Siapa sangka gadis kecil dengan riang tawanya kali ini meminta satu hal yang harus dipenuhi oleh papanya. Dia bersikukuh untuk terus meminta agar Nirmala bisa menikah dengan papanya. Diam-diam Asila menjatuhkan dirinya ke pangkuan sang papa.
“Ada apa, Sayang? Tumben anak Papa manja sekali.”
“Kapan Papa akan menikah dengan Mbak Nirmala?”
“Mbak Nirmala Cuma pengasuh Asila, tidak bisa jadi Mama Asila.”
“Asila mau Mbak Nirmala jadi Mama Asila, biar nanti pas hari ibu Asila sudah punya Mama.”
Asila berlari meninggalkan Hendra. Asila menutup pintu kamarnya. Hal itu membuat Nirmala merasa penasaran. Apa yang dilakukan anak asuhnya itu pada papanya. Hingga membuat Asila membanting pintu kamarnya sekeras itu.
Nirmala ingin segera masuk ke kamar Asila. Namun mama Rose mencegahnya. Dia yang akan menanyakan langsung pada putrinya apa yang sebenarnya sedang dikeluhkan itu.Mama Rose melihat cucunya terbaring tengkurap. Hiasan air mata menggenangi pipinya yang basah.
“Asila kenapa?”
“Asila mau papa menikah dengan mbak Nirma, oma?”
“Kenapa begitu?”
“Aku mau punya mama sebelum hari ibu di sekolah diadakan.”
“Asila, dengarkan oma sayang, Asila gak boleh memaksa papa dan mbak Nirma menikah, bagaimana jika keduanya tak saling cinta.”
“Asila tidak peduli. Asila mau mbak Nirma jadi mama Asila.”
Segela bujuk rayu dicoba mama Rose untuk menenangkan hati cucunya itu.Namun Asila seolah tak mau mendengarkan apa pun yang keluar dari mulutnya. Asila terlanjur kuat dengan keinginannya.
***
Hendra sedang berdiskusi dengan mamanya. Tak lama dirinya pun memanggil Nirma. Untuk duduk bersama dan mencari solusi dari permasalahan Asila.
“Nirma, apa Kamu menyuruh Asila untuk menjadikanmu ibunya?”
Pertanyaan itu membuat Nirma seolah sedang dicurigai. Tak mengira bila majikannya itu menuduhnya dengan pertanyaan yang sama sekali tak pernah diduga.
“Maaf, Pak. Saya tidak pernah meminta hal itu.”
“Terus kenapa Asila selalu meminta kamu untuk jadi Mamanya?”
“Sekali lagi Saya mohon maaf, Pak. Saya tidak tahu kenapa Asila meminta hal demikian.”
Hendra menatap Nirmala dengan rasa yang sulit untuk diajak berpikir bersama. Dirinya seolah hanay menyudutkan Nirmala dengan praduga-praduga yang tak berdasar. Nirmala hanya menundukkan kepalanya.
“Sudah Hendra, jangan Kamu sudutkan Nirmala dengan pertanyaan konyolmu itu,” tukas mama Rose.
“Siapa tahu wanita yang culas ini memanfaatkan kesempatan.”
Mendengar kata-kata Hendra. Serasa Nirmala ingin cepat pergi. Dia merasa apa yang telah dilakukannya selama ini menjadikannya terobsesi untuk menjadi seorang istri pengusaha kaya raya. Nirmala bergeming. Jika tidak karena cintanya pada Asila, Nirmala sejak dulu pasti akan pergi. Dan kini sepertinya keinginan itu hinggap dalam batinnya.
“Cukup Hendra, simpan kata-kata burukmu itu!”
Mama Rose mencoba untuk membuat suasana tak tegang. Dirinya tak membela siapa pun. Namun mama Rose hanya butuh sebuah solusi agar Asila bisa bermain riang, tanpa beban tentang sosok ibu dalam hidupnya.
“Maafkan saya, Pak. Jika memang keberadaan Saya di sini mengganggu Bapak, saya bersedia untuk mengundurkan diri.”
“Sepertinya itu ide yang bagus Nirmala, supaya Asila bisa melupakanmu, karena jujur Saya sama sekali tidak tertarik padamu, apalagi menjadikanmu sebagai seorang istri.”
Mendengar jawaban itu. Nirmala sama sekali tak menyangka. Kata-kata majikannya benar-benar membuatnya terluka. Nirmala pun tak tinggal diam. Dia segera pamit untuk mengemasi barang-barangnya.
Mama Rose merasa bingung. Dia sendiri tak tahu bagaimana harus bersikap. Hendra tetap saja pada pendiriannya. Membiarkan Nirmala pergi dan tidak menjadi pengasuh lagi bagi anaknya. Dia sama sekali tak mengharapkan sebuah pernikahan, karena dirinya merasa bahwa cinta dalam hatinya sudah mati, semua ruang hanya terisi untuk Asila, anaknya.
Ada rasa gelisah yang cukup membuncah di hati Nirmala. Sembari mengemasi sedikit pakaian yang dia punya. Nirmala berpikir panjang. Akan ke mana kakinya berpijak setelah ke luar dari rumah yang sudah memberikannya sebuah kehidupan.
Air mata itu tak sengaja menentes. Perasaannya campur aduk, kecewa dengan apa yang dipikirkan Hendra tentangnya. Sedih karena waktu untuk bersama Asila sepertinya akan berakhir. Jarak yang akan menjadikan mereka tak bisa bersama lagi.
Nirmala mengusap air matanya, setelah satu tas itu penuh dengan barang-barangnya. Kini tak ada lagi sesuatu yang bisa dilakukan untuk tumbuh kembang Asila. Dirinya akan segera pergi untuk tidak membuat suasana di rumah itu semakin runyam.
Mama Rose datang memasuki kamar Nirmala. Peluk erat itu pun terhadirkan. Kesempatan untuk segera ke luar dari rumah itu seakan terbuka lebar, Asila sedang tertidur pulas.
“Nirmala, sebenarnya Saya tak bisa berpikir apa pun tentang semua itu.”
“Nirmala minta maaf ya, Bu. Mungkin selama hampir empat tahun Nirmala di sini ada hal yang kurang berkenan.”
Mama Rose menitikkan air matanya. Empat tahun bukan waktu yang singkat. Banyak sekali kenangan yang sudah terlewati bersama. Kini perpisahan itu harus terjadi dengan suatu kondisi yang sama sekali tak diinginkan. Sebuah amplop putih itu diberikan mama Rose untuk Nirmala, namun Nirmala menolaknya.
“Kebaikan ibu dan keluarga sudah sangat cukup bagi saya, ibu sudah melunasi hutang ayah saya, maaf saya tidak bisa menerimanya.”
“Nirmala, kamu harus terima ini, jika tidak saya akan sangat marah padamu. Terimalah!”
Paksaan mama Rose membuat Nirmala tak bisa menolak. Amplop putih itu pun diterimanya. Dan sekarang Nirmala sudah siap untuk pergi dari rumah yang selama ini melindunginya dari panas dan hujan.
***
Asila menangis tak henti-henti. Saat dirinya mencari Nirmala. Namun tak ditemuinya di seluruh penjuru rumahnya. Tangisan histeris itu pun membuat Hendra kebingungan. Bujuk rayu yang dilayangkan pada putri kecilnya itu tak memberikan efek yang baik.
Seluruh keluarga pun dibuat khawatir. Asila terus saja terisak, dirinya terus memanggil Nirmala tanpa henti. Hingga sore itu saat Rafi datang untuk mengembalikan buku milik Nirmala. Dirinya terasa terkejut. Melihat Asila yang histeris.
“Kenapa dengan Asila, Te?” tanya Rafi.
“Mencari Nirmala,” jawab mama Rose.
“Memangnya ke mana Nirmala?”
“Sudah pergi.”
“Kapan?”
“Siang tadi.”
Jawaban singkat yang mama Rose hadirkan, membuat Rafi kembali diam. Matanya menatap pada buku yang sedang dibawanya. Padahal hari ini dirinya akan mengembalikan buku itu, dan juga menjawab rasa yang bersarang dalam hatinya.
Asila yang melihat kedatangan Rafi, dia langsung berlari dan memeluk erat Rafi. Isakan tangis gadis kecil itu membuat Rafi tak kuasa dengan perasaannya sendiri. Hendra segera menghampiri Rafi dan mengambil Asila dari dekapan sepupunya itu.
Asila kini dalam dekap sang papa. Namun dirinya meronta dan melepaskan dekapan Hendra. Asila kembali pada Rafi dengan tangisan yang terus membahana. Semua merasa bingung dengan tangisan Asila yang terus menggema tanpa henti.
Rafi memohon ijin untuk menenangkan keponakannya itu. Membawa Asila pergi jauh dari rumahnya. Asila tak menolak. Dirinya merasa tenang berada dalam lindungan Rafi. Berkeliling jalanan dengan mobil yang menemani.
Rafi tak lupa membelikan Asila es krim, berharap agar Asila tak meneruskan tangisannya. Setelah itu Rafi pun mengajak Asila melihat beberapa binantang di kebun binatang. Tak lama Asila pun bisa tersenyum lepas. Rafi baru akan berusaha untuk menyelami hatinya yang sedang dilanda gulana.
“Asila kenapa tadi menangis?”
“Mbak Nirma pergi, Om. Dia meninggalkan Asila.”
“Memangnya kenapa Mbak Nirma pergi?”
“Asila minta Mbak Nirma untuk jadi Mama Asila, Om.”
Mendengar jawaban Asila. Rafi seakan tahu tentang duduk permasalahan yang terjadi. Rafi kembali mengajak Asila berkeliling untuk menikmati pemandangan di kebun binatang itu. Setelah dirasa tenang. Rafi pun mengajak Asila untuk pulang ke rumah.
Di perjalanan, Asila terlelap dalam tidurnya. Lelah setelah mengeluarkan tenaga. Dirinya pun tak sadar saat digendong Rafi menuju kamarnya. Saat Rafi berada di kamar Asila, datang seorang wanita yang mengejutkan. Dari belakang Rafi mengira bila itu Nirmala. Namun dugaannya salah.
“Kamu siapa?” tanya Rafi.
“Saya Sinta,” pengasuh Asila yang baru.
Rafi tersenyum lalu ke luar dari kamar keponakannya itu. Hendra dan mamanya sedang berada di ruang keluarga. Sepertinya telah serius membicarakan sesuatu. Rafi mendegarkan percakapan mereka di balik dinding putih.
“Hendra, bagaimana jika besok Asila mencari Nirmala lagi?”
“Ini hanya sementara, Ma. Paling semingguan Asila bisa beradaptasi dengan pengasuh barunya itu.”
“Hendra, carilah istri. Siapa pun itu, supaya Asila tidak bersedih terus-menerus.”
“Ma, berapa kali Hendra katakan, Hendra sudah tak mau menikah.”
“Kamu memang tak butuh istri, tapi Asila butuh Mama, pikirkan itu Hendra. Jangan egosi dengan dirimu sendiri.”
“Sudahlah, Ma. Asila akan baik-baik saja. Tak perlu mencari Mama untuknya.”
Hendra meninggalkan mama Rose seorang diri. Setelah itu Rafi pun pamit pulang. Ada sedikit penyesalan dalam hati Rafi. Andai kata dirinya datang pagi, pasti masih bisa bertemu dengan Nirmala.
Memasuki mobilnya. Rafi menatap sebuah buku yang membuat pikirannya melayang. Rafi ingin bertemu dengan pemiliknya. Namun kini, jarak dan waktu seakan tak mendukungnya. Rafi tak tahu di mana dirinya bisa mengembalikan buku itu.
Wajah Nirmala sekilas berkelibat pada kedua bola matanya. Entah mengapa keinginan untuk kembali berjumpa dengan Nirmala begitu sangat mengganggunya. Rafi hanya bergeming. Dirinya kini tak bisa melakukan apa pun. Selain hanya berharap pada semesta.
***
Pagi itu. keluarga Mahenda sedang berkumpul di meja makan untuk menyantap sarapan pagi. Namun tiba-tiba saja pengasuh Asila yang bernama Sinta itu datang dengan wajah panik.
“Maa, Pak, Bu. Badan Asila panas dan dia terus saja memanggil nama Nirmala.”
Mendengar perkataan Sinta. Semua penghuni rumah itu segera menuju ke kamar Asila. Hendra memegang dahi anaknya. Lalu dirinya mencari termometer untuk mengukur suhu tubuh anaknya. Betapa terkejutnya, saat hasilnya di atas rata-rata.
Mahendra tak tinggal diam. Segera membopong Asila untuk dibawa ke rumah sakit. Di tengah perjalanan Asila terus menggigil dan memanggil nama Nirmala tanpa henti. Mama Rose mendekap erat cucunya. Hingga air matanya menetes tak tertahankan.
Dokter segera memeriksa kondisi Asila. Semua anggota keluarga menunggu di luar ruangan. Hendra terlihat sangat panik. Dia tak bisa duduk dengan tenang. Begitu pula dengan mama Rose. Pikirannya terus saja tertuju pada cucunya.
“Bagaima kondisi anak saya, Dokter?”
Pertanyaan itu segera dilontarkan Hendra saat dokter yang memeriksa anaknya ke luar dari ruangan. Dokter pun tersenyum dan menajwab pertanyaan dari Hendra.
“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, kami sudah memberikan obat penurun demamnya.”
“Syukurlah kalau begitu, Dokter.”
“Asila selalu menyebut nama Nirmala, kalau boleh tahu dia siapa? Apa Nirmala ada di sini?”
Hendra dan mama Rose saling memandang. Tak tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan bidadari kecilnya itu.
“Nirmala itu pengasuh anak saya.”
“Kalau bisa ajak Nirmala untuk menemui Asila, karena Asila sangat membutuhkannya. Pikirannya sekarang selalu tertuju pada Nirmala.”
“Tapi kondisi cucu saya baik-baik saja kan dokter?”
“Sepertinya demam itu berasal dari pikirannya, tubuhnya sangat lemas karena tak ada makanan yang masuk ke perutnya. Sehingga tubuhnya memberikan respon dengan suhu yang meningkat.”
“Apa yang harus kami lakukan, dokter?”
“Kita akan terus memberikan yang terbaik dan juga agar demamnya cepat turun mungkin bisa hadirkan nama yang selalu disebutnya, agar kondisinya cepat membaik.”
Mendengar penjelasan dari dokter. Hendra terdiam dalam kebingungan. Dia seakan berpikir dengan apa yang akan dilakukannya. Memanggil kembali Nirmala untuk membantu penyembuhan Asila terasa berat untuk dilakukan.
Hendra masuk ke ruang rawat anaknya. Membelai mesra dahinya. Terasa sangat panas. Mata Hendra berkaca-kaca, menatap putri kecilnya yang kini tengah terbaring lemah tak berdaya.
^Cengkir^
"Jalma angkara mati murka."
(Mendapat kesulitan karena kemarahannya sendiri)