“Nah pak, bu, ini putra saya yang hendak saya jodohkan dengan Rein. Namanya Zayn.” Aku melihat ibu peri mengenalkan Zayn dengan semangat ke bapak dan ibu. Yang paling terpesona tentu saja ibu, sepertinya setiap perempuan akan terbuai pada pesona Zayn. Padahal kan itu semua palsu. Baru kali ini aku melihat Zayn tersenyum semanis itu. Dasar kadal!
“Waah ini toh yang namanya Zayn. Pak ini loh calonnya Rein.” Ibu bahkan tanpa malu langsung menyenggol siku bapak, yang masih mengamati Zayn. Mata Zayn tajam, mata bapak juga tajam. Tak hanya mata sih, kadangan bibir bapak juga setajam silet hehe.
“Hmm….”Hanya itu respon bapak. Membuat ibu kesal. Tapi kemudian terjadi sesi tanya jawab antara ibu dan Zayn. Aku tak tahu nih sepertinya Zayn sudah pakai masker anti kesal karena harus berpura-pura seperti ini. Yang kutahu kemudian malah Mas Rhandra dan Zayn jadi akrab, entah mereka ngobrol apa. Hanya bapak saja yang masih belum yakin, entah padaku atau Zayn atau Bu Rahma.
Dan saat ibu larut dalam tawa cekikikan aku sudah tidak sanggup lagi menahan dusta. Kutarik saja tangan Zayn, menjauh sebentar dari mereka.
“Maaf sebentar, Rein mau ngobrol dulu sama Zayn. Dekat kok pak di situ saja.” Langsung aku menarik tangan Zayn mengikutiku. Sempat kulirik Zayn mengangguk sopan pada keluargaku.
“Nah sekarang jelaskan apa maumu, Zayn!” Ketusku. Judesku keluar deh.
“Jelaskan apa, Rein? Apa maksudmu? By the way dengan kamu menarik tanganku untuk mengikutimu semakin mengkonfirmasi permainan peran yang kita mainkan bersama, Rein.”
“Permainan peran? Aku gak ngerti kamu ngomong apa.” Jawabku semakin kesal karena Zayn malah berputar-putar. Aku melihat ke meja, bapak menatap ke arah kami dengan tatapan menyelidik.
“Dengar Rein, sudah kuputuskan sejak pertemuan terakhir kita, aku akan mengikuti permainanmu. Kamu tidak mau menolak ide perjodohan mama. Jadi ya kita jalani saja kan, lagipula gak ada ruginya buatku. Malah aku akan bisa menikmatimu kan?” Jawabnya dengan senyum pongah. Andai saja bapak melihat pasti sudah dibanting dan jadi berkeping-keping tubuhnya.
“Heh enak aja. Zayn, aku belum mengiyakan permintaan Bu Rahma. Jangan geer dulu kamu.” Aku nyolot.
“Gak papa cantik, kamu sudah terlambat untuk mundur dari medan pertempuran ini. Seperti yang aku pernah bilang kemarin kan, welcome to hell. Selamat datang di neraka yang kamu ciptakan sendiri, artinya kamu melakukan suicide. Bahkan kalau kamu menerima permintaan mama untuk sekantor denganku, aku juga gak masalah. Siapkan hatimu, Rein. Aku tahu kamu perempuan tangguh, tapi seorang perempuan kan biasa berpikir dengan perasaannya.” Jawabnya sembari memainkan ujung rambutku yang aku gerai karena masih basah usai keramas.
Aku memejamkan mata. Sial nih Zayn, kenapa dianggap serius sih? Demi Tuhan sampai sekarang gak ada niatanku untuk menikahinya, kalau Kevin mungkin akan aku pertimbangkan sih. Tapi tadi dia bilang cantik ya?? Haa akhirnya dia mengakui juga kecantikan seorang Rein.
“Gak usah memejamkan mata gitu, Rein kalau tidak mau kucium lagi.” Saat ini aku mendengar suara menggoda di dekat telingaku.
Aku langsung saja mendelik ke arahnya. Gila nih laki, emang lupa apa ya sama serangan ribuan jarum di burung camarnya itu? Apa perlu kubuat gak bisa terbang ya?
“Zayn, kamu lupa apa yang bisa aku lakukan pada o***g juniormu? Ada Mas Rhandra juga, yang aku yakin akan langsung menghabisimu dengan tangan kosong kalau kamu menggodaku.” Ancamku. Sayangnya posisi Zayn membelakangi meja bapak, hingga mereka di sana tidak akan dapat melihat wajah pongah Zayn saat ini.
“Aku?? Menggodamu? Yang benar saja, Rein. Kalau ini pasti tidak akan mungkin dianggap menggoda oleh keluargamu.” Katanya misterius.
“Apa tuh?”
“Ini.” Kemudian tubuh jangkung Zayn mendekat, sedikit menunduk dan cuup… dia mencium keningku kilat, membuatku terpaku. Sialan si Zayn ini, suka mencuri kesempatan. Tapi tak urung, kecupan di kening tadi membuat semua yang ada di meja juga terpaku. Apalagi ibu peri. Mungkin beliau tahu kalau putra sulungnya ini sedang bermain peran untuk mendapatkan piala Oscar.
Sedetik kemudian, Zayn bahkan menggamit tanganku dan dengan lembutnya menggandengku kembali ke meja yang tadi kami tempati. Senyum sehalus p****t bayi terpampang jelas di wajah ganteng itu. Sempat ada rasa hangat menelisik masuk ke d**a, tapi segera hilang saat Zayn kembali berbisik.
“Tidak usah blushing, Rein. Ini semua untuk mendukung permainan peran kita.” Bisiknya.
Aku kembali duduk di tempatku semula. Kulihat bapak, ibu dan Mas Rhandra semua melihat ke arahku. Aku tersenyum kecut. Sialan si Zayn.
“Rein, waah Zayn orangnya baik banget ya. Sepertinya juga hormat padamu. Ibu suka.” Ibu bahkan berkata terus terang membuat Zayn semakin besar kepala.
“Terima kasih ibu. Tadi sih kami sempat mengobrol bahwa kami menerima perjodohan ini, tapi kalau masalah menikah, masih lama sepertinya. Kami harus saling mengenal dulu, agar kami bisa lebih dekat lagi.” Jawabnya dengan manis.
Waah gawat ini, pasti ibu akan semakin luluh pada kepalsuan Zayn.
“Dan kami akan semakin sering bertemu karena Rein setuju untuk juga bekerja di kantor yang sama dengan saya. Mungkin biar kami semakin dekat karena bisa bertemu setiap hari. Ya kan mah, Rein?”
Haaa…. kapan aku ngomong seperti itu?? Gila nih orang.
***
Yah, tanpa Rein tahu kegilaan Zayn akan semakin parah saat mereka sudah menikah nantinya. Rein yang tangguh, bahkan akan meneteskan air mata tersia akibat ulah Zayn.
Haruskan Rein bertahan? Atau malah Zayn yang harus bertahan? Atau keduanya harus rela melepaskan?