“Selamat ya nduk, kamu berhasil menyelesaikan magistermu. Bapak bangga padamu. Sekarang apa yang kamu akan lakukan? Mau pulang ke kampung atau bekerja di sini? Bapak dengar sudah ada perusahaan yang meminangmu? Ibu yang cerita.” Kata bapak sambil mecium pipiku kanan kiri usai acara wisuda magister di kampusku. Ibu bahkan mengumbar senyum bahagia ke banyak orang, nampak kebanggaan di wajah bapak dan ibu. Mas Rhandra bahkan menyempatkan datang ke Jakarta setelah cutinya disetujui oleh sang atasan. Maklum harus gantian nyetir dengan bapak. Jadi kami sekeluarga sedang berkumpul di Jakarta.
“Rein mau pulang dulu pak. Istirahat dulu sebentar di rumah sebelum memutuskan bekerja di perusahaan Bu Rahma.” Jawabku.
“Tapi kan pendidikanmu gak nyambung toh nduk dengan perusahaan itu, kok mereka bisa-bisanya memintamu bergabung sih? Apa karena kamu pintar ya? Anak bapak mah hebat ini.” Kembali bapak mencium keningku sayang.
“Ya sudah kita akan pulang bersama lusa ya. Mumpung lagi di Jakarta bapak mau bertemu saudara kita dan teman-teman pas kuliah dulu, reuni lah. Kamu ikut kami menginap di hotel ya, Rein.” Aku mengangguk senang, asyiiik tidur dikeloni ibu.
Saat hendak menuju mobil yang dibawa Bapak dari kampung, tiba-tiba ada seorang lelaki mendekatiku.
“Mbak… Mbak Rein…” Aku mendengar namaku dipanggil. Kami berhenti, menunggu lelaki itu sampai di depanku. Aah ternyata Pak Sudin.
“Mbak, maaf mengganggu. Ini titipan dari Bu Rahma, khusus untuk Mbak Rein di hari wisuda ini. Dan nanti malam ada undangan makan malam di restoran. Katanya nanti Ibu yang akan menghubungi Mbak Rein.”
Aku menerima amplop kecil itu, sepertinya sih ucapan selamat.
“Terima kasih pak.”
“Mbak menginap di mana? Ibu tanya karena mau mengirimkan bunga.” Tanya Pak Sudin dengan sopan. Aku tahu bapak dan ibu sudah sangat penasaran ingin dengar ceritaku.
“Saya menginap di Hotel Seven Season, pak. Tapi tolong sampaikan pada ibu tidak perlu repot. Malam ini kami akan berkunjung ke saudara-saudara. Nanti saya yang akan bilang ke Bu Rahma.” Jawabku cepat. Aku capek dan mengantuk, ingin segera mencuci muka dan tidur di kasur yang empuk.
Sayangnya cita-citaku untuk bisa segera tidur terganggu karena sekarang bapak, ibu dan Mas Rhandra memaksa ingin mendengar ceritaku secara lengkap. Ya terpaksalah aku cerita, mulai dari kejadian di rumah sakit bertemu eyang secara tidak sengaja, hingga keinginan Ibu Peri menjodohkanku dengan putra sulungnya.
Mereka bertiga tentu saja menolak ide absurd itu. Terutama ibu yang tidak mau aku menderita karena akan menikah dengan lelaki yang aku tidak kenal dengan baik. Boro-boro cinta kan, kenal baik saja tidak. Aku menyakinkan mereka bahwa aku belum menentukan jawaban iya atau tidak menyetujui ide Bu Rahma ini, tapi sepertinya aku akan menerima tawaran untuk bekerja di perusahaan itu. Sering bertemu Zayn juga bodo ah, sudah kuhitung kemungkinan bertemu Zayn tiap hari tidak akan lebih dari 50% kan. Apalagi kalau aku di ruangan saja dan mengatur jadwal dengan baik.
Merasa nyaman dengan jawabanku, bapak dan ibu akhirnya tidak bertanya-tanya lagi dan membiarkan aku tidur karena kelelahan yang mendera. Akibatnya tidurku sungguh sangat pulas sekali, hingga sekitar jam lima sore, aku merasa tubuhku diguncang dan ada suara semerdu bidadari memanggil namaku.
“Euummm…. apa sih bu? Rein masih mengantuk banget ini.” Aku malah mengetatkan bed cover hotel yang tadi diturunkan paksa oleh ibu, tentu agar aku bangun. Sayangnya aku benar-benar ingin menikmati indahnya hari ini.
“Rein, kamu belum sholat ashar loh. Belum mandi pula. Buruan bangun, bapak dan Mas-mu sudah menunggu di restoran cari cemilan tuh.” Ibu tak putus asa membangunkanku.
“Hmm… iya bu nanti.”
“Nanti gimana? Itu bentar lagi kan magrib Rein, ingat loh di waktu ashar jelang magrib itu ada waktu terlarang untuk shalat. Buru Rein!” Ibu mulai menunjukkan taringnya, menggunakan kekuasaan absolutnya untuk menyuruhku. Baiklah sebelum ibu mulai bernyanyi lebih baik aku segera menurutinya. Dengan nyawa masih belum terkumpul sempurna aku mandi terlebih dulu kemudian baru melaksanakan sholat ashar. Biasanya aku rajin loh, tapi hari ini benar-benar melelahkanku.
"Rein, nanti kamu menyusul ke restoran ya. Ibu, bapak sama mas-mu sudah kelaparan.” Aku mendengar teriakan ibu saat aku masih di kamar mandi.
Saat sedang berdzikir, aku melihat ponselku bergetar dan tertera nama Mas Rhandra.
“Ya Mas…”
“Rein, udah selesai mandi dan sholat kan? Buruan turun ke restoran di lantai dasar, ini ada seorang ibu yang lagi ngobrol sama bapak dan ibu, katanya namanya Bu Rahma. Dia kok tiba-tiba bilang sama bapak ibu yang mau melamarmu sih Rein?” Aku mendengar kakakku itu berbicara sambil berbisik.
Aku memijat pelipisku. Duuh, kenapa pula Bu Rahma nekat ke mari sih? Akhirnya setelah berganti baju yang pantas dan touch up seadanya aku segera menuju restoran. Dari jauh aku bisa melihat wajah bapak yang tegang, ibu yang berusaha untuk tersenyum sopan walau terpaksa. Hanya Mas Rhandra saja yang masih tenang. Pengendalian dirinya memang hebat sih.
“Nah itu anaknya. Kita dengar saja apa kata Rein ya bu.” Tangan bapak kemudian melambai ke arahku, membuatku semakin bergegas.
“Bu Rahma… wah apa kabar bu?” Tanyaku basa basi sambil mencium pipi kanan kiri Bu Rahma setelah aku mencium punggung tangannya.
“Selamat ya Rein, akhirnya sudah lulus magister ya. Oiya tadi saya kirim bunga itu di depan.” Tangan Bu Rahma menunjuk ke arah lobi, dan terpampanglah karangan bunga dengan ukuran mencolok mata. Berisi ucapan selamat atas kelulusanku. Mataku terbelalak. Bapak, ibu dan Mas Rhandra juga. Bukan hanya karena ukurannya tapi juga kok bisa sih dipajang di lobi?
“Hotel ini punya saudara, jadi gak perlu memusingkan masalah perijinan, Rein.” Bisik Bu Rahma melihatku keheranan.
Baru juga sedetik p****t seksiku menyentuh kursi bapak sudah bertanya dengan nada yang entahlah, tidak bisa aku jelaskan. Marah, kesal dan kecewa. Padaku pastinya.
“Rein, coba jelaskan kepada kami sekarang mumpung ada kamu dan Bu Rahma ini. Bu Rahma bilang kalau beliau menginginkanmu menjadi menantunya. Benarkah itu?”
Aku menelan ludah. Saat ini semua mata melihat ke arahku. Serasa maling yang tertangkap basah dan tidak bisa mengelak lagi.
“Iya pak, Bu Rahma memang meminta Rein untuk jadi menantunya tapi Rein belum menyetujui kok.” Kataku membela diri. Lah kan memang aku belum bilang iya.
“Saya yang meminta Rein pak, mama saya sangat suka pada Rein. Dan Rein satu-satunya orang yang bisa membuat mama saya kembali tertawa setelah bapak saya meninggal.” Ibu Peri menerangkan dengan sabar, sepertinya tahu kalau bapak sangat menahan emosi.
“Maksud ibu, putri kesayangan saya ini dipinang menjadi mantu keluarga ibu hanya untuk momong mama ibu gitu?” Kulihat ibu bahkan sudah mengelus pundak bapak, coba menenangkan muntahan lahar gunung berapi yang sudah berstatus awas!
“Bukan begitu maksud saya pak. Maksud saya adalah….”
"Jangan pernah, saya ulang lagi JANGAN PERNAH berniat menjadikan anak saya pembantu di rumah Anda. Sekaya apapun Anda, saya tidak akan mau menukar kebahagiaan putri tercinta saya.” Tiba-tiba bapak membanting napkin secara kasar ke meja makan dan berdiri mendadak. d**a bapak turun naik, kulit wajah bapak yang putih karena masih ada darah bule menjadi sangat merah, menahan marah. Ibu dan Mas Rhandra harus menenangkan bapak yang memang sangat sensitif jika menyangkut aku.
“Pak, malu… Duduklah.” Mas Rhandra coba merayu bapak. Tapi tidak mempan. Aku diam saja, saat seperti ini kalau aku ikut bersuara pasti hasilnya percuma. Yang bisa menakluklan bapak ya hanya ibu dengan suara lembut bak bidadari sedang mengaji.
“Pak, ini bukan di rumah kita. Malu kalau kita jadi tontonan ya. Duduk ya pak, kita bicarakan ini baik-baik. Dengarkan apa kata Rein dan Ibu Rahma, jangan ambil kesimpulan pribadi dulu.” Nah benar kan, begitu ibu yang berkata langsung saja bapak menurut bak kucing yang dielus sayang pemiliknya.
Suasana tegang beberapa saat. Hanya ada keheningan melingkupi kami. Aku bingung harus berkata apa. Mas Rhandra mendelik ke arahku, kesal. Baru aku hendak mau berkata, tiba-tiba terdengar suara salam menyapa dengan lembutnya.
“Assalamualaikum… Mama maaf telat, tadi macet banget.” Seorang lelaki tampan datang dengan senyum super manis dan mencium punggung tangan bapak dan ibu, kemudian langsung saja duduk di sebelah Bu Rahma.
Aku menarik nafas, menepuk keningku sendiri. Sementara bapak, ibu dan Mas Rhandra melihat ke lelaki itu dengan heran. Mungkin terpesona oleh keramahan dan kesopanannya.