kejadian tidak terduga. Bukankah hari itu kau juga nyaris menabrak seseorang?"
Ucapan Seno membuat Dimas terhenyak dari lamunan. Memang benar ada kejadian seperti itu. Saat Orangtuanya mengabarkan kalau Adinda jatuh dari tangga dan di bawa ke rumah sakit, Dimas juga nyaris menabrak seseorang di hari yang sama. Beruntung Dimas segera membanting setir hingga kecelakaan bisa dielakkan.
"Soal Alya, kami kenal setelah kau berangkat ke Belanda. Dia..."
"Jangan sebut nama gadis itu lagi. Setiap mengingat Alya, aku selalu menyesali banyak hal." potong Seno.
"Ternyata dia Alya yang itu. Sorry, aku yang membuatmu kehilangan kesempatan terus bersama teman baikmu. Kau membuat pilihan sulit dengan pergi ke Belanda. Andai aku tau takdirnya akan seperti ini." sesal Dimas.
Jika mengingat betapa sedihnya Seno mengetahui perihal kematian Alya, hati kecil Dimas selalu terusik. Alya orang yang sangat istimewa bagi Seno. Bisa dibilang, Alya adalah cinta sebenarnya yang tidak bisa Seno ungkapkan.
"Kenapa kalian terlihat sangat sedih? Bukankah kita akhirnya bertemu dan berbincang dalam satu meja karena Alya. Alya pasti senang karena masih diingat dengan baik oleh orang-orang yang dia sayangi." ujar Alya dengan mata berkaca-kaca.
Seno memperhatikan raut wajah Dinda. Kesedihan dan rasa haru yang terlihat dari wajahnya, adalah perasaan tulus yang tidak bisa dibuat-buat. Untuk sesaat Seno yakin Dinda benar-benar mengenal Alya.
Dilain sisi, Dimas juga merenung mengingat pembicaraannya dan dokter yang merawat Dinda. Menurut dokter, Dinda yang hanya bisa mengingat sebagian hal dan melupakan hal-hal tertentu, adalah akibat dari keinginan hatinya sendiri. Bisa jadi hal-hal yang Dinda lupakan adalah hal-hal menyakitkan yang membuat perasaannya tertekan. Dokter menyarankan agar Dimas bersikap baik dan lebih banyak menghabiskan waktu bersama Dinda. Dengan begitu, sedikit banyak ingatan Dinda bisa dipaksa kembali.
"Apa aku benar-benar membuatnya menderita? Apa sangat menyakitkan? Bukankah mereka bilang dia wanita ceria yang tidak pernah terlihat sedih?" batin Dimas.
To be continue...