part 40 - Bertemu Roy

2143 Words
Rosmalina tak mempedulikan apa yang dikatakan suaminya. Saat ini dia memang belum sepenuhnya kembali dengan rasa cintanya pada Hendra. Dalam lubuk hatinya yang dalam. Masih terukir nama Roy dengan begitu jelas. Bahkan Rosmalina yang kini merasa harus cepat memberitahukan kabar tentang kehamilannya pada Roy. Dia ingin Roy bisa kembali menerima kondisinya sekarang. Rosmalina harus bisa bermain cantik dengan kondisi sangat sulit baginya untuk bisa pergi ke Swiss. Rosmalina pun mencoba memanfaatkan libur sekolah Asila sebagai bagian dari rencananya. Dia akan memanfaatkan Asila sebagai penggerak hati Hendra. Rosmalina pun mencari cara lagi agar Asila bisa dengan mudah dipengaruhinya. Rosmalina terdiam dengan bergidik hati. Dia pun telah menemukan cara tentang apa yang akan segera dilakukannya itu. Malam sebelum Asila tetidur. Rosmalina seakan sigap dengan membawa ponselnya. Dia mengetuk kamar Asila. Melihat sang anak masih saja membuka mata dengan memegang boneka kucing di tangannya. “Mama.” “Anak mama belum tidur?” “Belum, mama mau tidur di kamar aku?” “Iya, boleh mama temani Asila?” “Tentu boleh dong.” Rosmalina segera mengambil posisinya. Asila yang sudah berbalut selimut itu pun tampak memandang Rosmalina dengan senyum indahnya. Rosmalina tak mau menyiakan waktunya. Dia harus bergerak cepat sebelum akhirnya apa yang direncanakan itu tak dapat dilaksanakan dengan sebaik mungkin. “Asila sayang, sebentar lagi kan liburan sekolah, Asila mau gak kita pergi jalan-jalan.” “Mau, ma. Kita mau jalan-jalan ke mana?” “Mau gak kalau kita pegi ke Swiss?” “Swiss itu di mana ma?” Rosmalina kemudian mengambil ponselnya. Dia pun segera menunjukkan beberapa gambar tempat wisata yang ada di surga dunia itu. tempat-tempat yang begitu indah membuat Asila takjub dengan apa yang dilihatnya. Rosmalina pun seolah mengemas dengan begitu rapi akan cerita wisata di negara sebutan Land of milk and honey. Rosmalina pun menceritakan bahwa di Swiss nanti, Asila bisa menikmati madu dan susuu dengan kualitas terbaik. Dan pasti rasanya tak diragukan lagi. Asila mendengar tentang susuu dan madu membuatnya terasa ingin cepat pergi berlibur ke Swiss. Bayangan akan kenikmatan itu membuat Asila dalam senyumnya yang tiada henti. “Asila, tapi nanti Asila bilang ke papa ya, kalau Asila ingin merasakan madu dan susuu yanga da di Swiss.” “Kenapa Asila, Ma.” “Kalau Asila pasti papa mau pergi.” “Iya deh, nanti Asila bilang sama papa.” “Kalau begitu sekarang kita tidur ya, baca doa dulu.” *** Apa pun yang diminta Asila pasti akan menjadi hal yang mudah untuk Mahendra. Kini Rosmalina pun hanya menunggu keberangkatan ke Swiss. Hendra sudah memesan enam tiket untuk seluruh keluarganya untuk pergi berlibur ke Swiss. Namun Asila kembali teringat pada Nirmala. Sang bunda yang kini masih berjuang untuk menjalani pengobatan. Asila matanya berkaca-kaca saat sedang berada di depan Rosmalina. “Ma, kalau minggu depan kita semua berangkat ke Swiss, bunda pasti gak ikut, ya, Ma.” “Asila berdoa saja, ya. Semoga minggu depan bunda sudah sembuh dan bisa berlibur bersama.” Kata-kata Rosmalina begitu manis. Dia hanya ingin semua yang sudah diatur dalam permaiannya tidak gagal. Rosmalina terus saja bersikap manis di depan Asila. Meski sebenarnya dia sama sekali tak peduli dengan kondisi Nirmala. *** Nirmala ponselnya sering sekali menerima pesan dari Rafi. Namun dirinya sama sekali tak membalas satu pun pesan yang dikirim untuknya itu. Nirmala hanya sekadar membaca, lalu dibiarkan begitu saja. Nirmala takut dengan hatinya sendiri. Dia tak mau bila hatinya akan berbalik arah. Memilih seseorang yang bisa memberikan kenyamanan. Nirmala hanya ingi berjuang dengan pernikahannya. Dia tak mau ada lelaki lain yang masuk dalam ikatan pernikahan yang dianggapnya sakral itu. Namun tak dapat dipungkiri. Bahwa hati Nirmala seolah terpanggil dengan setiap pesan yang dikirimkan Rafi untuknya. Namun lagi-lagi dia beralih. Semesta tak boleh mempermainkan hatinya. Dirinya akan terus bertekad untuk mengejar cinta suaminya sendiri. Tak lama terdiam dengan pikiran-pikirannya. Tiba-tiba saja, suster dari luar memeberikan sebuah paket untuk Nirmala. Diamnya pun teralihkan. Pada sekotak paket dengan bungkus bunga merah muda itu. Nirmala segera membukanya. Didapati dua buku dengan kover yang begitu menarik dipandang matanya. satu n****+ tentang cinta dan satu lagi motivasi kehidupan. Nirmala meenemukan secarik kertas pada kotak paket itu. Dia pun segera membacanya. Aku tak ingin berada di ruang hatimu Aku hanya ingin kita berteman Bertukar apa pun tentang pengetahuan Terutama tentang buku bacaan Aku sadar Kamu istri sepupuku Dan mungkin jika Hendra tahu apa yang aku lakukan Mungkin dia akan marah Kalau dia mengakui akan dirimu Namun semua akan berbeda Jika ikatan hanya sebatas di atas kertan Tanpa adanya sebuah pengakuat dari hati Nirmala ... Kita bisa kan berteman? Meski aku harus berjuang untuk mengubur rasa yang aku miliki Semoga dua buku ini bisa menemani kebosananmu Lekas sembuh teman ... Nirmala menutup secari kertas itu. Teman memang begitu mudah diucapkan. Namun bagi Nirmala, apakah dibenarkan seorang istri berteman dengan lelaki lain. Meskipun perasaannya seolah tak ingin berbohong, ada setitik harap untuk bisa menjalin sebuah kedetakan dengan Rafi. Tapi logika Nirmala seakan menyadarkannya. Tak pantas bila wanita tak bisa menjaga kehormatannya sendiri. Nirmala harus bisa bertindak tegas dengan dirinya sendiri. Nirmala mengemasi kembali paketnya. Dia meminta bantuan suster untuk mengirimkan paket yang sudah diterimanya itu. Bahkan Nirmala pun dengan siap untuk memblokir nomor Rafi dari ponselnya. Dia masih ingin dalam koridor yang wajar sebagai seorang wanita, pun sebagai seorang istri. *** Tak lama Rafi yang menerima kembali paket yang telah dikirimkannya itu, merasa sangat terkejut. Dia sama sekali tak menyangka, hal yang dilakukannya dengan tulus, namun tak mendapat penerimaan yang baik dari Nirmala. Rafi pun terdiam dengan pandangan kosongnya. Dia hany bisa menerima kenyataan ini dengan segala rasa yang dimilikinya. Sesal dirinya mengenal Nirmala. Kini hatinya seolah tak bisa berpaling. Padahal Rafi sangatlah sadar bahwa Nirmala memang sudah terikat dalam ikatan pernikahan. *** Pesta pernikahan sang adik Rafi, menjadi momentum yang tak terlupakan di hati sanubari para keluarga. Para tamu yang hadir begitu sangat antusia. Gegap gempita rasa yang menggelegar dalam sebuah kebahagiaan. Semua tamu undangan memberikan ucapan kepada mempelai yang kini telah berdiri di atas pelaminan. Rafi dari jauh memandang sang adik perempuannya dengan cukup berbangga. Dia merasa lega karena sang adik sudah melepas masa lajangnya. “Rafi.” Rafi menoleh. Dia mendengar seseorang memanggil namanya. Dilihatnya sosok teman yang begitu sering mengisi hari-harinya. “Meli, kapan kamu pulang?” “Jahat sekali kamu, tidak mengabariku kalau adikmu sedang melangsungkan pernikahan, kamu anggap aku ini orang lain?” “Bukan begitu, Mel.” “Aku malas mendengar alasanmu.” “Kamu tahu dari mana adikku menikah hari ini?” “Tak penting, yang jelas aku sangat kecewa padamu, Rafi.” “Sudahlah, aku minta maaf, ya.” “Akan aku maafkan, namun kamu harus mau berdansa denganku.” Permintaan Meli terasa berat untuk diwujudkan Rafi. Namun sekarang di pesta pernikahan sang adik memang sedang berlangsungbeberapa pasangan yang tengah berdansa dengan begitu syahdu. Mata Rafi menelisik jauh. Dia sama sekali tak jago dengan gerakan-gerakan itu. Namun Meli memaksanya dan Rafi pun terpaksa menurut tanpa penolakan. *** Pagi setelah acara pernikahan adik Rafi. Keluarga Mahendra telah bersiap untuk pergi liburan ke Swiss. Semua tampak bahagia, tak terkecuali Asila. Dia benar-benar sangat antusias. Apalagi di pikirannya, dia ingin segera membeli susuu dan madu. Semua akan terasa mengasyikkan baginya. Ini adalah kali pertama Asila pergi berlibur ke luar negeri, dan kali pertama juga baginya untuk terbang menggunakan kendaraan udara yang bernama pesawat itu. awalnya Asila merasa sedikit ketakutan. Setelah pesawat terbang di udara. Asila pun bisa membawa dirinya dengan baik. Dia merasa sangat bahagia. Senyum penuh dengan nyanyian yang diutarakan. Menatap jendela pesawat dengan rasa takjub yang begitu memukau. Keindahan bumi terlihat begitu sangat mempesona. Asila tak berhenti untuk terus menatap pemandangan yang berada di bawah itu. Dia sama sekali tak menduga. “Pa, ternyata di bawah bagus sekali,ya.” “Iya, sayang.” “Aku mau lihat lagi, pa.” “Asila kalau lelah boleh kok tidur dulu.” “Asila masih ingin melihat keindahan di bawah, pa.” Hendra mengangguk pelan. Dia merasakan kantuk yang menyelimuti rasa lelahnya. Hendra pun semenit kemudian sudah masuk di alam fatamorgana. Di belakang Hendra, tampak Rosma yang terus saja melamun. Dia memikirkan cara agar bisa bertemu dengan sang mantan suami. Berita kehamilan itu membuatnya terus saja ingin segera mendapatkan sebuah pengakuan. Kehamilan yang dirasakan Rosma kali ini memang sungguh berbeda. Dia sama sekali tak merasakan nyidam. Lelah pun seakan tak pernah datang. Makan dan minum pun sepuas hati. Seolah sama sekali tak menandakan bahwa dirinya memang tengah berbadan dua. *** Penginapan sudah dipesan. Keluarga Hendra pun segera masuk hotel untuk sekadar melepas lelah. Asila terlihat lelap dalam dekapan Hendra. Da tertidur semenjak sampai di bandara. Hendra pun tak cukup hati untuk membangunkan putrinya. Dia dengan rela menggendong Asila hingga ke kamar. Rosmalina segera mandi, lalu membereskan barang-barangnya. Kemudian dia menatap Asila yang terlelap dengan tidurnya. Tak lama pula Hendra pun menyusul yang anak kecilnya itu menuju alam mimpi. Rosmalina bergidik. Dia seakan memanfaatkan kondisi yang kini seolah menguntungkan baginya. Rosmalina segera berganti baju, dia pun mengambil tas kecilnya, berisi dompet dan juga ponsel. Setelah memanggil suaminya berkali-kali namun tak mendapat jawaban. Rosmalina sangat yakin bila Hendra sudah tertidur pulas. Kini tak ada waktu lagi untuk menunda. Rosmalina harus segera bertandang cepat ke rumah Roy. Rosmalina pun berharap agar dirinya bisa sampai kembali ke penginapan dengan waktu yang tepat. *** Sebuah rumah yang kini menjadi tujuan utama Rosmalina. Dia mengetuk pintu rumah itu dengan sangat keras. Tak lama seorang wanita membuka pintu dengan wajah datar yang disematkan. “Nach wem suchst du?” Rosmalina menatap wanita itu dari ujung kaki sampai kepala. Wanita itu bercakap dengan Rosmalina menggunakan bahasa Jerman. Rosmalina sama sekali tak mengetahui apa arti yang diungkapkan oleh wanita berambut pirang itu. “Does Roy live here?” Rosmalina yang sama sekali tak mengerti bahasa Jerman. Dia pun mencba berkomunikasi dengan bahasa Inggris. Setelah wanita itu mendengar apa yang dikatakan Rosmalina, dirinya tiba-tiba langsung pergi ke dalam tanpa sepatah kata pun. Rosmalina merasa aneh. Namun dirinya tetap diam berdiri di tempat. Menunggu wanita itu datang kembali menemuinya. Pintu rumah itu pun tak ditutup. Rosmalina memandang ke dalam. Dia berharap bila Roy masih tinggal di tempat yang kini menjadi pijakan kaki bagi Rosmalina. Rosmalina menatap halaman depan yang begitu penuh kenangan. Dulu di rumah itu. Rosmalina mengabadikan cintanya bersama Roy. Banyak sekali hari-hari penuh akan kisah kasih yang begitu menyejukkan mata. Melakukan apa pun bersama. Janji yang dulu diikrarkan kini telah jauh terbuang terbawa embusan angin. Rosmalina menatap bunga yang bermerkaran. Dulu dia ingat saat dirinya dan Roy sedang asyik dengan beberapa bunga yang dibeli. Bayangan slide demi slide tentang cinta yang pernah dilalui bersama seakan tak mati dalam ingatannya. Rosmalina pun menoleh, saat sebuah langkah kaki begitu sangat dekat didengarnya. Mata Rosmalina seakan terkejut sangat. Sosok laki-laki yang begitu amat dirindukannya kini telah berada di depan matanya. Roy yang juga memandang Rosmalina pun seakan penuh kejutan yang sama sekali tak diharapkan itu. Dua tatapan mata itu bertemu. “Rosma.” “Roy, ada sesuatu yang ingin aku katakan padamu.” “Untuk apa kamu ke sini?” Mereka berdiri dengan menatap satu sama lain. Roy tidak segera mempersilakan Rosmalina untuk segera duduk. Dia hanya menatap tanpa lepas. “Roy, ada hal yang harus kamu tahu.” “Ros, aku sudah tidak ada urusan denganmu, sebaiknya kamu meninggalkan tempat ini sekarang.” Rosmalina tak gampang menurut dengan apa yang dikatakan laki-laki itu padanya. Bahkan dirinya berani menarik tangan Roy untuk mengikuti langkahnya. Duduk di sebuah kursi kayu yang berada di teras. Roy merasa Rosmalina sudah sangat di luar batas. Roy sama sekali tak ingin bertemu dengan wanita yang dulu pernah hidup bersamanya. Namun Rosmalina adalah wanita yang sangat keras kepala. Roy pun terdiam dengan menurut apa yang dilakukan Rosmalina padanya. “Roy, aku hamil.” “Lalu kalau kamu hamil, kenapa kamu kemari? Bukannya kamu sudah menikah?” “Iya, aku memang sudah menikah, Roy. Tapi suamiku sama sekali tak pernah menyuntuhku.” “Omong kosong.” “Aku berani sumpah, Roy. Anak yang aku kandung ini adalah anakmu.” “Jangan menipuku, Ros. Aku bukan laki-laki yang mudah dibodohi.” “Aku belum pernah melakukan hubungan badan dengan suamiku.” “Kamu menikah dengan siapa?” “Aku kembali rujuk dengan Hendra.” Roy tertawa terbahak-bahak. Apa yang didengarnya seperti lelucon rasa sampah. Tak menyangka bila Rosmalina akan melakukan kebodohan dengan mengatakan hal sebodoh itu padanya. “Pulang saja Ros, jangan berhalusinasi di sini.” “Tapi, Roy. Ini benar-benar anakmu. Aku berani tes DNA jika anak ini lahir nantinya. Usia kandungan ini sudah empat bulan, aku bercerai denganmu sekitar tiga bulan dan aku menikah dengan Hendra sekitar satu bulan lebih. Ini benar-benar anakmu, Roy.” “Rose, kalau kamu mau berhalusinasi bukan di sini tempatnya. Lagian aku juga sudah bahagia dengan istriku, dia juga sedang mengandung buah cinta kita.” Rosma terkejut dengan perkataan Roy. Dia sama sekali tak menyangka bila Roy telah menikah lagi. Rosma hanya bisa terdiam dalam pandangan nanar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD