Part 15 - Bayar Hutang dan Balas Budi

2131 Words
Roy merasa sangat marah. Semua anak buah yang ditugaskan untuk mencari Nirmala tak ada yang mendapatkan hasil yang memuaskan. Semuanya gagal. Dia tak bisa berdiam diri mengandalkan kekuatan anak buahnya. Kini Roy harus bertindak dengan caranya. Mendatangi kantor polisi. Roy melaporkan Nirmala dengan tuduhan penggelapan uang. Selain itu Roy pun membayar media masa untuk memberitakan tentang Nirmala yang sedang melarikan diri karena tak bisa membayar hutang. Sekejap semua berita tentang Nirmala pun ramai di perbincangkan. Tak ada satu stasiun televisi yang tidak memberitakan tentang Nirmala. Bahkan saat Mahendra dan mama Rose sedang menatap layar televisi di ruang tengah, merasa terkejut dengan pemberitaan yang sedang berlangsung. Hendra segera bertindak. Membangunkan tubuhnya dan menuju ke kamar Nirmala. Dia Tak mau menyimpan penjahat di rumahnya itu. “Nirmala, keluar kamu!” Suara Hendra dengan sangat keras terdengar. Nirma yang hanya menikmati kamar dengan diam itu pun segera membuka pintu. “Cepat ikut aku!” Nirmala pun menutup pintu kamarnya. Lalu dengan segera mengikuti langkah Hendra di depannya. menuju ruang tengah. Mama Rose masih setia di depan layar televisi yang masih menyala. Pemberitaan itu berlangsung. Hendra segera mengambil posisi duduk. Dia memutar kembali pemberitaan tentang gadis yang baru dikenalnya itu. Nirmala berdiri dengan mendengar berita tentang dirinya penuh kesungguhan. Setelah pemberitaan itu selesai. Hendra dan mama Rose menatap Nirmala dengan pandangan tak biasa. “Apa benar berita itu, Nirmala!” Suara Hendra membentak dengan nada tingginya. Seketika Nirmala sempat tersentak terkejut tanpa berani menatap wajah laki-laki yang menjadi tuannya itu. “Jawab Nirmala!” Suara Hendra kembali meninggi. Mama Rose berdiri dan mengajak Nirmala untuk duduk di sampingnya. “Katakan Nirmala, kami tak akan melaporkan kamu ke polisi, jika kamu jujur!” “Maafkan Saya, Bu. Itu semua adalah hutang-hutang almarhum ayah Saya. Saya pun tak pernah tahu jika ayah Saya memiliki hutang sebanyak itu. Beliau meninggal bersama dengan Ibu saya, saat saya masih kecil.” Nirmala kembali menunduk. Dia mengambil napas dan kembali untuk menyusun sebuah cerita tentang hidupnya. Pelik yang dirasakan membuat matanya pun berkaca-kaca. “Tuan tanah itu datang dan meminta saya membayar hutang itu, Saya bekerja banting tulan dapi hasilnya tak cukup untuk membayar hutang ayah Saya. Dengan terpaksa Saya harus menikah paksa dengan anak dari tuan tanah, namun kekasih dari laki-laki yang akan menikahi saya, dia membubarkan acara pernikahan itu, dan Saya pun segera kabur. Karena saya masih punya mimpi untuk melanjutkan hidup saya.” Air mata Nirma menetes. Menggenangi kesedihan yang sangat dalam di benaknya. Isakan itu membuat mama Rose seakan tersentuh dan tergerak hatinya. Tak tega mendengar kisah yang mengharukan itu. “Nirmala tak punya keluarga?” tanya mama Rose. “Nirmala tak punya siapa-siapa, ayah dan ibu dulu juga anak tunggal, Nirmala berjuang sendiri.” “Berapa hutang ayahmu?” “Tuan tanah itu bilang, lima ratus juta, Bu.” Mama Rose tak melanjutkan lagi pertanyaannya. Hatinya terasa kelu. Di usia muda seperti Nirmala harus menanggung hutang dengan nilai yang cukup besar. “Hendra, kamu urus masalah Nirmala.” “Tapi, Ma.” “Mama tak suka dibantah, Hendra.” Ditangan Hendra semua masalah Nirmala pun sudah beres. Kini Nirmala bisa hidup dengan tenang. Dan sebagai wujud balas budi pada keluarga Mahendra. Nirma mengabdikan hidupnya untuk menjadi pengasuh Asila. Ditambah lagi dirinya tak pernah mau di gaji. *** Bersama dengan Bibi, Nirmala menghabiskan waktu bersama di rumah Hendra. Nirmala sering membantu Bibi mengerjakan pekerjaan dapur. Jika Asila sedang terlelap tidur. Nirmala sangat ringan atangan. Membuat siapa pun yang berada di rumah itu merasa dekat dengannya. Namun tidak dengan Hendra. Sifatnya yang acuh itu selalu membuat Nirmala tak berani berbuat apa-apa. Siang itu Nirmala sedang membersihkan sampah. Dilihatnya sebuah foto yang telah dibuang di tempat sampah. Nirmala memungutnya. Foto seorang wanita yang pernah dilihatnya. nirmala mencoba memutar memorinya. Wanita yang berada di foto itu adalah wanita yang menggagalkan pernikahan paksa antara dirinya dengan Roy. “Mbak Nirma, lihat apa?” “Ini foto siapa, Bi?” “Foto Bu Rosma, mamanya Asila.” Nirma mengingat kembali, wajah wanita yang pernah dilihatnya pada pernikahan Bos Nuna sepertinya tak sama dengan foto yang dilihatnya sekarang. Namun foto yang sekarang berada di genggaman tangannya itu sangat mirip dengan wanita yang menggagalkan pernikahan paksa itu. Secara tidak langsung, Nirmala tahu bahwa wanita itu adalah kekasih Roy. Gumamnya dalam diam membuatnya tersentak saat Asila menangis. Rosma membuang kembali foto itu dan segera menuju ke kamar Asila. *** Nuna yang sudah berbulan-bulan mendiamkan Nirmala. Kini dalam hatinya seperti terpanggil sebuah kerinduan yang dalam. Mamanya juga sering sekali menanyakan keaadan Nirmala. Namun Nuna yang merasa kesal itu pun sampai detik ini masih belum menghunungi sahabatnya itu. Setelah melihat berita Nirmala yang menjadi buronan beberapa hari yang lalu. Nuna merasa menyesal meninggalkan sahabatnya dalam kesusahan. Sekarang Nirma pun menurunkan egonya. Mengambil ponsel dan mencoba menghubungi Nirmala. Namun ponsel Nirmala tidak aktif. Nuna merasa bingun dan hatinya ingin sekali bertemu kembali dengan gadis cantik yang dirindukan itu. Nuna mencari Nirmala di kosnya. Namun hanya ada sepeda butut milik sahabatnya yang tergeletak tanpa ada yang merawat. Pemilik kos pun menjelaskan kepergian Nirma beberapa bulan lalu yang dijemput sebuah mobil mewah. Dari cerita yang didengar. Nuna merasa bahwa Nirmala sudah mengambil keputusan untuk menikah dengan laki-laki anak dari tuan tanah itu. kini Nuna kehilangan jejak. Tak tahu di mana sahabat karibnya itu tinggal. Pulang dalam kehampaan. Tak ada petunjuk di mana Nirmala berada. Padahal Nuna butuh bantuannya untuk mempersiapkan hari pernikahannya dua bulan lagi. Hanya kenangan kebersamaan yang teringat dalam sanubari. Dipeluk rapat-rapat dengan rasa yang terus bergejolak. ***   Nirmala kini hidup serba dalam pengabdian. Bahkan dia tak memiliki alat komunikasi. Ponselnya saat itu yang dibawa bersama kopernya tertinggal di sebuah rumah yang akan digunakan untuk pernikahan dirinya dan anak tuan tanah. Hari-hari Nirmala hanya penuh dengan perhatian pada Asila. Dia mencurahkan seluruh kasih sayangnya untuk malaikat kecil yang kini sudah tumbuh menjadi sosok gadis kecil yang sudah siap untuk sekolah. Asila pandai berkomunikasi. Setiap apa yang dilihatnya, dia selalu bertanya pada Nirmala. Bahkan setiap malam Asila tak mau tidur sendiri.  Dia selalu ingin ditemani Nirmala di sampingnya. Nirmala sering membacakan dongeng untuk Asila sebelum memejamkan mata. Keduanya memiliki kasih sayang teramat indah. Hendra begitu sibuk untuk mencari sekolah terbaik untuk anak tercintanya itu. Lembaga pendidikan anak usia dini dicarinya penuh dengan ketelitian. Dia mencari sekolah terbaik untuk putri satu-satunya. Hendra sangat menyayangi Asila melebihi apa pun. Setiap apa yang keluar dari mulutnya selalu diwujudkan. Dengan kekuasaan dan kekayaan semua pun terasa sangat mudah bagi Hendra. Kini tak terasa gadis kecilnya sudah akan memasuki bangku sekolah. Hendra pun sudah menyiapkan segala sesuatunya dengan baik. Bahkan setiap hari dirinya sendiri yang mengantarkan Asila ke sekolahnya. Ditemani Nirmala. Asila selalu menyungging senyum setiap berada di lingkungan sekolah. Nirmala yang menunggu di ruang tunggu. Seperti ada sesuatu yang meriuhkan hatinya. Lembaga pendidikan berkelas itu membuatnya ingin kembali pada mimpinya. Menjadi seorang guru anak usia dini adalah cita-citanya sedari dulu. Begitu pula dengan impian ibunya. Namun kali ini Nirmala selalu datang ke lembaga tersebut hanya sebagai pengantar Asila. Bukan sebagai pendidik yang menyebarkan ilmu untuk anak-anak cerdas. Nirmala gigit jari. Menatap satu persatu tenaga pendidik yang tengah beraktifitas dengan segala kesibukannya. Nirmala ingin seperti mereka. Namun garis hidupnya seolah tak bisa ditebaknya. Dia sama sekali tak menyangka dengan jalan hidup yang berliku seperti yang sedang dijalaninya. Pulang sekolah itu. Asila tak seperti biasa. Wajahnya tertekuk layu. Dia sama sekali tak menyapa Nirmala seperti hari-hari sebelumnya. Pulang sekolah dijemput sopir pribadi dari papa Asila. Nirmala mencoba mencari tahu penyebab anak asuhnya itu tak riang dengan segala ulah yang beda. “Asila sayang, kenapa cemberut seperti ikan?” Nirmala pernah mendongeng dengan judul ikan yang suka cemberut. Asila pun hapal dengan kisah si ikan yang suka cemberut dan menyembunyikan tawanya. Asila memandang Nirmala dengan rasa sedih yang menyelimuti. Air matanya mengalir di antara ke dua pipi manisnya. Asila terisak dalam pelukan Nirmala. Dia mengunci mulutnya dan tak mau memberitahukan tentang apa yang sedang dirasakannya. Nirmala dibuat bingung. Dia mencoba menghibur Asila. Namun kali ini Asila benar-benar tak ingin bicara. Dia hanya menitikkan air matanya. Nirmala serasa ingin kembali ke sekolah dan menanyakan kepada gurunya. Namun Nirmala tak punya kendali apa-apa saat mobil sudah melaju dengan cepat. Nirmala dengan tenang mencoba menenangkan Asila di sepanjang perjalanan, hingga Asila tertidur di atas pangkuannya. *** Hendra mengetahui jika hati anaknya sedang tergores. Sopir pribadinya selalu memberikan informasi terbaru tentang kondisi sang buah hati. Hendra segera meninggalkan pekerjaannya dan kembali pulang ke rumah untuk melihat kondisi Asila. Sesampainya di rumah, Asila telah tertidur pulas. Hendra memanggil Nirmala di ruang kerjanya. Kali ini Nirmala seolah sedang bingung. Dia yang masih belum mengetahui penyebab anak asuhnya menangis sepulang sekolah. Nirmala menghadap Hendra dengan kecamuk hatinya. “Apa yang terjadi dengan putri saya?!” “Maaf, Pak. Saya belum tahu.” “Kamu saya bayar untuk selalu mengawasi anak saya di mana pun itu. Kenapa Kamu sampai tidak tahu Asila menangis?” “Maaf, Pak. Tadi ...” “Cukup, keluar!” Hendra sedang naik darah. Dia tak peduli dengan alasan apa pun dari Nirmala. Hendra segera menelepon guru kelasnya. Hendra segera menanyakan apa yang sebenarnya terjadi dengan anaknya hingga menangis dan tak mau bicara. Tak lama Hendra pun mengetahui alasan putrinya menangis tersedu-sedu. Semua itu hanya tentang rencana perayaan hari ibu yang akan diadakan di sekolahnya dua minggu lagi. Asila yang sadar bahwa dirinya tak memiliki ibu sejurus langsung menekuk wajahnya. Meskipun gurunya telah menjelaskan bahwa hari ibu itu bukan hanya untuk ibu, bisa juga untuk nenek, tante bahkan pengasuhnya di rumah. Gurunya menegaskan sosok wanita yang berarti di hati anak didiknya, termasuk Asila. Namun sepertinya Asila memiliki rasa yang begitu sensitif. Gadis kecil yang selalu riang itu mendadak layu. Seperti bunga tanpa guyuran air. Asila tergores hatinya. Dia merasa tak seperti teman-temannya yang sering sekali di antar sekolah dengan mamanya. Tidak seperti dirinya yang hanya ditemani pengasuhnya. Asila hanya gadis kecil yang ingin merasakan seperti apa yang dilihatnya. Teman-teman di sekolah tampak bahagia dan serimg bercerita tentang sosok mama. Namun Asila selalu diam dan pergi bila hal itu dialaminya. Hendra tak mau putrinya menangis kerena perayaan hari ibu. Dengan terpaksa Hendra mengambil keputusan untuk memindahkan putrinya ke sebuah sekolah yang sama juga bagusnya. Hendra berharap Asila akan merasa senang dengan sekolah yang dipilih papanya. Namun dalam hal ini ada satu orang yang tak setuju. Dia adalah Nirmala. “Kenapa harus dipindah, Pak.” “Asila sudah nyaman dengan teman-temannya dan lingkungan di sekolah itu sangat bagus untuk dia, Pak.” “Tahu apa Kamu tentang putri saya?” “Mohon maaf, Saya hanya tak ingin Asila mencoba beradaptasi lagi dengan lingkungan baru.” “Saya membayarmu hanya untuk mengasuh Asila. Bukan menasehati Saya, paham!” “Tapi, pak!” “Pergi dari hadapan Saya!” Kali ini Hendra pun menang dengan keputusannya, karena mama dan papanya yang biasanya ikut andil di setiap kejadian yang terjadi pada keluarganya. Namun kedua orang tua Hendra sedang keluar kota untuk beberapa minggu ke depan. Nirmala pun sadar. Pendapat yang disampaikan pada Hendra tak akan mengubah sebuah keputusan yang sudah ditentukan. Dia harus membantu Asila lagi untuk beradaptasi dengan lingkungan baru. Padahal Asila tak mudah membuka diri untuk berteman saat dirinya belum bisa merasa nyaman. Saat Asila sudah bangun dari tidurnya. Hendra mengambil peran utama sebagai orang tua tunggal. Hendra memberikan hadiah yang membuat Asila tersenyum bahagia kembali. Setelah itu Hendra pun mengatakan tentang rencana pindah sekolah. Mendengar ucapan dari papanya. Asila cukup terkejut, bahkan Asila menolak untuk pindah. Dia ingin tetap bersekolah dan berteman dengan teman-temannya di sekolah sekarang. Namun Hendra membujuk dengan banyak sekali iming-iming kebahagiaan di sekolah baru. Hendra pun mengurusnya dengan sangat cepat dan besok Asila akan pindah ke sekolah barunya. Hendra menginginkan Asila tak pernah merayakan hari ibu. Setiap Asila menanyakan di mana mamanya. Hendra selalu berkelit. Hingga detik ini Asila pun masih bingung dengan kondisi yang sekarang dijalaninya. Gadis empat tahun dengan kelucuan itu, kini hatinya masih sedikit terluka. Mencari sosok ibu namun Hendra masih belum menjelaskan sosok Rosma di depan anaknya. Entah sampai kapan sebuah kejujuran itu akan diketahui anaknya. *** Pagi itu Asila masuk ke kamar papanya dengan diam-diam. Hendra masih berselimut tebal. Asila tersenyum dengan hangat. Ingin membangunkan sang papa untuk diajak lari pagi. Namun tiba-tiba saja Asila menjatuhkan sebuah buku dari meja papanya. Di dalam buku itu ada selembar foto yang ikut serta jatuh ke lantai. Asila menatap foto itu lamat-lamat. Hendra mendengar suara benda yang terjatuh itu pun segera membuka matanya. Dia melihat Asila di sampingnya. Senyumnya pun mengembang. “Pa, siapa foto wanita ini?” Asila menyodorkan foto itu ke arah papanya. Hendra terdiam dengan mata berotasi, saat melihat sebuah foto yang kini ditanyakan kepadanya. ^Cengkir^ "Kadang mripat iso salah ndelok, kuping iso salah krungu, lambe iso salah ngomong, tapi ati ora bakal iso diapusi." (Terkadang mata bisa salah melihat, telinga bisa salah mendengar, mulut bisa salah mengucap, tapi hati tak bisa dibohongi?  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD