Bab.4 Boo, Kesayangan Satria

2105 Words
Golden Bar, bisa dibilang adalah salah satu tempat yang menyimpan begitu banyak kenangan manis, sekaligus paling menyakitkan bagi mereka. Bar mewah milik mendiang Raka, sahabat mereka yang bahkan belum genap sebulan ini pergi dengan cara begitu tragis dan meninggalkan duka mendalam bagi mereka. Sepeninggal Raka tempat itu sendiri sekarang dipegang oleh Wira, si buaya sableng yang kelakuannya bahkan lebih parah dari Satria. Seperti biasanya Xena selalu datang tepat waktu. Satria hanya duduk anteng menjadi pendengar pembicaraan mereka sambil mengotak-atik ponselnya. Entah sudah berapa puluh kali dia mencoba menghubungi Rena, tapi tidak diangkat. Bahkan tak satupun pesannya yang dibaca. “Kalau butuh kucing montok, aku punya stok nomornya Sat. Tinggal pilih, pusingmu dijamin langsung hilang setelah mandi keringat." Satria menoleh kesal, lalu mendorong muka Wira yang tersenyum menjijikkan setelah membisiki ajakan sesatnya. “Aku tidak butuh, ambil saja semua buat kamu!” “Yakin?! Selama janur kuning belum melengkung, hukumnya masih sah buat kuliner di luar.” oceh Wira semakin ngawur. “Jangankan kuliner, tadi saat aku mendapat perlakuan tidak senonoh dari mantan kucing saja justru kena damprat Rena. Sudah korban perasaan dilecehkan, masih kena sial didiamkan Rena.” sahut Satria. Tawa Wira meledak, Ibra sampai mendecak keras melihat kelakuan temannya yang sableng satu itu. “Kucing garong kalau lagi musim kawin memang ganas Sat, kurang belaian sih.” “Kalau kamu minat, aku bisa atur!” tawar Satria, tapi Wira langsung menggeleng. “Bisa habis aku dicakar-cakar,” tolaknya bergidik. Tangan Satria sudah hendak meraih gelas minuman yang tadi Wira tuang, tapi terhenti mendapati mata Freya yang melotot. “Jangan berulah, Sat! Mau disentil lagi ginjalmu ya?!” tegur kakaknya. “Cuma segelas tidak akan pengaruh,” sahutnya ngeyel. “Harus banget papa sendiri yang kesini menyeretmu pulang ya?!” Satria ciut, menarik lagi tangannya menjauh meski sebenarnya dia butuh itu sekarang. Dia pernah hampir mati karena gagal ginjal, jadi wajar kalau keluarganya selalu over protektif untuk tidak membiarkannya menyentuh alkohol. “Kenapa lagi?” tanya Xena, wanita ganteng bertato yang sekarang menjadi tangan kanan Ibra itu. “Dia bilang trauma Xen, tadi habis dilecehkan mantan kucingnya.” celetuk Wira yang membuat mereka tertawa geli. “Mulai drama lagi dia,” gumam Ibra menggeleng. “Memang kamu diapakan sama kucingmu?” cecar Xena mengulum senyum, muka Satria yang kusut dan memelas itu benar-benar lucu minta ditabok. “Digerayangi,” jawabnya sok polos seperti perjaka ting-ting baru kena tampolan maut. “Dimana?” “Paha.” “Sampai pangkal tidak?” sahut Wira cengengesan. Satria mengernyit, berusaha mengingat-ingat lagi kejadian di ruangannya tadi siang. “Hampir sampai sana,” jawabnya tidak yakin. “Kenapa tidak teriak?” tanya Freya gemas. “Sudah keburu kepergok Rena,” ujarnya. “Mampus!” seru Wira. Mereka tertawa ngakak. Satria kalau lagi puyeng kadang memang jadi agak-agak miring otaknya. “Terus mau kamu apa? Diantar ke gudang biar jadi teman mainnya King atau diumpankan seperti biasanya?" “Buat dia paham, kelakuannya bahkan lebih murahan dari Rena. Dia juga harus membayar mulut kotornya yang menghina Naya anak haram,” ucap Satria. Tidak ada lagi yang celometan. Sekarang mereka paham kenapa Satria sampai memutuskan untuk memberi pelajaran ke Nadine. “Kuman yang satu itu memang amit-amit kelakuannya. Aku saja sampai dibuat gerah. Dia merasa di atas karena menjadi satu-satunya pewaris harta orang tuanya. Padahal kalau sejak dulu Rena mau masuk ke perusahaan keluarganya, posisinya bukan cuma sekretaris.” sahut Freya kesal. Xena sempat melirik ke bosnya, tapi Ibra hanya mengedikkan bahunya. Satria memintanya untuk tidak ikut campur, jadi terserah apa yang akan Xena lakukan. “Besok malam pancing dia kesini, setelah beres dengan urusan Elina nanti kita sikat dia!” ucap Xena Satria mengangguk, sambil meraih ponselnya yang berdering pelan. Tadinya dia pikir Rena, tapi ternyata dari calon iparnya. “Papa …” “Nay?! Kok telponnya pakai ponsel Om Aksa? Mama mana?” tanyanya begitu mendengar suara Naya. “Papa kemana? Mama sakit, dari pulang kerja tidur terus nggak bangun-bangun.” “Sakit?! Om Aksa mana? Papa mau ngomong sebentar,” ucapnya mulai tidak tenang. “Apa Sat?” tanya Aksa, calon ipar Satria di seberang sana. “Naya bilang Rena sakit, tadi di kantor dia masih baik-baik saja.” “Cuma masuk angin, sudah dikasih obat sama Sifa. Besok bangun tidur juga sudah baikan,” jelas Aksa kalem. “Dia sudah makan?” “Pulang langsung masuk kamar, lalu tidur. Diantar makanan juga tidak disentuh.” “Nanti aku kesitu,” ucap Satria sebelum kemudian menyudahi pembicaraan mereka. Buru-buru dia beranjak dari duduknya, mereka hanya saling lempar pandang melihat Satria yang terlihat cemas. “Mau kemana?” tanya Wira. “Mau ke rumah Bang Aksa sebentar, Rena kurang enak badan.’’ “Bukan hamil kan?” cibir Ibra. “Memangnya Freya, bunting terus kerjaannya!” balasnya sambil bergegas pergi. Ibra tertawa melihat istrinya mendelik sengit menatap Satria yang melangkah lebar dan tergesa-gesa keluar dari bar. *** “Papa …” Senyum Naya merekah lebar begitu melihat Satria yang baru saja datang. Bagi bocah cantik berusia empat tahun yang sejak di kandungan sudah dicampakkan oleh papa kandungnya itu, Satria memang papanya. Jadi tidak mengherankan kalau hubungan antara Satria dan Naya memang sedekat itu. “Ini sudah hampir jam sembilan, kok Nay belum tidur?” tanya Satria pada gadis kecil di gendongannya itu. “Om Aksa bilang Papa mau kesini, jadi Nay nunggu Papa dulu.” Satria meletakkan plastik berisi makanan di atas meja, lalu duduk menemui Aksa dan Sifa. “Rena belum bangun ya Bang?” “Dia kalau sakit kan memang betah tidur,” jawab Aksa. “Kalian berantem lagi? Kok Rena pulang sendiri nggak bareng kamu?” tanya Sifa, kakak ipar Rena. Satria meringis, mau bohong juga percuma karena memang biasanya setiap hari mereka selalu berangkat dan pulang kerja bareng. “Hanya sedikit salah paham,” jawab Satria. “Kalian sudah mau lamaran dan niatnya juga cepat menikah, tapi masih seperti anak kecil sebentar-bentar berantem.” ucap Aksa yang sudah kenyang melihat keduanya ribut terus. “Papa bawa apa?” tanya Naya melihat plastik di atas meja. “Bubur ayam kesukaan mama. Nay mau?” “Nggak, Nay kenyang.” jawabnya menggeleng. “Nay tidur dulu, Papa antar ke kamar! Besok kan harus sekolah.” Bocah itu mengangguk, Satria menggandeng anaknya naik ke lantai atas. Aksa dan Sifa hanya menatap calon iparnya yang tampak begitu hangat memperlakukan Naya. Ini juga yang menjadi salah satu alasan kenapa mereka memutuskan untuk membiarkan Rena kembali pada Satria, setelah dulu hubungan mereka berantakan karena skandal Satria dan mantan sekretarisnya mencuat. “Mau kemana Beb?” tanya Aksa melihat istrinya beranjak. “Lihat anak-anak sebentar, aku masih ada pekerjaan yang belum beres.” Aksa menyusul istrinya masuk ke kamar bayi mereka, tepat bersamaan dengan Satria yang menuruni tangga. Mereka bertetangga dekat, bagi Satria rumah ini juga sudah seperti rumahnya sendiri. Mendapati ruang tamu yang sudah lengang, Satria mengambil plastik makanan dari atas meja dan melangkah ke arah kamar Rena. Dia mengetuk pintu, lalu masuk tanpa menunggu sahutan dari dalam. Helaan nafasnya terdengar keras, semakin merasa bersalah melihat Rena yang tidur meringkuk di ranjangnya. Mukanya sedikit pucat, bahkan masih mengenakan pakaian kerjanya yang tadi. “Ren … ” panggilnya pelan setelah duduk di tepi tempat tidur. “Bangun sebentar Ren!” Satria mengusap lembut wajah Rena, keningnya basah oleh keringat. Matanya yang terpejam perlahan membuka. Mengerjap dengan dahi berkerut, seperti memastikan kalau dia tidak salah lihat. “Mana yang sakit?” tanya Satria, tapi Rena menggeleng. “Kok kamu disini?” Dia balik bertanya dengan suara serak. “Naya telepon, bilang kamu sakit.” jawab Satria sambil menarik beberapa lembar tisu untuk mengeringkan keringat di kening Rena. “Bangun sebentar, kamu belum makan kan?” “Nggak lapar. Kamu pulang saja sana, aku mau tidur!” ucapnya kembali memejamkan mata. “Bangun sebentar, Ren! Ganti baju, terus makan dulu. Sedikit juga tidak apa-apa, aku beli bubur ayam.” Toh meski bersikeras menggeleng, Satria tetap beranjak dan mengambil baju ganti untuk Rena. Muka Rena merengut saat Satria naik ke tempat tidur dan menariknya bangun. “Sat …” “Bajumu lembab kena keringat, ganti dulu!” Rena menatap kesal, tapi Satria malah mengedikkan dagunya memintanya buka baju. “Mau aku yang lepas kayak biasanya?” godanya membuat wajah Rena merona malu. “Nggak lucu, aku masih marah Sat!” dengusnya, tapi Satria malah mengulum senyum. “Iya, aku tahu kok. Makanya pulang kerja langsung kabur, ditelpon juga tidak mau angkat. Sekarang ganti baju dan makan dulu, marahnya besok dilanjut lagi.” ucap Satria. “Kunci pintunya, aku mau ganti baju! Kalau bisa kamu sekalian pulang sana!” usirnya. “Aku pulang setelah kamu selesai makan,” sahut Satria turun dari tempat tidur dan mengunci pintu kamar. Begitu dia berbalik, matanya mendapati Rena yang sedang melepas baju kerjanya. Mempertontonkan lekuk tubuhnya yang tidak pernah gagal membuat Satria kelimpungan menelan ludah. Dia mendekat, membantu melepas pengait rok di bagian belakang. “Lain kali kalau sakit ngomong, jangan malah kabur pulang sendiri.” Rena masih tetap diam, berbaring menyandar setelah selesai mengganti bajunya. Kepalanya berdenyut pusing bukan main, padahal sudah makan obat dari kakak iparnya. “Makan dulu!” titah Satria menyodorkan sendok berisi bubur ayam ke mulut Rena. “Mulutku pahit Sat, nggak pengen makan.” tolaknya. “Aaaa …” Dengan setengah terpaksa Rena membuka mulutnya menerima suapan dari Satria. Pagi dia hanya sempat meminum segelas s**u yogurt, lalu siangnya tidak doyan makan gara-gara dibuat emosi oleh Nadine. Jadilah seharian perut Rena tidak terisi apa-apa, mungkin itu yang membuatnya sampai masuk angin. “Jangan sakit, aku khawatir.” ucap Satria kembali menyuapkan buburnya. “Kamu menyebalkan,” sahut Rena dengan muka cemberut dan mata berkaca-kaca. “Dari dulu kok,” jawab Satria makin membuat Rena dongkol setengah mati. Air matanya mengalir, tapi memang iya kalau dari dulu Satria selalu saja menyebalkan. Bodohnya dia malah makin cinta dan seperti tidak bisa berpaling dari pria yang sudah dianggap papa oleh anaknya itu. “Dasar cengeng!” ucap Satria tersenyum gemas mengusap air mata Rena yang makin deras merembes. "Pulang sana, datang cuma bikin kepalaku tambah sakit!” “Nggak, aku tidur disini. Bang Aksa juga tidak bakalan marah,” tolaknya. “Sat …” “Apa Boo?” sahut Satria. “Nggak usah ngerayu, aku masih marah Sat!” seru Rena menepis tangan Satria merapikan rambutnya. “Biasanya kalau di tempat tidur kamu suka dipanggil begitu kan?” Saking kesalnya terus digoda padahal dia masih benar-benar kesal, dengan kakinya Rena mendorong Satria menjauh. Sayang, pria itu justru menangkap kakinya dan menariknya mendekat. “Sial …” Satria membungkam mulut Rena yang hendak mengumpat dengan menciumnya dalam. Mata wanita itu melotot sengit, lalu balas menggigit bibir Satria. “Sakit Ren!” keluhnya meringis memegangi bibir bawahnya yang memerah. Rena mendengus tidak peduli, lalu beringsut mundur dan kembali menyandar di tumbukan bantalnya. Tidak, kali ini dia tidak akan lagi dengan mudah luluh oleh rayuan Satria. “Kemejamu masih bau kucing garong,” sindir Rena. Bodohnya lagi, Satria langsung mengendus kemeja yang melekat di tubuhnya. Dia lantas meletakkan mangkuk bubur di tangannya, lalu mulai melepas satu persatu kancing kemejanya. “Aku menyuruhmu pulang, kenapa malah lepas baju?!” seru Rena geregetan dengan kelakuan Satria. “Mau mandi, biar kamu tidak uring-uringan terus.” Rena menghela nafas panjang melihat Satria melempar kemejanya asal, lalu masuk ke kamar mandi. Begitu sulitnya untuk melawan pengaruh seorang Satria, bahkan setelah dia dibuat sakit hati oleh kelakuan Nadine. Hubungan mereka berangkat dari dua masa lalu yang sama-sama kelam. Bukannya Rena tidak percaya pada kesungguhan Satria, tapi bagaimana dia tidak sakit hati setelah dua kali mantan Satria datang dan memukul telak kesabarannya selama ini. Kemunculan Nadine membuatnya mulai pesimis, apakah nanti bisa terus sekuat ini bertahan di samping Satria jika mantannya yang lain kembali bermunculan. Lelah, dia berbaring dan menarik selimutnya. Membiarkan semua beban di kepalanya tenggelam bersama kantuknya. Seberapapun dia berusaha lari, Rena tahu dirinya selalu berakhir menyerah dan kembali jatuh ke pelukan Satria. “Boo …” “Hm …” Rena menggumam dengan mata terpejam rapat, tapi wangi sabun itu menguar begitu seseorang merengkuhnya masuk dalam pelukannya. “Maaf, jangan marah lagi. Aku pasti akan membalas siapapun yang sudah menyakiti kamu dan Naya.” Di alam bawah sadarnya Rena mengangguk, sangat pelan. Secinta itu dia pada Satria. Wanita-wanita dari masa lalu pria itu mungkin akan kembali bermunculan dan menggores luka di hatinya, tapi sepertinya Rena akan lebih sakit kalau harus hidup tanpa Satria. Terlebih Naya, anaknya yang sudah terlanjur menganggap dan begitu menyayangi Satria sebagai papanya. “Jangan pernah berpikir bisa pergi dariku, Boo, karena aku tidak bisa hidup tanpa kamu dan Naya.” bisik Satria, lalu mengecup bibir Rena yang sudah terlelap pulas di pelukannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD