Merasa aneh
"Benar Nyonya! Pagi-pagi sekali saya lihat nyonya Dinda keluar dari kamar tuan Dimas. Sepertinya mereka tidur bersama." lapor Maya pada Yuni.
Senyum Yuni merekah. "Baru kali ini dapat laporan yang sangat menyenangkan hati. Besok-besok kau harus lebih memperhatikan tingkah keduanya."
Maya mengangguk semangat sebelum kembali ke dapur. Saat Alya turun, Yuni pura-pura sedang memainkan ponselnya.
"Kau sudah bangun? Apa tidurmu nyenyak?" tanya Yuni sumringah.
"Tentu saja. Mama sudah sarapan?" tanya Alya.
"Mama dan papa sudah terbiasa sarapan lebih pagi. Dimas mana?"
"Dimas masih tidur, Ma. Oh iya, apa hari ini aku boleh keluar rumah? Ada tempat yang ingin ku kunjungi." pinta Alya.
"Boleh saja. Tapi kau harus pergi bersama Dimas." balas Yuni.
Alya mengangguk setuju dengan banyak sekali rencana di dalam kepalanya. Toh Alya pikir dia bisa mengelabuhi Dimas dan pergi kemanapun dia mau.
***
"Karena hari ini papa akan mengenalkan Dimas sebagai pemimpin baru di perusahaan, papa harap kalian berdua bisa datang ke kantor sebelum jam 11 siang." ujar Lukman saat Alya dan Dimas sudah siap pergi.
"Apa tidak terlalu cepat pa? Setidaknya biarkan mereka bersantai sejenak. Mereka bahkan belum bulan madu sejak menikah 5 tahun lalu." celetuk Yuni.
"Kami tidak butuh bulan madu, Ma." ujar Alya.
"Kenapa tidak butuh? Kalau kalian tidak pergi bulan madu, lalu kapan mama akan menimbang cucu?"
Dimas tampak berdecak malas. "Siapkan saja seperti yang sudah mama rencanakan. Bukankah mama sudah membeli tiket sekaligus menyewa kamar hotel selama 5 hari untuk bulan madu kami di Bali?"
"Wah sepertinya hanya aku yang tidak tau apa-apa." gumam Alya.
"Walaupun kau mengetahuinya, kau tidak akan bisa mencegah keinginan mama."
Yuni tersenyum. "Anak mama memang paling mengetahui apa yang diinginkan orang tuanya. Baiklah karena Dimas sudah tau maka sudah sepantasnya kau juga mengetahuinya. Mama sudah memesan tiket perjalanan untuk kalian. 3 hari lagi jika kau tidak keberadaan, maka kalian akan berangkat ke Bali. Dimas tidak pernah menolak keinginan mama. Mama harap kau juga melakukan hal yang sama."
Alya kehilangan kata-kata. Jika bisa, Alya tidak ingin pergi dalam kondisi seperti ini. Tapi untuk menolak, sepertinya bukan keputusan yang tepat. Yuni sangat antusias dan semangat terhadap perkembangan hubungan Dimas dan Dinda, tentu saja Alya tidak ingin mengecewakan wanita paruh baya itu. Tak punya pilihan, Alya akhirnya mengangguk setuju.
"Bulan madu adalah hal yang paling dinantikan pengantin baru. Karena Dimas pergi tanpa bulan madu dan malam pertama, maka tidak ada salahnya memulai semua dari awal." jawab Alya.
"Wah kau pandai sekali dalam menyimpulkan sesuatu. Sebaiknya kita berangkat sekarang. Bukankah kita harus ke kantor papa jam 11 siang?" ujar Dimas malas.
Alya mencium tangan Yuni dan Lukman sebelum akhirnya mengikuti langkah Dimas. Setelah cukup jauh dari rumah, Alya meminta Dimas menepikan mobilnya.
"Sebaiknya kita berpisah disini. Kau boleh melakukan apa yang kau mau. Kita akan bertemu di depan kantor papa pukul 11 siang." putus Alya.
Dimas berdecak malas. "Sepertinya aku sedang dimanfaatkan. Tapi baiklah, lagi pula aku berencana menemui seseorang. Kau boleh pergi kemanapun yang kau mau asalkan kau bisa tepat waktu tiba di perusahaan papa. Melihat kondisimu yang sekarang, aku semakin yakin kau sedang pura-pura lupa ingatan."
"Jika itu yang kau pikirkan, maka anggap saja begitu." jawab Alya malas sambil membanting pintu mobil.
"Cih dia benar-benar berubah jadi wanita yang berbeda. Kita lihat nanti apa yang akan dia katakan jika dia bertemu Senopati."
Dimas menyeringai sebelum akhirnya melajukan mobilnya kembali. Sesaat setelah Alya mengaku mengenal Senopati, Dimas langsung menghubungi laki-laki tersebut. Sayangnya, meski sudah melihat dan mengamati foto Dinda, Senopati tidak berhasil mengenalinya.
Kemungkinan yang bisa Dimas simpulkan adalah, Dinda sengaja menyelidiki orang yang diakuinya sebagai pacar untuk membuktikan kalau Dimas bukan gay. Senopati yang kembali ke Jakarta sehari setelah Dimas sampai, membuat Dimas punya rencana untuk mempertemukan Senopati dan Dinda. Saat itu Dimas ingin melihat bagaimana reaksi Dinda jika bertemu Senopati.
***
"Kau datang lagi?" tanya Nurul dengan mata berkaca-kaca.
"Ah Tante baru tiba?"
Nurul mengangguk. "Sudah 2 bulan dan Zein belum kunjung membuka mata. Apa menurutmu Zein akan bangun?"
Alya menggenggam tangan Nurul yang berdiri tepat disebelahnya.
"Zein adalah laki-laki kuat dan tangguh. Saya yakin Zein pasti bisa melewatinya. Untuk itu Tante benar-benar harus menjaga kesehatan. Jika Zein bangun, dia pasti sedih melihat kondisi Tante seperti ini." ujar Alya tersendat.
Nurul memaksakan bibirnya untuk tersenyum. Dalam keputusasaan, tak ada yang bisa dilakukan selain berdoa dan berpasrah.
"Rajin-rajinlah mengunjungi Zein. Meskipun dia belum membuka mata, Tante yakin Zein pasti bahagia jika tau ada yang masih peduli padanya." ujar Nurul.
"Saya pasti akan datang jika ada kesempatan. Ah hari ini saya tidak bisa lama-lama. Tapi saya janji, saya akan sering mampir kedepannya nanti."
Nurul tersenyum sembari menyambut uluran tangan Alya. Alih-alih membiarkan Alya mencium tangannya, Nurul malah membawa Alya dalam pelukan.
"Entah mengapa, Tante seperti melihat sosok Alya dalam dirimu. Mungkin karena kalian teman dekat. Sikap dan cara bicara kalian nyaris sama. Ah Tante sepertinya merindukan gadis malang itu." ujar Nurul dengan suara tersendat.
Alya menahan tangis. Ingin sekali gadis itu mengatakan kalau dia memang Alya. Tapi apalah daya. Nurul pasti menganggapnya gila jika mengatakan kebenaran itu.
***
Tanpa membuang waktu, Alya bergegas menuju kantor milik orang tua Dimas. Gadis itu langsung mengenali kantor yang Dimas maksud begitu Dimas menyebutkan namanya. Sebuah perkantoran elite yang bergerak dalam bidang penjualan barang-barang branded. Alya sempat berniat keluar dari rumah dan bermimpi bekerja di sana suatu saat kelak. Siapa sangka nasib justru mengantarkan Alya ke kantor tersebut dalam keadaan yang berbeda.
Setibanya di kantor, saat hendak masuk, tak sengaja mata Alya menangkap sosok Senopati yang baru keluar dari mobil. Tanpa sadar, Alya menyembunyikan diri di balik pilar.
"Kenapa Seno ada disini? Bukankah seharusnya dia masih di Belanda?" gumam Alya pelan.
Merasa seperti sedang di jebak, Alya akhirnya menyeret Senopati menjauh sebelum laki-laki itu mencapai pintu masuk.
"Apa-apaan ini? Siapa kau?" bentak Seno.
Alih-alih menjawab, Alya justru mengamati sekitar guna memastikan Dimas tidak sedang berada disekitar mereka.
"Kau? Bukankah kau istri Dimas?" tanya Seno setelah memperhatikan Alya dengan seksama.
"Hai. Maaf membuatmu kaget. Kenalkan, aku Dinda." ujar Alya kaku.
Senopati tak langsung menyambut uluran tangan Alya. Laki-laki itu justru menatap Alya untuk meminta penjelasan. Merasa uluran tangannya diabaikan, Alya justru menahan senyum.
"Setelah cukup lama tinggal di Belanda, sepertinya kau sudah tidak menyukai kecantikan asli Indonesia." sindir Alya.
Seno tertawa sumbang. Secara garis besar, Seno sudah mendengar sedikit tentang Dinda dari Dimas. Untuk itu, Seno berusaha memerankan bagiannya dengan baik.
"Kau bicara seolah-olah tau seperti apa kehidupanku."
"Bagaimana kalau ku katakan aku mengetahui semuanya?" tantang Alya.
"Sepertinya kau sudah mendengar sesuatu dari Dimas." balas Seno.
Alya menggeleng. "Apa yang Dimas katakan sangat bertolakbelakang dengan apa yang ku ketahui."
Kali ini Senopati tertawa. "Trik semacam ini tidak mempan untukku, Dinda. Kau tidak mungkin lebih mengenalku ketimbang Dimas. Kalau tidak ada lagi yang perlu kau sampaikan, aku pamit dulu. Pacarku pasti sedang menunggu dengan gelisah."
"Sandra Ayu, cinta pertamamu, cinta yang mungkin sampai sekarang tidak bisa kau lupakan. Julia, mantan wakil ketua OSIS yang mampu membuatmu bertekuk lutut. Alya Rosalina, teman baik yang mungkin juga cinta dalam diam yang tidak bisa kau ungkapkan. Orang yang dulu sangat tergila-gila pada wanita cantik, apa mungkin tiba-tiba berbelok arah menyukai sesama jenis?" ujar Alya lantang.
Senopati yang sudah berbalik pergi, tiba-tiba menghentikan langkah.
"Kau? Bagaimana bisa kau mengetahui cerita konyol itu?" tanya Senopati.
"Jangan cemas. Aku tidak bermaksud mempermalukan Dimas dengan mengungkap kebenaran kalau kalian tidak sedang dalam hubungan seperti yang Dimas katakan. Ah, paling tidak aku tidak akan mengatakan apapun pada Sania." ujar Alya dengan sedikit penekanan pada nama Sania.
Sania adalah pacar Seno sejak mereka masih kuliah. Sampai saat Alya masih berada di tubuhnya sendiri, Alya dan Sania terbilang cukup dekat.
"Kau!? Apa kau sengaja menyelidiki kehidupan pribadiku?" tanya Seno kesal.
Alya tertawa. "Aku tidak tau apa yang kau dapat dengan berpura-pura jadi pacar Dimas. Kedepannya, ku harap kau mau bekerjasama. Jika kau menolak, aku tidak yakin mulutku ini bisa ditutup rapat saat bertemu Sania. Ku dengar Sania juga bekerja di perusahaan milik ayah Dimas."
Wajah Senopati terlihat panik. Alya bisa merasakan bahwa Senopati sepenuhnya sudah bisa dia kuasai.
To be continue...