Part 9

1089 Words
Pagi itu, Lita tersentak bangun dan menjerit kaget menemukan Olivia berdiri bersandar di tiang ranjang dengan kedua tangan bersilang di d**a. Bangkit terduduk, Lita melihat pintu kamar yang setengah terbuka dan Leo yang berbaring miring memunggunginya. “Olivia?” Lita menyentuh jantungnya masih berdegup kencang karena kaget ada orang asing masuk ke kamar tanpa ijinnya saat ia masih tidur. Mengamati tidurnya seperti penguntit. Dan sungguh, untuk pertama kalinya ia merasa kesal dengan kelancangan wanita itu. “Apa yang kau lakukan di sini?” “Pintu kalian tidak terkunci,” jawab Olivia dengan enteng. Tak sedikit pun menyesal akan kelancangannya. Leo yang mendengar jeritan Lita pun, perlahan mulai terbangun dan menengok ke samping, kemudian ke arah Olivia. Seketika kantuk pria itu lenyap dan wajahnya mengeras. “Ternyata pernikahan barumu tak sepanas pernikahan kita, ya?” ejek Olivia. “Kita berdua selalu bangun tidur dalam keadaan telanjang.” Leo turun dari tempat tidur, menyambar lengan Olivia dan langsung menyeret wanita itu keluar kamar. “Aku sudah mengatakan padamu, jangan pernah menginjakkan kakimu di kamarku,” desisnya penuh peringatan. Lita yang terperengan denga gerakan kasar Leo yang dipenuhi kemarahan, membuat tubuh Olivia terpontang-panting. Yakin pria itu akan membuat Olivia terlempar ke teras paviliun. Wanita itu pun melompat turun, menyusul Leo dan Olivia. “Hentikan, Leo,” cegah Lita berhasil menghentikan langkah Leo dan memegang tangan pria itu untuk melepaskan pegangan dari tangan Olivia. “Kau melukainya.” “Dan aku memang tak pernah peduli,” sengit Leo. “Dia sedang hamil. Anakmu,” delik Lita. “Apa kau berniat membunuh anakmu sendiri?” Wajah Leo seketika berubah pias. Menatap perut Olivia sedetik, ke arah Lita dan kemudian melangkah pergi tanpa sepatah kata pun. “Aku tak butuh bantuanmu. Leo memang seperti itu,” kesal Olivia pada sikap sok pahlawan Lita. Bahkan wanita itu bisa mengendalikan kemaraha Leo hanya dengan kata-kata pembelaan yang terdengar seperti sampah di telinganya. “Dia hanya marah padaku, tapi aku yakin dia masih mencintaiku.” Lita tak berkata apa pun. “Dan semarah apa pun dia padaku, dia tak akan mungkin menyakiti anak kami.” Lita masih tak bersuara, meski dalam hati ia ingin melemparkan kata-kata itu kembali kepada Olivia. Sehingga ia pun tak perlu mendengarkan pertengkaran Leo dan Olivia lagi yang seolah tiada henti-hentinya. Saat itulah ia menyadari, bahwa tujuan Leo menikahinya untuk membalas entah kesalahan apa yang telah dilakukan Olivia terhadap Leo. “Sebenarnya, kesalahan apa yang sudah kau perbuat hingga Leo semarah itu padamu?” Seketika wajah Olivia sepucat kapas, tapi dengan cerdiknya wanita itu bisa menguasai diri dan memutar kata. “Itu bukan urusanmu. Yang jelas, pernikahanmu dan Leo hanyalah pelampiasan pria itu. Sepertinya kau baru saja menyadarinya, ya?” Lita berkedip dengan cepat, kali ini berganti wajahnya yang memucat. “Leo tahu aku begitu membencimu bahkan sebelum aku pernah melihat wajahmu yang memang menyebalkan ini. Tentu saja dia akan menggunakanmu untuk membuatku marah. Tapi, perlahan aku akan mencairkan kemarahannya. Keberadaan anak ini adalah kesempatan untuk kami berdua.” Olivia menyentuh perutnya yang masih rata. Dipungkasi dengan senyum kemenangan, Olivia memutar tubuh dan berjalan keluar paviliun. Meninggalkan Lita yang membeku di tempatnya. Lita kembali ke kamar. Dengan perasaan kesal dan marahnya pada Leo yang semakin menumpuk tinggi tapi masih terlalu enggan untuk ia luapkan pada pria itu. Ia tahu pernikahan mereka hanya kedok, dengan tujuan yang masih menjadi teka-teki untuknya. Tapi setidaknya kata-kata Olivia sedikit memberinya pencerahan dan membenarkan sikapnya pada Leo karena pernikahan ini. Tanpa sepatah kata pun, ia masuk ke kamar mandi. Mengabaikan Leo sepenuhnya yang meminta tolong padanya sekali lagi untuk menyimpul dasi. Lita melangkah keluar lebih dulu menuju rumah utama dan Leo memutuskan memasukkan dasinya ke saku celana dan mengambil tas serta jasnya sebelum menyusul Lita keluar paviliun. Di meja makan, lagi-lagi Leo dibuat kesal dengan Olivia yang sudah duduk di kursi tempat Lita dan Lita sudah duduk di samping Riana. Tak ada lagi kursi kosong untuknya selain di samping Olivia. Tak ingin membuat keributan di meja makan dan dengan suasana keluarga yang penuh ketenangan. Leo mengalah. Namun, tak cukup sampai di situ saja Olivia menguji kesabarannya. Wanita itu menyuruhnya mengambil ini itu. Bersikap rapuh dengan kehamilan yang dijadikan landasan untuk beralasan. Tatapan Amira yang dilayangkan untuknya memberinya kesabaran lebih banyak untuk menghadapi sikap tak tahu diri Olivia sepanjang makan pagi tersebut. Setelah makan pagi selesai, Leo menghampiri Riana meminta tolong untuk menyimpul dasinya. Tapi sejak kapan Riana bisa menyimpul dasi pria. Leo pun mendatangi mama tirinya yang ada di dapur. Amira tersenyum gemas dan langsung meletakkan piring kotor ke wastafel lalu menghampiri putra tiri sekaligus menantunya itu. “Ke mana Lita?” Leo hanya menggeleng seraya menyelipkan dasi di kerah kemejanya kemudian membiarkan Amira mengambil alih. “Lita akan mengerti. Kau mengenalnya dengan baik, kan? Kalian pasti bisa menghadapi ini.” Leo tak melihat perbedaan antara mengerti dan tidak peduli, seperti sikap yang ditunjukkan oleh Lita padanya. “Kau juga harus menjadi sedikit lebih sabar menghadapi Olivia. Sebentar lagi kau akan menjadi seorang ayah, dan bagaimana pun kau membenci Olivia. Dia tetaplah ibu dari anakmu.” “Wanita hamil memang terkadang sering merepotkan, tapi kau akan menyesali semua perbuatanmu ketika melihat perjuangan seorang ibu yang meregang nyawa untuk melahirkan malaikat kecilmu ke dunia ini.” “Lalu kenapa papa begitu membenci mama kandungku?” Pertanyaan Leo melayang begitu saja. Suara Mama dan Papanya yang saling berteriak muncul begitu saja di kepalanya. Gerakan tangan Amira di pangkal leher Leo seketika terhenti. Wanita itu mengangkat wajahnya dengan senyum keibuan di kedua sudut bibirnya. “Papamu tidak membencinya. Tapi, terkadang para orang tua melakukan kesalahan yang tak seharusnya dilakukan. Percayalah pada Mama, Papamu menyesal telah menanamkan pemikiran semacam itu kepadamu dan Riana. Dan sungguh ia ingin memperbaiki kesalahan itu. Hanya saja ... kau tahu waktu tak bisa terputar kembali, kan. Ada baiknya kita hanya bisa menjadikan kesalahan itu sebagai sebuah pelajaran.” “Dan ... ada beberapa hal yang tak seharusnya diketahui demi kebaikan kalian para anak-anak.” Amira selesai menyimpul dasi. Menatap penuh kepuasan hasil kerjanya. “Selesai.” Leo menunduk. Tersenyum tipis dan berkata, “Terima kasih, Ma.” Tepat saat itu Lita masuk ke dapur dengan mangkuk besat tempat nasi di kedua tangan. Langkah wanita itu tersendat, sekilas melirik ke arah Leo dan mamanya kemudian segera menyerahkan mangkuk nasi tersebut pada pelayan yang menghampirinya. “Kalau begitu Leo berangkat dulu, Ma.” Amira mengangguk. Saat Leo keluar dari dapur, Olivia menghadang pria itu dan menyerahkan tas serta jas milik Leo dengan senyum cerianya. “Hati-hati di jalan,” ucap wanita itu riang. Yang hanya dibalas tatapan dingin oleh Leo. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD