Atas Nama Nurani

2957 Words
Gara-gara bertemu dengan Farras tadi, ia jadi berpikir tentang menikah. Yeah, jomblo memang sangat menghindari topik itu apalagi kalau dalam bentuk pertanyaan. Beruntungnya, keluarga besarnya tak pernah usil menanyakan hal itu. Herannya, perempuan lebih sering mendapat pertanyaan itu. Bahkan pertanyaan itu lebih banyak dilontarkan okeh sesama perempuan. Dengan maksud apa? Ya mungkin niatnya memang bertanya. Tapi tidak semua orang bisa santai menyikapinya. Kadang kan yang namanya suasana hati itu tak ada yang tahu. Zakiya menghela nafas. Ia berusaha mengumpulkan sisa-sisa kefokusannya untuk bergerak keluar dari mobil. Menghadapi kasus baru yang masih asing untuknya. Ia berjalan menuju gedung KPK, berharap bisa mendapat konfirmasi dari sana tentang kasus pajak ini. Sebelum memutuskan untuk bertemu klien, ia perlu mengkonfirmasi kasus ini apakah valid atau kah tidak. Zakiya menyebut salah satu nama petugas KPK yang ia percayai untuk menanyakan kasus ini. Asal tahu saja, tak semua petugas KPK bisa dipercaya. Jadi ia harus mencari orang yang punya integritas pada Tuhan bukan pada atasan. Ini jelas persoalan tak mudah. Tapi karena ia sudah sering ke sini, ia jadi tahu mana yang punya dedikasi akan nurani dan yang hanya butuh uang. "Oh! Kiya!" Zakiya tersenyum. Salah satu wakil ketua KPK yang usianya masih cukup muda bernama Febriansyah lah yang ia temui. Dulu, Zakiya pernah menghadiri salah satu seminar dengan lelaki ini yang menjadi narasumbernya. Zakiya kemudian menghampirinya untuk bertanya banyak hal dan sampai sekarang masih berhubungan. "Dengar-dengar ada laporan penghindaran p********n pajak oleh beberapa perusahaan yang berada di bawah naungan grup yang sama." Ia langsung melempar issue itu begitu dipersilahkan masuk ke ruangannya dan duduk di depannya. Keningnya mengerut. "Ada banyak kasus pajak yang akhir-akhir ini masuk, Kiya. Yang mana maksudmu?" "Perusahaan yang sangat besar dan terkenal. Yang memiliki banyak afiliasi dan tentunya berbagai program beasiswa untuk mahasiswa berprestasi di kampus-kampus ternama." Ia terkekeh. "Itu sudah kasus tahun lalu, Kiya." "Tapi sepertinya ada yang terlewat." Ia menghela nafas. "Kamu tahu lah, Kiya. Bagaimana kehidupan kami di KPK. Pergerakannya tergantung penguasa. Apalagi kan lembaga kami ini sudah tak independen. Ditekan sana-sini. Kasus tebang pilih. Secara kuantitas masih banyak tapi hanya bisa memecahkan yang kecil-kecil. Yang besar-besar seperti itu masih sulit dijangkau. Ada saja hambatan yang mereka kirimkan agar kasus ini berhenti atau terbengkalai begitu saja. Bukan satu-dua petugas KPK yang mati terbunuh secara tragis karena berusaha menyingkap tabir kebenaran." "Tapi bukan berarti gak mungkin kan, Pak?" Ia terkekeh. "Terus terang, ketika ada suatu kasus, KPK tidak pernah mengambil keuntungan darinya secara tim." "Secara individu iya kan?" Ia tertawa lagi. "Tergantung atasan, Kiya. Kamu tahu kan?" Ia agak was-was kalau membicarakannya di sini. "Nanti siang, ada acara, Kiya?" Zakiya tersenyum tipis. Tentu paham. Ia segera kabur usai wawancara singkat yang jelas melenceng dari tujuannya. Kemudian menunggu di sebuah pecel sayuran yang lumayan jauh loaksinya dari kantor KPK. Yang terhindar dari berbagai sudut CCTV. Di sebuah warung pinggir jalan yang hanya ditutupi kain spanduk seadanya. Jalanannya juga agak sepi. Zakiya memarkirkan mobilnya cukup jauh. Begitu juga dengan Febri. Ia menghela nafas sebelum duduk di depan Zakiya. "Kalau atasan bermasalah sejak awal pemilihannya, bukan kah akan berbahaya dengan tim yang dibawanya? Bagaimana mungkin seseorang yang memiliki track record buruk terpilih untuk mengentaskan korupsi?" "Kecuali kalau sudah tobat. Tapi kalau tobat, seharusnya tak akan berani menjabat. Malu lah sama Tuhan." Lelaki itu tersenyum tipis. "Begitu lah, Kiya. Di sini, urusan nafsu menjadi Tuhan." Zakiya mengangguk-angguk. "Soal kasus pajak yang kamu tanyakan itu, itu dibantah oleh Ditjen Pajak." Zakiya mengangguk-angguk. "Aku sudah mendengarnya, Pak. Mereka mengklaim kalau tidak ada penggelapan. Berarti kemungkinan besar mereka juga bekerja sama kan?" "Mirisnya memang begitu." Lalu ia berdeham. Tak mungkin Zakiya datang padnaya tanpa motif kan? Jadi pasti ada urusan. "Ada apa tiba-tiba bertanya kasus itu?" "Kiya punya narasumber terpercaya untuk kasus itu. Dia ingin membongkarnya atas nama nurani dan pengakuan dosa." Zakiya berdeham. "Orang yang berani mengakui kesalahannya itu patut dihargai." "Siapa sumbernya?" "Kiya mau tanya dulu. Apa ada kemungkinan kasus ini diangkat lagi?" "Kalau ada bukti, bisa diproses, Kiya. Tapi orang itu harus betul-betul dilindungi. Ia bisa dijadikan tumbal oleh perusahaan." Zakiya mengangguk-angguk. Sangat paham permainan kotor seperti ini. Bagi yang sering melakukannya memang bukan hal yang tabu. "Kalau kasusnya mencuat, berapa banyak uang yang bisa masuk ke kas negara?" "Triliunan mungkin. Seharusnya seperti itu." Zakiya mengangguk-angguk. "Seharusnya yang seperti ini yang dikejar pemerintah. Bukannya terus mencekik rakyat kecil. Bayangkan kehidupan Indonesia sekian tahun semakin menyedihkan akibat salah kepemimpinan dan juga pengorganisasian dalam kelembagaannya. Tanpa rencana yang baik, mana bisa tercapai sebuah tujuan?" "Kamu bisa menilai sendiri lah." Zakiya mengangguk-angguk. "Ada hal lain lagi?" "Untuk sementara ini saja, Pak. Kiya harap pertemuan tadi terhapus dari CCTV." Febri tertawa mendengarnya. "Karena kamu datang atas nama jurnalis akan aman." "Lalu pertemuan di sini bagainana, Pak?" Ia terkekeh. "Kalau tidak aman, aku tidak akan menemuimu di sini, Kiya. Apapaun yang berhubungan dnegan petugas KPK akan sangat berbahaya bagi masyarakat sipil." Ia mengangguk-angguk. "Keluargamu bagaimana di kampung, Pak?" "Hanya bisa berdoa, Kiya. Nasib memperjuangkan nurani ya begini. Hidup tak tenang tapi tak apa. Asal akhiratnya bahagia." "Amiiin!" Ia mengaminkan dengan kencang. Lelaki itu terkekeh. Zakiya pamit usai ditraktir makan siang. Ia segera bergegas menuju kantor Rangga. Setidaknya ia membawa akabar berita yang baik sehingga mereka sudah pasti akan berangkat ke Singapore dalam waktu dekat untuk menemui informan itu. "Halo? Gimana Lon?" Keningnya mengerut. Ponselnya tiba-tiba berdering dan muncul nama Lona. Ia baru saja menyalakan mesin mobilnya. Rencana hati akan ke kantor Rangga untuk mendiskusikan hal ini sembari mengerjakan proposalnya. Aaah ia hampir melupakan hal yang satu itu. "Parah banget! Gue diusir! Gak ada yang mau ketemu sama gue!" Zakiya tertawa. Ia sudah menduganya. "Bahkan tadi gue dituduh-tuduh. Ada yang nunggangin ya? Ada yang bayarin? Gue iyain aja. Terus ditanya siapa dalangnya? Gua bilang aja kalo nurani yang bawa gue ke sini terus mereka malah ngusir gue." Zakiya terbahak. "Gila ya mereka itu! Belagu banget! Orang gue juga yang gaji. Kan pegawai pemerintah yang gaji itu pajak rakyat! Heraaaan!" Zakiya tersenyum kecil. Ia bisa membayangkan betapa kesalnya Lona. "Ya nanti mereka juga dapat balasannya, Lon. Sesuatu yang terjadi di dunia akan ada balasannya kok. Tenang aja. Tuhan tidak tidur." Ia meringis di seberang sana. "Iya sih. Eh elo udah selesai dari KPK atau lagi di sana?" "Baru selesai sih." Ia mengangguk-angguk. "Ya udah gue tutup deh. Bilangin Mas Rangga, gue makan dulu baru ke kantor." Zakiya mengiyakan lalu telepon itu ditutup. Ia menarik nafas lantas kembali fokus pada setiran mobilnya. @@@ "Mas!" Rangga menoleh. Salah satu jurnalis terkenal yang sangat sering wara-wiri di televisi. Semua orang menoleh ke arahnya. Mungkin kaget dengan kehadirannya di sini. "Oh," Rangga juga sama kagetnya. Perempuan ini satu almamater dengannya dulu. Ah bukan hanya satu almamater tetapi juga satu SMA dan sama-sama orang Yogyakarta. "Ada apa, Shin?" "Kemarin katanya Mas Dewa, Mas Rangga ngontak dia." "Aaah jadi kamu yang turun nih?" Ia tersenyum kecil. "Ndak juga, Mas. Tapi sekalian. Sepertinya penting sekali bukan? Shinta juga punya beberapa urusan di sekitar sini." Rangga mengangguk-angguk. Perempuan ini adik kelasnya di SMA dan juga di kampus. Hanya berbeda satu tahun dan masih jomblo....hihihi. "Ayo masuk dulu kalau begitu." Ia mengangguk-anggukan kepala lalu berjalan mengikuti Rangga menuju lantai dua. Ke ruangannya. "Maira apa kabar, Mas? Aku dengar kemarin dia yang ditampar sama pihak kepolisian. Aku hendak menjenguknya tapi Mas tahu lah." Rangga tersenyum kecil. "Aku paham lah sama kesibukanmu. Gak apa-apa lah, Shin. Mai juga udah baik. Udah balik lagi ke kampus. Seperti biasa." "Oh ya, Mas. Aku kebetulan mau mudik nanti sebentar. Biasa mau ambil cuti panjang." "Mau nikah kamu?" "Hah?" Ia terkaget. Rangga tertawa. Perempuan itu menundukan wajah. Lalu masuk ke dalam ruang Rangga dan duduk di sofa. Rangga mengambil minum dari dispenser dan juga kulkas kecil yang ada di sudut ruangan. Mudah-mudahan masih ada sebotol minuman dingin untuk Shinta. Biasanya kan suka dicuri sama anak-anak LSM. Biasa lah. Hahaha. "Aku tanya, kamu mau menikah?" "Ndak lah, Mas," jawabnya agak gugup. Tapi juga kaget dengan pertanyaan santai itu dari Rangga. "Tak kirain begitu, Shin. Kan mau mudik." Ia tersenyum kecil. "Mas sendiri gimana?" "Belum lah," ia terkekeh. "Tanggung jawabku atas Maira masih panjang. Aku harus mikirin masa depannya dia." Shinta mengangguk-angguk. "Tapi Mai kan udah mau selesai, Mas." "Ya sih. Tapi tetep aja. Dia kan adikku." Shinta tersenyum kecil mendengarnya. "Nih, minumnya. Untung masih ada satu kaleng yang dingin." Shinta terkekeh. Ia mengucapkan terima kasih setelah Rangga menaruhnya di atas meja. Kemudian mereka mulai berdiskusi persoalan kasus pajak yang sedang ditangani. "Aku sebetulnya masih menunggu kabar dari Kiya sama Lona. Mereka yang tadi bernagakt ke KPK sama ke Ditjen Pajak buat mastiin. Soalnya kabar ini kayaknya gak terendus media sama sekali ya?" "Sempet, Mas. Tapi seperti yang Mas bilang tadi kalau kasusnya berhenti seiring keterangan dari Ditjen Pajak yang bilang kalau gak ada penggelapan. Udah banyak yang mencoba mengusut. Beberapa LSM yang bergerak di bidang korupsi juga udah turun. Tapi nihil. Sampai sekarang, kasus itu masih menggantung." Rangga mengangguk-angguk. "Berarti dengan datangnya narasumber dari kami setidaknya akan membuat ini menjadi lebih terang." Shinta menggangguk. "Mas udah cari perlindungan hukum? Karena ya kalo insting Shinta bilangnya, tekanannya akan sangat luar biasa. Bukan hanya pada narasumber ini tapi juga kita yang mencoba mengorek. Sudah banyak aktivis dan juga jurnalis yang peduli akan hal ini terkena kasus yang diada-ada. Gak ada lagi instansi pemerintah yang bisa dipercaya penuh. Karena mereka sendiri malah bekerja sama dengan yang korupsi." "Kalau terbongkar, berarti ini akan menjadi kasus yang sangat rumit sekali." "Resikonya memang begitu, Mas. Tapi kebenaran yang berusaha untuk disembunyikan juga akan terbongkar suatu saat." Rangga menghela nafas. "Kamu benar." Shinta tersenyum kecil. "Jadi kapan kalian akan bertemu narasumbernya?" "Mungkin setelah mendengar kabar dari Kiya nanti baru bisa diputuskan, Shin. Kamu bisa menunggu?" Shinta terkekeh. "Ndak lah, Mas," ia berdiri. "Kalo gitu, nanti hubungi aja ya, Mas?" Rangga mengangguk. Ia mengikuti langkahnya keluar hingga turun ke lantai bawah. "Titip salam untuk Maira, Mas," tuturnya sebelum masuk ke dalam mobil. Rangga tentu saja mengiyakan. Kemudian membalik badan. "Ohooo! Itu yang katanya pernah naksir sama Mas ya?" Teman-temannya meledek. Ia hanya terkekeh saja sambil berjalan kembali ke lantai dua dan masuk ke dalam ruang rapat. Tidak ada rapat penting sebetulnya. Tapi kebanyakan dari mereka memang sibuk bekerja di sana. Ruangannya besar dan tentu saja bisa berkumpul. Sementara itu, Lona baru saja meminta taksi yang membawanya untuk berhenti. Ia melintasi gedung Kementerian Lingkungan dan malah melihat aksi di halamannya. Ia membayar taksi lalu mencoba meminta masuk. Begitu dibukakan pintu kecil khusus pejalan kaki, ia bergerak cepat. Kemudian mengenakan identitasnya sebagai jurnalis. Persoalan ini legal atau tidak nanti akan dibicarakan. Yang jelas ini akan menjadi berita bagus untuk LSM mereka. @@@ Zakiya menghela nafas. Gadis itu mengerjakan proposalnya sebentar kemudian segera beranjak menuju ruangan Rangga. Di dalamnya sudah ada Lona. "Lah? Gue kiriman lu udah pulang, Kiya." Zakiya memonyongkan bibirnya. Rangga justru tertawa. "Tadi Mas suruh dia ngerjain proposalnya dulu." "Diomelin dosen gue!" Mereka tertawa. "Udah selesai?" "Belum lah, Mas. Kiya lagi rombak ulang." Rangga mengangguk. Paham. Lelaki itu mengambil minuman dingin yang tadi sudah dibelinya lalu diberikan pada Zakiya. "Ada kasus baru lagi," tutur Rangga. Lona mengangguk. Ia menujukan hasil rekaman video di gedung kementerian tadi. "Kasus?" "Pencemaran air sumur warga di sekitar pabrik. Mereka membuang limbah B3 katanya sembarangan. Yang berbentuk cairan bahkan dialirkan ke sungai. Yang padatan ditimbun di sebuah lahan kosong yang masih menjadi sengketa antara pabrik dan rumah warga. Sudah dua tahun belakangan mereka mengeluhkan gatal-gatal. Sudah diperiksa ke sana dan ke mari. Tapi bukan gatal yang biasa alergi karena bakteri atau jamur." Zakiya mengangguk-angguk. "Kasusnya di mana?" "Lamongan, Kiya." Aaaah. "Terus? Mereka datang tadi?" Lona menganggukan kepala. "Anehnya, ini sudah pernah diperiksa oleh KLHK. Tanpa menunggu hasil, mereka memberikan pernyataan kalau ini tidak ada hubungannya dengan gatal-gatal yang dialami oleh masyarakat sekitar. Bahkan kasusnya mencapai 369 orang per tahun ini. Yang kena juga hampir seluruh desa. Yang paling parah tentu yang rumahnya paling dekat dengan pabrik. Bahkan beberapa rumah di dekat pabrik mereka beli. Masyarakat mungkin mikirnya akan untung karena dapat duit. Mereka dibayar untuk pindah. Dan rumah yang dibeli oleh mereka dibiarkan kosong dan ditimbun limbah B3. Tanah sekitarnya sudah tercemar. Yang jadi masalah adalah perizinan mereka untuk mengelola limbah B3 dan menerima limbah B3 dari perusahaan lain itu masih dalam proses. Baru keluar bulan lalu. Sementara kejadian ini sudah delapan tahun." Zakiya mengangguk-angguk. "Kasus Swastika Eka Graha juga akan berakhir dengan seperti ini. Bayangkan kalau sungai itu tercemar lebih parah lagi. Masyarakat sudah tak bisa menggunakan airnya untuk keperluan sehari-hari dan juga mengairi sawah. Bahkan ada penelitian orang asing itu, mereka juga menemukan kadar timbal dan kromium pada tanaman padi yang sudah melebihi ambang batas yang ditetapkan dalam perundang-undangan. Seandainya dikonsumsi oleh masyarakat dengan kadar setinggi itu, anak-anak bisa mengalami cacat mental." Lona menghela nafas. Ia sangat tertarik dengan kasus-kasus semacam ini. "Lalu kembali ke kasus Lamongan itu bagaimana, Lon?" "Mereka meminta pertanggungjawaban perusahaan. Tapi karena pernyataan kementerian itu, mereka lepas tangan. Tak perduli. Menganggap itu bukan urusan mereka. Padahal sudah banyak bukti yang menunjukan. Bahkan mantan karyawannya juga ikut buka suara. Ada mesin buldoser di belakang perusahaan yang bekerja untuk menutupi limbah B3 yang mereka timbun dilahan itu. Selain itu, Lona juga sudah banyak membaca literatur. Di mana-mana yang namanya buangan limbah dalam apapun bentuknya pasti ada dampak negatif terhadap kesehatan. Dalam berbentuk cairan dan membawa kandungan berbahaya apa saja bisa membuat banyak penyakit timbul. Gas-gas berbahaya yang keluar dari cerobong asap juga berbahaya bagi kesehatan pernafasan manusia. Bahkan sudah banyak kasus seperti ini sebetulnya. Di Jepang, terutama Teluk Minamata, sudah pernah terjadi. Ikan-ikan tercemar logam merkuri dari pabrik hingga membuat banyak warga sekitar cacat mental hingga turunan-turunannya. Bukan hanya orang dewasa dan anak-anak yang terkena. Bayi dalam kandungan juga mengalami kecacatan. Ini jelas permasalahan yang serius dan itu yang sedang diperjuangkan oleh mereka di depan gedung kementerian. Atas nama nurani, Lona juga gak bisa diam aja, Mas." Ia menggebu-gebu. Rangga mengangguk-angguk. Paham. Lona pasti tak ingin terjadi hal yang sama. "Pemerintah bekerja sama dengan mereka karena uang. Kalau mereka memang benar memikirkan rakyat seharusnya tidak akan berbuat itu. Jangan sampai kisah gagal di negara lain malah menimpa kita. Jepang belajar banyak dari Minamata mereka sehingga mereka sangat aware terhadap lingkungan. Efeknya dahsyat. Sementara negara kita tak pernah belajar mau seberapa banyak pun kasusnya. Entah d***u atau apa namanya, Lona juga gak paham. Yang jelas, kalau tidak membahayakan keluarga mereka ya bukan urusan mereka." Zakiya mengangguk-angguk. Paham. Ia juga sangat sadar akan hal itu. "Persoalan PLTU batu bara juga masih menjadi polemik. Lihat seberapa banyak kasus ISPA yang sudah dialami masyakarat yang tinggal di sekitarnya." Ia sampai menggebrak meja saking kesal dam marahnya. "Orang-orang serakah ini tidak hanya perlu menunggu balasan di akhirat. Tapi juga di dunia, Mas." Ia gemas sekali. "Mau seberapa banyak lagi masyarakat yang menjadi korban?" "Siap, Lon!" ledek Rangga yang membuat tawa. Lona terkekeh. "Bahkan nih, Mas, dari informasi yang Lona dapat tadi, desa di sebelahnya juga ada perusahaan pengolah dan pemanfaatan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) yang sama dengan perusahaan ini. Perusahaan baru ini mendapat pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM pada Februari tahun lalu. Padahal aktivitas perusahaannya juga sudah lama berlangsung. Modus yang dipakai saat mendirikan perusahaan ini pun sama, sebagai usaha batako. Bahkan apakah materialnya dari limbah B3 tak pernah disampaikan." "Tertutup begitu ya? Kok bisa diloloskan?" "Itu pertanyaan basi, Mas." Rangga tertawa. "Baru beberapa bulan beroperasi, perusahaan ini sudah menuai protes warga. Apalagi, pada awal tahun tadi, seorang bocah yang tengah bermain di sekitar area perusahaan sempat jadi korban usai terperosok ke material dari dalam gudang yang tercecer keluar. Dia menderita luka bakar." Zakiya agak-agak miris mendengarnya. "Penolakan warga makin memuncak saat perusahaan ini menguruk bantaran sungai beberapa bulan lalu. Mereka tahu kalau pihak perusahaan menimbun material limbah B3 di bantaran sungai itu. Untungnya, berkat laporan warga, pengurukan itu dihentikan oleh aparat kepolisian Lamongan. Tapi Dua bulan kemudian, garis polisi dilepas. Polisi berdalih pelepasan garis polisi itu lantaran tidak ditemukan bukti cukup atas dugaan penimbunan B3 oleh perusahaan. Bahkan, perusahaan pun kembali beroperasi. Jelas sudah disogok kan?" Rangga dan Zakiya terkekeh. Sudah hapal modusnya. "Ada lab yang sebetulnya sudah pernah analisa kandungan materialnya. Sebelumnya mereka juga turun tangan merespons protes warga sebagai buntut pengurukan tanggul sungau itu. Makanya lab itu akhirnya mengambil sampel tanah urukan yang diduga pakai material limbah B3. Terus ditambah lagi alira sungai itu kan memasok kebutuhan air PDAM. Khawatirnya malah mencemari aliran sungai dan akhirnya juga berpotensi mencemari sumber air yang digunakan PDAM untuk memenuhi kebutuhan air masyarakat." Zakiya mengangguk-angguk. Masalahnya lebih pelik lagi. Karena kesehatan satu kota dipertaruhkan hanya dengan sogokan sebuah perusahaan. Rasanya murah sekali harga dari kesehatan itu ya? "Dari hasil pemeriksaan uji sampel, diketahui ada material timbunan merupakan fly ash dan bottom ash (FABA), masuk kategori B3. Yang sekarang sedang diperdebatkan karena pemerintah mencabut fly ash dan bottom ash dari kategori B3. Lihat lah negara kita sekarang." "Hasilnya bagaimana?" "Hasil uji TCLP menunjukan kalau itu memang mengandung bahan berbahaya. Bahkan laporannya sudah disusun secara lengkap dan dikirim ke pihak berwenang sebagai dasar untuk penindakan. Bahkan pihak lab juga sudah berkomunikasi dengan pihak PDAM. Karena akan menjadi pihak terdampak jika timbunan itu merusak kualitas sungai yang airnya mereka gunakan." Rangga mengangguk-angguk. "Terus kepolisian gimana?" "Masih belum ada kepastian. Tapi mereka khawatir kalau ini akan berakhir dengan hal yang sama. Karena pada kasus sebelumnya, alih-alih diusut, polisi justru menerbitkan surat kehilangan atas limbah yang tercecer di pemukiman masyarakat. Kan lucu!" Zakiya terkekeh. "Lebih lucunya lagi, perusahaan baru itu adalah anak perusahaan dari perusahaan itu." "Bentar, yang baru namanya apa?" "Yang baru PT Hijau Lingkungan. Induk perusahaannya PT Paling Merakyat." Mereka malah tertawa. "Tahu kalau itu anak perusahaannya?" "Mereka dapat dokumen perusahaan itu. Bahkan sudah tercatat secara resmi di Kemenkum HAM. Selain itu, salah satu organisasi lingkungan di sana juga pernah melihat truk baru keluar dari PT Paling Merakyat bergerak menuju hijau Lingkungan. Mungkin karena.sudah kelebihan jadi dipindahkan." @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD