Pagi Hari yang Suram

1600 Words
Terkadang aku terbayang dengan kehidupan harmonis teman-temanku dan suaminya di luar sana. Tenteram, nyaman, bahagia, memiliki daily activities yang menambah kehidupan lebih berwarna. Walaupun aku tahu pasti ada masalah yang mereka tutupi, setidaknya mereka tidak merasakan masalah kehidupan yang kini aku alami. Pernikahan yang awalnya bahagia, tetapi berujung penyesalan entah karena apa aku pun tidak tahu. Sudah jelas ada kaitannya dengan Evan atau mungkin status kami. Sebab setelah kehamilan Evan, sikap Mas Ardan berubah drastis dan tidak pernah bersikap manis dan lembut lagi kepadaku. Jika seseorang bertanya apakah aku menyesal menikah dengannya? Sudah jelas aku sangat menyesal. Aku menyesal menikah dengan Mas Ardan bahkan aku sangat menyesal mengenal dia. Tidak ada kebahagiaan yang Mas Ardan berikan. Dia terus membuatku tersiksa. Walau tidak menyiksa secara fisik, dia menyiksaku secara batin. Sudah sering aku mencoba untuk pergi. Namun, semuanya hanyalah sia-sia. Pria congkak itu selalu punya cara tersendiri untuk membuatku semakin tersiksa. Satu-satunya alasan yang paling aku benci untuk perceraian kami adalah perjanjian. Aku harus memberinya dua anak jika ingin bercerai. Padahal aku sudah menolak perjanjian itu, tetapi dia memaksanya dan membuatku terpaksa menandatanganinya. Selalu dia bilang, semua ini adalah permintaan ayahku. Namun, ketika aku ingin menanyakan hal ini kepada Ayah, Mas Ardan selalu melarang dan tentunya membuatku tidak bisa pergi. Mungkin sekarang waktu yang tepat, waktu untuk memulai penyelidikan, apa yang sebenarnya Ayah rencanakan hingga menginginkan satu anak perempuan lagi dari aku dan Mas Ardan. Mungkin sekarang juga waktu yang tepat untuk menyelidiki kenapa Mas Ardan bersikap begitu tega kepadaku dan Evan yang notaben adalah anaknya. "Mama! Apa makanannya sudah siap?" Yang baru saja berbicara adalah Evan, jagoan kecilku yang tampan. Anak yang sangat aku lindungi dari ayahnya sendiri. Kepalaku menoleh sedikit ke belakang. Kedua tangannya menggenggam celemek yang aku pakai. Senyumku mengembang melihat tingkah lakunya yang lucu. "Sebentar, ya, Nak. Sebentar lagi makanannya jadi. Evan sudah lapar, ya?" tanyaku yang dibalas anggukan olehnya. Ketika aku melihat arloji, sudah jam tujuh. Pantas saja dia merengek, dia tidak mau berlama-lama di dapur pasti. Kasihan sekali anakku. Dia ketakutan berada di luar kamar ketika Mas Ardan di rumah. Padahal Mas Ardan sudah tidak memperlakukannya dengan kasar setelah aku mengancamnya. Namun, ternyata Evan masih saja trauma dengan ayahnya sendiri. "Mama mau Evan ke kamar sekarang. Nanti Mama bawakan makanan dan minumannya," kataku sambil mengoles satu lembar roti tawar dengan selai kacang yang ada. Evan pun mengangguk. "Iya, Ma. Evan ke kamar, ya." Dia langsung berlari meninggalkan dapur. Aku memandang kepergiannya dari tempatku berdiri. Anak kecil yang lucu itu terlalu lugu untuk disakiti. Bahkan membentaknya saja aku enggan. Namun, dia sampai setakut itu pada ayahnya sendiri. Jika aku bisa memutar waktu, aku tidak mungkin rela membuat perjanjian dengan Mas Ardan. Aku tidak rela jika anak yang aku kandung dan aku lahirkan dibentak oleh dia. "Maafkan Mama, Nak." Entah sampai kapan penderitaan kami berdua berlanjut. Aku sudah ingin pergi dari rumah ini dan membawa Evan juga. Sayangnya, pria licik itu terlalu pintar untuk menahanku. Setahun yang lalu, dia bahkan rela memukul Evan hanya karena aku ingin pergi dari rumah ini. Evan kecil sangat ketakutan di dapur, dengan tangan gemetar dia memandang Mas Ardan yang sedang memegang ikat pinggangnya. Kejadian yang selalu ingin aku lupakan. Prang! Jantungku langsung berdegup lebih cepat mendengar suara kaca pecah di belakang sana. Pekerjaan aku tinggalkan dan segera berlari menghampiri sumber kekacauan. Lagi dan lagi, aku melihat anakku meringkuk di pojok ruangan dan berlindung di belakang kursi. Tangannya gemetar, aku dapat melihatnya dari sini. Kemudian tidak jauh dari Evan terdapat seorang pria berbalut blazer hitam rapi. Matanya tajam menatap Evan yang ketakutan. "Dasar anak tidak tahu diri! Beraninya kamu memecahkan guci itu!" Mas Ardan berniat menghampiri Evan dengan tangan yang mengepal. Segera aku berlari dan menahannya. Sorot matanya membuatku khawatir dengan Evan. "Evan, masuk ke kamar kamu sekarang, Nak!" perintahku. Sayangnya, Mas Ardan justru mendorong tubuhku hingga terjatuh ke lantai. Dia mendekati Evan di ujung sana. Tangan Evan ditarik paksa sehingga membuatnya menangis. "Apa kamu tidak bisa melihat kalau berlari, hah?! Di mana mata kamu?!" pekiknya dengan keras. Evan menangis di sana. Matanya memejam tidak berani menatap Mas Ardan. "Evan minta maaf, Yah." “Jangan sebut saya ayahmu!” pekik Mas Ardan sangat kencang. Aku langsung berlari dan merebut Evan. Lalu menarik tubuhnya ke belakang tubuhku. Mata kami sekarang bertatapan. Mas Ardan menatap nyalang ke arah aku yang juga sedang emosi. "Dia hanya anak kecil. Jangan bentak dia seperti itu!" Mas Ardan menarik satu sudut bibirnya. Tangannya langsung mencengkeram kedua pipiku dengan erat. "Guci aku pecah. Sebagai ibunya, kamu harus mengganti guci itu!" "Dipecahin sama anak sendiri, Mas! Segitu marahnya karena dia memecahkan guci? Kamu harus tahu latar belakang kenapa dia berlarian sampai menabrak guci! Dia takut sama kamu!" pekikku juga. Mas Ardan pun tertawa dengan keras, seolah itu adalah kemenangan untuknya. Padahal sama sekali bukan. Apa aku harus ingatkan kalau Evan juga anaknya? Tidak. Tidak perlu aku ingatkan karena hanya akan membuat Evan semakin sakit hati mendengarnya. Dia melepaskan tangannya. "Urus dia dengan benar! Jangan pernah membuatku marah!" bentaknya. Segera aku berbalik. Evan sesenggukan dengan wajah ketakutan. Aku pegang kedua pipinya dengan lembut, bibirku juga tersenyum. Kemudian aku usap air mata yang membasahi pipinya. "Evan, sekarang pergi ke kamar, ya? Nanti Mama susul ke kamar." Evan mengangguk dan kemudian berlari dengan cepat ke arah kamarnya di lantai ini. Sekarang tersisa aku dan Mas Ardan di ruang keluarga. Dia masih emosi dengan kejadian guci yang pecah tadi. "Dia hanya anak kecil, Mas. Jangan kamu bentak seperti tadi! Apa kamu tidak bisa mengerti efek dia yang dibentak kamu? Dia jadi pendiam di mana pun," ucapku dengan nada memohon. Biar bagaimana pun, aku harus tetap memohon kepadanya. Sebab jika aku membentak, dia juga tidak akan menurutinya. "Biarkan saja dia menjadi pendiam. Sama seperti orang yang aku benci juga sifatnya," sahut dia. Orang yang dia benci. "Siapa orang yang kamu benci, Mas? Apa kamu menyindirku? Kamu benci aku, tetapi kamu masih tetap ingin bermain di ranjang bersamaku. Apa yang sebenarnya kamu harapkan, sih? Bercerai juga tidak mau. Dasar orang sinting!" "Beri aku satu anak perempuan dan kita akan bercerai. Itu yang aku harap, El!" katanya dengan tersenyum. Permintaan yang lagi-lagi sangat sulit aku kabulkan. Tanpa sepengetahuan dia, aku selalu meminum pil KB agar tidak hamil kembali. Itu juga sebab kenapa aku bertahan begitu lama karena Evan membutuhkan ayahnya juga. "Nanti aku yang menggantinya. Potong saja dari uang bulanan yang kamu beri," balasku sambil tersenyum masam. Mas Ardan pun mendengkus. "Uang bulanan kamu saja tidak cukup untuk menggantinya." Aku semakin tidak habis pikir dengan suamiku sendiri. Apa yang sedang dia pikirkan? Apa guci itu lebih berharga dari pada anaknya sendiri? "Apa kamu sadar dengan apa yang kamu lakukan sekarang? Membentak Evan sampai membuatnya ketakutan di pojokan. Apa kamu lupa kalau dia anak kamu juga?" tanyaku dengan nada tinggi. Berbicara dengan Mas Ardan sudah tidak bisa lagi dengan cara lembut. Semakin aku lemah, semakin dia berkuasa atas kelemahanku. "Salahkan dirimu yang mendidiknya menjadi anak manja!" bantah Mas Ardan. "Sekarang kamu meminta ganti rugi karena guci yang pecah. Apa kamu tidak sadar kalau Evan berlari karena dia ketakutan? Dia takut dengan ayahnya sendiri. Apa kamu pikir it hal yang biasa terjadi pada anak-anak di luar sana?" Mas Ardan terdiam di tempatnya. Aku tidak tahu apa yang sedang dia pikirkan. Namun, sorot matanya mulai melemah. Dia tidak lagi melotot kepadaku. "Aku membenci kalian berdua." Dia berbalik dan berjalan ke arah dapur. Ingin sekali aku berteriak dan memintanya untuk tidak membenci Evan. Anak itu tidak bersalah. Kalau memang dia membenciku, benci saja aku. Jangan benci Evan juga. Namun, sayangnya aku tidak akan sanggup melakukan itu karena takut Evan mendengarnya. Anak itu pasti akan merasa semakin sedih kalau tahu ayahnya membencinya. “Lalu mengapa kamu tidak menceraikan aku?” tanyaku dengan nada pelan. Aku mengikutinya ke dapur. Dia sudah duduk di meja makan dengan tatapan mata yang sulit aku artikan. Datar, tidak ada ekspresi, tetapi mengikuti arah gerakku. "Pagi ini hanya ada roti selai. Kamu bisa ambil sendiri roti itu." Brak! "Mau kamu bawa ke mana piring itu?" tanya Mas Ardan setelah menggebrak meja. Aku mengabaikan pertanyaannya. Biar saja dia marah karena aku tidak menjawab. Aku lebih tidak ingin dia marah kalau aku mengatakan piring ini untuk Evan. "Kalau berani kamu melangkah membawa piring itu untuk dia, aku hancurkan kamar dia." Aku lelah menghadapinya. Mas Ardan selalu ada cara untuk menghambatku. "Aku tahu piring itu untuk dia, kan?" tanya Mas Ardan. Aku berbalik dan menatapnya dengan tajam. "Siapa dia yang kamu maksud? Apa salah Evan sampai kamu membencinya?" "Jangan pernah membentak di hadapanku, Eliana!" ujar Mas Ardan dengan pelan. Perlahan Mas Ardan mulai berdiri. Dia berjalan ke arahku dan mengambil piring tadi. Aura kemarahannya berhasil membuatku ketakutan. Prang! "Jangan pernah membentakku!" pekik Mas Ardan di depan wajahku. Mataku memejam. Tidak ingin lagi aku melihat matanya yang memerah. Apa seberat ini ujian untukku, Tuhan? "Siapa kamu berani membentakku?" tanya Mas Ardan. Selain membenci Mas Ardan, aku juga sangat membenci diriku sendiri. Aku sangat takut dengannya. Bukan karena aku takut dilukai Mas Ardan, tetapi ucapannya tiga tahun lalu yang sangat membuatku khawatir. Mengatakan kalau dia akan membunuh Evan jika aku berani melawannya. Apa itu sebuah ancaman belaka? Tentu tidak, ada satu waktu aku melihat Mas Ardan membawa sebuah pisau ke dalam kamar Evan dan berujung aku yang tersayat karena melindunginya. Apa yang sebenarnya dia inginkan pun aku tidak mengerti. "Aku tidak segan membunuhnya jika kamu berani melawan ucapanku, El." Mas Ardan berbisik di dekat telingaku. Itu yang aku takutkan. Aku tidak tahu bagaimana keluar dari penjara kehidupan ini. Aku ingin membawa Evan pergi dari rumah yang sangat membuat kami tertekan. "Sekarang kamu siapkan sarapan untukku! Jangan berani menempatkan aku di nomor dua. Paham?!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD