Agak kaget. Itu yang dirasakan Zakiya ketika ia melihat kedatangan Rangga bersama Shinta. Ia bukannya cemburu. Sungguh. Memang ia memiliki rasa kagum pada Rangga. Namun untuk suka atau bahkan cinta rasanya jauh sekali. Tapi anehnya, ia merasa agak aneh dengan kehadiran perempuan ini di tengah-tengah mereka. Ya memang sih, Zakiya menyadari posisinya sebagai orang baru yang baru mengenal keduanya. Namun tetap saja.....
"Tadi diantar siapa, Kiya?"
Rangga baru bertanya padanya saat akan mengantri di loket check in. Padahal biasanya, cowok itu hanya perhatian padanya. Mungkin karena itu lah yang ia rasakan sejak dulu bukan?
"Sama Abang, Mas."
Rangga mengangguk-angguk. Ia mengulurkan tangan, meminta passpornya agar mereka bisa duduk bersama.
"Aku pikir Mas Rangga sendirian yang ketemu."
Zakiya justru ingin mengatakan itu sejak tadi. Tapi ia urungkan.
"Kiya yang pegang proyeknya. Mas khawatir kalo dia pergi sendirian ketemu sama orang semacam itu. Kita gak pernah tahu apa yang terjadi."
Shinta mengangguk-angguk. Paham. Tadi ia sudah berpikir macam-macam. Yaaa meski ia tak begitu tahu pasti apakah keduanya saling memiliki perasaan atau tidak. Tetap saja kan? Sebagai seseorang yang lama mencintai Rangga, ia tetap cemburu dengan siapapun lelaki itu bersama. Kecuali pada Humaira. Ia paham betul kalau kedua orang itu saudara sedarah.
Zakiya berdeham kecil sambil memalingkan arah tatapannya ke arah lain. Oke, pikirnya. Sepertinya ia terlalu ge-er karena berpikir jika Rangga ingin modus makanya mengajaknya bersama ke Singapura. Hahaha. Dangkal sekali perkiraannya. Ia ingin tertawa sendiri.
"Maira sama Bibi aja di rumah, Mas?"
Ia menanyakan itu ketika mereka naik eskalator. Rangga mengangguk-angguk.
"Paling dia ngajak temen-temennya buat nginep."
Zakiya mengangguk-angguk.
"Aku udah lama loh, Mas, gak ketemu sama Maira lagi."
"Waktu demo terakhir, kamu gak nugas?"
Zakiya mulai merasa diabaikan lagi. Hahaha. Ini lah tidak enaknya berjalan bertiga. Ia bagai setan penganggu di antara keduanya. Sungguh tak asyik.
"Aku lagi di tempat lain. Jadi yang nugas yaa yang lain."
"Padahal seru demo kemarin. Pejabat publik benar-benar diperlihatkan belangnya. Sayangnya, hukum tidak berguna."
"Kalau berguna, mereka gak akan jadi aparat sampai sekarang."
Rangga tertawa. Benar juga. Mereka akhirnya masuk ke ruang tunggu. Berhubung agak-agak diabaikan, Zakiya memilih mangkir dari keduanya dengan alasan ingin mengecas ponsel sekaligus membaca buku. Rangga membiarkannya dan asyik mengobrol dengan Shinta. Jujur saja, ia sudah lama tak bertemu dengan Shinta. Ada banyak hal yang mereka bisa bicarakan.
"Ah ya, aku kemarin dihubungi sama ibunya Mas. Mau ngajak ketemu tapi aku gak bisa. Terus Ibu bilang kalau Mas semalam makan bersama sama Ibu?"
Rangga mengangguk. Tentu saja. Ibunya memang selalu menghubunginya.
"Mai?"
"Mai di rumah."
"Kok gak diajak?"
"Mendadak. Kasihan juga. Dia pasti capek sama urusan kampus. Gak ada yang bisa jemput juga kan. Dia udah di rumah, Mas masih di kantor."
Aaaah. Shinta mengangguk-angguk. Ia memang tak tahu bagaimana hubungan Humaira dengan ibunya. Yang tahu hal ini hanya segerintil orang. Salah satunya, Zakiya. Rangga pernah menumpahkan perasaannya tentang hal ini di hadapan Zakiya secara tak sengaja. Makanya Zakiya paham. Humaira juga tampak nyaman dengannya.
"Maira punya rencana apa setelah lulus? Mau lulus kan, Mas? Udah tingkat akhir."
Rangga mengangguk. "Katanya mau kerja. Menurutmu bagaimana?"
"Bagus kok. Dia mau cari kerja di mana?"
Rangga mengendikan bahu. "Katanya masih belum tahu. Mau menyelesaikan apa yang harus diselesaikan dulu di kampus."
Shinta mengangguk-angguk. "Gak langsung nikah abis lulus kan, Mas?"
Rangga menyemburkan tawa. Shinta terkekeh.
"Maira itu cantik loh. Herannya ya dari dulu, aku tuh gak paham, dia mirip sama Mas dari sebelah mananya."
Rangga tertawa lagi. Jelas saja, Humaira memang tidak mirip dengannya atau pun ayahnya. Sehingga tak heran kalau banyak orang bertanya-tanya.
"Jangan puji di depan dia. Nanti dia ge-er besar."
Shinta terkekeh. "Udah ada cowok gitu, Mas, yang suka sama dia?"
Rangga tertawa. "Masih jauh lah, Shin."
"Ya kan namanya juga jodoh. Gak ada yang tahu."
"Kamu sendiri gimana?"
Shinta tertawa. Kalau s*****a itu dikirim kembali padanya, ia juga bingung bagaimana menjawabnya.
"Mas dulu deh," tuturnya mempersilahkan. Padahal hati penuh doa. Sementara Zakiya memonyongkan bibirnya dibalik buku. Entah kenapa, ia agak-agak keki melihat keduanya tertawa begitu. Hahaha. Ada rasa aneh yang perlahan menyelinap di d**a. Ia mungkin tak menyadarinya dan tak bisa memungkirinya. Yang jelas, ia mati-matian berusaha fokus pada apa yang sedang dibacanya. Namun sialnay, tetap saja gagal fokus.
Panggilan boarding untuk segera masuk pesawat, menyadarkannya. Rangga juga sudah berdiri dan memanggilnya. Mereka perlu masuk sekarang. Pesawat komersil yang mereka tumpangi bukan jenis pesawat keluaran terbaru. Masih pesawat lama dengan barisan tiga bangku di sisi kiri dan tiga bangku di sisi kanan. Sehingga ketiganya duduk bersama. Rangga yang duduk di paling kiri. Zakiya yang sejak awal merasa tersingkir, memilih untuk duduk di dekat jendela dan membiarkan keduanya kembali mengobrol panjang selama di pesawat.
Entah karena diabaikan atau ia yang kurang tidur, ia akhirnya pulas dengan kepala bersandar ke arah jendela. Rangga melirik ke arahnya begitu melihatnya pulas lalu tersenyum kecil. Ia tahu kalau Zakiya pasti bekerja lagi semalaman. Jadi ia biarkan saja gadis itu tidur di sepanjang perjalanan. Toh hari ini sepertinya akan menjadi hari yang sangat panjang. Mereka akan bertemu sosok penting yang rela membuka mulut atas nama nurani. Meski jelas, ada rasa takut yang juga menyelinap. Karena memang tidak mudah.
Shinta tak menyadari hal itu. Perempuan itu asyik saja melanjutkan pembicaraan mereka meski dengan volume yang agak pelan, menghormati Zakiya maupun penumpang lain yang barangkali butuh istirahat.
@@@
Mereka tiba di Changi Airport. Ketiganya langsung masuk ke dalam taksi. Taksi mengantar ke depan sebuah gedung apartemen yang terlihat seperti rumah susun di Jakarta. Rangga menghubungi narasumber lalu diminta naik ke lantai 4. Sampai di sana, mereka berjalan masuk ke sebuah apartemen. Begitu dibuka....
"Sorry, kalian tadi aman nyampe di sini?"
Wajah mulus, berkulit putih dan agak sipit itu langsung menyapanya. Rangga mengangguk-angguk. Mereka memperkenalkan diri dulu. Setelah obrolan singkat, mereka mulai masuk pada inti dari pertemuan ini.
"Sebetupnya sejak dua tahun lalu, saya sudah melapor ke KPK. Dengan menyerahkan beberapa dokumen perusahaan, data transaksi penjualan, dan rekening bank yang mengindikasikan adanya manipulasi pajak kepada mereka. Pertimbangan saya memilih mereka, tidak lain dan tidak bukan memang sudah tidak bisa melapor ke Dirjen Pajak. Mereka juga bekerja sama."
Rangga menyimak dengan seksama. Zakiya dan Shinta sama-sama mencatat alurnya untuk membuat pemberitaan. Meski sudah direkam juga dengan beberapa alat perekam termasuk ponsel. Mereka juga akan mengirim langsung ke teman-teman yang lain begitu selesai direkam untuk menghindari hilangnya bukti. Terutama Shinta. Sebagai salah satu wartawan di media nasional, ia sangat berhati-hati dan selalu waspada. Teman-temannya kerap dicopet karena hal semacam ini. Tentu saja untuk penghilangan bukti dan mungkin mereka lengah karena tidak tahu sedang dikuntit.
"Modus penggelapan pertama dengan menggelembungkan biaya perusahaan hingga Rp1,5 triliun. Kedua dengan mendongkrak kerugian transaksi ekspor Rp232 Miliar. Yang ketiga mengecilkan hasil penjualan Rp889 miliar. Lewat ketiga modus ini, perusahaan diduga telah menggelapkan pajak penghasilan untuk badan usaha senilai total Rp 2,6 trilliun. Perhitungan SPT perusahaan yang digelapkan berasal dari SPT periode empat tahun terakhir. Hitungan terakhir menyebutkan penggelapan pajak itu diduga berpotensi merugikan keuangan Negara hingga Rp1,3 triliun. Tujuannya meminimalkan profit untuk menekan beban pajak."
"Lalu, yang saya dengar, Mas Nando malah dijadikan tersangka."
Shinta menoleh. Ia belum mendengar kabar itu. Apakah ada yang terlewat dari penyelidikannya? Rangga juga ikut menoleh. Agak kaget. Jadi mereka bertemu dengan buronan? Aaah Zakiya memang sengaja tidak memberitahu. Karena ada kemungkinan Rangga akan menolak.
"Ya. Awalnya, salah satu perusahaan yang berafiliasi dengan perusahaan itu di Singapura melaporkan bahwa ada pengeluaran keuangan sebesar Rp1,3 triliun tidak tercatat. Lalu perusahaan meminta saya ke Jakarta untuk menyelidiki pencatatan tersebut. Setelah kembali ke Jakarta, saya diculik, disekap hingga hampir mati."
Aaaaah. Shinta mengangguk-angguk. "Pantas saya melihat laporannya, agak ganjil juga karena Mas menghilang begitu saja. Seperti tak ada kelanjutannya."
"Mereka mencoba membuat saya menjadi salah satu tersangka yang membobol kas perusahaan yang seharusnya digunakan untuk membayar pajak malah masuk ke dalam rekening di luar negeri. Modusnya dibuat seperti itu. Padahal tersangka utama jelas bukan saya. Tapi atasan-atasan saya. Kalau ditanya, apakah ada kemungkinan anak buah, selevel saya melakukan korupsi sebesar itu mungkin memang masih ada kemungkinan. Tapi gak mungkin saya berani bergerak seleluasa itu. Apalagi uang hasil penghematan pajak itu dialirkan dari Indonesia ke sejumlah perusahaan afilasi perusahaan di luar negeri seperti di Hongkong, Makao, dan lainnya lewat sejumlah transaksi."
"Berarti modusnya sudah jelas ya, merekayasa jumlah pengeluaran perusahaan. Sehingga merugikan keuangan negara diperkirakan mencapai Rp1,3 triliun."
Lelaki itu mengangguk.
"Selain penggelembungan biaya, transfer pricing juga bukan, Mas?"
Zakiya melirik ke arahnya. Ia tak mengerti apa itu transfer pricing. Hahaha. Diam-diam, Zakiya mencarinya kemudian kembali fokus pada apa yang dikatakan oleh Nando.
"Iya tapi bukan yang utama."
Shinta mengangguk-angguk. "Pemilik perusahaan masih belum berubah kan? Kira-kira ada kemungkinan atasan paling tinggi juga ada keterlibatan?"
Nando terkekeh. "Saya tidak berani menjawabnya. Nanti lihat saja bagaimana kasus ini akan berjalan sesuai dengan bantuan kalian."
Shinta mengangguk-angguk lagi. Meski sama sekali tak puas dengan jawabannya.
"Berarti dugaannya penggepalan pajak kemudian bertambah menjadi dugaan pencucian uang dan juga transfer pricing."
Nando mengangguk-angguk. "Kalian yang pertama kali tahu indikasi ini. Meski masih dugaan. Tapi saya punya bukti banyak."
"Lantas dengan Mas bersembunyi di sini--"
Nando tertawa. Ia mengangguk-angguk. "Sejak ditangkap terakhir, saya tidak mungkin lagi tetap berada di Indonesia. Mereka juga kerap menguntit keluarga saya. Anak-anak saya sampai diikuti ke sekolah."
"Tapi mereka masih aman?"
"Ya setidaknya sampai tadi saat saya menelepon mereka."
Ia menghela nafas. Tampak lelah dengan apa yang terjadi pada hidupnya.
"Waktu ditangkap itu, selain disekap, apa juga dibawa ke kantor kepolisian?"
"Justru kepolisian yang langsung menangkap saya."
Ketiganya kompak ternganga.
"Saya mengenali salah satunya. Yang menugaskan tentu saja atasannya. Yang punya afiliasi dengan petinggi perusahaan. Saya ini kepengen kalian bisa push berita ini ke publik untuk mendorong direktorat jendral pajak menanggapi kasus ini dan membentuk tim investigasi khusus. Dan harusnya bisa memberantas beberapa pegawai Pajak yang berafiliasi dengan petinggi di perusahaan saya juga. Rinciannya sebetulnya melebihi Rp1,3 tiriliun seperti yang saya katakan tadi. Seharusnya lebih dari itu, mungkin untuk penggelembungan biaya perusahaan sebesar Rp1,5 triliun, sehingga merugikan transaksi ekspor sebesar Rp232 miliar, dan mengecilkan hasil penjualan sebesar Rp889 miliar."
"Untuk tahun ini dan dua tahun lalu sepertinya besar."
Nando mengangguk-angguk. Memang benar. "Yang lain mungkin masih banyak yang melakukan. Tapi nilainya kecil-kecil. Hanya saja kalau dikumpulkan semuanya, saya yakin akan besar sekali. Bahkan bisa membayar hutang negara. Harusnya kan itu menjadi hak rakyat."
Zakiya tersenyum kecil. Suka dengan rasa nasionalismenya. Mereka berbicara cukup lama. Begitu selesai, ketiganya pamit.
@@@
Usai mengobrol lumayan lama sampai lima jam, ketiganya bergegas menuju salah satu restoran terdekat Marina Bay. Mereka solat di salah satu masjid saat dalam perjalanan ke restoran tadi kemudian duduk di restoran ini. Obrolan tak jauh dari pembahasan hukum mengenai kasus tadi.
"Dari segi hukum, perusahaan bisa dijerat dengan UU tindak pidana korupsi. Kemudian UU tentang Ketentuan Umum Perpajakan, perbuatan pidana apabila menyampaikan surat pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau lengkap. Perbuatan pidana lain adalah memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu, dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan sebenarnya. Karena mantan Mas Nando menyerahkan laporan pemberitahuan yang tidak benar kepada KPK, makanya dia diduga melanggar dua UU ketentuan umum perpajakan pada pasal 39 ayat 1C dan pasal 43 UU ketentuan Umum Perpajakan. Pada pasal pertama, Kejaksaan dan Direktorat Jendral Pajak sepakat atas terpenuhinya unsure pidana setiap orang, dengan sengaja, menyampaikan surat pemberitahuan atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, dan dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara. Yang dimaksud pada pasal ini ada penggelapan pajak yang dilakukan oleh Mas Nando sehingga merugikan Negara sebesar Rp 1,3triliun. Sedangkan pada pasal 43 kejaksaan dan Direktorat Jenderal Pajak sepakat bahwa unsure menyuruh melakukan turut serta, menganjurkan atau membantu melakukan sehingga menimbulkan kerugian pada pendapatan negara. Sedangkan pada pasal 43, kejaksaan dan Direktorat Jenderal Pajak sepakat bahwa unsur menyuruh melakukan, turut serta, menganjurkan, atau membantu melakukan tindak pidana perpajakan, terpenuhi. Pertama kasus ini akan melanggar moral. Karena bagaimanapun jugak kasus ini tidak berperilaku sebagaimana semestinya. Selain itu sikap etis dan komitmen moral yang tinggi sangat lah diperlukan untuk tidak berbuat curang, merugikan masyarakat dan Negara. Kedua?"
"Kalau akhirnya malah hanya terkena hukum administrasi bagaimana? Karena bagaimana pun ini urusan pajak, bisa masuk perdata juga."
Shinta mengangguk-angguk. Suka dengan analisis Zakiya. Ia mengira kalau Zakiya tak tahu apa-apa soal hukum.
"Maka itu, pertama kita harus membuktikan kecurangan yang sebenarnya di lakukan oleh perusahaan itu. Tapi tentu saja bukan kita yang membuktikan, melainkan aparat penegak hukum. Tugas kita hanya mengguring opini, menyebar luas informasi, dan membuatnya seviral mungkin."
"Pertama kali itu sudah pernah diberitakan, Mas. Tapi sayangnya diabaikan. Tidak masuk trending juga dan kurang mendapat perhatian," tutur Shinta.
Rangga mengangguk-angguk.
"Kalau sampai kita berhasil memviralkannya. Maka ada kemungkinan kalau kasus ini sebenarnya akan menjadi luas jika dikaitkan dengan segala permasalahan pada periode empat tahun itu. Mas Nando sebagai saksi kunci, sebaiknya diperiksa dengan baik. Tapi keselamatannya juga harus terjamin. Mas Nando kan mau-mau aja balik ke Indonesia. Selama ini, belum ada kuasa hukum yang berani."
Shinta mengangguk-angguk. Membenarkan ucapannya.
"Bukan tidak mungkin juga, tersangka-tersangka yang sampai nanti yang diperiksa adalah pihak-pihak yang terkait dengan kasus perusahaan ini. Bisa saja, kasus ini juga dicampurtangani oleh pihak-pihak yang telah melaporkan kasus ini kepada pihak yang berwenang karena dengan alasan tertentu. Karena kalau itu terbukti, seperti yang Mas Nando katakan tadi, akan lebih cepat menarik perhatian."
"Tapi aku rasa, kita perlu kerja sama dengan beberapa media lain setelah menyebar luaskan berita ini, Kiya. Maksudku kalau hanya satu orang--"
"Kurang begitu kuat? Nanti Kiya akan tetap bantu dengan pemberitaan kan, Kiya?"
Kiya mengangguk. Tentu saja. Ia mana mau hanya menyerahkannya pada Shinta. Apalagi pemberitaan yang kemungkinan akan sangat besar ini. Meski Zakiya juga kurang yakin dengan diri sendiri karena minimnya pengetahuannya mengenai pajak.
"Kecurangan yang sudah dilakukan oleh perusahaan bukanlah kecurangan biasa. Tindakan ini sudah merugikan negara dan masyarakat luas secara tidak langsung. Bagaimana bisa membantu mengurangi hutang negara jika perusahaan dalam negeri terus-menerus melakukan penggelapan pajak. Padahal selain devisa, pajak penghasilan yang dibayarkan kepada negara dapat membantu negara untuk melunasi hutang-hutangnya ke pihak internasional. Terus kalau misal kan sudah dilakukan investigasi oleh Ditjen Pajak dan ternyata pajak yang dilaporkan tidak benar, maka seharusnya mereka bisa dikenakan sanksi pidana. Kalau hanya sanksi administrasi jelas rugi. Mereka hanya membayar lalu melenggang bebas. Itu gak adil sama sekali."
Shinta mengangguk-angguk setuju. Zakiya berpikir ke arah sana karena susah banyak menangani kasus. Memang bukan kasus pajak tapi kasus pencemaran lingkungan, p**********n hingga p*********n. Upaya para tersangka tentu saja melobi hukum. Bayangkan bagaimana mengerikannya.
"Jadi, Shin, nanti diskusi lagi aja sama kita terkait perkembangan dari atasan kamu akan gimana pemberitaannya. Yang jelas, kami juga gak mungkin bergerak sendiri. Media kecil seperti kami susah didengar."
"Gak lah, Mas," Shinta tersenyum kecil. Zakiya tak berhenti menatap keduanya secara bergantian. Ia baru menyadari ada hal berbeda dari gadis ini. Juga caranya menatap Rangga. Sementara Rangga? Ia tak bisa menebaknya. "Justru Shinta belajar banyak dari Mas. Kalau di mana pun kita berada, bukan tempatnya yang besar atau kecil, yang pepolur atau tidak, yang dikenal masyarakat atau tidak tapi kita sendiri lah yang bisa membuat sesuatu itu menjadi besar karena integritas diri dan kejujuran."
@@@
Usai makan siang dan mengobrol lumayan lama, Shinta pamit lebih dulu. Perempuan itu memang tidak ikut menginap. Ia harus segera kembali ke Jakarta karena ada banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Dan lagi, hasil pertemuan ini juga akan segera ia beritahu pada atasannya untuk mempercepat proses. Atasannya pasti selalu di kantor. Para jurnalis seperti mereka jarang pulang ke rumah. Lebih banyak di kantor atau di mana pun hanya untuk meliput sebuah berita.
Rangga dan Zakiya mengantarnya sampai naik taksi. Kedua orang itu melanjutkan perjalanan menuju hotel terdekat. Sebetulnya, bisa saja mereka langsung pulang. Tapi....
"Aku pikir kita perlu bertemu lagi dengan Mas Nando, Kiya," tuturnya.
"Untuk?"
"Kalau sekiranya ada hal lain yang tak bisa ia sampaikan."
Kening Zakiya mengerut. "Memangnya yang tadi belum?"
"Dia sebetulnya agak keberatan dengan ide Mas membawa Shinta. Tapi Mas perlu karena kalau ada pemberitaan yang keluar dari media sekelas mereka tentu saja akan lebih cepat mengambil perhatian publik. Kalau kita, jelas akan dihujat kembali atau bahkan dilaporkan ke kepolisian dengan dugaan pencemaran nama baik."
"Jadi?"
"Mas sebetulnya sudah berjanji untuk bertemu nanti malam di sekitar sini. Nanti malam kalau keluar lagi gimana?"
Zakiya mengangguk-angguk. Ia tak masalah dengan itu. "Bukannya Mas Rangga kenal betul dengan Shinta?"
Rangga terkekeh. "Mas percaya Shinta tapi belum percaya orang lain. Meski media mereka terkenal dengan integritas. Siapa tahu untuk kasus semacam ini justru tidak. Kita kan gak pernah tahu."
"Oke. Menurut Mas, kasus ini akan gimana nantinya?"
"Kalau kita sukses, ini akan booming. Tapi sebetulnya bukan persoalan nama yang Mas pikirkan. Lebih kepada keselamatan kita, Kiya. Beliau sebetulnya sempat bilang untuk kita hati-hati ketika berada di mana pun. Lalu kamu pernah dengar kasus penyadapan salah satu wartawan nasional karena melipus kasus korupsi kelas kakap kan?"
Zakkya terkekeh. "Iya. Sampai melibatkan kepolisian, BIN hingga Kejaksaan. Itu kasus silam yang sangat keren, Mas. Mereka ketar-ketir hanya karena kasus itu."
Keduanya tiba di lobi hotel. Usai mengambil kunci, keduanya menaiki tangga. Bukan hotel yang sangat besar. Ini hotel kecil yang berada di salah satu jalan raya yang sebetulnya agak lumayan jauh jika harus berjalan kaki dari Marina Bay tadi. Zakiya was-was melihat penjaganya. Bukan karena berkulit hitam tapi wajahnya tampak sangar dan tidak bersahabat. Mirip dengan salah satu bandit yang sering muncul di film India.
"Mau istirahat dulu kan?"
Zakiya mengangguk.
"Kalau begitu, ketemu nanti malam ya, Kiya. Kalau ada apa-apa telepon Mas aja," tukasnya. Sekali lagi, Zakiya mengangguk. Keduanya berpisah kamar. Kamar Rangga tepat berada di depan kamar Zakiya.
Zakiya melepas penat sebentar karena saking lelahnya. Ia ingin tidur sebentar saja. Lalu sore nanti berniat untuk keluar dan menikmati sore di sini. Rasanya sudah lama sekali ia tak berkelana seperti ini.
@@@