"Mas udah sampe parkiran nih," tuturnya lantas mematikan telepon begitu Humaira mengiyakannya. Tak lama, gadis itu keluar dari sebuah restoran cepat saji. Mata Rangga memincing karena adiknya tak keluar sendirian. Ada lelaki lain yang sangat ia kenal karena sering bertemu saat ada demo. Lelaki itu juga mengikuti Humaira hingga Humaira membuka pintu mobil. Rangga menurunkan kaca mobil saat lelaki itu menghampirinya.
"Apa kabar, Gha?"
Ia tersenyum tipis. Keduanya bersalaman. "Alhamdulillah, baik, Bang. Maaf ya, Bang, tadi ajak Humaira di dalam. Biasa lah urusan BEM," tukasnya yang membuat Rangga ber-aha ria. Ucapan ini mengingatkan Rangga pada Hanafi. Karena Hanafi juga pasti akan mengatakan hal yang sama kalau ia mengajak Humaira berbicara hanya berdua. Selama mengenal Agha, Rangga tahu kalau anak ini sopan.
"Ya udah. Kita balik ya kalau begitu," pamitnya yang dibalas anggukan oleh Agha dan senyuman tipisnya. "Kamu gak pernah cerita kalau deket sama Agha juga."
Ia langsung berkomentar seperti itu disaat Humaira baru saja menyandarkan punggungnya. "Ya ampun, Mas. Cuma kenal gitu doang. Dia lagi minta tolong."
Ooh. Rangga mengangguk-angguk. "Minta tolong apa?"
"Untuk gabung sama tim kampanyenya buat BEM universitas."
"Nyalon dia?"
Humaira mengangguk-angguk.
"Hanafi gak nyalon?"
Ia menggeleng. "Andros yang nyalon."
"Bareng sama Agha?"
"Enggak lah. Jadi saingan."
Rangga tertawa. "Bingung dong pilih siapa."
"Gitu deh," tuturnya. Meski tadi ia sudah memberikan jawaban.
"Anaknya baik, sopan, dan pinter juga."
"Mas kenal juga?"
"Iya lah. Tampang kayak gitu selalu menarik perhatian banyak cewek."
"Mas kan cowok."
Rangga terpingkal. "Maksudnya sering diobrolin sama cewek-cewek. Mas jadi tahu."
"Anak-anak LSM Mas juga sering gosipin gitu?"
Rangga terkekeh lagi. "Biasa lah. Yang namanya perempuan mau usianya berapa juga." Rangga menghela nafas. "Mas kira si Hanafi yang bakal nyalon. Dia punya potensi kan."
Humaira justru sedih mendengarnya. Ia melirik ke arah jendela. Tak begitu menanggapi obrolan Masnya tentang Hanafi.
"Tumben Mas ngomongin Hanafi, kamu gak nanggepin. Lagi berantem? Atau ada yang cemburu?" ledeknya. Hahaha. Humaira kan akan bete kalau cemburu dengan beberapa perempuan yang jelas naksir Hanafi. Dulu ada tapi setelah mendengar kabar kalau Hanafi menolaknya, ia jadi tenang. Lagi pula hubungan seperti pacaran itu bukan tipe Hanafi.
"Hanafi mau pergi, Mas," tukasnya. Jujur. Rangga menoleh. Tak paham dengan konteks pergi yang dimaksud oleh adiknya ini.
"Pergi?"
Ia mengangguk-angguk. Wajahnya sama sekali tak bisa menyembunyikan kesedihan yang terpancar. Meski ia berusaha untuk tetap ceria.
"Hanafi mau tinggal di Barca sama ibunya dan Hanan."
"Kenapa?"
"Kan ibunya kerja di sana."
"Ooh. Bukannya masih kuliah?"
"Hanafi udah mau sidang."
Aaaaah. Rangga mengangguk-angguk. Lantas tersenyum kecil. Ia meraup wajah adiknya dengan telapak tangannya yang besar hingga membuat Humaira berteriak.
"Masih ada Mas loh. Muka sampe jelek begitu cuma gara-gara Hanafi."
Humaira mendengus. Persoalannya jelas akan begitu.
"Ditinggal dong sama Hanafi!" oloknya yang malah membuat hati Humaira jadi panas. Hahahaa. Kemudian Rangga terbahak melihat adiknya sukses memelototinya.
"Mas jahat ih!"
Rangga terbahak lagi. "Yang namanya pertemuan pasti ada perpisahan, Mai. Lagi pula kan Mas juga udah pernah bilang, kalian itu masih sama-sama muda. Urusan jodoh masih panjang dan lama."
Ia mengerucutkan bibirnya.
"Dia gak ngasih kepastian atau apapun kan?"
Humaira menggeleng lemah.
"Itu artinya ia menyerahkan semuanya pada Yang Di Atas, Mai. Atau dia pengen fokus mengejar impiannya di sana. Itu juga bisa. Tapi gak ada jaminan akan balik lagi ke sini dan mengejar kamu."
Humaira menghela nafas. "Mai juga tahu kok kalau gak ada yang pasti. Mai juga gak mau berharap untuk hal semacam itu, Mas. Berharap kalau gak sesuai ekspektasi cuma bikin terluka. Lagi pula, dia juga belum tentu jadi jodohnya Mai."
"Itu tauk!"
Ia mendengus. Entah kenapa, meski menerima, ia tetap sebal dengan kenyataan yang sama sekali tak berpihak padanya ini. Ya namanya juga urusan hati kan di mana-mana pelik ya.
"Mas sama Mbak Kiya yang deket aja gak ada jaminan!"
Rangga terkekeh. Ia kalah kalau Humaira sudah membawa Zakiya ke dalam ranah pembicaraan ini. Yang namanya hidup memang tak ada yang pasti. Rangga tahu itu.
"Tapi ya setidaknya Mas bisa perjuangkan Mbak Kiya. Kalo emang serius gitu loh. Ndak usah nunggu-nunggu ini-itu."
"Kiya juga lagi fokus sama tesisnya, Mai."
"Tapi Mas kan gak ada kefokusan lain kecuali pekerjaan. Itu juga bisa sambil jalan. Beda kan sama Maira dan Hanafi. Mai masih harus fokus sama kuliah Mai terus masa depan Mai setelah kuliah. Hanafi juga sama. Kita itu seperti yang Mas bilang tadi, perjalanannya masih sangat panjang. Lah Mas?"
Rangga menyentil kepalanya karena gemas dengan ucapan kritisnya itu.
"Bisa aja kamu ya!"
Humaira terkekeh. "Wooo iya doong! Adiknya Mas Rangga kan?" oloknya kemudian tertawa bersama Rangga.
@@@
"Dari informasi baru yang didapatkan, PT Hijau Lingkungan ini belum mengantongi izin dari Kementerian Lingkungan Hidup perihal pemanfaatan limbah B3 itu dan juga diduga menyimpan lumpur dari kerjasama dengan perusahaan lain."
Syamsul mengangguk-angguk. Mereka sedang berdiskusi penting mengenai hal ini. Zakiya muncul di pintu ruang rapat dengan ngos-ngosan. Ia sejujurnya kurang tidur karena sibuk menyelesaikan proposalnya. Baru tidur usai Subuh malah bablas. Makanya terburu-buru datang ke sini. Syamsul, Lona, dan Indra masih melanjutkan diskusi sekalipun Zakuya sudah duduk bergabung. Gadis itu masih sibuk mengatur nafasnya.
"Ada tujuh bangunan yang penuh dengan gunungan material limbah."
"Perusahaan mana?"
"Induk perusahaannya, Kang, Paling Merakyat."
Syamsul terkekeh. Ia merasa lucu dengan nama perusahaannya. Paling merakyat tapi zalim terhadap rakyat.
"Ada saksi juga yang menyatakan kalau timbunan limbah itu bisa dilihat dari jalanan di dekatnya. Karena hanya ada tiang penyangga beserta atap terbuat dari aluminium foil. Sebagian bangunan masih terbuka tanpa dinding. Dari penelusuran lain juga menyebutkan kalau ada perusahaan lain yabg masih satu grup dengan Paling Merakyat, namanya PT Abadi Jaya. Jaraknya dengan PT Paling Merakyat sekitar satu kilometer ke arah selatan. Tak jauh dari sungainya. Yang ini kasusnya juga sama, Kang. Perusahaan yang juga baru mengantongi pengesahan dari Kemenkum HAM ini juga tercatat sebagai pengelola limbah B3. Setali tiga uang, pabrik yang dilengkapi dua cerobong ini juga belum mengantongi izin pemanfaatan limbah B3 dari kementerian lingkungan. Lalu pernah juga ditelusuri sampai ke pusat perizinan satu atap kementerian lingkungan, gak ada dokumen izin kedua perusahaan ini. Aneh kan?"
"Balai Lingkungan Hidup Jawa Timur ketika ditanya soal legalitas izin pemanfaatan B3 kedua perusahaan ini malah mengaku tak tahu menahu," tambah Indra yang juga turut membaca berkas yang mereka dapatkan.
"Alih-alih izin pemanfaatan, otoritas yang berhak mengawasi tata kelola lingkungan itu juga tak mengetahui perihal status perusahaan yang ternyata berada di bawah satu bendera dengan PT Paling Merakyat ini. Ganjil sekali."
Kang Syamsul mengangguk-angguk. "Belum ada izin operasional tapi sudah jalan. Langkah yang terlalu berani."
"Kalau menurung, Kang Syamsul, ada kemungkinan main sama pejabat daerah?"
Zakiya langsung melontarkan pertanyaan itu. Kang Syamsul menjentikan jari.
"Informasi dari Kepala Penegakan Hukum Sesi II kementerian lingkungan di Surabaya, mengatakan, sebelumnya mereka tidak bisa mengambil tindakan lantaran kasus sudah sempat ditangani Polres setempat."
"Sementara nih," tutur Rangga. Cowok itu baru muncul. Ia membawa segudang informasi. "Dari salah satu media massa di sana, biasa lah."
Timnya mengangguk-angguk.
"Juru bicara perusahaan menepis tudingan itu. Namun sampai saat ini belum ada negosiasi antara masyarakat dengan perusahaan. Karena pihak perusahaan menolak. Sementara itu, berjuang ke kementrian hanya menemukan harapan kosong," jelasnya. "Soap tuduhan penimbunan limbah di sungai itu, mereka bilang kalau sebelumnya perusahaan mendapat surat permohonan dari pemerintah desa setempat. Isinya, meminta bantuan pengurukan tanggul sungai yang acapkali longsor saat musim hujan tiba. Permintaan itu pun mereka respon dengan mengirim beton bis untuk penahan tanggul. Selain itu, beberapa alat berat dan kendaraan lain juga dikerahkan untuk membantu penguatan tanggul. Nah ini yang bikin masyarakat bentrok sama mereka sampai kepolisian turun."
Aaaaah. Lona mengangguk-angguk. "Berarti ada kemungkinan perangajt desa juga bekerja sama dengan perusahaan?"
"Sudah pasti, Lon. Hal-hal semacam ini kan sudah lumrah. Juru bicaranya juga membaut konferensi pers di media massa untuk membantah tuduhan masyarakat dan LSM setempat yang mengatakan kalau mereka belum berizin. Katanya, ketiga perusahaan itu sudah berizin. PT Paling Merakyat sebagai pengumpul limbah B3 sementara PT Hijau Lingkungan sebagai penanfaat."
"Tapi daru pengawas Perlindungan dan Penataan Lingkungan Hidup (PPLH) setempat malah bilang belum ada izinnya untuk kedua perusahaannya, Mas. Yang bener yang mana?"
"Masa kamu masih nanya soal beginian, Lon?"
Lona tertawa. Ia merasa bingung tapi merasa lucu juga. "Nanti Lona verifikasi aja langsung di sana, Mas."
Rangga mengangguk-angguk. Ia setuju dengan ide itu.
"Sebetulnya ada beberapa kasus juga, Mas. Perihalnya juga sama tapi pelakunya berbeda. Masih di dalam satu grup yang sama. PT Tenang Jaya ini juga membuang limbah di lahan terbuka (open dumping) di sebuah lokasi bekas tambang di desa lain yang ada di Lamongan juga. Kejadiannya malam terus diketahui oleh warga dan dilaporkan juga ke pihak kepolisian. Atas laporan itu, polisi menyegel tiga dump truck yang tertangkap basah membuang limbah. Dari hasil penyidikan juga terungkap, bila limbah beracun dari sludge kertas itu seharusnya dikirim ke Karawang, Jawa Barat. Namun, oleh perusahaan tersebut, justru dibuang di lahan terbuka bekas galian C (pasir dan batu). Polisi hanya menetapkan ketiga sopir sebagai tersangka dari kasus ini. Manajemen perusahaan tak tersentuh. Hingga kini, kasus masih dalam penyidikan petugas."
"Gak adil kalo cuma supir."
"Di mana-mana kasus kayak gini memang begini kan. Yang ditangkap paking tinggi cuma sampe level pelaksana. Gak sampe atasannya. Harusnya ini sampai manajer, minimal. Karena supir gak mungkin inisiatif sendiri buang beginian kan?"
Rangga mengangguk-angguk. Lalu kepalanya menoleh ke arah pintu, Revan muncul. "Mas, ada yang nyariin!" tukasnya dengan senyuman girang. Zakiya geleng-geleng kepala. Sudah tahu kalau arti dibalik senyuman itu adalah baru saja ketemu cewek cantik. Rangga pamit ke bawah sementara mereka masih menyusun investigasi eksklusif. Akhirnya, mereka menetapkan kasus ini untuk diinvestigasi secara utuh. Juga kasus penggelapan pajak yang akan ditangani Zakiya secara langsung. Sejujurnya, itu juga berat dan terdengar sangat mengerikan.
"Jadi nanti Lona berangkat ke masyarakat aja. Temui kepala aksinya. Jangan perangkat desa."
"Cuma nih, Kang, yang Lona dapatkan kabar di sana itu agak susah masuk. Karena dihalangi aparat juga perangkat desa."
"Nanti nyamar aja. Yang penting cari kontak salah satu masyarakat desa yang mau diajak kerja sama. Kita kan mau bantu liput ini biar tak sepi dari pemberitaan. Masyarakat malah fokus pada hal lain padahal ini juga penting karena menyangkut hak asasi manusia juga. Hak untuk hidup dan hak untuk sehat juga kan bagian dari hak asasi manusia."
Lona mengangguk-angguk. Kang Syamsul menoleh ke arah Indra.
"Lo, Dra, temui dulu kepala LSM atau siapapun yang ikut menangani kasus itu di sana. Kita butuh informasi banyak. Setelah itu terserah kalian pembagiannya gimana. Yang penting harus sampai di Surabaya. Gue tunggu di sana," tuturnya. Ia yang kebagian mengurusi persoalan sisanya entah di gedung DPR provinsi atau instansi lingkungan setempat. "Sekarang siapin secepatnya yang diperlukan untuk di sana. Kita sama-sama ketemu di stasiun Senen nanti malam."
Mereka akan segera berangkat. Zakiya hanya menyimak saja karena ia kebagian tugas yang lain. Saat Lona, Indra, dan Kang Syamsul bubar, ia juga ikut bubar.
Sementara itu, di lantai bawah, Rangga tampak sedang berdiskusi dengan perempuan. Cantik. Rambutnya lurus tapi bergelombang. Hitam manis. Ayu. Yaa khas gadis manis dari Jogja. Wajahnya juga tak tampak asing. Setelah mengamati dengan detil, Zakiya akhirnya tahu kalau itu adalah salah satu jurnalis terkenal. Kemudian ia juga menyadari kalau kedua orang iru dari almamater yang sama. Tak mungkin tak saling mengenal apalagi lingkup pekerjaan mereka ya begini. Terlihat kecil tapi ketika di lapangan ya bertemu dengan orang-orang itu saja.
"Cemburu?"
Revan meledeknya begitu ia membalik badan. Tak jadi turun dan malah hendak berjalan ke ruangan lain. Ia hanya menggelengkan kepala dengan santai. Tak menanggapi ucapan Revan. Sementara Rangga malah sedang sangat fokus mendengarkan.
"Kalau dari informasinya, ada 52 rumah yang tertimbun limbah. Mereka bayar murah. Warga gak tahu karena mikirnya dapat duit kan."
Rangga mengangguk-angguk. Semakin paham dengan bagaimana kasus ini bisa terjadi. "Mereka memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat. Itu lebih parah lagi berarti."
Shinta menjentikan jari. "Mereka sudah pernah gugat sekali. Yang digugat bukan hanya perusahaan tapi juga kementerian lingkungan namun di tengah jalan, gugatan dicabut tanpa alasan jelas."
"Yang nyabut?"
"Penegak hukum. Kemungkinan besar karena argumen salah satu pegawai kementerian yang waktu itu mengatakan kalau tidak ada korelasinya penyakit gatal-gatal yang dialami warga dengan pencemaran limbah itu. Setelah itu, sekitar 15 warga menggelar unjuk rasa di depan pabrik. Dalam aksi, warga menuding pabrik pengolah limbah itu mencemari lingkungan sekitar dan menyebabkan warga sakit. Warga juga mengajukan gugatan menolak izin perluasan lahan pabrik yang dikeluarkan bupati setempat. Protes tak hanya aksi di jalanan juga gugatan ke pengadilan. Mereka juga mengajugat banding tapi ditolak pengadilan. Beberapa ahli hukum juga sudah menilai kalau ada sejumlah kejanggalan dalam putusan pengadilan yang mementahkan gugatan warga. Pertama, gugatan itu bukan dalam konteks pencemaran oleh perusahaan yang bersangkutan tetapi kegiatan penimbunan limbah. Dalam putusan, majelis hakim mendasarkan pada pelanggaran pencemaran. Padahal, selama proses persidangan berlangsung, semua keterangan saksi dan bukti membuktikan ada penimbunan oleh perusahaan cukup kuat. Terutama saksi dari eks karyawan perusahaan. Keputusan hakim yang tak mengabulkan gugatan warga juga dirasa aneh. Karena yang mereka gugat itu bukan pelanggaran pencemaran lingkungan hidup, tapi penimbunan limbah B3 oleh perusahaan. Termasuk di rumah warga yang jumlahnya mencapai 52 titik. Selain itu, selama proses persidangan, majelis hakim tidak menggunakan peraturan Mahkamah Agung (MA) Nomor 36/2013 tentang Pedoman Penanganan Pemeriksaan Lingkungan Hidup. Harusnya itu dijadikan sebagai pedoman pemeriksaan saat persidangan berlangsung. Dan lagi potensi kerugian saja itu sudah bisa diproses di pengadilan. Dari segi hukum begitu.”
"Sistem hukumnya bagaimana?"
"Untuk kasus seperti ini harusnya tanpa pembuktian kesalahan sudah bisa diajukan gugatan karena sudah merugikan lingkungan maupun masyarakat. Tapi putusan pengadilan malah mementahkan gugatan warga dengan mengatakan kalau tudingan pencemaran tak terbukti. Jadi ada penyalahgunaan wewenang dan hukum juga kalau kita lihat dari sini, Mas."
Rangga mengangguk-angguk. Wawasan gadis ini memang selalu membuatnya kagum.
@@@
"Kirain udah pulang," tuturnya. Mengingat ini sudah jam tiga sore. Ya memang belum jam pulang dan tidak ada ketentuan jam kerja juga di sini. Rangga memang membebaskan hal itu. Niatnya adalah biar sama-sama senang bekerja di sini agar tetap bisa bertanggung jawab akan amanah yang dipegang. Sekalipun ini bukan perusahaan yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan, tapi mereka bekerja sepenuh hati dnehan nurani semata-mata untuk membantu rakyat yang mungkin awam dalam berbagai permasalahan di dalam negara. Mereka sebagai orang yang tahu keilmuannya dan punya nurani memilih untuk berkecimpung. "Gak pulang aja, Kiya? Besok kan mau ke Singapore. Biar bisa istirahat."
Ia juga berencana untuk pulang namun perlu mampir ke suatu tempat. Dan nya ah sepertinya hanya bisa beristirahat selama beberapa jam.
"Bentar lagi deh, Mas. Lagi nanggung," tukasnya. Ia sedang menyelesaikan urusan untuk besok. Persiapan semua hal yang diperlukan, berbagai pertanyaan dan ia juga perlu mempelajari kasusnya.
"Ya udah, nanti pulang ya?"
Zakiya mengangguk. Ia masih sangat fokus pada laptopnya. Rangga tersenyum kecil. Lelaki itu pamit pulang duluan kemudian mengemudikan mobilnya. Ia mengendarainya menuju sebuah hotel dan bertemu dengan seseorang di salah satu restorannya. Ia beranjak dari kursi begitu orang itu tiba. Siapa? Tentu saja ibu kandungnya.
"Kok mendadak bilangnya?"
"Ya namanya juga kerjaan. Kamu sendiri kan?"
Rangga hanya tersenyum kecil. Ibunya memang sangat sibuk. Bekerja sebagai salah satu anggota DPR provinsi di Yogyakarta. Ayahnya hanya pengusaha biasa. Bukan yang kaya sekali. Tapi keluarga ibunya sangat terpandang. Rangga justru berlari ke Jakarta karena tak mau hidup di bawah bayang-bayang kesuksesan kedua orangtuanya. Ia ingin berhasil dengan caranya sendiri.
"Ayahmu itu keras kepala sekali," ia mulai curhat dan menceritakan segala yang terjadi di rumah semenjak ia dan Humaira lebih banyak di Jakarta. Humaira juga enggan pulang kecuali ia pulang atau diminta ayah mereka untuk pulang.
Keluarganya memang tak sempurna. Ibunya sibuk. Ayahnya juga. Tapi setidaknya, ayahnya masih mengayomi. Lelaki itu terkadang mengurusnya dan Humaira dari sejak kecil dulu. Waktunya lebih banyak dihabiskan bersama ayahnya ketimbang ibunya yang memang sudah sibuk dalam banyak hal.
"Ibu akan menginap di sini? Gak di rumah aja. Kan kamar ibu sama ayah kosong di rumah."
"Terus kamu suruh Ibu ngeliat anak itu?"
Ia langsung jengkel. Tabu menyebut Humaira dalam pembicaraan ini. Rangga tak menyahut. Ia tahu benar bagaimana ibunya benci sekali ada Humaira sejak bayi mungkin ya datang di usia enam bulan ke rumah mereka untuk pertama kali. Kejadian pahit yang memilukan memang. Tapi Rangga sudah menerima hal itu. Berbeda dengan ibunya yang bahkan semakin benci pada Humaira. Itu juga yang sebetulnya membuat Humaira tak betah di rumah. Ia tahu bagaimana sedihnya perasaan Humaira. Walau gadis itu tak pernah mengeluh. Namun Rangga sering mendengar kalau Humaira sangat rindu pelukan hangat seorang ibu atau kasih sayang dari seorang ibu yang tak pernah bisa ia dapatkan.
"Sampai kapan pun, Ibu gak akan mau lihat dia lagi. Sekalipun ayahmu sujud di kaki ibu! Enak aja!"
Rangga mengelus punggungnya. Mencoba menenangkan emosinya. Tak enak hati didengar oleh pengunjung lain. Mana ibunya juga dikenal banyak orang. Takut ada gosip macam-macam yang mengancam kredibilitasnya sendiri.
"Kamu lagi. Ngapain coba di sini? Ibu bisa bantu kamu banyak hal di Jogja sana."
Ia hanya menghela nafas. Justru ia sangat menghindari hal itu.
"Kalau ayahmu, mana bisa bantu kamu ini-itu. Hutangnya saja menumpuk dan dia kewalahan membayarnya. Tunggu waktunya bangkrut itu perusahaan. Ibu gak akan mau nanggung sampai dia buang anak itu."
"Bu!"
Ia terpaksa meninggikan suaranya.
"Kamu tahu kan gimana sakit hatinya ibu tiap melihat anak itu?"
Matanya sampai memerah bukan karena ingin menangis tapi karena emosi.
"Kamu tahu kan perasaan ibu, Rangga? Kamu jangan sekali-kali berpihak pada ayahmu soal ini."
Ia hanya menarik nafas dalam. Masih mencoba menenangkan. Pikiran ibunya memang kerap kabur kalau urusannya menyangkut masa lalu yang tak pernah mereka harapkan untuk terjadi. Usai menenangkan ibunya, ia mengantar perempuan itu ke kamarnya. Baru kemudian keluar dari sana dan beranjak pulang. Ia mengusap wajahnya dengan beban berat yang kian lama memang semakin berat untuk ditanggung sendirian. Ayahnya menitipkan Humaira padanya selama berada di sini. Ayahnya juga ingin Humaira bisa meraih mimpinya tanpa harus tersiksa batin dengan segala ucapan istrinya. Sementara Rangga memang sangat tulus menyayanginya meski mereka berbeda ibu. Ini juga yang menjadikan alasan baginya kenapa ia masih menetap di sini bersama Humaira. Ia memang ingin menjaga Humaira sampai menyelesaikan kuliah dan mendapatkan pekerjaan yang layak. Ayahnya sangat menyayangi Humaira karena sejak dulu memang sangat ingin anak perempuan. Namun ibunya tak bisa memberikannya karena rahimnya harus diangkat. Entah apa yang terjadi, Rangga tak ingin menggali masa lalu itu.
Sementara itu, di kejauhan sana, ada seseorang yang baru saja menyimak segalanya. Seseorang yang seharusnya tidak perlu tahu itu.
@@@