Asila yang mendengar penjelasan dari Mahendra. Dirinya pun tak banyak untuk bertanya tentang sosok mamanya. Dia sedikit memahami bahwa mama dan papanya seperti vas bunga yang pecah dan tidak bisa digunakan untuk tempat apa pun.
Asila berusaha mengambil pecahan vas bunga yang bercecer di lantai. Namun tangannya terluka dan berdarah. Seketika Hendra pun sangat panik. Bahkan dirinya akan membawa Asila ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan dokter.
Namun Nirma tak diam saja. Melihat jari Asila yang penuh darah. Dirinya segera mengambil kotak P3K, dia akan segera mengobati anak asuhnya itu. awalnya Hendra menolak, karena dirinya tak mau bila luka anaknya tak lekas sembuh. Namun Asila meminta pada Nirmala untuk segera mengobati lukanya.
Dengan telaten dan penuh perhatian. Nirmala membalut luka Asila dengan plester. Darah itu pun tak keluar lagi. Asila merasa Nirmala sangat berarti bagi dirinya. Hendra yang menunggu di samping Asila pun penuh kekhawatiran.
“Sudahlah, Hendra. Asila baik-baik saja, kan?”
Suara mama Rose melengking dan berjalan menuju ke tempat Asila. Dia tahu bila anak laki-lakinya itu sedang mengkhawatirkan putrinya. Namun mama Rose yakin luka itu akan segera sembuh.
“Papa, Bolehkah Aku bertanya sesuatu?” ucap Asila.
“Tentu boleh, Sayang.”
“Papa mau gak mencari vas bunga yang pecah itu, agar bunganya bisa menetap di tempat yang bagus.”
“Tentu saja, nanti kita cari di toko vas bunga, ya.”
“Kalau begitu, Papa juga mau kan carikan Asila mama baru. Supaya Asila bahagia.”
Hendra menatap Asila tanpa lepas. Menelan ludahnya dan menarik napas panjang. Dia sama sekali tak mengira bila Asila akan mengutarakan hal itu padanya.
Nirmala yang masih membereskan kotak obat itu, hanya bisa mendengarkan dengan mengunci mulutnya. Mama Rose pun tak kalah terkejut. Seketika pandangannya tak lepas dari cucu tercintanya itu.
“Papa, yang harus jadi mama Asila orangnya harus bagaimana?”
“Asila, istirahat dulu saja, ya di kamar.”
“Asila gak mau ke kamar sebelum Papa jawab pertanyaan Asila.”
Hendra mengatur napasnya lagi. Putri kecilnya kini memang sudah pandai untuk mengatur kosa kata. Bahkan setiap pertanyaan yang ditanyakan padanya, membuatnya susah payah mencari jawaban yang tepat.
“Jawab, Pa!”
“Orangnya harus baik dan sayang sama Asila.”
“Kalau begitu, Mbak Nirmala pantas kan, Pa jadi Mamaku?”
Semua mata memandang Asila tanpa lepas. Pertanyaan yang datang tiba-tiba itu bergeliat di pikiran Hendra. Nirmala pun juga demikian. Sama sekali tak terbesit di hatinya tentang ucapan yang baru saja didengarnya itu.
Suasana terjeda. Sunyi seketika. Asila memandang Papa, oma dan juga Nirmala. Semua hanya diam tak bisa menjawab pertanyaan dari gadis kecil itu.
“Kenapa diam? Mbak Asila baik dan sangat sayang dengan Asila, dia tak pernah memerahi Asila. Selalu membuat Asila bahagia.”
Mendengar pernyataan Asila. Nirmala segera keluar dari pokok pembicaraan. Dia pun kembali bergelut dengan beberapa mainan Asila yang belum dibereskan, setelah tadi digunakannya bermain. Hati Nirmala berdesir. Seperti ada sesuatu yang mengiringi setiap denyut nadinya.
Mama Rose tak bisa memberikan pendapat. Dirinya hanya diam sembari terus berkecamuk pikirannya. sesaat setelah itu seorang laki-laki yang usianya lebih muda telah datang dengan membawa boneka untuk Asila. Dia adalah Rafi. Sepupu dari Hendra.
Senyum tawa mengiringi kehadiran Rafi. Dirinya yang tinggal di Singapura membuatnya jarang sekali bertandang ke rumah Hendra. Studi yang terus saja membuatnya jarang sekali pulang. Dan kali ini libur seminggu digunakannya untuk pulang ke Indonesia.
Rafi seorang laki-laki yang baik. Sikap rendah hati dan suka menolong membuatnya memiliki banyak relasi. Dia tak pernah membedakan strata. Sikapnya pun bertolak belakang dengan Hendra. Sehingga mereka sering sekali berselisih paham. Meski begitu tak peernah ada pertengkaran di antara mereka.
***
Asila terlihat begitu bahagia dengan kedatangan Rafi. Mereka pun bermain bersama di halaman belakang. Mata Rafi menelisik pada gadis yang baru saja memanggil Asila di sampingnya.
“Putri kecil, waktunya makan.”
Suara itu membuat Rafi menatap Nirmala begitu lama. Asila yang masih berada di pangkuan Rafi hanya tersenyum lebar. Nirmala tetepa berdiri agak jauh dan masih memanggil anak asuhnya itu.
“Asila, bilang sama dia kalau Asila mau makan di sini,” rayu Rafi pada Asila.
“Mbak Nirma, kata Om Ra ...”
Sebelum Asila mlanjutkan kata-katanya. Rafi segera membungkam mulut Asila. Dia tahu bahwa anak kecil tak pernah bisa berbohong. Kata-katanya yang lembut seolah tak bisa diajak bersandiwara.
“Asila, jangan kata Om. Bilang saja makan di sini, Mbak. Begitu! Ayo ulangi.” Bisik Rafi pada Asila.
Asila pun menurut. Kali ini dia berubah menjadi putri drama. Melakukan perintah Rafi tanpa cela. Nirmala pun dengan membawa semangkok bubur ayam segera mendekat ke arah anak asuhnya.
Menyuapi Asila dengan senyum terpancar. Rafi yang melihat kecantikan Nirmala dari dekat membuatnya terus saja menatap. Hingga akhirnya pandangannya itu diketahui Nirmala. Rafi pun jadi salah tingkah.
“Mbak Nirma, ini bukumu bukan?”
Suara Bibi membuyarkan lamunan Rafi. Matanya menatap pada wanita yang berprofesi sebagai asisten rumah tangga Hendra.
“Iya, Bi. Itu buku saya.”
“Ini tadi terjatuh sepertinya di pinggir tempat sampah.”
“Terima Kasih ya sudah diambilkan. Saya lupa naruh di mana setelah semalam saya baca.”
Rafi mendengarkan pembicaraan itu dengan sangat serius. Lalu menatap sebuah buku yang sangat dikenalnya. itu adalah buku tentang pendidikan anak usia dini. Dan yang membuat mata Rafi seakan menelisik lebih dalam. Buku yang kini berada di tangan Nirmala berbahasa inggris.
Dari bacaan Nirmala. Rafi merasa ada sesuatu yang unik pada Nirmala. Buku bacaan yang dibaca tidak main-main. Bahkan sangat berkelas. Rafi yang juga gemar membaca buku, dia mengerti tentang kualitas buku yang kini dipegang Nirmala.
Setelah selesi menyuapi Asila, Nirmala pun kembali ke dalam rumah untuk menaruh piring. Mengajak Asila untuk istirahat siang. Namun Asila menolak dan masih ingin bermain dengan Rafi.
“Asila, mau bantu Om?”
“Bantu apa Om?”
Rafi mengajak Asila masuk ke dalam rumah. Kemudian Rafi mengambil secarik kertas dan menuliskan sebuah pesan di dalamnya.
“Asila, tolong kasihkan ini sama Mbak yang tadi nyuapin kamu, ya.”
“Namanya Mbak Nirmala, Om.”
“Iya, ini cepat kasihkan.”
Asila pun tak menolak permintaan dari Omnya. Dia segera membawa secarik kertas itu pada Nirmala. Gadis yang berprofesi sebagai pengasuh Asila itu pun menerima dengan heran. Sebelum akhirnya dia membaca pesan yang ditulis Rafi padanya.
***
“Hendra, sepertinya sudah waktunya Kamu membuka hati untuk wanita lain,” kata Mama Rose.
“Hendra tak butuh siapa-siapa?”
“Tapi Asila butuh itu, dan mau sampai kapan Kamu hidup menduda?”
“Sudahlah, Ma. Asila juga sama seperti Aku.”
“Jangan egois begitu.”
“Ma, cinta itu bukan dipaksa, tapi dia dengan rela mengabdikan seluruh hidupnya pada seseorang yang dicintai, dan Aku tidak bisa seperti itu!”
“Mau sampai Kapan kamu bergantung pada Mama?”
“Apa maksud Mama?”
“Usia Mama semakin lama juga semakin tua, Hendra. Seharusnya kamu tahu dan lebih mengerti tentang kehidupan orang tuamu.”
Mama Rose berlalu. Meninggalkan Hendra seorang diri. Hendra merasa hidupnya begitu pekik. Cinta baginya pada wanita sudah mati. Hendra menarik napas panjang. Menutup matanya saat selesai menatap langit-langit dengan sedikit beban dalam hidupnya.
***
Mama Rose menyambut kepulangan suami yang baru saja datang dari Banjarmasin. Usia opa Yusron Mahendra memang sudah tak muda lagi. Namun semangat kerjanya masih seperti pemuda yang berumur tujuh belas tahun.
Mama Rose membuatkan minuman jahe hangat untuk suaminya. Minuman favorit itu menjadi sebuah kerinduan yang selalu menggebu dalam diri seorang opa Yusron.
“Asila mana, Ma?”
“Ada di belakang, sedang main bersama Rafi.”
“Rafi ke sini?”
“Iya, Pa.”
Secepat mungkin laki-laki berpostur tinggi itu menghabiskan minuman jahe hangatnya. Lalu dengan cepat melangkah untuk menemui cucu kesayangannya.
Bias kerinduan terpancar dari kedua binar mata yang seakan memberi cahaya kebaikan. Peluk mesra nan hangat itu pun dihadirkan pada dua insan yang saling berhubungan. Asila memegang erat jemari opanya. Mengajaknya bermain dengan segala tingkahnya yang lucu dan menggemaskan.
Pandangan keseruan itu terekam jelas di hati mama Rose. Tak tega bila harus menggores hati cucunya. Bahkan menuruti kemauannya saja kadang selalu tak bisa. Mata mama Rose beralih ke arah Nirmala. Dia yang selalu menemani dan merawat Asila sejak kecil.
Ada sesuatu yang sepertinya menerobos masuk di sudut otaknya. Senyum mama Rose seakan terhadirkan. Tentang sebuah permintaan sang cucu, untuk menjadikan Nirmala sebagai mamanya.
***
“Pa, bagaimana hari ini di Banjarmasin?”
“Semua berjalan lancar, Ma.”
“Pa, tadi pagi Asila berceloteh. Dia minta Nirmala menikah dengan Papanya.”
“Kenapa begitu?”
“Dia terus saja menanyakan tentang sosok mamanya, namun Hendra menjawabnya dengan sebuah contoh vas bunga yang pecah dan tak dapat disatukan lagi, itulah kondisi dirinya dengan Rosma.”
“Lalu?”
“Ya Asila minta agar Hendra membelikan vas bunga itu untuk bunga yang masih hidup, Asila minta mama baru, dan dia ingin Nirmala yang ada di posisi itu.”
Keduanya saling berdiskusi. Membicarakan masa depan sang cucu tunggal yang teramat dicintai. Ingin selalu berikan yang terbaik tanpa cela sedikit pun.
***
Dongeng sebelum tidur pun dibacakan untuk Asila. Namun di tengah-tengah Nirmala menceritakan tentang kisah kelinci yang baik hati. Tiba-tiba Asila menanyakan sesuatu padanya.
“Mbak, tadi Om Rafi nulis apa? Asila gak bisa baca.”
Senyum Nirmala pun menghiasi. Asila memang gadis yang sangat ingin tahu. Sesuatu yang mengganjal di hatinya selalu ditanyakan.
“Tadi Om Rafi pinjam buku Mbak.”
“Mau pinjam buku kenapa pakai acara surat-suratan, kan bisa ngomong langsung.”
Nirmala kembali tersenyum. Asila tiba-tiba memeluknya dengan sangat erat. Tak tahu mengapa hatinya kembali berdesir lirih penuh keharuan.
“Mbak, mau kan jadi mama Asila? Asila ingin seperti teman-teman di sekolah, yang selalu diantar mamanya.”
Pelukan erat Asila membuat Nirmala bergeming. Dia ingin berkata tidak, namun untuk menghargai dan tidak membuat Asila sedih. Dirinya berusaha untuk tetap bersikap bijak.
“Sayang, Bu guru pernah bilang, jika ingin sesuatu berdoalah, namun jika Tuhan tidak mengabulkan doa kita berarti sesuatu yang kita inginkan itu bukan yang terbaik. Asila berdoa ya.”
“Iya, Mbak. Asila akan berdoa supaya Mbak Nirmala jadi mama Asila.”
Nirmala mematikan lampu dan membiarkan Asila dengan harapan-harapannya. Meskipun dirinya sendiri tak pernah mengharapkan Asila untuk benar-benar jadi putrinya. Karena Nirmala sadar, cinta itu bukan permainan dan tak bisa dipaksakan.
Nirmala memungut secuil kertas yang jatuh. Dia sadar bahwa kertas itu adalah kertas yang tadi siang diberikan Rafi padanya. Sebuah kertas yang membuat degup jantung Nirmala bergetar hebat.
your book is good, can i borrow it
and one moreyour smile is awesome
Rafi
Nirmala tersipu malu. Dia segera masuk ke dalam kamarnya. Mencoba menuju alam mimpi dengan cepat. Namun entah mengapa di sudut bayangan itu, tergambar wajah Rafi yang begitu santun. Sikap ramah dan senyumnya pun menggelorakan jiwa.
Nirmala menutup seluruh tubuhnya. Dia ingin menepis bayangan Rafi dari pikirannya. Namun semakin dirinya mencoba, bayangan itu semakin jelas hadir di pelupuk matanya.
Hingga tengah malam Nirmala tak kunjung bisa memejamkan matanya. Dia tak pernah merasakan ini di malam-malam sebelumnya, bahkan di kehidupannya sekalipun. Nirmala kembali berkutat dengan buku yang baru dibeli dan belum sempat dibuka. Nirmala meraihnya lalu membacanya halaman demi halaman hingga matanya mulai lelah dan dia terlelap.
***
Rafi membuka buku dari seorang gadis yang juga membuat matanya seolah tak mampu untuk berkedip. Awal perjumpaan dengan Nirmala membuatnya melakukan sesuatu diluar nalar. Rafi memang pandai merayu. Namun tidak pada semua gadis.
Dia hanya akan mengeluarkan jurunya itu pada saat hatinya mulai berdesir. Dan kali ini hatinya seolah tak bisa berbohong.
^Cengkir^
"Move on kuwi dudu berusaha nglalekke ya, tapi ngikhlaske lan berusaha ngentukke sing luwih apik luwih seko sing mbiyen-mbiyen."
(Move on itu bukan berusaha melupakan ya, tapi mengikhlaskan dan berusaha mendapatkan yang lebih baik dari sebelum-sebelumnya.)