Rencana Hari Ini

1290 Words
Beri aku satu nama yang tidak menginginkan kebahagiaan. Aku yakin tidak akan ada orang yang mau seperti itu. Semua orang menginginkan kehidupan yang bahagia, termasuk aku. Tidak perlu bertanya apakah aku bahagia atau tidak. Sudah jelas jawabannya kalau aku tidak sepenuhnya bahagia, tidak sepenuhnya menderita. Setelah kepergian pria berhati iblis tadi untuk bekerja, hatiku rasanya sangat lega. Tidak ada lagi tekanan di rumah ini, setidaknya sampai senja hadir. Namun, perasaan lega itu tidak mampu bertahan lama. Perasaan itu tergantikan dengan perasaan sedih lainnya. Anakku Evan kembali mengunci dirinya di kamar. Dia tidak mengizinkan aku untuk masuk ke dalamnya. "Sayang, ini Mama di luar. Ayah sudah pergi bekerja. Kamu bisa buka pintunya sekarang, honey!" seruku di depan pintu. Tidak ada suara yang terdengar dari dalam kamar. Entah apa yang sedang dia lakukan, tetapi diriku mulai cemas. Bagaimana mental Evan jika terus mendapatkan bentakan dari ayahnya sendiri? “Evan, buka pintunya, Nak! Mama bawa sarapan untuk kamu.” Kriiing! Aku mendengar suara bel rumah yang ditekan. Tidak mungkin Mas Ardan, dia pasti sudah jauh dari rumah. Piring tadi aku letakkan di atas nakas kecil depan kamar Evan. Kemudian aku berjalan menghampiri pintu utama untuk melihat orang yang menekan bel. Sosok perempuan cantik dengan cardigan terpampang nyata di depanku setelah pintu terbuka. "Fani?" tanyaku seolah tidak percaya dengan yang sekarang terjadi. "Kak El!" pekiknya. Dia langsung memeluk tubuhku dengan erat. Betapa senangnya aku dikunjungi oleh adik ipar sendiri. Sudah lebih dari tiga minggu sejak kejadian Fani dan Mas Ardan bertengkar di rumah ini, perempuan dalam pelukanku tidak menampakkan dirinya. "Kamu ke mana aja selama ini? Kenapa jarang mampir?" tanyaku setelah pelukan kami terlepas. Aku menuntunnya untuk masuk ke dalam rumah. Tentunya aku langsung menuju depan kamar Evan."Fani sangat sibuk dengan tugas kuliah, Kak. Selama ini Fani juga malas untuk datang. Fani masih marah sama Kak Ardan," katanya. “Lupakan kejadian itu. Aku sama Evan juga sudah mulai melupakannya.” Setelah sampai di depan kamar Evan, Fani langsung sadar dengan piring yang ada di atas nakas. Dia menatapku dengan heran, keningnya sampai dilipat. "Itu makanan untuk Evan?" tanya dia. Aku mengangguk membenarkannya. “Iya. Evan mengunci kamarnya dari tadi. Pagi ini Mas Ardan marah-marah sama Evan.” Sebenarnya aku sangat tidak ingin Fani tahu kalau Evan kembali ketakutan dengan ayahnya. Namun, hari ini pasti Fani melihatnya sendiri. Aku takut kalau Fani akan menegur Mas Ardan dan nanti dia akan kembali menyalurkan amarahnya pada aku dan Evan. "Sebenarnya apa yang dia pikirkan, ya? Apa dia lupa kalau Evan itu anaknya? Anak sampai takut seperti ini," kata dia. Tanpa menunggu jawaban dariku, Fani langsung mengetuk pintu dan menggoyangkan gagangnya. Tidak bisa terbuka juga hingga akhirnya Fani berteriak. "Evan kesayangan Tante! Tante Fani datang bawa donat kesukaan Evan. Buka pintunya, yuk!" Sayang, tidak ada jawaban dari dalam sana. Evan pasti sangat ketakutan karena kejadian pagi tadi. "Memangnya ada apa lagi, Kak? Kenapa Evan seperti ini lagi?" Fani berbalik dan menatapku. "Aku juga sebenarnya nggak tahu, Fan. Tadi aku lagi buat roti di dapur. Tiba-tiba guci di ruang tamu pecah dan waktu aku sampai ke sana, Evan sudah bersembunyi di belakang bangku." Fani terlihat sangat frustrasi. Dia memijat pelipisnya. Selama ini memang dia yang paling peduli denganku, selain mertuaku. Ketika Mas Ardan berbuat salah, dia yang maju melawannya. Tentu saja aku tidak mengatakan alasanku untuk tidak melawan Mas Ardan. Nanti Fani bisa tahu dan semua rencanaku untuk pergi bisa gagal. Selama ini Fani hanya tahu kalau aku adalah istri yang baik. "Evan! Buka pintunya, yuk! Mama sama Tante Fani mau masuk. Ayah sudah pergi tadi. Tidak ada Ayah di rumah," kataku seraya mengetuk pintu kamarnya. Tidak lama kemudian, pintu kamar terbuka. Aku langsung mengambil posisi jongkok, menyetarakan posisi dengan Evan. "Anak Mama lagi apa tadi di dalam kamar? Lagi buat kejutan untuk Mama, ya?" "Mana kejutannya? Tante mau lihat, dong," ujar Fani yang langsung menyelonong masuk ke kamar. Dia melihat seisi kamar, lalu berbalik menatap Evan. "Di mana kamu sembunyikan kejutan itu?" Fani melompat dan memeluk Evan. Tangannya menyentuh perut Evan sambil menggelitik. "Geli, Tante! Evan nggak buat apa-apa, kok," jawabnya. Mereka tertawa. Kebahagiaan kecil yang aku dapat di rumah ini. Andai saja dapat melihat senyum anakku setiap hari, pasti senang rasanya. "Kalau nggak buat apa-apa, kenapa kamu diem aja di kamar?" tanya Fani. Aku bangkit dan menuju kasurnya. Aku tepuk pinggiran kasur, berniat memanggil Evan untuk duduk di sana. "Sini sarapan dulu!" Evan menatap Fani dengan senyum. "Tante dateng mau ajak Evan pergi jalan-jalan?" tanya Evan. Aku yakin Fani hanya ingin datang. Dia sedang sibuk dengan tugas kuliahnya. Aku tidak mau membuatnya kerepotan. Namun, jawaban Fani justru membuatku terkejut. "Hari ini Evan mau main sama teman-teman panti atau ke mal aja? Nanti Tante beliin es krim vanila kesukaan Evan.” “Fani!” Dia langsung melirik melihatku. “Katanya sibuk sama tugas kuliah. Kenapa malah ajak Evan jalan-jalan? Nanti tugasnya jadi terbengkalai. Lagian kamu hari ini nggak kuliah?” tanyaku. Fani menggelengkan kepalanya. “Tenang aja, Kak. Fani bisa atur waktunya. Hari ini Fani emang sengaja datang karena nggak ada kelas. Dua dosen ngebatalin kelas untuk pindah hari. Jadi hari ini Fani libur.” Ini juga yang membuat hatiku tidak bisa meninggalkan Mas Ardan. Fani yang begitu sayang kepada aku dan Evan. Tidak hanya Fani, kedua mertuaku juga sangat sayang kepada kami berdua. Bagaimana aku bisa pergi? Mereka tidak akan merelakan aku pergi. Namun, aku benar-benar tidak sanggup menjalani pernikahan ini lagi. “Boleh, kan, Ma? Evan mau ketemu temen-temen panti hari ini. Evan mau main sama mereka,” ujar Evan. Anak itu bertingkah seolah memohon kepadaku. Aku tidak mungkin menahan mereka berdua untuk pergi. Lagi pula, Evan pasti membutuhkan hiburan setelah kejadian pagi ini. Aku tidak mau menambah kesedihan lagi di hatinya. “Boleh aja. Asal Evan sarapan dulu, ya? Nanti baru berangkat setelah sarapan,” jawabku. Dia langsung mengambil piring yang aku bawa tadi, kemudian dia berlari keluar kamar. Dia sudah paham dengan aturan yang Mas Ardan berikan. Dia pasti tidak mau lagi melanggarnya karena dia pasti ketakutan akan hukuman yang ayahnya berikan. Setelah Evan pergi, tersisalah aku dan Fani di kamar ini. Aku langsung beranjak dan menarik tangannya. “Kita ngobrolnya di depan TV aja, yuk! Jangan di kamar Evan. Nanti anak itu bisa nguping.” Fani hanya tertawa kecil mendengar perkataanku. Dia sudah tahu kalau aku tidak mau Evan mengetahui semua permasalahan yang ibunya alami. Fani tahu kalau aku lebih senang Evan tidak mengerti apa-apa dari pada dijelaskan, tetapi membuat hatinya sakit. Kami berjalan menuju ruang keluarga. “Ibu nyuruh Kakak ke rumah. Biasa, Ibu minta buat kue. Jadi Kakak diminta ke sana, deh.” Sudah lama aku tidak berkunjung ke rumah Ibu. Dia pasti rindu sampai harus memanggilku ke sana. “Berapa lama, ya, aku nggak ke rumah Ibu? Kayaknya udah lama banget, deh." "Ya lumayan lama, sih. Terakhir kali waktu ulang tahun pernikahan Ibu dan Ayah,” kata Fani. “Sekitar tiga bulan yang lalu.” Pantas saja Ibu menyuruhku ke sana. Biasanya aku selalu ke sana setiap satu bulan sekali. Namun setelah pesta ulang tahun Ibu dan Ayah waktu itu, Mas Ardan melarangku untuk pergi ke rumah Ibu. "Aku belum izin sama Mas Ardan, Fan. Nanti kalau pergi tanpa izin, sama saja aku durhaka terhadap suami," kataku. Tenang saja, Fani tidak tahu keadaan aku dan Mas Ardan yang seperti apa. Dia hanya tahu kalau kami akur dan tabiat Mas Ardan yang keras adalah satu dari segala alasan kenapa dia bisa bersikap kasar kepada anaknya sendiri. "Gak usah dipikirin. Lagian hanya ke rumah Ibu, bukan ke rumah siapa-siapa. Nggak akan marah dia," sahut Fani. Mudah-mudahan saja tidak terjadi apa-apa. Aku berharap hari ini tidak ada masalah dari Mas Ardan. “Nanti Kakak ke sana. Kakak titip Evan sama kamu, ya.” "Siap. Kami akan jalan-jalan untuk menghilangkan kepenatan di rumah,"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD