Part 41 - Mencari Cara

2130 Words
“Aku minta sekarang kamu pergi dari sini, Ros, aku tak mau istriku cemburu denganmu.” “Kamu serius tidak mengakui anak ini?” “Ya, sangat serius, karena kita sudah bercerai.” “Tapi aku bisa pastikan jika ini adalah anakmu.” “Sudahlah, Ros. Terima kenyataan, kita sudah berpisah.” Rosma tertegun dengan kedua matanya basah. Sesaat air matanya menganak sungai. Mengalir begitu deras tanpa henti. Hatinya seketika rapuh, semua harapan yang ada di benaknya terasa patah dan tak bisa dikembalikan. Kedua mata Rosmalina masih saja menatap sosok laki-laki yang dianggap sebagai ayah dari janin yang dikandungnya. Rosmalina penuh tatapan harap yang sia-sia. “Pergilah, sebelum aku mengusirmu dengan cara yang lebih kejam.” Rosmalina menelan ludah. Perlakuan laki-laki yang masih mengisi hatinya itu terasa menyakitkan. Dia sama sekali tak menyangka, kehadirannya seolah tak ada nilainya. Roy berdiri dari tempat duduknya. Kemudian dengan cepat dirinya kembali masuk ke dalam rumahnya. Rosmalina masih melanjutkan jerit tangis hatinya yang dirasa. Pandangan matanya nanar. Dia yang sudah berkorban banyak untuk bisa datang ke rumah Roy. Sampai dirinya harus membohongi suaminya. Kini semua usahanya benar-benar tak berarti apa pun di depan mata mantan suami yang masih dicintainya itu. *** Asila yang sudah terbangun dari tidurnya itu pun merasa badannya cukup lelah. Dia memandang tempat yang kini terlacak oleh matanya, sebuah ruangan yang begitu tak dikenal. Mata Asila tiba-tiba tertuju pada sang papa yang juga masih terlelap dalam tidurnya. Asila merasa haus. Dia pun segera bangun dan ingin mengambil segelas air minum. Mengambilnya segera di lemari dingin yang berisi beberapa botol minuman. Asila mengambil gelas di atas meja. Dia menuangkan sedikit air putih itu. Asila segere meminumnya agar kering tenggorokannya segera terobati. Saat Asila sudah selesai meneguk air dalam gelas kaca itu. Tiba-tiba saja dia tak sengaja menjatuhkan gelas itu ke lantai. Seketika suara riuh pun tak dihindari. Asila menjerit karena kaget. Hendra yang memejamkan matanya lelap pun seketika membangunkan tubuhnya. Dia melihat ke arah sumber suara. Dilihatnya sang anak sedang memecahkan gelas. “Sayang, kamu tidak apa-apa?” “Maafkan aku, pa. Aku tidak sengaja memecahkan gelasnya.” “Iya, tidak apa-apa.” Hendra segera menggendong Asila agar terhindar dari pecahan gelas itu. hendra tak mau sang anak terluka kakinya, sesaat Hendra pun terpikir akan Rosmaina. Dia ingin Rosmalina membersihkan pecahan kaca atau bahkan menenangkan sang anak. “Ros, Rosma, Ros ...” Suara Hendra melengking. Dia yang terus memanggil sang istri seolah tak mendapatkan sedikit jawaban sedikit pun. Hendra mencari di beberapa sudut ruangan. Namun sama sekali dirinya tak mendapati sosok Rosma di mana pun itu. Hati Hendra seketika bergidik. Sepertinya Rosma memang sedang tak ada di penginapan. Seketika Hendra pun segera menghubungi istrinya. Namun sayangnya ponsel Rosmalina sengaja tak dibawa. Berada di meja dekat televisi. *** Rosmalina pelan-pelan melangkah menjauhi rumah Roy. Dia yang sama sekali tak mengerti dengan jalan hidup yang membuatnya kini terdiam dalam nestapa. Keinginannya untuk kembali rujuk dengan Roy pun sama sekali tak bisa diwujudkan. Bahkan Rosmalina harus menerima kenyataan bila laki-laki yang dicintainya, kini telah menetap pada hati yang sudah mengisi hari-harinya. Rosmalina tak bisa berpikir lagi. Dia seolah besok akan kembali untuk menemui Roy kembali. Setidaknya Rosmalina akan berusaha sampai dia merasa lelah dengan upayanya sendiri. Rosmalina menatap ke belakang. Pandangan rumah Roy benar-benar menghadirkan kembali memori kenangan yang telah lalu. Indah namun terasa sangat menyakitkan. Rosmalina telah menginjakkan kakinya di penginapan. Dia berharap bila suaminya masih terlelap dalam tidurnya. Hampir tiga jam dirinya pegi tanpa sepengetahuan suaminya. “Dari mana kamu?” Suara Hendra melengking saat mendapati Rosmalina masuk ke dalam penginapan. Rosmalina yang juga mendengar dengan jelas suara suaminya itu pun, seketika jantungnya berdebar maraton. Ada sedikit ketakutan yang menyelimutinya. Partikel-partikel itu seakan menghantui diri dan membuat bulu kuduknya merinding tak karuan. Rosmalina menatap mata sang suami. Hendra yang dulu dia kenal, kini tak sama dengan apa yang dulunya didapatkan. Sekarang perlakuan Hendra kepada Rosmalina sangatlah dingin. Dia akan berbicara pada istrinya seperlunya saja. Tak ada perhatian khusus yang dipersembahkan untuk sang istri. Sedangkan Hendra yang dulu, dia sangat mencintai Rosmalina. Melakukan apa pun yang diinginkan oleh sang istri. Rosmalina menarik napasnya panjang. Dia seolah mengalihkan pandang matanya itu. kemudian dirinya menaruh tas kecilnya di atas kursi. “Mama dari mana? Asila dari tadi cari mama.” Rosmalina menghampiri Asila dengan memeluk erat sang anak. Dia yang kini hatinya terasa remuk redam harus berusaha menutupinya rapat-rapat. Sebenarnya Rosmalina ingin menangis dengan kencang. Mengeluarkan setiap keluh yang ada di hatinya. Membeludak karena sakitnya yang kian merajang. Namun Rosmalina tak ingin bila Hendra curiga. Rosmalina pun dengan hati-hati menyembunyikan air matanya. Jangan sampai dia kelepasan hingga air mata itu jatuh di depan anak dan suaminya. “Maafkan mama ya sayang, mama tadi bosen di kamar. Jadi mama keluar sebentar.” “Lain kali kasih kabar kalau keluar, ponsel juga jangan ditinggal.” Suara Hendra yang dingin itu terdengar di telinga Rosmalina. Dia sama sekali tak menyangka bila dingginnya sikap yang ditujukan kepadanya, kini seakan sedikit bisa mencair. Rosmalina pun seakan yakin, bila Hendra sudah mulai bisa menerimanya. *** Rafi tertegun. Saat Meli datang ke rumahnya. Tanpa dirinya tahu jika Meli telah berdiri di belakangnya. Rafi yang membawa paket dari Nirmala pun segera menutupnya dan seolah menyembunikannya dari Meli. “Paket untuk siapa?” “Bukan untuk siapa-siapa.” Jawaban Rafi seolah mengundang rasa penasaran Meli. Gadis itu yang tahu segalanya tentang diri Rafi. Namun kini sepertinya sebuah kenyataan telah disembunyikan dari dirinya. Meli pun merasa yakin bila apa yang dirahasiakan sahabatnya itu pasti berhubungan dengan cinta yang sama sekali tak ingin diketahui siapa pun. Meli mencoba untuk bermain cantik. Dia seketika menghadirkan senyumnya. Kemudian segera mengambil posisi duduk di samping Rafi. “Mumpung lagi di Jakarta, kita jalan-jalan, yuk.” “Ke mana?” “Ke mana aja, sebentar lagi kan kita juga harus fokus lagi dengan beberapa buku yang pastinya akan membuat kepala kita pusing, bukan?” Rafi pun seolah mengiyakan apa yang dikatakan sahabatnya itu. Bahkan yang membuat Rafi setuju untuk jalan-jalan agar dirinya kali ini bisa sedikit menepis bayangan Nirmala dari benaknya. “Aku siap-siap dulu, ya. Tunggu sebentar.” “Iya.” Rafi pun beranjak meninggalkan Meli ke kamar. Langkah kakinya yang sangat cepat itu membuat wujud Rafi tenggelam dari pandangan Meli. Seketika Meli yang dibuat penasaran oleh Rfai itu seolah memutar otaknya. Meli meraih sebuah box yang ditaruh di bawah meja oleh Rafi tadi, kini segera dijamah Meli. Dia ingin tahu apa sebenarnya yang ada di dalam kotak itu. Sesekali Meli menoleh ke belakang. Dia tak mau bila Rafi melihat apa yang dilakukannya. Meli mendapati dua buku dan sepucuk surat. Meli membaca kata per kata dari goresan tinta yang dirangkai begitu indah. Mata Meli yang tak bisa fokus, itu pun merasa tergesa-gesa karena apa yang dilakukannya mengandung kecurigaan. Bila Rafi melihat apa yang dilakukan sahabatnya itu. Hampir semua tulisan itu selesai dibacanya, namun  tiba-tiba saja terlinga Meli seolah mendengar langkahan kaki yang semakin jelas mengarah ke tempatnya. Dengan cepat Meli segera menaruh kembali kotak itu di bawah meja. Namun sayangnya, kertas yang tadi dibacanya kini masih tergenggam erat di tangannya. Meli tak punya keberanian untuk membuka kotak itu lagi. Dengan terpaksa Meli segera memasukkan kertas itu ke dalam tasnya. “Ayo kita pergi sekarang.” “Ayo.” Suara Rafi dengan jelas sudah mengajak Meli untuk segera beranjak dari rumahnya. Meli yangs edikit gugup itu pun mencoa untuk menenangkan hatinya. Dia tak mau bila Rafi mengetahui apa yang dilakukannya. *** Berlibur di beberapa tempat wisata di Swiss, membuat Asila merasa sangat bahagia. Berhias senyum tanpa henti. Keriangan selalu terhadirkan di setiap langkahan kakinya. Namun hal itu tak dirasakan ole Rosmalina. Hatinya kini terasa begitu pilu. Pikirannya masih saja tertuju pada laki-laki bernama Roy. Rosmalina yang mendampingi Asila pun seakan sering melamun dan terdiam. Kadang Asila yang mengajaknya berbicara itu, seolah harus mendapati bila sang mama hanya diam dengan pandangan kosongnya. Seharian penuh mereka saling mengisi di waktu liburan yang dipilihnya. Malam itu Asila pun sudah tertidur paling awal. segala aktivitas yang dilakukan gadis kecil itu membuat badannya pun seolah lelah. Rosmalina menyelimuti Asila yang sudah sangat lelap itu. Di samping Asila ada Hendra yang juga telah membaringkan tubuhnya. Namun Hendra masih asyik bermain ponselnya. Tiba-tiba saja hati Rosmalina bergidik. Ada hal yang ingin dilakukannya, ketika sang suami nantinya sudah memejamkan mata. *** Menunggu kurang lebih satu jam, untuk Hendra lelap dalam penjagaan sang malam. Kini Rosmalina seolah bersiap dengan kehendak hatinya. Pelan-pelan sekali dia melangkah pergi meninggalkan penginapan. Semua lampu di dalam penginapan itu sudah dipadamkan oleh Rosmalina. Sama sekali tak ada yang tahu jika dirinya telah keluar tanpa pamit dan tanpa sepengetahuan siapa pun. Ketika sudah berada di luar penginapan. Rosmalina merubah ritme langkahan kakinya. Dia kini melangkah seperti seolah telah berlari. Menggunakan angkutan umum. Rosmalina pun meninggalkan suami dan juga anaknya untuk sementara. *** Rosmalina kembali mengetuk rumah Roy berkali-kali. Sepertinya Roy memang sudah tidur. Namun Rosmalina tak peduli itu. Jika dia ada kesempatan untuk pergi dari penginapan, pasti dirinya akan pergi menuju rumah Roy. Roy yang memaksakan tubuhnya untuk bangun itu pun terasa begitu malas. Namun suara ketukan pintu membuat dirinya tak bisa melanjutkan tidurnya yang pulas. Roy melihat sang istri merasa tak tega untuk membukakan pintu. Roy pun segera beranjak dari tempat tidur dan menuju ke pintu ruang tamu. “Ada apa kamu malam-malam begini ke sini, Ros?” “Apa kamu sudah berubah pikiran, Roy?” “Untuk apa?” “Kembali denganku dan merawat buah cinta kita bersama.” “Ros, kamu sadar dong. Kita sudah punya kehidupan masing-masing. Aku sudah beristri, dan kamu juga sudah kembali dengan mantan suamimu.” “Tapi aku mengandung anakmu, Roy.” “Jangan mudah menipuku, Rosma. Aku tidak suka leluconmu.” “Aku berkata benar, Roy. Aku tidak sedang berbohong.” “Pergi Ros. Aku tak mau istriku tahu jika kamu datang ke sini.” “Aku tak peduli. Bahkan aku akan bilang ke istrimu tentang janin yang ada di perutku.” “Jangan mengancamku, kalau kamu tidak mau aku buat menyesal selamanya.” Seketika Roy menutup pintunya. Membiarkan Rosma berdiri dengan kepiluan hati yang terus saja menggeletarkan jiwanya. Rosma kembali menghadirkan kristal beningnya itu. Usaha keduanya bertemu dengan Roy, masih belum membuat Roy merasa luluh hatinya. Rosma seakan tak ingin menyerah. Dia akan terus berusaha sampai benar-benar mendapatkan apa yang diinginkan. Rosmalina masih berdiri di depan rumah Roy. Dia akan memutuskan untuk kembali. Namun hatinya seolah menolak untuk itu. Dia masih saja menatap rumah yang dulu menjadikan kebahagiaannya terasa begitu sempurna. Kenangan yang mengalun indah dalam ingatannya terasa begitu sempurna. Slide demi slide tentang apa yang dilakukan bersama sang suami menjadikan kerinduan Rosmalina seakan mengakar erat dalam batinnya. Tak lama mata Rosma bergidik. Dia melihat Roy dan juga wanita dalam genggaman tangannya itu keluar rumah dengan membawa koper. Rosmalina pun tak tinggal diam. “Roy kamu mau ke mana?” Roy terus melangkah, dia membuka pintu mobilnya. Istrinya segera masuk saat dibukakan pintu oleh suaminya. Kini Rosmalina yang terus mencoba untuk tidak melepaskan Roy. Dia menarik tangan Roy dengan sangat erat. “Roy, kamu mau ke mana, Roy. Jangan pergi, Roy.” “Ros, ini hidupku. Aku tak akan membiarkan kamu merusak kebahagiaan kelaurgaku. Minggir!” Roy mendorong Rosmalina hingga terpental dan jatuh. Rosma memegan perutnya yang terasa kram. Tangisannya pecah. Memenuhi neuron yang kini terselubung dalam benaknya. Dia terus saja merintih dengan memanggil nama Roy berkali-kali. Namun panggilan itu seolah tak berarti. Mobil Roy sudah melaju dan meninggalkan Rosmalina seorang diri. Sakit dan tersayat pilu. *** Pagi saat Hendra sudah membangunkan tubuhnya bersama sang putri tercinta. Terlihat Rosmalina yang masih berselimut tebal. Rosmalina masih saja terpejam. Padahal matahari sudah terasa terik. Hendra pun sengaja tak membangunkan Rosmalina. Hendra yang seakan masih tak peduli dengan wanita yang kini berstatus sebagai istrinya lagi, dia segera melangkah ke luar bersama Asila. Menikmati kembali tempat wisata yang belum dikunjungi. “Hari ini kita mau kemana, pa?” “Kita ke kamar oma dan opa dulu, ya. Setelah itu kita akan pergi beli susuu dan madu sesuai permintaan Asila.” “Horeeee... aku suka minum susuu dan madu, pa.” Mama Rose dan pak Yusron datang dengan senyum yang terpampang di wajah keduanya. Menghampiri Asila dan juga Hendra yang berdiri tegap itu. “Oma, opa, ayo kita beli susuu dan madu.” “Siap cucu oma dan opa.” Mama Rose manatap Hendra penuh pertanyaan. Seperti ada hala yang membuat pikiran mama Rose sedikit bertanya. “Rosma mana?” tanya mama Rose. “Masih tidur,” jawab Hendra ketus. “Kenapa tidak dibangunkan?” tukas pak Yusron. “Sudahlah, ayo kita pergi saja,” jelas Hendra dengan ekspresi wajah yang tak mengenakkan. *** Rosmalina yang membuka matanya dengan lelah yang menyelimuti. Dia menatap sekelilingnya. Jam dinding sudah menunjukkan bila siang menyapa. Rosmalina tak segera meninggalkan tempat tidurnya. “Aku harus cari cara agar Hendra mau menyentuhku,” gumam Rosmalina.

Read on the App

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD