Episode 9

1276 Words
Menakutkan "Mulai bulan depan, perusahaan ini akan di pimpin oleh Dimas Aditya. Mungkin sebagian dari kalian sudah mengenal Dimas. Dia putra saya yang sudah 5 tahun memimpin perusahaan di Belanda. Jadi untuk kualitas dan kemampuan bekerja, tidak perlu diragukan lagi. Dimas adalah pengusaha yang bertanggungjawab dan pekerjaan keras." ujar Lukman sembari meminta Dimas berdiri. Bukan hanya memperkenalkan Dimas, Lukman juga meminta Senopati dan Dinda untuk berdiri. Sebagai orang yang nantinya akan menjadi tangan kanan Dimas, tentu saja Lukman harus mengenalkan Senopati kepada bawahannya. Perkenalan Dimas selaku CEO baru di perusahaan, cukup singkat dan tidak menimbulkan perdebatan. Hanya beberapa wajah yang terlihat masih meragukan kemampuan Dimas dalam bekerja. Terhadap orang-orang itu, Lukman tidak ambil pusing. Lukman percaya Dimas pasti bisa membungkam mulut mereka dengan prestasi dan kemajuan yang akan diciptakan oleh anaknya. Setelah acara perkenalan selesai, Dimas langsung menyeret Alya ke sebuah ruangan sembari meminta Senopati mengikuti mereka. Wajah Senopati terlihat tegang. Alya mengulum senyum saat tak sengaja melihat ekspresi yang Seno perlihatkan. "Sekarang jelaskan, kapan dan dimana kalian bisa saling mengenal?" tanya Dimas pada Alya. "Kenapa aku yang harus menjelaskan? Minta saja pacarmu untuk menjawab." balas Alya. Dimas menoleh ke arah Senopati yang tampak tersenyum canggung. Melihat gelagat Seno, Dimas mulai curiga. "Aku tidak tau apa yang sebenarnya sedang terjadi..." "Sayang akhirnya kau pulang juga." teriak Sania dari arah pintu. Ucapan Dimas terhenti saat tiba-tiba tanpa bisa dicegah, Sania menghambur ke pelukan Seno. Senopati semakin salah tingkah dan bingung harus melakukan apa. Sebelum Dimas mengamuk, Seno bergegas menyeret Sania ke luar ruangan. "Sepertinya kejadian barusan tidak ada dalam rencana yang sudah kau susun." sindir Alya. "Jangan bicara konyol. Untuk menutupi sebuah aib, tentulah seseorang harus punya tameng. Wanita tadi adalah tameng agar perilaku Seno yang sebenarnya tidak diketahui siapapun." jelas Dimas tanpa ragu. Alya berdecak malas. "Aku tidak tau kenapa kau bersikap seperti ini. Kau terus berbohong meski bukti nyata terlihat di depan mata. Asal kau tau Dimas. Kau tengah menyakiti wanita ini." tunjuk Alya pada dirinya sendiri. "Mungkin bagimu ini hanya pernikahan yang diatur oleh keluarga. Kau bisa seenaknya meninggalkan wanita ini tanpa menjelaskan apapun. Kau terlihat seperti pengecut yang bersembunyi di balik tameng. Sedang wanita ini, dia berusaha menjadi istri sekaligus menantu yang bisa di banggakan. Dia menghabiskan waktu 5 tahunnya dengan sangat baik. Dia dicintai semua orang tapi tidak oleh suaminya sendiri. Menurutmu apa yang lebih menyedihkan dari hidup wanita ini?" geram Alya. "Kau bicara seolah-olah hidupmu sangat menderita. Bukankah kalian juga mendapatkan untung dari pernikahan ini? Sudah sepantasnya kau menjadi istri yang baik setelah apa yang sudah kalian terima. Tidak ada yang gratis di dunia ini Dinda. Anggap saja menjadi istri yang baik adalah balasan atas apa yang sudah keluargaku berikan." ujar Dimas. "Apa bagimu pernikahan kita hanya sebatas penyelesaian masalah kedua belah pihak?" tanya Alya serius. "Kau benar. Bagiku hanya sebatas itu. Aku tidak berniat untuk menjadikanmu istri Dimas Aditya. Setidaknya sampai aku menemukan wanita yang tepat, kau bisa menikmati peranmu dengan baik." jawab Dimas. Alya menghela napas berat. Entah mengapa, perasaan sakit mendominasi hati Alya. Padahal Alya yakin dia tidak mencintai Dimas. "Satu lagi, aku memang sudah membohongimu dengan mengaku punya kelainan seksual. Ku harap kau paham alasan kenapa aku melakukannya. Aku benar-benar tidak berniat memperistri dan punya anak dengan wanita yang tidak ku suka. Apalagi wanita yang rela menjual dirinya hanya untuk kelangsungan perusahaan keluarga." Perasaan sakit kembali menyayat hati Alya. Gadis itu tidak mengerti apa yang tengah dia rasakan. Tiba-tiba Alya kehilangan kekuatan untuk membantah perkataan Dimas. Hatinya terlalu rapuh. Bisa jadi itu bukan perasaan Alya. Alya yakin, dirinya sebagai Alya tidak punya perasaan apapun terhadap Dimas. *** "Kalian bertengkar?" tanya Yuni saat melihat Alya dan Dimas tidak saling bertegur sapa. Meski duduk bersebelahan di meja makan yang sama, keduanya memilih bungkam dan tidak saling bertatap muka. "Padahal mama senang sekali karena semalam kalian tidur bersama." tambah Yuni. Mendengar ucapan Yuni, Alya nyaris tersedak. Buru-buru gadis itu meraih minum dan menegakkannya sampai habis. "Itu tidak seperti yang mama pikirkan. Lagipula kami tidak sedang bertengkar Ma." jawab Alya. "Aku ke kamar dulu Ma." ujar Dimas. Alya mencibir sembari menggerutu melihat Dimas yang benar-benar pergi tanpa membantunya menjawab pertanyaan Yuni. "Pertengkaran di dalam rumah tangga itu hal yang biasa. Segeralah meminta maaf jika berbuat salah. Mama dan Papa juga sering bertengkar. Tapi justru setelah bertengkar, hubungan kami semakin membaik." nasihat Yuni. "Ngomong-ngomong papa kemana?" tanya Alya mengalihkan pembicaraan. "Setelah serah terima jabatan siang tadi, Papa langsung mengadakan pesta perpisahan bersama rekan-rekan kerjanya di puncak. Sepertinya malam ini papa menginap di luar." jawab Yuni. Alya manggut-manggut mengerti sambil menghabiskan sisa makanannya. Gadis itu tampak terburu-buru, takut Yuni menanyakan pertanyaan yang mungkin tidak bisa dijawabnya. Setelah makan malam, Alya meminta Maya menemaninya ke kamar. Kejadian kemarin malam masih terekam jelas diingatan gadis itu. Maya tampak bingung melihat Alya yang celingukan seolah mencari seseorang. "Sepertinya aman." gumam Alya. "Aman dari apa Non?" tanya Maya. "Bukan apa-apa." Merasa yakin kalau kejadian semalam tidak akan terulang lagi, Alya meminta Maya turun. Sepeninggal Maya, mata Alya tertuju pada lemari tempat dimana buku harian Dinda tersimpan. "Aku harus membaca buku itu. Aku harus tau seperti apa perasaan Dinda pada Dimas. Perasaan aneh tadi jelas-jelas bukan perasaanku. Aku bukan seseorang yang bisa diremehkan dan diinjak begitu saja." gerutu Alya sembari mengambil buku dari dalam lemari. Alya duduk bersandar di kepala ranjang, menghela napas panjang, sebelum akhirnya mulai membuka lembar demi lembar buku harian Dinda. Tentang hati Mama bilang, istri harus hormat pada suami, harus mendukung pekerjaannya, harus sabar menghadapi tingkahnya, terlebih harus berbakti kepadanya. Lalu jika suami tidak pernah pulang, apa yang bisa ku lakukan sebagai istri? Ku pikir Dimas hanya marah dan butuh menenangkan diri beberapa hari. Tapi ini sudah tahun ke dua pernikahan kami. Saat aku masuk rumah sakit, Dimas tidak datang. Dimas hanya menghubungi melalui telepon. Itupun karena mama yang memaksa. Aku memilih pura-pura tidak tau dan memberi senyum termanis kepadanya, mengatakan untuk tidak khawatir meskipun aku tau Dimas tidak pernah menghawatirkan keadaanku. 2 tahun ini aku sudah menjadi anak dan istri yang berbakti. Harus berapa tahun lagi kujalani hari-hari seperti ini? Mahendra, apa ini karma untukku yang sudah dengan tega memutuskan hubungan kita tanpa memberimu penjelasan? Apa aku masih pantas mendapatkan kasih sayangmu jika nantinya kami bercerai? Dia terus menunggu, menunggu tanpa kepastian. Aku benci Mahendra yang seperti itu. Aku tidak ingin dia tersiksa, perasaan seperti ini sangat menyakitkan. Alya terhenyak. "Kenapa rasanya sakit sekali? Dinda orang baik, kenapa hidupnya begitu tragis?" Dengan tangan gemetar, Alya menutup buku harian Dinda. "Sepertinya Mahendra adalah pacar Dinda sebelum akhirnya wanita itu memutuskan untuk menikah. Kisah cinta Mahendra dan Dinda terputus tanpa penjelasan yang berarti. Lalu siapa Mahendra? Apa mereka masih saling bertemu? Sepertinya Mahendra masih menunggu Dinda, apa mereka memutuskan bersama lagi setelah Dimas menceraikan Dinda? Lalu apa yang akan terjadi jika pada akhirnya Dimas dan Dinda tidak bercerai? Pertanyaan itu hanya bisa dijawab jika bisa bertemu langsung dengan Mahendra. Tapi apa aku boleh menemui Mahendra dengan tubuh wanita ini?" gumam Alya pelan. Perlahan mata Alya tertutup. Rasa lelah dan terlalu banyak berpikir, membuat gadis itu tertidur dengan cepat. Entah sudah berapa lama Alya terlelap, matanya perlahan terbuka saat menyadari ada sensasi dingin yang menyentuh wajah. Masih dalam kondisi setengah sadar, Alya menatap sosok laki-laki yang semalam dilihatnya. Laki-laki pucat dengan senyum sendu seperti menahan tangis, sedang berdiri tepat disebelah ranjang wanita itu. Saat sudah sepenuhnya tersadar, sontak Alya berdiri dan berlari ke arah pintu. Tanpa menoleh, Alya keluar dan menerobos masuk ke kamar Dimas. Beruntung pintu tidak di kunci. Begitu melihat Dimas, Alya langsung memeluk laki-laki itu. Dimas yang sedang memegang gelas, sangat terkejut dan tak sengaja membuat gelas yang dipegangnya terjatuh. "Dia datang lagi." lirih Alya dengan suara bergetar menahan tangis. To be continue...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD