Part 4

1214 Words
Pernikahan diputuskan dua minggu sejak Leo datang ke rumah. Semua anggota keluarga menyiapkan acara tersebut tanpa kehadiran Leo. Lita sendiri hanya mengikuti arus keluarganya, menyetujui apa pun pilihan mereka tanpa mengemukakan pendapatnya satu pun. Ia sudah kehilangan hak memilihnya sejak Papa dan Mamanya memutuskan menerima syarat Leo. Dan semua pesan ataupun panggilannya ke nomor Leo diacuhkan oleh pria itu. Tak menyerah untuk menemui Leo, hari itu Lita memberanikan diri bertanya pada Mamanya yang baru saja pulang mengecek persiapan terakhir gedung tempat resepsinya dan Leo akan berlangsung. Halaman belakang rumah tempat upacara pernikahan pun sudah selesai dihias. Semua kursi, meja, dan altar sudah ditata dengan rapi. Dengan hiasan bunga mawar putih dan peach yang ada di mana-mana. Ia bahkan tak suka bunga yang melambangkan tentang cinta itu. Satu kali patah hati karena pernikahan pertamanya, membuatnya enggan untuk mencari tahu ataupun mencicipi apa itu kata cinta. “Ma, apa Mama tahu di mana Leo dan Olivia tinggal?” “Sekarang?” Amira menggeleng pelan sembari duduk di sofa. Sembari menyuruh pelayan membawakan segelas air dingin. “Sebelumnya mereka tinggal di apartemen Tulip Indah. Tapi Leo bilang sudah lama tidak tinggal di sana lagi. Kalau Olivia mungkin masih tinggal di sana. Kenapa?” “Lita ingin bertemu dengan Leo.” Amira tersenyum. “Kalian sedang masa pingitan. Jadi kalian tidak boleh bertemu sebelum upacara pernikahan dimulai.” Lita mendesah pendek. “Kami kakak beradik, Ma.” “Dan besok kalian akan menjadi pasangan suami istri. Keluarga kita akan kembali utuh.” Senyum di wajah Amira memberi tekanan yang dalam di perut Lita. Beban di pundaknya akan kebahagiaan keluarga ini semakin menekannya. “Tapi, jika kau memang ingin bertemu dengannya, besok sebelum upacara pernikahan kalian bisa bertemu. Nanti malam dia akan bermalam di rumah.” Di sinilah Lita duduk menunggu. Di sofa ruang tamu dengan mata yang sudah memberat ingin menutup. Lita menggosok wajahnya, menatap jam di dinding yang sudah menunjukkan pukul satu pagi tapi Leo tak juga menunjukkan batang hidungnya. Apa mungkin mamanya membohonginya tentang Leo akan bermalam di sini? Tapi tadi siang, dia juga melihat pelayan membersihkan kamar Leo atas perintah mamanya. Lita pun tertidur, sampai kemudian suara mesin mobil yang berhenti di pelataran rumah membangunkannya. Ia segera turun dari sofa, melangkah ke pintu dan melihat Leo menutup pintu mobil. Langkah pria itu sempat terhenti melihat keberadaan Lita, tetapi kemudian melanjutkan langkahnya dan mengacuhkan wanita itu. “Kita harus bicara.” “Bicaralah.” Leo menjawab tanpa mengurangi kecepatan langkahnya dan tanpa memutar wajah menghadap Lita. “Kita harus membatalkan pernikahan ini.” “Katakan pada Mama dan Papa. Sekarang juga aku siap kembali keluar dari rumah ini.” Sama sekali tak ada guratan emosi yang mengalir dalam jawaban Leo. Pria itu mengatakannya dengan penuh ketenangan dan telak. Yang tak bisa Lita balas lagi. Lita menangkap lengan Leo, berniat menghentikan langkah Leo sekaligus menarik perhatian pria itu. “Lalu apa tujuan pernikahan ini?” Langkah Leo terhenti. Pria itu menatap wajah Lita sejenak kemudian melepaskan tangan Lita dari lengannya dan kembali melangkah menuju anak tangga tanpa memberikan satu patah kata pun sebagai jawaban. Lita mengekor di belakang Leo. Menyusul dengan setengah berlari karena kaki Leo yang panjang membuat wanita itu bersusah payah. Sampai di kamar, Leo langsung mengunci pintu kamarnya. Mengabaikan gedoran Lita yang masih memanggil-manggil namanya dengan putus asa. Esok paginya, Lita dibangunkan Riana. Menyuruhnya untuk bergegas mandi karena perias yang akan mendandaninya sudah menunggu di bawah. Acara pernikahan berlangsung dengan sangat lancar. Para keluarga terdekat yang hadir menunjukkan kebahagiaan yang sama besar seperti yang dirasakan seluruh anggota keluarga, meski tidak di dalam hati Lita. Hingga malam menjelang, berlanjut ke acara resepsi di gedung. Yang kali ini terasa berbeda karena para tamu undangan yang hadir bukan hanya sekedar keluarga terdekat. Tetapi para klien, teman, dan kolega perusahaan. Meski Lita hanya bisa melihat senyum di wajah dan ucapan selaman dari bibir mereka, Lita yakin mereka bertanya-tanya dan terkejut dengan pernikahan keduanya di belakangnya. Karena lelah, Amira menyuruh Riana untuk membawa Lita ke ruang istirahat dan membantunya mengganti pakaian. “Apa tidak apa-apa aku keluar lebih dulu?” tanya Lita sekali lagi pada Riana yang sekarang sedang membantunya melepas mahkota di rambutnya. “Kenapa? Bukankah sekarang kau tak perlu bersandiwara di depan mereka lagi?” Lita hanya tersenyum tipis menanggapi pertanyaan retoris Riana. Kemudian pundaknya menurun disertai helaan napas yang panjang. “Aku tak tahu apa akan terjadi dengan pernikahan kami.” Riana menyentuh pundak Lita. Meremasnya sedikit dan menatap wajah adik tiri sekaligus adik iparnya dengan dukungan yang tersalur dalam pandangannya. “Kalian pasti baik-baik saja. Kau hanya butuh menyesuaikan diri sebagai istri Leo. Kupikir tak akan sulit, kau mengenalnya luar dan dalam dengan sangat baik.” Lita hanya menganggap Riana tak mengerti apa yang diucapkan oleh wanita itu. Tanpa memasukkannya ke dalam telinga. Riana memang tak mengenal dirinya sebaik wanita itu mengenal seluk beluk perusahaan. Memang hanya Leo lah yang tahu, tetapi sekarang pun ia sudah kehilangan sosok Leo sebagai seorang adik. Benar-benar kehilangan lebih dari ketika pria itu meninggalkan rumah untuk menikahi Olivia. “Aku sudah melepas resletingmu. Apa kau ingin melepaskannya sekarang juga?” tanya Riana kemudian. Lita menggeleng. Aku bisa melepaskannya sendiri. Kau bisa keluar sekarang.” “Baiklah. Pakaian gantimu ada di sana.” Riana menunjuk ke kantong di meja. “Aku akan menunggumu di luar. Sebentar lagi Mama datang. Sepertinya acara juga sudah akan berakhir.” Lita mengangguk. Beranjak dari kursi untuk melepas pakaian putih itu dan menggantinya dengan pakaian ganti. Saat ia keluar, kaki tangan perias dan mamanya baru saja datang. Mamanya menyuruh membereskan semua perlengkapannya kemudian mengajak Riana dan Lita untuk kembali pulang. “Papamu dan Leo akan segera menyusul,” ucapnya ketika Riana menanyakan tentang Leo. Dan Lita bersumpah melihat senyum menggoda di bibir Riana untuknya. Sesampainya di rumah, Amira melarang Lita masuk ke dalam rumah. Mamanya itu membawanya ke jalan setapak di samping rumah yang mengarah ke paviliun. “Mulai sekarang, kalian akan tinggal di paviliun ini,” beritahu Amira sembari membuka kunci pintu ganda di depan paviliun. “Ayo masuk.” Lita tak sempat terkejut dengan kata-kata mamanya, Amira langsung memegang tangannya dan membawanya masuk. “Mama dan Riana juga sudah menghias kamar kalian untuk malam ini. Jadi malam ini kau bisa bermalam di sini.” Lita menoleh ke arah Riana yang berdiri di sampingnya. Kakak tirinya itu hanya mengangkat bahu dan tersenyum. Lalu menatap ke arah ranjang yang sudah ditaburi kelopak bunga mawar merah. Anggur dan lilin di meja tengah ruangan. “Apa ini, Ma?” “Hadiah dari kami berdua,” jawab Amira riang. Lita menelan ludahnya. Tak tahu harus mengucapkan kata terima kasih tanpa cicitan di dalam suaranya. Tetapi kemudian suara teriakan-teriakan penuh makian membelah di antara ketenangan malam. Mengalihkan perhatian ketiga orang tersebut. ‘Berengsek!’ ‘Tak punya hati!’ ‘Tega sekali kau!’ “Keributan apa itu?” Amira menajamkan telinganya dan menoleh ke arah pintu. Kemudian ketiganya berjalan keluar paviliu, melewati jalan setapak menuju teras rumah tempat suara-suara ribut itu berasal. “Leo?” Suara terkejut Amira ketika ketiganya menemukan Leo dan Tama yang berdiri di teras rumah bersama seorang wanita yang tampak mengamuk di depan dengan rambut terurai berantakan. “Baru kemarin kita resmi bercerai dan hari ini kau sudah menikah lagi? Kau benar-benar berengsek, Leo. Kau tak bisa membuangku seperti ini! Aku tidak terima!” 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD