Part 3

854 Words
Lita tercengang. Cukup lama. Sangat lama. Hingga bagi Lita satu detik yang terlewat terasa seperti berjam-jam. Ingatannya kembali berputar. Menampilkan dua pesan singkat yang diterimanya dari Leo. Pesan itu benar-benar dari Leo. Dan sungguh ditujukan padanya. Tidak salah kirim. Jelas bukan salah kirim. Tapi sepertinya telinganya yang salah dengar. Atau Mama dan Papanya yang menjadi gila? Oh bukan. Tapi Leolah yang gila. “A-apa?” Hanya satu kata yang mampu melewati tenggorokannya yang tersekat. Ia pasti salah dengar. “Kau harus menikah dengan Leo agar anak itu kembali ke keluarga kita lagi.” Tama memperjelas kalimat dan mempertegas pernyataannya. “Ini benar-benar tidak masuk akal, Pa. Leo adikku.” “Kalian tidak memiliki hubungan darah,” tampik Tama. Lita diam. Menoleh ke arah Mamanya yang tampaknya menyetujui kata-kata Papanya. “Leo mengatakan dia akan kembali ke rumah dan akan memutuskan segala hubungannya dengan perempuan itu jika kau mau menikah dengannya,” tambah Tama lagi. Merasa tak akan mendapatkan dukungan dari Mamanya, Lita pun melompat berdiri. Pergi adalah satu-satunya hal untuk menyadarkan kedua orang tuanya bahwa pembicaraan ini mulai mengarah ke hal yang tidak benar. “Kembali ke tempatmu, Lita!” perintah Tama dengan suara yang tegas. “Kami belum selesai berbicara.” “Ini sama sekali bukan pembicaraan, Pa.” Lita memberanikan diri membantah. Walaupun ia melihat keterkejutan yang snagat jelas di wajah Papanya. Kemelut apa lagi ini? Lita menatap kedua orang tuanya secara bergantian. “Kami memohon padamu.” Kali ini suara Tama melunak. “Baru beberapa bulan yang lalu Lita bercerai. Dan Lita masih belum siap memikirkan apa pun yang berbau pernikahan. Apalagi untuk menikahi adik tiri Lita sendiri. Itu sama sekali bukan ... bukan ...” Lita kebingungan untuk mendapatkan kata-kata yang pas, yang juga tidak akan membuat Mama dan Papanya tersinggung. Akan kegilaan yang ditularkan Leo pada mereka. Dan Leo, anak itu meninggalkan rumah ini dengan bencana dan sekarang kembali ke rumah ini pun harus membawa bencana juga. “Mungkin Leo adalah seseorang yang tepat untukmu.” Amira mencoba membujuk. “Maa???” Kedua tangan Lita terangkat. Dalam hati merasa bersalah karena telah mempertanyakan kewarasan Mamanya atas argumen diucapkan. Pun pada papanya. “Atas dasar apa Leo meminta menikah denganku sebagai syarat untuk kembali ke rumah?” “Dia ingin melepaskan jeratan Olivia. Dan hanya kaulah satu-satunya orang yang tepat untuk membantunya,” jawab Tama. “Apa yang diharapkannya ... ah tidak. Apa yang Mama dan Papa harapkan dari hal ini? Dari pernikahan ini?” tuntut Lita. “Anak.” Satu kata yang dilontarkan dengan singkat, padat, dan jelas itu membuat Lita menelan ludah. Yang terasa seperti bongkahan batu. “Papa tahu penyebab pernikahan Lita hancur, bukan?” “Ya, tapi siapa yang tahu jika nantinya kalian berdua ditakdirkan memiliki momongan. Kita tak tahu masa depan apa yang akan menanti kalian, bukan? Karena Papa sangat yakin mantan suamimulah yang bersalah akan kehancuran pernikahan kalian. Dan percayalah, penyesalan dan rasa bersalah Papa padamu masih tak berhenti menghantui Papa hingga saat ini.” Oke, kali ini Lita benar-benar tak sanggup berkata. Perutnya terasa bergolak membayangkan dirinya akan hamil anak Leo. Membayangkan bagaimana mungkin ia bisa menjalani rumah tangga dengan anak yang sudah ia anggap sebagai adik, tiba-tiba menjadi sosok seorang suami baginya. Lita jatuh terduduk ke sofa dengan lunglai. Pundaknya merosot dan wajahnya tertunduk. “Umur Lita lebih tua darinya.” Entah bagaimana mulutnya mengeluarkan gumaman tak jelas sekaligus tak masuk akal. Pikirannya benar-benar kosong. “Umur kalian hanya terpaut dua tahun. Lagi pula, tak ada yang akan mengira kau lebih tua dari Leo kecuali orang-orang terdekat yang benar-benar sudah mengenal keluarga kita.” Ya, salahkan tubuhnya yang tumbuh mungil, ratap Lita nyaris menangis. Terakhir ia dan Leo bertatap muka, Leo lebih tinggi sepuluh senti darinya. Dan mendadak pria itu menjadi lebih tinggi dua puluh senti beberapa menit yang lalu. Ditambah ia dan Leo yang tidak memiliki hubungan darah, mungkin inilah alasan utama Papanya menyetujui syarat gila Leo untuk kembali ke rumah ini. Tapi, perlukah Mama dan Papanya melakukan hal sejauh ini demi Leo kembali ke rumah ini? Setega itukah mereka menimpakan beban tersebut hanya padanya? Kepala Lita menggeleng. Seolah mengembalikan kewarasannya dan berharap juga mampu mengembalikan kewarasan Mama dan Papanya. “Tidak. Bagaimana jika Lita menolak?” “Papa tahu kau akan menolaknya.” Tatapan Tama melekat erat ke dalam bola mata Lita. Menyalurkan permohonan yang akan segera meluruhkan hati Lita. “Tapi kali ini Papa tidak punya pilihan dan inilah satu-satunya kesempatan yang kita miliki untuk mengembalikan keutuhan keluarga kita. Menyelamatkan Leo dari pengaruh buruh perempuan itu. Demi itu semua, Papa akan melakukan apa pun agar kau menyetujui pernikahan ini.” Tama berhenti sejenak. Memberi jeda sejenak bagi Lita untuk mendengarkan kalimat lanjutannya dengan saksama. “Termasuk jika Papa harus bersujud di kakimu.” Kalimat terakhir Papanya benar-benar tepat mengenai sasaran. Hati Lita seolah tersayat dan tak sanggup berpaling sedikit pun dari tatapan Papanya. Penolakan yang sudah ia ucapkan kembali masuk ke tenggorokannya dan kembali mendekam ke dasar terdalam di hatinya. Semuanya selesai. Papa dan Mamanya menang. Dan semua ini benar-benar gila.   Oh, adakah kata yang lebih gila dari gila? Rasanya kata itu pun tak akan sanggup mewakili ketidakwarasan Leo. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD