Sedang berada dalam posisi yang membuat Rein dan Zayn terpaku karena saling menatap tanpa berkedip pada lawannya, tiba-tiba Zayn merasa ponselnya bergetar. Hingga dia harus melepaskan adu tatap mata. Baik Zayn maupun Rein, keduanya punya tatap mata tajam, hingga seperti akan saling melukai.
“Ya sayang? Ada apa?” Aku dengar suara Zayn yang jadi sangat lembut.
“Sayang kamu di mana?” Suara centil manja terdengar, membuatku melengos. Pasti itu si Medusa deh. Kenapa juga sih nelpon dengan suara seperti itu? Geli tahu.
“Hmm… sebenarnya aku sudah sampai GI sih, lagi di lift nih, penuh banget liftnya, jadi berdesakan.” Entah apa yang membuat Zayn tiba-tiba nekat memainkan ujung rambutku yang bebas tidak kena cepolan. Tapi sesekali jemari tangannya iseng menyentuh pipi mulusku, mencoba menggodaku, si gadis cantik yang melotot karena kesal. Bahkan Zayn nekat mencium rambut harum mewangiku. Beruntung tadi mandi keramas.
Zayn yang melihat mata tajamku tapi indah itu mendelik, malah terkekeh geli, dibawanya jari telunjuknya ke bibirku, menyuruh agar aku diam. Heeh emang kenapa aku harus diam?
“Kamu ketawa sama siapa?” Terdengar pertanyaan penuh keheranan dari lawan bicara Zayn.
“Ini, ada yang lucu aja di lift. Komedian kali dia.”
Mataku semakin melotot pada Zayn Malik kw ini. Bisanya aku dibilang komedian? Jadi komedian itu susah kali, dan sepertinya akut idak punya bakat untuk itu.
“Kamu masih lama, sayang?” Kenapa aku jadi ingin muntah mendengar panggilan sayang menyayang ini ya? Lagian dengan tubuh kekar, seksi menggoda seperti ini, kemudian terdengar panggilan sayang kok terasa aneh di telingaku?
“Zayn maaf sepertinya aku akan telat sejam dua jam yaa. Maaf banget ini masih harus ngurusi kerjaan. Gak papa ya yang?” Hmm, sejak kapan nama lelaki ganteng di depanku ini berubah jadi peyang? Tapi kulihat Zayn Malik ini memegang pelipisnya, sepertinya frustasi karena gak jadi bertemu sama si peyang satu lagi.
“Baiklah, aku makan dulu kalau begitu. Kamu kabari saja kalau sudah sampai ya. Bye…” Zayn memasukkan ponsel pintar ke sakunya.
“Perubahan rencana. Aku ikut kamu nonton. Clara masih lama. Kalau dia bilang dua jam bisa jadi tiga jam nantinya. Aku kan gak mungkin balik ke rumah mama atau bengong sendirian. Jadi berhubung kamu sudah aku antar, gak ada alasan untukmu melarangku ikutan nonton bareang kalian.” Panjang lebar si Zayn ini bicara. Ternyata bisa juga dia bicara sepanjang itu.
“Baiklah, tapi jangan macam-macam ya. Aku nonton sama teman kuliah dan teman teman kost ada juga.” Jawabku sambil mengedikkan bahu.
Kami akhirnya bisa berjalan ke luar lift dengan selamat. Awalnya Zayn mengikuti langkahku, berada di belakangku. Tapi entah sejak kapan dia berada di sebelahku, hanya pada saat naik eskalator saja dia sengaja berada di belakangku, entah kenapa.
Aku langsung menuju ke teman kost dan kuliahku yang sudah sampai duluan. Senyum manisku tentu saja tercetak lebar. Tapi kedua temanku ini malah gagal fokus dan mata mereka berpindah ke arahku dan lelaki ganteng di belakangku ini.
“Rein… Rein…” Salah seorang diantarnya bahkan menyenggol sikuku, setelah kami cupika cupiki.
“Kenalin atuh Rein, itu siapa? Dewa Yunani nyasar ya?” Iya Dewa Yunani ngeselin yang lagi galau karena Medusanya belum tiba. Tapi tentu saja itu hanya kuucapkan dalam hati.
“Iya Rein, kenalin dong. Pacarmu ya?” aku melengos.
“Kenalin nih temen-temen, ini Zayn. Zayn kenalkan, yang pakai baju biru itu adalah Kia, yang pakai putih namanya Dila.” Akhirnya aku mengenalkan Zayn kepada teman-temanku yang mungkin salah satunya admin grup lambe-lambe. Mereka sudah membuat plot kabar yang bisa disampaikan ke teman kampus lainnya.
“ Zayn ini apanya Rein? Kok Rein bisa bawa cowok ganteng banget gini? Hubungan kalian apa? Pacar?” Salah satu temanku lansung saja menjalankan profesi wartawannya. Menggali info.
Aku menggeleng. Zayn juga tapi sambil tersenyum manis, membuat kedua temanku tambah terpesona.
“Zayn ini bukan pacarku. Kami juga baru ketemu tadi pagi di rumah mamanya kok.” Jawabku kalem.
“Loh kalian beneran baru bertemu? Terus kenapa bisa berakhir di GI berdua. Waah Rein pantas saja kamu menolak Arthur. Lah ini jauh lebih ganteng daripada si Arthur.” Jelas temanku penuh antusias.
“Aku dan Zayn Malik kw ini gak ada hubungan apa-apa kok, bener deh.”
"Hee Zayn Malik? Namaku bukan Zayn Malik!”
Aku hanya melirik kesal lelaki di sebelahku ini.
“Sebentar, ini kalian bertiga sudah beli tiketnya?” Tiba-tiba Zayn bertanya. Aku mengerutkan keningku, melihatnya dengan heran.
“Sudahlah Zayn, kan udah booking dari kapan tahu.” Jawabku.
“Kalau gitu aku beli tiket dulu, sebentar kalian tunggu dulu ya.” Zayn berjalan ke counter tiket, tak berapa lama dia sudah kembali dan membawa dua tiket di tangannya. Waaiitt, bentar dua tiket? Kenapa mendadak perasaanku gak enak?
“Yuk masuk, pintu theater tiga sudah dibuka kan?” Ajaknya tapi kemudian dengan baik dia membelikan kami semua pop corn dan soft drink.
“Zayn, kok tiketmu dua lembar sih? Kamu mau nonton sama siapa?” Si Medusa kan katanya masih dua tiga jam lagi datang.
“Sama kamu lah! Kamu duduk di sebelahku.” Katanya kemudian mendorong tubuhku menuju teater tiga tanpa sempat mencerna lebih lanjut maksud perkataannya. Kedua temanku hanya tersenyum usil.
“Kok studio tiga? Kan di studio satu Zayn.” Jawabku protes karena kedua temanku beda arah.
“Aku pesan velvet buat kita berdua. Tenang aja, Rein… aku gak akan ngapa-ngapain kok. Kecuali kamu mau diapa-apain.” Tangan Zayn menarik tanganku dengan semangat. Tinggallah aku yang panik.
Velvet class? Berdua Zayn? Haa… Omaigad… awas aja kalau dia macem-macem!
Baru juga mulai lima belas menit, Zayn sudah modus mendekatiku. Aku mendelik ke arahnya, tentu saja kesal. Enak aja mau ngapain dia juga ndusel-ndusel gak jelas gini? Zayn semakin mendekatiku, bahkan sekarang bibirnya sudah menyentuh lenganku yang terbuka.