Part 10

1415 Words
Lita baru saja keluar dari kamar Riana mengambil beberapa berkas yang perlu ia baca untuk persiapannya besok bekerja. Langkahnya terhenti ke arah Olivia yang berdiri kesal di depan pintu kamar Leo. Menendang pintu itu karena terkunci. Berpura tak tahu, Lita bergegas melangkah ke arah tangga, tapi ternyata Olivia malah datang menghampiri dengan pigura berukuran sekitar satu meter di kedua tangan. “Pintu kamar Leo pasti ada kunci cadangannya, kan?” tanya Olivia. Lita tak yakin harus menjawab, tapi kemudian kepalanya mengangguk. Olivia meletakkan pigura itu bersandar di pinggira pagar, sengaja menampilkan gambarnya tepat di hadapan. Lita memandang foto pernikahan Leo dan Olivia yang terpasang di pigura itu. Leo mengenakan jas hitam dan Olivia terlihat sangat cantik dengan gaun pengantin tanpa lengan sepanjang lutut. Pernikahan mereka tampak sederhana, tapi senyum di wajah keduanya terlihat begitu membahagiakan. Tak akan ada yang menyangka kebahagiaan yang menyelimuti kedua mempelai akan berakhir dalam sebuah perceraian dan hubungan buruk yang terjadi pada Leo dan Olivia saat ini. “Aku ingin meletakkan foto ini di kamarnya. Di dinding kamarku sudah penuh foto-foto mesra kita yang lain,” jelas Olivia setelah merasa cukup puas memastikan Lita melihat foto pernikahannya dan Leo. Lita menoleh. Entah apa tujuan Olivia memperlihat foto pernikahan itu juga menerangkan kemesraan wanita itu dengan Leo, yang jelas Lita tak merasakan apa pun selain menyayangkan sikap Olivia yang berusaha terlalu keras meluluhkan kemarahan Leo dan menganggapnya sebagai musuh. Ia bahkan tak punya masalah apa pun dengan wanita itu. “Kau bisa menanyakannya pada salah satu pelayan,” jawab Lita datar. Kemudian berjalan turun dan mendengar langkah Olivia yang mengikutinya di belakang. Ketika sampai di lantai satu, Olivia memanggil pelayan yang kebetulan baru saja membersihkan kamar tamu. “Apa kau yang biasa membersihkan kamar Leo di atas?” Pelayan itu mengangguk. “Berikan padaku kuncinya.” Olivia mengulurkan tangan meminta. “Maafkan saya, Nona. Tapi tuan Leo sudah melarang saya membukanya tanpa seijinnya.” “Ck. Aku hanya ingin meletakkan beberapa barangnya di sana. Hanya meminjamnya sebentar.” “Maafkan saya, Nona.” Pelayan itu menatap ke arah Lita seolah meminta tolong. Tapi Lita sendiri tak tahu harus berbuat apa. Pertengkaran Leo dan Olivia selalu saja tak berhenti membawa-bawa dirinya. “Lita,” panggil Amira dari arah ruang tamu membuat Lita dan Olivia menoleh. “Cepat kau lihat ini.” Lita berjalan mendatangi panggilan Mamanya. Sedangkan Olivia masih berusaha meminta kunci kamar Leo pada pelayan itu. Di ruang tamu, ia melihat mamanya berdiri di depan pigura berukuran seperti foto keluarga mereka di ruang tamu, yang baru saja dibuka pembungkusnya tersandar di sofa dan dua lainnya di meja. “Kemarilah,” Amira melambai setelah sejenak melihat putrinya berjalan mendekat dan kembali menatap gambar di dalam pigura itu. “Foto pernikahanmu dan Leo sudah jadi.” Lita berhenti di samping mamanya. Menatap gambar di foto itu dan kebingungan harus menampilkan ekspresi seperti apa di hadapan mamanya. Karena sejujurnya, foto itu tak berarti apa pun baginya. Selain membuatnya merasa seperti boneka yang diarahkan fotografer untuk berpose di depan boneka. Ia bahkan masih ingat bagaimana caranya memasang senyum keterpaksaan itu berhasil diabadikan oleh pria berambut keriting itu. Tangan Leo yang dipinggangnya, wajah Leo yang nyaris menempel di wajahnya, bahkan ketika Leo mengecup ujung kepalanya. Semua hanyalah sandiwara yang terlihat begitu indah di gambar ini. “Yang ini akan mama letakkan di ruang tamu. Di samping foto keluarga kita.” Amira menunjuk foto Lita yang duduk di kursi dengan buket bunga mawar putih di pangkuannya, dan Leo yang bersandar di lengan kursi menyentuh pundaknya. “Dan kau bisa meletakkan yang dua ini di paviliun. Satu di kamar dan satunya di ruang depan. Mama akan menyuruh seseorang memasangnya sekarang juga,” ucapnya dengan riang. Lita sama sekali tak mengatakan apa pun, dan tak merasakan sesuatu yang diinginkan mamanya untuk dirasakan ketika melihat foto itu. “Kenapa aku tak melihat kebahagiaan di foto ini?” sinis Olivia penuh rasa iri yang tiba-tiba sudah muncul di samping Lita. Menatap tak suka ke tiga pigura di hadapan mereka. Amira yang merasa tak enak hati hanya diam, dan Lita sendiri merasa tak perlu menanggapi karena dalam pandangannya pun sama seperti yang Olivia katakan. Tak ada kebahagiaan dalam foto indah ini. Juga dalam pernikahannya. “Ma, Lita ingin ke kamar,” pamitnya kemudian. Meninggalkan mamanya dan Olivia. Lita sedang mempelajari laporan-laporan proyek baru yang akan ditinjaunya dengan Riana minggu depan ketika ia mendengar pintu paviliun dibuka. Melihat Olivia masuk dan membawa foto pernikahan wanita itu dan Leo. “Aku ingin memasangnya di sini saja,” ucap Olivia memberitahu. Lita terdiam, tapi kemudian ia hanya mengedikkan bahu dan berkata, “Lakukan sesukamu.” Karena Lita tak peduli dan tak merasa perlu peduli untuk semua tindakan Olivia. Ia melanjutkan membaca laporan di depannya, mengabaikan Olivia yang sibuk menyeret kursi ke dekat dinding, memasang paku, kemudian menggantung pigura di depannya. Tak lama setelah kepergian Olivia, mamanya datang. Membelalak melihat foto pernikahan Olivia dan Leo yang terpasang di dinding ruang depan paviliun. “Kenapa kau membiarkannya memasang foto ini di sini, Lita?” Lita mendesah ringan. Sungguh, ia ingin hari ini cepat berlalu dan pergi ke kantor besok. Sehingga konsentrasinya pada angka-angka di depannya tidak terganggu. Baru saja ia terfokus setelah Olivia pergi dan sekarang berganti mamanya yang datang. “Biarkan saja, Ma.” “Tapi ini paviliun kalian. Tidak seharusnya ada foto mantan istri suamimu di sini.” “Tidak bisa.” Amira berdiri. “Ini tidak bisa dibiarkan. Bahkan di kamarmu, semua dipenuhi foto-fotonya dan Leo.” “Sudahlah, Ma. Itu bukan urusan Lita. Biarkan Leo yang mengurusnya. Mama juga tak perlu ikuta campur.” “Lalu bagaimana kalian bisa bahagia jika dia terus saja mengganggu seperti ini?” Lita hanya menghela napas. Mereka tak akan pernah bahagia, tapi ia tak berani melemparkan kata-kata itu pada mamanya. Lita pun mengelus punggung mamanya seraya berkata dengan lembut. “Kami baik-baik saja. Lita baik-baik saja.” Amira memeluk putrinya seraya menghapus air mata yang sempat jatuh di pipinya.   ***   Dan, cara Leo mengurus permasalahan itu tentu saja tak bisa diandalkan seperti yang sudah Lita duga. Begitu pria itu masuk ke paviliun dan melihat foto pernikahannya dan Olivia. Wajah letih pria itu seketika digantikan kemurkaan. Membanting foto tersebut dan melemparnya keluar. Sialnya, saat itu kebetulan Olivia yang mengetahui kedatangan Leo dan berniat menemui pria itu, semakin menyulut emosi Leo. Dan merasa tak cukup jika hanya merusak foto pernikahan mereka. Leo masuk ke rumah utama, dan kembali dengan cairan bahan bakar serta korek di kedua tangannya. “Apa yang kaulakukan, Leo?” Seakan belum cukup Olivia melihat pernikahannya yang dirusak di hadapannya, kini Leo menyiramkan cairan bahan bakan itu ke pigura yang sudah koyak di depan Olivia. Olivia terpaksa mundur karena takut terciprat. Wanita itu menudingkan telunjuknya ke arah Leo. “Jangan berani-beraninya kau melakukan itu, Leo!” Ancaman Olivia malah membuat Leo semakin tertantang. Pria itu menyalakan korek dan melemparnya ke pigura yang berada di antara mereka. seketika api tersulut besar, dan Olivia mundur beberapa langkah. Matanya menangis sakit hati menatap foto pernikahan itu perlahan dilahap api. “Aku sudah memperingatkan posisimu dengan sangat jelas di rumah ini.  Sekali lagi kau menggangguku dengan hal receh semacam ini, aku akan membuatmu bernasib sama dengan pigura itu.” Olivia berjalan memutari api dan berhenti di depan Leo. Menghapus air matanya dengan kasar, lalu mengangkat sedikit dagunya. “Kaupikir aku takut dengan ancamanmu?” Leo mendengus tajam, dengan bola mata yang membara. “Coba saja.” “Seorang wanita bisa menjadi teman baik, istri, sahabat, atau mimpi buruk bahkan musuh terbesarmu. Semua tergantung dari bagaimana cara kamu memperlakukan mereka.” “Diam kau, Olivia!” gertak Leo keras. “Kau akan melihat akibat dari semua perbuatan yang sudah kau lakukan padaku. Aku akan membuatmu menyesal telah mencampakkanku seperti ini. Tidak hanya kau, tapi juga Lita dan semua keluargamu.” Tangan Leo sudah terangkat dan hendah bergerak melayangkan satu tamparan di wajah Olivia. Tapi seketika gerakan itu terhenti. “Hentikan, Leo!” Suara Lita yang muncul dari arah pintu samping rumah utama membuat Leo menoleh. Melihat Lita dan Amira berjalan mendekat. Rasanya Lita sudah kehilangan akal dengan ketegangan yang membentang di antara Leo dan Olivia tak pernah bisa dikendalikan. “Leo.” Amira menurunkan tangan Leo dan mengelus lengan putranya penuh keibuan. Menenangkan pria itu. Perlahan, ketegangan Leo mereda. Dan Olivia berang bukan main menyaksikan interaksi Amira yang mampu menenangkan emosi Leo hanya dalam sekejap. Kemudian menyuruh Lita membawa Leo kembali ke paviliun mereka. Leo menurut. Bahkan pria itu tak pernah selembut itu padanya. Sebaliknya, Leo selalu mudah tersulut saat berbicara dengannya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD