Bab.3 Kemarahan Rena

1840 Words
Dari kafe Satria langsung ke ruang kerja iparnya di lantai paling atas untuk menyusul Rena. Alih-alih menemukan orang yang dicarinya, dia justru kembali harus mendengar ocehan pedas kakaknya. Sadar berada di posisi salah, Satria hanya bisa pasrah menjadi bulan-bulanan kekesalan Freya yang mengamuk gara-gara ulah Nadine. Kakaknya mengira dia lah yang mengajak wanita menyebalkan itu untuk menyusul mereka ke kafe. Ditambah lagi kedatangan papanya membawa orang yang akan mengisi posisi baru di perusahaan mereka. Athaya, pria yang nantinya akan menduduki kursi sejajar dengannya sebagai wakil direktur itu langsung membuatnya insecure. Bagaimana tidak, dia datang dari Megatara. Perusahan dimana dulu Rena juga pernah bekerja dan kebetulan di bagian yang sama. “Ren …” Rena yang duduk di mejanya hanya mendongak sebentar, lalu kembali menekuni tumpukan berkas di depannya. Tidak peduli, seakan memang tidak ada siapa-siapa di sana. “Ayo kita bicara sebentar! Aku akan jelaskan tentang yang tadi, supaya kamu tidak salah paham begini.” “Profesional Sat, ini jam kerja! Aku hanya sekretarismu sekarang. Kalau ingin membahas apapun di luar soal pekerjaan, tunggu sampai selepas jam kantor!” ucapnya cuek. “Aku tidak bisa bekerja kalau otakku dipenuhi masalah kita yang belum kelar,” sahut Satria kesal karena Rena tetap tidak menggubrisnya. Sia-sia saja, Rena tetap bungkam dan membolak-balik berkasnya tanpa peduli Satria yang berdiri dengan muka kesal di samping mejanya. Helaan nafas pria itu terdengar keras, lalu dia beranjak masuk ke ruang kerjanya. Tadinya Rena sudah merasa lega, siapa sangka sebentar kemudian bosnya berteriak memanggil dengan kerasnya. “Rena! Kesini kamu!” “Sial!” gumamnya terpaksa memenuhi panggilan Satria yang sedang bos mode on. “Ada yang bisa saya bantu, Pak?” tanyanya setelah sampai di dalam. “Duduk!” perintahnya mengedikkan dagu ke kursi disana. Rena merengut kesal, Satria liciknya memang tidak kira-kira. Lihat saja bagaimana dia menatap tajam dan membuatnya tidak bisa membantah. Selalu saja begitu, sifat arogan dan posesifnya membuat Rena selalu berada di posisi yang kalah. “Aku siapa?” tanyanya aneh. “Pak Bos,” jawab Rena. Rena sontak menoleh ke belakang begitu mendengar suara pintu yang tiba-tiba terkunci. Ada tombol di bawah meja kerja Satria yang bisa untuk mengontrol kunci pintu ruangannya. Jantung Rena berdegup kencang melihat pria itu beranjak mendekat, lalu berhenti dan berdiri menyandar meja tepat di hadapannya. “Bukan, aku calon suamimu.” ucapnya penuh penekanan. “Nggak lucu Sat!” protes Rena. “Maaf, aku salah karena tidak tegas ke Nadine. Tapi Ren, sumpah aku tidak punya niat aneh-aneh dengan dia. Kejadian yang tadi juga di luar perhitunganku. Aku tidak menyangka Nadine akan berbuat sekurangajar itu di sini,” jelasnya berusaha menyakinkan Rena yang tampak marah. “Rencana proyek kerjasama dengan Mahendra sudah diambil alih oleh Bang Ibra. Kenapa kamu masih menerimanya datang untuk membahas soal itu lagi? Kamu pikir aku bodoh atau gimana?!” seru Rena. “Terlepas bagaimana kelakuan Nadine yang bikin gerah, tapi kerjasama yang ditawarkan Mahendra itu memang punya peluang pasar menjanjikan. Kamu tahu Freya kalau sudah marah seperti apa, aku hanya berusaha mencari jalan tengahnya. Siapa sangka ujung-ujungnya malah makin kisruh begini,” ucap Satria. Rena menepis tangan Satria yang berusaha meraihnya. Ingat bagaimana mulut wanita ular itu selalu menghinanya membuat Rena ingin menamparnya. Apalagi di belakang Satria, Nadine bahkan berani terang-terangan mengatai Naya anak haram. “Maaf, aku janji kejadian seperti tadi tidak akan terulang lagi. Sudah marahnya, ya?” bujuknya. “Enak sekali kamu ngomong! Kalau seandainya kamu yang melihatku berduaan dengan pria lain dan digrepe-grepe begitu, marah tidak?!” “Tentu saja marah,” jawab Satria. “Makanya aku minta maaf. Beneran aku sama sekali tidak menyangka dia akan segila itu,” lanjutnya. Rena mendengus keras, menatap Satria dengan matanya yang memerah basah. Dia sudah memendam sakit hatinya sejak kejadian di kafe tebing Bali waktu itu. Berusaha tetap sabar, meski sindiran dan hinaan Nadine sudah kelewat batas. Tidak tahunya wanita bermulut sampah itu semakin keranjingan sengaja membuat masalah dengan mendatangi Satria dan menggodanya di kantor. “Ren, jangan nangis! Aku memang b******k, tapi tidak pernah berniat menyakiti kamu seperti ini.” ucap Satria mengusap lembut air mata Rena yang merembes keluar. “Nadine, dia salah satu perempuan yang pernah kamu tiduri kan?” Lidah Satria seketika kelu. Pertanyaan Rena membuatnya bingung harus bagaimana. Tidak dijawab dia pasti makin marah, tapi kalau dijawab akan semakin menyakiti perasaannya. “Jawab!” bentak Rena keras. Satria menelan ludah kasar. Ini yang dia takutkan. Saat dia sudah mati-matian mencoba mengubah arah hidupnya, wanita-wanita dari masa lalunya justru bermunculan dan menjadi batu sandungan hubungannya dengan Rena. “Iya,” jawabnya terpaksa mengangguk. “Sialan kamu, Sat!” umpat Rena tidak bisa lagi membendung emosinya yang meluap. Setelah menepis kasar tangan Satria, Rena beranjak bangun dari duduknya. Namun, niatnya untuk pergi terhenti oleh cekalan Satria. “Mau kemana? Kita belum selesai bicara,” ucapnya. “Pantas saja kalian bisa langsung akrab. Dia juga selalu sinis padaku, padahal kami juga baru pertama bertemu saat di Bali. Rupanya dia pernah jadi wanita peliharaanmu.” “Rena!” “Apa?!” sahut Rena tak kalah keras. “Aku seperti orang bodoh yang duduk satu meja dengan kalian dan membiarkan mulut kurang ajarnya terus menyindirku. Jahat sekali kamu, Sat!” teriak Rena dengan nafas terengah dan air mata berlinang. Hatinya sakit bukan main. Satria menarik Rena mendekat, lalu memeluk pinggangnya merapat. Melihatnya menangis seperti ini sama sekali bukanlah maunya. Satria menyesal, keadaan tidak akan kisruh begini kalau saja sejak awal dia bisa bersikap tegas pada Nadine yang masih terus menggodanya. “Sebelum berangkat ke Bali, aku juga sama sekali tidak tahu kalau Nadine yang akan mewakili Mahendra grup dalam pembicaraan proyek kerjasama ini Ren.” “Jelas-jelas dia tahu aku calon istrimu, tapi wanita itu tetap terus menempel seperti lintah di sampingmu. Tak hanya itu, dia juga membully emosiku dengan menyindir masa laluku sebagai perusak rumah tangga orang. Aku sudah cukup bersabar Sat, tapi dia semakin menginjak harga diriku dengan datang kesini dan berulah kelewat batas!” ucap Rena memuntahkan kemarahannya. “Sejak dulu sifat Nadine memang seperti itu. Bilang, aku harus bagaimana supaya kamu tidak marah lagi! Sumpah Ren, sejak serius sama kamu aku tidak pernah aneh-aneh lagi.” bujuk Satria. Rena menggeleng, tangisnya justru semakin menjadi. Satu langkah salah yang dulu dia ambil dengan menjadi orang ketiga di pernikahan Lena Iskandar dan Daniel Sanjaya, bukan hanya telah menghancurkan pernikahan mereka, tapi juga hidupnya dan juga Naya. Dia seperti terjebak di kubangan nista yang tak berkesudahan. Selama bertahun-tahun Rena sudah menerima karma dari kesalahannya. Hidup menderita disiksa dan dicampakkan oleh pria yang menghamilinya, setelah hartanya dikuras habis. Menjadi bahan gunjingan dan terus menyandang julukan sebagai wanita hina perusak rumah tangga orang. Semua itu seperti masih belum cukup, hingga jalannya untuk bisa bahagia harus sesulit ini. “Please Ren, jangan kayak gini? Aku lebih senang kamu menamparku, daripada diam dan menangis seperti ini.” “Apa aku memang tidak berhak bahagia Sat? Kita pernah putus sambung dan menghadapi rintangan yang lebih berat dari ini, tapi kenapa sepertinya masih saja belum cukup?” keluh Rena hampir putus asa. “Masalah selalu datang dari aku, sama sekali bukan salahmu.” sahut Satria. “Kamu masih tidak paham juga? Itu adalah cara Tuhan membalasku. Merasakan bagaimana sakitnya hati wanita yang dulu sudah aku rebut suaminya.” “Rena …” “Dulu kita pisah karena Kiran, sekarang ribut karena Nadine. Besok-besok siapa lagi? Aku mulai tidak yakin akan sekuat itu terus berteman dengan sakit hati,” ucap Rena dengan tatapan lelahnya. “Lalu aku harus bagaimana? Aku tidak mungkin bisa merubah masa lalu. Ke depannya aku janji, tidak akan memberi celah pada mereka untuk kembali menyakitimu lagi. Soal Nadine, aku juga sudah bicara dan memperingatkan dia untuk berhenti berulah.” ujar Satria. Rena mendorong Satria menjauh, lalu mengusap kasar air matanya. Seenaknya saja wanita itu pergi, setelah membuatnya sakit hati dan hubungannya dengan Satria memanas seperti ini. “Mantan teman tidurmu yang satu itu bukan hanya busuk hatinya, tapi juga mulutnya. Dia sendiri juga perempuan murahan yang tidur dengan banyak laki-laki, tapi seenaknya menghinaku. Yang aku tidak terima, mulut sialannya sudah mengatai Naya anak haram. Itu yang sampai sekarang membuatku ingin merobek mulutnya!” Satria berdiri terpaku mendengar aduan Rena. Wajahnya kaku dengan tangan terkepal, tidak menyangka Nadine akan seketerlaluan itu. Naya, gadis kecil yang sejak pertama kali melihatnya sudah membuat Satria jatuh cinta. Meski tidak punya hubungan darah, Naya bagi Satria adalah anaknya. Sesayang itu dia pada anak perempuan Rena. Suara pintu yang dibanting keras menyadarkan Satria dari kemarahannya. Rena keluar setelah membuka kunci dari tombol di bawah meja. Dengan langkah berat Satria kembali ke kursinya. Main kasar pada perempuan bukanlah wataknya, tapi beda urusannya kalau sudah melewati batasnya. Nadine harus membayar atas apa yang dia lakukan pada Rena dan Naya. “Xen …” panggil Satria begitu teleponnya terjawab. “Apa?!” sahut Xena ketus, pastj kesal karena Satria sudah mengganggu tidurnya. “Ada hal penting yang ingin aku bicarakan. Nanti malam aku Mirror.” “Kalian selalu saja datang dan merepotkan. Pak Bos juga menyuruhku menemuinya di Golden, aku tunggu kamu di sana!” Satria mendengus karena Xena mematikan teleponnya begitu saja. Pembalasan baru saja akan dimulai. Nadine pasti tidak menyangka, kali ini dia terjebak dalam permainannya sendiri. *** Sehari yang melelahkan, Satria bahkan tidak berkutik menghadapi kemarahan Rena yang terus bungkam dengan muka keruhnya. Memaksanya bicara untuk membahas tuntas kesalahpahaman mereka pun percuma, saat emosi masih bercokol di kepalanya. Hingga jam kerja berakhir, Satria tidak menemukan Rena di luar ruang kerjanya. Mejanya sudah rapi dengan berkas menumpuk dan laptop yang mati, panggilan telepon dari Satria juga terabaikan. Sesulit itu membujuknya kalau sudah marah. “Rena mana?” Sialnya lagi, dia harus satu lift dengan kakak dan iparnya. Freya mendecih melihat Satria hanya mengedikkan bahu. “Segera selesaikan masalahmu, jangan sampai lamaran kalian batal digelar lagi kali ini!” ucap Ibra. Iya, saking pusingnya Satria bahkan sampai tidak berpikir kesana. Kalau Rena masih betah dengan ngambeknya, lalu apa kabar dengan acara lamaran mereka yang tinggal menghitung hari. “Nadine, aku yakin dia tidak akan semudah itu menyerah. Hati-hati Sat! Rena terlalu lugu kalau harus menghadapi wanita selicik itu. Jangan karena masa lalumu, dia dan Naya lagi yang harus terluka seperti dulu.” ujar Freya. Tidak lagi sinis, tapi Freya benar-benar menasehati adiknya untuk lebih bisa menjaga Rena juga Naya. “Aku tahu,” gumam Satria yang menyandar lelah. “Belajarlah lagi dari papa dan iparmu, jadi laki-laki itu yang tegas! Segatal apapun kelakuan Nadine, dia tidak akan bisa mengacaukan hubunganmu dengan Rena kalau sejak awal kamu tegas tidak memberinya celah mendekat.” ucap Freya menohok. Satria juga tahu letak salahnya disitu, tapi tetap saja Nadine harus membayar kekurang ajarannya. Kalau dia enggan berkaca, maka Satria yang akan menunjukkan pada semua orang betapa kotornya wanita itu. "Apa harus aku sendiri yang turun tangan?" ucap Ibra yang berdiri merangkul istrinya. Freya hanya melirik sebentar, pura-pura tidak mendengar dan tidak paham maksud tawaran suaminya ke Satria itu. "Tidak usah, banyak kucing liar yang dengan senang hati berebut ikan asin seperti dia." sahutnya ambigu, tapi justru membuat Ibra dan Freya terkekeh.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD