Episode 7

1349 Words
Menarik "Kau buta ya?" bentak Dimas saat Alya tak sengaja menabrak tubuhnya. Alya mendengus sekilas sembari memegangi pundaknya yang terasa nyeri. Alya bukan sengaja. Gadis itu benar-benar tidak menyadari keberadaan Dimas. Hampir tengah malam saat Alya turun ke dapur yang untuk mengambil minuman dingin. Sepertinya Dimas juga melakukan hal yang sama. Ditangan laki-laki itu masih memegang sebotol air mineral. "Apa kau selalu bersikap seperti ini terhadapku?" tanya Alya nyaris tanpa ekspresi. "Bersikap seperti apa? Kasar?" tanya Dimas memastikan. Alya mengangguk singkat. Masih menatap Dimas tanpa ekspresi. Sebelum menjawab, Dimas tampak tertawa mengejek. "Harusnya kau sudah dengar. Aku pergi tepat setelah kita menikah. Apa menurutmu orang yang meninggalkan pengantinnya dan sengaja melewatkan malam pertama akan bersikap lembut dan penuh kasih?" sindir Dimas. Alya menggeleng. "Aku hanya ingin mendengarnya langsung dari mulutmu. Ah iya, soal foto laki-laki yang kau tunjukkan, kalian kenal dimana? Disini atau di Belanda?" Dimas mengerutkan kening. Laki-laki itu memperhatikan wajah Dinda dengan seksama. "Dia tidak ada urusannya denganmu. Urus saja apa yang mesti kau urus. Bukankah kau sedang memerankan sosok istri yang sempurna? Lanjutkan itu selama yang kau mau. Aku tidak peduli asal kau tidak mengusik zona nyamanku." Alya tersenyum getir. Gadis itu membayangkan seperti apa hancurnya perasaan Dinda jika ternyata Dinda punya hati pada suaminya. Tak bisa Alya pungkiri, jantungnya berdebar kencang saat tubuh Dimas berdekatan dengan tubuhnya. Bisa jadi perasaan Dinda masih tertinggal didalam raganya. "Sebenarnya aku tidak tau apa yang ingin kau sembunyikan dan sandiwara apa yang tengah kau jalani. Hanya saja, ingatanku soal laki-laki itu tidak mungkin salah. Dia Senopati. Sejak jaman sekolah menengah atas, Senopati adalah laki-laki tulen yang mengencani banyak wanita. Sangat tidak masuk akal jika laki-laki tanpa cacat cela itu tiba-tiba berbelok arah dan jadi suka sesama jenis." terang Alya tanpa ragu. Dimas menyemburkan minuman yang baru saja masuk ke mulutnya. Sekali lagi laki-laki itu mencerna ucapan Alya sebelum akhirnya menimpali. "Kau pura-pura lupa ingatan?" tanya Dimas marah. "Anehnya aku melupakan semua hal kecuali laki-laki yang kau perlihatkan." bohong Alya. "Tidak mungkin. Kau pasti sengaja membohongi semua orang agar bisa menjeratku kembali ke Jakarta." Alya berdecak malas. Gadis itu menghabiskan minuman dan berlalu begitu saja. Dimas yang masih penasaran, sengaja mengikuti Alya sampai ke kamarnya. Begitu pintu kamar di buka, Alya terperanjat menyadari ada sosok asing sedang berdiri tepat di samping tempat tidur. Tubuh Alya membatu. Takut sekaligus tidak percaya dengan sosok yang dia lihat. Sosok laki-laki pucat pasi dengan pakaian serba putih, menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Alya tidak mengenali laki-laki itu, tapi entah mengapa jantung Alya berdetak lebih cepat. Antara takut atau itu adalah perasaan milik Adinda. "Kau tuli?" bentak Dimas. Saat Alya berbalik menatap Dimas, sosok itu sudah menghilang. Seketika Alya sadar. Sosok yang baru saja dilihatnya, bukanlah manusia. "Apa di kamar ini ada hantu?" tanya Alya tanpa berniat menjawab pertanyaan Dimas. Dimas tersenyum mengejek. "Kau tidak perlu mengalihkan pertanyaan untuk membuatku lupa kalau kau sedang pura-pura amnesia. Jika kau mengingat Senopati dengan jelas, artinya kau pasti punya ingatan-ingatan yang lain. Aku tidak akan mengampuni..." "Malam ini aku tidur di kamarmu. Apapun yang terjadi aku tidak peduli. Yang pasti aku tidak bisa tidur bersama hantu. Tapi tidur bersama Gay juga bukan pilihan yang tepat." ujar Alya nyaris tidak terdengar. "Kau bilang apa? Tidur di kamarku? Jangan bermimpi." balas Dimas. Tanpa menunggu persetujuan Dimas, setengah berlari Alya mendahului laki-laki itu menuju kamarnya. "Kau mau mati?!" bentak Dimas kesal saat Alya berhasil menerobos kamarnya lebih dulu. "Aku tidak punya pilihan, Dimas. Mama dan Papa pasti marah jika melihatku tidur di kamar pembantu. Aku juga tidak mau tidur sendiri. Apa kau tau? Baru saja aku melihat sesuatu yang sangat menyeramkan." Dimas tertawa mengejek. "Ternyata bukan hanya hilang ingatan, kau bahkan jadi gila gara-gara jatuh dari tangga. Jangan berhalusinasi dan mengada-ada untuk membuatku terlihat bodoh. Aku bukan orang yang mudah percaya seperti mama dan papa." "Kau boleh mengatakan apapun. Yang pasti aku akan tidur disini malam ini." ujar Alya. Alya yang hendak naik ke atas tempat tidur, dikejutkan dengan tingkah Dimas yang sudah mendahuluinya merebahkan diri. "Kau tau apa bahayanya tidur satu ranjang dengan laki-laki?" tanya Dimas tersenyum angkuh. "Aku hanya akan dalam bahaya jika laki-laki yang tidur denganku adalah laki-laki tulen. Kenapa aku harus takut jika laki-laki itu adalah kau. Bukankah kau seorang gay? Bisa jadi kau tidak akan tertarik meskipun aku tidur telanjang di sampingmu." ujar Alya cuek sembari ikut merebahkan diri. Dimas melongo melihat keberanian Dinda. Laki-laki itu masih ingat betul, saat itu, saat mereka berada di kamar pengantin selesai acara, Dinda tampak menyembunyikan muka dan merasa malu melihat Dimas mengganti baju di hadapannya. Rona wajah Dinda memerah. Tak berani menatap wajah suaminya. Saat itu, rona wajah malu-malu Dinda, terekam jelas dalam ingatan Dimas. Dinda yang sekarang benar-benar membuat Dimas kehilangan kata-kata. Sangat jauh berbeda dari Dinda yang dia kenal sebelumnya. "Apa kau benar-benar Adinda?" tanya Dimas sarkas. "Apa kau tidak bisa diam? Jika kau terus mengajakku berdebat, lalu kapan aku bisa tidur?" geram Alya. "Dari mana keberanian ini kau dapat? Kau kerasukan?" tanya Dimas. Alya berbalik dan menatap Dimas yang berbaring miring dengan satu tangan menopang kepalanya. "Jangan bicara sembarangan. Aku ketakutan setengah mati tapi kau malah mengatakan hal konyol seperti itu." "Jadi kau lebih takut pada hantu ketimbang tidur satu ranjang denganku? Jangan lupakan kenyataan bahwa aku juga seorang laki-laki, Dinda!" tegas Dimas. "Apa kita tidak bisa tidur saja? Aku lelah. Ini sudah tengah malam Dimas." mohon Alya. Dimas yang semula hendak protes, tidak jadi membalas ucapan Dinda saat laki-laki itu melihat pelipis Dinda yang bercucur keringat. Mata Dinda yang sudah tertutup, jelas tidak bisa melihat jika Dimas sedang meneliti wajahnya dengan seksama. Melihat kondisi Dinda yang berkeringat meski suhu AC sudah cukup dingin, Dimas mulai percaya kalau Dinda tidak sedang berbohong. Sepertinya gadis itu benar-benar ketakutan. "Apa kau tau? Ini pertama kalinya aku melihat mahluk tak kasat mata." ujar Alya dengan mata terpejam. "Memangnya aku percaya? Kau sudah berbohong soal ingatanmu jadi jangan harap..." "Apa aku boleh menggenggam tanganmu? Jujur, bayangan itu tidak kunjung pergi dari ingatanku. Aku bahkan takut membuka mata." gumam Alya. Dimas membenahi posisi tidurnya sembari berdecak malas. "Apa alasan seperti itu masih berguna di jaman modern seperti ini? Jangan mengada-ada..." Dimas terdiam saat tangan Dinda berhasil meraih tangannya. Tangan itu sangat dingin dan basah oleh keringat. Artinya Dinda benar-benar berada dalam kondisi cemas. Dimas yakin kali ini Dinda tidak berbohong soal ketakutannya. "Apa kau sakit?" tanya Dimas pelan. Alya menggeleng, enggan mengeluarkan suara. "Cih memangnya apa yang kau lihat sampai-sampai membuat tubuhmu dingin dan dibanjiri keringat seperti ini?" Alya tak lagi menjawab. Tangannya yang berhasil menggenggam tangan Dimas, mengalirkan perasaan tenang yang membuat matanya seketika mengantuk. Dimas menoleh saat mendengar dengkuran halus milik Adinda. Sesaat Dimas terpana mendapati kecantikan alami yang dimiliki wanita itu. Karena hari sudah sangat larut, Dimas juga ikut tertidur dengan masih menggenggam tangan Dinda. *** Alya terjaga lebih cepat lantaran merasakan tubuh Dimas yang sedang memeluk tubuhnya dengan nyaman. Ketimbang berteriak atau terkejut tidur dalam pelukan Dimas, begitu terjaga, ingatan Alya justru kembali ke kejadian tadi malam. Gadis itu mulai memikirkan siapa sosok laki-laki yang mendatangi kamar Adinda. "Kenapa laki-laki itu muncul di kamar Adinda? Apa mereka punya hubungan dekat? Ada apa dengan tatapannya? Kenapa dia terlihat sangat sedih?" gumam Alya nyaris tidak terdengar. Setelah tertidur pulas, rasa penasaran lebih mendominasi daripada rasa takut. Terlebih, hari sudah cukup pagi saat Alya terjaga. Hanya saja gadis itu memilih bersandar di kepala ranjang karena masih belum berani ke kamar Adinda. "Kau sudah bangun?" tanya Dimas parau. "Baru saja." jawab Alya singkat. "Apa kau tidak bisa menunjukkan sikap yang lebih manis saat suamimu mengajak bicara di pagi hari?" Alya berdecak malas. "Jika suamiku laki-laki normal, tentu saja aku akan bersikap manis sembari mencium kedua matanya." "Aku akan menantikan itu." balas Dimas. "Karena kau sudah bangun, sebaiknya aku kembali ke kamar. Terimakasih kau sudah mengizinkanku tidur disini. Aku sengaja menunggumu bangun untuk berpamitan secara sopan. Jika kedepannya kejadian seperti semalam terulang lagi, aku tidak akan segan-segan menggunakan kamarmu." jelas Alya sembari beranjak dari kamar Dimas. Dimas hanya melambaikan tangan tanpa menoleh ke arah Dinda. "Menarik. Sepertinya dia tidak membosankan seperti pertama kali kami bertemu." gumam Dimas begitu pintu ditutup. To be continue...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD