Privilege

2950 Words
Rangga menarik nafas dalam. Pilu dengan keadaan semacam ini. Sedari dulu memang sudah begini. Ia tak bisa jika disuruh memilih. Semuanya penting. Termasuk keberadaan Humaira. Karena menurut Rangga, Humaira tak bersalah. Gadis itu masih sangat kecil ketika dibawa ayahnya ke rumah. Masih belum tahu apa-apa. Bahkan yang menyusui juga Tantenya di Jogja sana. Tapi sedari kecil, sudah tak dipedulikan. Tak pernah mendapat kasih sayang orangtua. Saudara-saudara ibunya juga tak bisa diharapkan. Satu-satunya adik ayahnya yang mengasuh dan menyusui Humaira justru meninggal saat Humari masih setahun lebih lima bulan. Ayahnya jelas kesulitan karena harus menjaga Humaira sendirian. Dari sebegitu kecilnya, ayahnya membawa Humaira ke mana pun. Ke kantor hingga bertemu dengan klien. Ia tak mungkin meninggalkannya di rumah. Ia tak percaya sama sekali dengan istrinya. Takut dibuang bahkan lebih buruknya dibunuh. Rangga memahami kenapa pikiran Ayahnya bisa separah itu pada istri sendiri. Karena ibunya benar-benar tak berkeprikemanusiaan. Humaira bahkan pernah dibawa ke rumah sakit saat usia tiga tahun usai didorong jatuh ke parit yang sangat tinggi di depan rumah. Yaa untuk anak kecil berusia 3 tahun dihadapkan dengan parit kedalaman satu meter tentu saja sangat berbahaya. Untungnya, tidak terjadi apapun. Ayahnya sampai tak mengerti dengan keajaiban apa yang terjadi hingga bisa menolong putri kecilnya. Hanya menangis dan luka lecet. Meski beberapa kali diperiksa karena ayahnya benar-benar takut sesuatu terjadi pada Humaira, tak ada. Benar-benar sehat luar dan dalam. Gara-gara kejadian itu, ibunya hampir masuk penjara. Yang melapor bukan ayahnya. Tentu saja tetangga depan rumah yang melihat. Satu komplek pun sudah tahu bagaimana kelakuannya. Rangga juga tak paham kenapa masih banyak yang memilih ibunya saat dua kali pemilu. Hanya saja, instingnya mengatakan kalau itu semua uang. Bukan dipilih karena nurani. Memainkan suara rakyat memang bukan hal tabu di negeri ini. Rangga tahu benar bagaimana permainannya. Seringkali terbersit untuk membongkar permasalahan ini. Tapi ia kesulitan karena harus berhadapan dengan ibu sendiri. Namun setidaknya, Rangga sudah lega sekarang. Humaira sudah besar. Sudah dewasa. Tinggal bersamanya di sini. Ia bisa menjaganya. Ia tak khawatir lagi meninggalkannya di rumah. Dulu saat Rangga hendak berangkat kuliah ke UI, ia dan Humaira sama-sama menangis. Humaira kala itu masih tujuh tahun. Gadis kecil itu tentu saja menangis karena akan ditinggal. Ayahnya sibuk bekerja. Biasanya ada Rangga di rumah. Tapi Rangga jarang pulang. Kenangan saat pertama kali berpisah itu membuat Rangga kembali menangis. Ia menghentikan mobilnya sebentar. Ia hanya menangisi karena sempat meninggalkan Humaira di rumah. Adiknya itu jika pulang sekolah, tak pernah langsung ke rumah. Takut sendirian karena tak ada yang menjaganya. Ayah mereka sibuk bekerja. Bibi tak bisa berbuat apa-apa kalau melihatnya disiksa. Akhirnya ia luntang-lantung di rumah teman-temannya. Pindah dari satu rumah ke rumah lain sampai ayahnya datang menjemput. Empat tahun setelah itu, baru Humaira berani pulang ke rumah setelah pulang sekolah. Karena tahu kalau ibunya masih bekerja di kantor. Tapi kalau sekiranya tak ke kantor, biasanya si Bibi yang memberitahunya dengan meneelpon wali kelasnya. Yaaa separah itu kerja sama mereka untuk melindungi Humaira. Menjelang naik kelas 8 SMP, Humaira diajarkan untuk naik angkot sendirian dan juga bela diri. Meski tenaga anak-anak tidak seberapa tapi Humaira harus melakukan itu. Jadi gadis itu akan pulang ke kantor ayahnya setelah pulang sekolah dan itu berlangsung sampai SMA. Meski ibunya sibuk di kantor DPR tapi tak ada jaminan kalau perempuan itu tidak pulang tiba-tiba bukan? Karena perempuan itu selalu tahu keberadaan Humaira di rumah. Namun bagi Humaira, perempuan itu tetap lah ibunya. Sampai kapan pun tetap ibunya. Meski tak melahirkannya. Rangga kembali melajukan mobilnya setelah agak tenang. Lelaki itu hanya was-was kalau suatu saat ia tak bisa menjaga Humaira lagi. Perasaan semacam itu memang kerap muncul menilik pekerjaannya cukup berisiko. Tidak semua pejabat senang dengan pemberitaan. Apalagi pemberitaan yang dianggap menjatuhkan mereka. Padahal kalau dipikirkan lagi, siapa yang menjatuhkan kalau bukan dirinya sendiri? Jika memang berbuat salah. Kalau berbuat benar seharusnya tak perlu takut apapun. "Dros!" Rangga melihat cowok itu menghentikan motornya di pinggir jalan. "Oh, Mas! Mau ke rumah tapi nih motor nih!" Ia mendumel. Rangga terkekeh. "Mau ke bengkel?" "Kayaknya begitu, Mas." "Ya udah. Derek aja. Ada tali di bagasi." Andros mengangkat jempolnya. Ia membantu Andros membawa motornya menuju bengkel. Setelah itu, Andros ikut dengannya ke rumah. Lelaki ini adalah sahabat Humaira dari SMA. Tentu sudah tahu banyak tentang kehidupannya dan Humaira. "Ngapain lo?" tanya si Maira galak begitu melihat Andros ikut keluar dari mobil Masnya. Rangga terkekeh. Dua orang ini kadang memang suka tak akur. "Ngomel mulu! Lagi PMS?" Humaira hanya mendengus. Gadis itu sudah duduk di ruang tamu. Andros masuk usai mengucap salam. "Nyak mana?" "Ya kalo gue banyak Nyak malam-malam dari Bekasi ke sini!" dumelnya. Humaira hampir menyemburkan tawa. Rangga justru sudah tertawa dari dapur sana. "Nih! Baik kan gue," tukasnya. Ia memberikan bunga yang diawetkan di dalam akrilik tampak cantik sekali. "Nyolong di mana?" Andros mendrama dengan mengelus dadanya. Humaira terkekeh. Matanya sudah tertuju sempurna pada bunga tulip itu. Warnanya biru. Benar-benar biru. Gradasinya tampak cantik sekali. "Abis dari mana, Dros? Belanda?" "Ini banyak kali, Mas. Kenapa? Mau beliin buat ceweknya yaaaa?" godanya yang membuat Rangga hanya bisa tertawa. Kehilangan kata-katanya. Ia menaruh segelas air untuk Andros lalu pamit ke kamar. Ingin mandi dan ingin istirahat. Tapi sepertinya, setelah istirahat, ia akan duduk di ruang tengah untuk memantau kebersamaan keduanya. "Gak bilang makasih?" "Enggak lah! Orang si Anyel yang beli!" "Gak usah ngegas gitu dong!" Nadanya ikut makin naik. Humaira tertawa kali ini. Ia memang tak bisa lama-lama marah pada Andros. Cowok ini selalu punya cara untuk mengoloknya agar luruh. Satu jam kemudian, Andros pamit. Ia memang tak bisa lama. Selain karena sudah ditelepon oleh orang bengkel, ia juga tak enak hati sampai malam di rumah ini. Rangga sudah pernah memberitahu. Kalau datang malam hari ke rumah, jangan sampai terlalu malam karena tak enak pada tetangga. Andros paham akan hal itu. Dulu sempat ge-er juga dengan sikap Rangga yang seperti itu. Seolah-olah merestuinya dan Humaira. Tapi ternyata Rangga memang begitu kepada semua teman laki-laki Humaira. Hahaha. "Hati-hati, Dros! Kalo jalan, lihat ke depan," tutur Humaira dengan serius. "Iye lah! Masa gue lihat belakang?! Lucuuu haaah?" Ia sampai melotot. Humaira tertawa. Rangga geleng-geleng kepala. Andros naik motor ojek langganan Humaira di depan g**g kemudian turun di bengkel dan ia meneruskan perjalanan menuju kosannya. "Tadi ngapain?" tanya Rangga. Ia tadi sepertinya terlalu lama di akamr mandi. Begitu keluar, Andros sudah pamit. "Tumben," komentarnya. "Biasanya Mas ngintip dari sana!" Ia menunjuk kursi di depan televisi di mana biasanya Rangga duduk. Rangga tertawa. Ia melewatkan momen itu. "Tadi Andros mau ngobrolin penelitiannya." Aaaaah. Rangga mengangguk-angguk. "Terus?" "Dia mau ngambil di Kemenlu. Gimana menurut Mas?" "Bagus itu. Dia anak sastra kan?" "Iya. Tapi menurut Mai lebih bagus di Dubesnya sekalian." "Kalo bisa dapat izinnya mungkin bisa. Dicoba aja." "Mas gak ada link gitu?" Rangga terkekeh. "Kenapa gak nanya sama Mas tadi?" "Dia kan emang suka bodor. Suka lupa bawa pikirannya." Rangga tertawa mendengar itu. Terhibur. Tapi mendengar Humaira menyebut bodor, Rangga jadi teringat dengan si nenek. "Kapan-kapan mau ke Bandung gak?" Matanya langsung berbinar. Tentu saja ia berseru dengan anggukan kencang. Sangat rindu neneknya. @@@ "Mas! Sorry ganggu!" Ia sampai nyengir padahal Rangga tak ada di depannya. Harusnya mereka sama-sama beristirahat karena besok akan berangkat ke Singapura. Tapi begitu mendapat informasi lain dari salah satu temannya yang ternyata pernah meliput ini, ia langsung bersemangat. Tadi mau menelepon Lona tapi Lona sudah dalam perjalanan dengan kereta. Sepertinya sudah pulas juga. Pasti lelah. Padahal ia perlu melapor ini. Alhasil, sekarang ia sedang mernagkum semua informasinya sambil memberitahu Rangga. Lupa kalau Rangga juga akan pergi bersamanya ke Singapura besok. "Ada apa, Kiya?" Rangga sudah menahan kantuknya. Ia sudah berbaring di atas tempat tidur. "Dari kasus di sana kan kebanyakan gatal-gatal. Terus pemerintah setempat berdalih kalau itu tidak ada sangkut pautnya dengan limbah B3 perusahaan itu. Bahkan mereka juga mempertanyakan dan tidak percaya begitu loh. Masa iya, limbah yabg mereka buang bisa mencemari lingkungan bahkan air tanah warga? Sampai bikin masyarakat sekitar jadi gatal-gatal. Naaah terus Kiya baca beberapa literatur yang ternyata sudah banyak sekali penelitian semacam ini. Maksudnya, ada banyak penyakit yang erat hubungannya dengan pencemaran lingkungan kayak gini. Yang pernah kita bahas kan yang di Jepang itu, yang Minamata. Itu karena buangan pabriknya mengandung merkuri terus masuk ke sungai. Logam sekecil itu nyangkut di dasar perairan dan juga tumbuhan-tumbuhan plankton atau yang disebut fitoplankton. Nah di dalam rantai makanan perairan, fitoplankton akan dimakan oleh zooplankton. Terus dimakan ikan. Naah dari si ikan ini, logamnya terus masuk ke dalam tubuh karena ikan pasti nyari makan terus kan? Akhirnya logam ini terkumpul semakin banyak di dalam tubuh atau di sini disebutnya terakumulasi di dalam tubuh. Akhirnya ikan-ikan kayak gini yang dimakan manusia terus kan kalo logam-logam kayak gini emang lama baru bisa keluar dari tubuh. Ada yang bahkan sampai tiga bulan baru bisa keluar. Tapi kan gak mungkin, selama tiga bulan itu, manusia gak makan ikan yang sama lebih dari dua atau tiga kali? Iya kan, Mas?" Rangga tersenyum kecil. "Iyaaaaa." "Berarti ini kasusnya juga kurang-lebih akan sama. Karena dari yang Kiya baca nih, Mas. Si limbah ini kan bisa masuk ke sungai atau bahkan mungkin masuk ke tanah. Pas dia masuk ke dalam tanah kan gak mungkin gak gerak. Dan ada gaya gravitasi bumi. Otomatis pasti turun ke bawah. Air tanah itu kan dibawah banget. Meski mungkin masih jauh tapi kalo dibiarkan dalam waktu lama pasti akan turun ke bawah dan akhirnya kena air tanahnya kan, Mas?" Rangga terkekeh. Ia merasa lucu dengan Zakiya yang sangat semangat sekali. "Iyaaaa." "Bosen ya, Mas?" Rangga tertawa. Akhirnya Zakiya menyadari hal itu. Zakiya mengerucutkan bibirnya. Ia terpaksa mengakhiri telepon itu. Sementara ia masih memerhatikan catatannya. Ia harusnya tidur agar besok lebih fit dalam perjalanan laku bertemu dengan narasumber. Apalagi tak akan lama di sana. Begitu urusan selesai, ia harus segera kembali. Akhirnya Zakiya pergi ke kamar mandi. Lalu menyiapkan diri untuk tidur. Setelah itu, ia berbaring ke atas tempat tidur. Namun bukannya tidur, ia masih menyelami rekaman teleponnya bersama temannya tadi. "Secara umum, ada dua dugaan pelanggaran PT Paling Merakyat, selaku pengolah limbah B3 yang diabaikan pemerintah. Pertama, proses pengolahan limbah B3 tidak sesuai. Sebagian, terungkap dalam temuan tim audit. Kedua, penimbunan hingga menimbulkan kerugian warga sekitar. Sebelumnya warga masih bisa memanfaatkan air sumur untuk keperluan sehari-hari. Masak atau mandi. Sekarang tidak lagi. Untuk mandi anak-anak, warga memanfaatkan dari air tangki yang dibeli. Masih ada 49 rumah yang urukan dari limbah B3 belum clean up. Terus penyegelan PT Paling Merakyat oleh pihak polisi yang pernah terjadi sekali, menguatkan indikasi awal pelanggaran oleh perusahaan. Karena itu, seyogyanya ditindaklanjuti dengan memproses sesuai hukum berlaku. Nah Kiya, sebetulnya ada tiga jeratan yang bisa diterapkan kalau penyidik kepolisian menemukan bukti pelanggaran perusahaan tersebut. Selain pidana, perusahaan juga bisa dimintai pertanggungjawaban secara administratif dan perdata. Seharusnya pemerintah memang segera tindak lanjut. Karena perusahaan terus beroperasi, warga pun terus alami masalah. Bagaimana nasib warga dan lingkungan hidup di beberapa desa di Lamongan ini? Perlu keseriusan pemerintah menegakkan aturan hukum guna menjamin hak-hak warga mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Sedih sih kalo lo bisa datang ke sini dan lihat langsung Kiya." @@@ "Buruaaaan! Abang mau ngantoor tauk!" Andra mendumel. Zakiya balas berteriak. "BAWEEEEL!" Lalu tak lama, ia menuruni tangga. Kemudian pamit pada kedua orangtuanya. "Berapa lama, Kiya?" "Besok juga udah pulang, Ma." Mamanya mengangguk. Sudah biasa dengan kepergian Zakiya yang sering mendadak dan lupa memberitahu. Zakiya menghampiri Abangnya yabg sudah mengomel. "Kek cewek!" sungutnya. Andra sibuk menyalakan mesin mobil dari pada menanggapi celotehannya. "Makanya nikah. Cari cowok jangan kejar berita mulu!" "Yang ngomong juga keleus!" sungutnya. "Gak usah bawa-bawa gender ya!" Andra mendengus. Ia baru mau mengatakan kalau seharusnya cewek dulu karena cowok itu santai. Hahaha. Tapi akhirnya mengatupkan mulutnya karena Zakiya mengatakan itu. Zakiya sama sekali tak suka dengan kata-kata semacam itu. Seperti perempuan itu harus bisa masak, harus bisa membereskan ini-itu persoalan rumah. Menurutnya, perempuan itu memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki. Stigma-stigma yang sering muncul dimasyarakat kalau perempuan itu harus ini dan itu, ya memang terserah cara orang berpikir. Tapi kembali lagi, menurut Zakiya, perempuan boleh memilih memilih jalan mana saja untuk ia jadikan pilihan hidup yang ingin ia tempuh. Tidak melulu di dapur dan mengurus anak. Mungkin kalau terlahir kaya, tanpa kerja bisa punya segalanya, punya anak namun tak punya suami....itu kan masih bisa hidup. Masih bisa berperan sebagai perempuan yabg menjadi ibu rumah tangga. Tapi kalau nasibnya tidak seberuntung itu? Zakiya teringat dikala ia menyusun skripsi ya dan meneliti terkait perempuan yang ditinggal suami harus bekerja di luar negeri sebagai pembantu rumah tangga dan terpaksa meninggalkan anaknya di kampung halaman. Apakah itu salah? Apakah salah kalau pergi meninggalkan anak untuk bekerja dan tujuannya untuk menghidupi mereka? Tidak kan? Karena terkadang kondisi atau keadaan setiap orang sudah jelas tidak sama. Ada yang mungkin memang sudah hidup dengan privilege dengan latar belakang keluarga yang sempurna sehingga hidup terasa lebih mulus dibandingkan orang-orang di luar sana yang sudah berusaha keras tapi hasilnya berbanding jauh? "Susah ya menilai bagaimana Allah itu bisa adil untuk hidup kita?" Zakiya jadi teringat obrolannya dengan Farras beberapa tahun lalu. Obrolan dengan Farras itu selalu berbobot. Anehnya, mereka selalu tak akur saat SMA dulu. Hahaha. "Ada yang punya orangtua pejabat. Terlahir dalam keluarga kaya. Bisa meraih cita-citanya dengan mudah." "Lagi ngomongin anak DPR yang dapat beasiswa pemerintah untuk kuliah di luar negeri?" Farras tertawa. Zakiya paham ke arah mana pikirannya. "Gue hanya berpikir kalau orangtuanya mampu untuk membiayai sendiri." "Saudara kembar lo emangnya gak nyari beasiswa?" Farras menggeleng. "Mereka merasa ada banyak orang yang lebih pantas untuk dapetin, Kiya. Orangtua masih mampu bayar. Meski tanpa orangtua, Abang sama Ferril juga bisa nanggung hidup dan kuliahnya sendiri. Tapi penghargaan ke orangtua aja karena mereka sudah bekerja keras untuk melakukan apapun untuk anaknya. Jadi kalau beasiswa-beasiswa itu, Abang merasa bukan haknya. Ada yang lebih pantas menerima. Mereka yang mungkin tidak seberuntung Abang." Zakiya tersenyum kecil kala itu. Ia memang selalu salut dengan berbagai pikiran Farrel yang menurutnya memang berbeda dengan lelaki lain. Meski itu tak membuatnya tertarik. Baginya ada orang yang harus dicintai dan ada jenis orang yang hanya bisa dikagumi. "Menurut lo salah gak pikiran semacam itu?" "Enggak lah. Justru bagus karena dia mau memberi kesempatan pada yang tidak beruntung. Karena effort-nya juga besar. Orang-orang privelege itu sebetulnya juga sama struggle-nya. Tapi kesempatan mereka lebih terbuka lebar dibandingkan yang lain. Yaa kayak yang dulu lo pernah bilang. Anak orang kaya, gagal masuk sebuah universitas ya gak masalah. Gak ada yang perlu dikeluhin terlalu banyak. Beda sama yang gak punya. Gagal masuk universitas apalagi gagal dapat beasiswa yaaaa harapan ya kayak udah tenggelam gitu. Masih bisa diusahain memang tapi effort-nya lebih banyak lagi. Apalagi mereka gak punya uang untuk ikut ini-itu, untuk memperkuat diri, malah struggle ekonomi keluarga. Sibuk khawatir sama hal-hal lain yang seharusnya menjadi tanggung jawab orang dewasa. Mau bilang gak adil ke Allah juga rasanya sempit dan dangkal banget. Masa hanya karena hal yang mungkin menurut orang lain itu kecil padahal ini adalah persoalan masa depannya?" Farras mengangguk-angguk. "Gue aja nih, Ras, kalo bisa ngumpulin uang banyak, aku pengen buka beasiswa sebesar-besarnya untuk mereka yang mau sekolah dan benar-benar tidak mampu. Uang kuliah kan gak sedikit apalagi yang kuliah di luar negeri. Kebanyakan yang mendapat akses itu adalah anak-anak yang berada. Yang tidak berada? Struggle banget. Jumlahnya mungkin gak sebanding dengan mereka yang kaya. Padahal pendidikan itu harusnya merata. Bukan hanya untuk kalangan yang mampu saja yang bisa menikmati tempat belajar yang berkualitas tinggi. Coba deh lo lihat sekolah-sekolah internasional di Jakarta. Ya memang ada beberapa yang menawarkan beasiswa. Tapi seberapa bandingannya?" "Terus lo kepikiran untuk--" "Membuat sekolah dengan kualitas yang gak kalah bagusnya dan isinya benar-benar hanya mereka yang kurang beruntung. Kadang kan banyak yang orangtuanya mampu tapi anehnya anaknya sekolah dengan beasiswa." Farras tertawa. Itu bukan hal tabu lagi. Dan tawa Farras itu membuat Zakiya tersadar akan di mana keberadaannya saat ini. Ia sedang duduk di samping lelaki yang pernah dibuat patah hati. "Puas tidurnya?" Zakiya terkekeh. Ia tak sadar kalau tertidur. Ia mengira hanya sekedar mengingat kenangan lalu yang pernah ada saja. "Bang," panggilnya. Andra hanya berdeham. Ia tampak serius dengan setiran mobilnya yang mencoba melibas jalanan Jakarta yang seperti biasa, sangat padat di pagi hari begini. Mana jarak dari rumah ke bandara lumayan jauh. Belum lagi, ia harus langsung ke kantor setelah ini. "Menurut Abang, kita ini punya privilege gak sih?" Andra langsung mengangguk. Ia tak bisa menyangkal itu. "Privilege sebagai anak yang lebih beruntung." "Karena punya orang tua yang mapan?" Andra mengangguk-angguk. "Maka itu, Abang mau lepas dari itu dan memulai semuanya dari nol." Zakiya tersenyum kecil. Abangnya berusaha sendiri saat mencari kerja. Alih-alih meneruskan perusahaan Papanya. Aneh? Andra hanya berpikir kalau itu bukan haknya. Itu adalah milik Papanya dan hasil kerja keras sendiri. Papanya juga membangun bisnis itu dari nol. Itu pula yang diajarkan kembali pada Andra. Sehingga Andra paham akan makna dari berusaha dan kerja keras. Semuanya memang tidak ada yang mudah dan cepat. Semua butuh waktu dan proses. "Makanya Abang suka tersinggung kalo ada sepupu kita malah ngomong begini waktu Abang ngasih duit. 'Kok cuma segini?' Emangnya dikira Abang ngepet? Bisa ngasih banyak? Nyari duit gak ada yang gampang." Zakiya terbahak. Ia juga sering mendapat ucapan semacam itu. Mereka tak tahu saja, tabungannya juga tak seberapa. Mungkin berbeda dengan yang lain. "Orang-orang kayak gitu, gak pernah tahu bagaimana kita bekerja keras. Ngorbanin banyak waktu untuk masa depan yang lebih cerah." Andra mengangguk-angguk. Ia juga setuju dengan ucapan itu. Tak lama, mobilnya memasuki kawasan bandara. Zakiya segera menyiapkan diri karena mobil Andra tak bisa berhenti lama. Begitu tiba di depan salah satu pintu, Zakiya pamit padanya. Ia juga berpesan agar Andra berhati-hati di jalan. Zakiya menunggu. Dua puluh menit kemudian, Rangga muncul dari kejauhan. Zakiya yang tadinya semangat melambaikan tangan mendadak menurunkan tangannya begitu melihat Rangga muncul tak sendirian. @@@ Catatan : Bodor : lawak, ngelucu
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD