Bab.2 Salah Cari Lawan

1540 Words
Rena disana, duduk satu meja hanya berdua dengan Freya menikmati makan siangnya. Meski mencoba terlihat baik-baik saja, namun gurat amarah tampak jelas di wajah cantiknya. Sifatnya memang pendiam dan tidak pernah banyak menuntut, tapi sekalinya marah sulit sekali dibujuk. Satria yang baru saja masuk ke kafe berdiri menatapnya dengan perasaan campur aduk. Salahnya juga masih membiarkan Nadine datang mencarinya, padahal sejak awal dia tahu wanita itu masih terus mencari celah menggodanya. Namun, Satria sama sekali tidak menduga kalau mantan teman tidurnya itu akan bertingkah sekurang ajar tadi. Sialnya lagi justru kepergok oleh Rena, sebelum dia sempat menyingkirkan tangan m***m wanita gatal itu. “Mau apa kesini? Jangan merusak suasana makan siang kami!” ucap Freya ketus begitu Satria menyusul duduk di bangku kosong samping Rena. “Ke kafe ya mau makan, masa iya mau ngajak berantem! Aku bukan kamu yang hobinya mancing ribut,” balas Satria. Freya terkekeh, melirik adiknya yang tampak galau setelah tertangkap basah oleh Rena sedang digerayangi kucing liarnya di ruang kerja. Dasar bodoh, dulu dengan Kiran dan sekarang ganti Nadine. “Ternyata masih bisa lapar juga, aku pikir dua pepaya silikon mantan kucing liarmu yang tadi sudah cukup membuatmu gumoh!" cibir Freya makin menjadi. “Berhenti mengompori Rena, Frey! Nanti dikira aku beneran aneh-aneh dengan Nadine!” dengusnya kesal bukan main, tapi Freya justru mendecih dengan tatapan sinisnya. “Memang iya kan?!” “Frey!” “Nggak usah ngeles! Rena sudah cerita kamu habis digerayangi anaknya Mahendra,” ucap Freya kesal. Satria menoleh, namun Rena masih saja bungkam. Nasi goreng di piringnya hanya diaduk-aduk tanpa dimakan barang sesuap. “Kamu masih saja suka ngambek seperti anak kecil, mau dijelasin malah kabur.” “Mau menjelaskan apalagi?!” ucap Rena menoleh membalas tatapan Satria. “Paling kamu mau bilang kalau dia yang menggodamu, dan kamu sama sekali tidak berniat menggubrisnya. Basi Sat!” dengusnya marah, tapi tetap berusaha merendahkan suaranya. “Terus kamu mau aku bilang apa, sedang kenyataannya memang seperti itu?” ujar Satria. “Jangan percaya begitu saja Ren! Lain kali kalau ketahuan bertingkah lagi, pasti akan seperti itu alasannya.” “Kamu bisa diam dulu nggak sih Frey?!” bentak Satria jengkel. “Sayangnya tidak,” jawab Freya tidak peduli meski Satria melotot menatapnya jengah. Kepala Satria sudah mendidih melihat kelakuan kakaknya yang justru jadi kompor hingga Rena makin sulit dibujuk. Merasa percuma berdebat dengan mereka, Satria menarik piring makan Rena sekalian merebut sendoknya. Freya hanya menggeleng melihat adiknya makan dengan begitu lahapnya. “Aku cuma ke toilet sebentar, kenapa malah ditinggal?!” Mereka bertiga sontak mendongak, Satria sampai tersedak dan terbatuk-batuk melihat Nadine yang tiba-tiba muncul di sana. Sial sekali nasibnya hari ini. Masih belum puas membuat Rena salah paham, biang kerok yang satu itu sekarang malah sengaja menyusulnya ke kafe dan memperkeruh keadaan. “Tidak apa-apa kan kalau aku ikut gabung duduk di sini?" Dia bukan sedang meminta izin, karena tanpa repot-repot menunggu dipersilahkan Nadine langsung menempati kursi kosong di samping Freya. Wajah jutek dan tatapan tidak suka si pemilik perusahaan sama sekali tidak membuatnya rikuh. Padahal dia jelas tahu, tidak satupun yang mengharapkan keberadannya di sana. “Anak orang berada ternyata tidak menjamin punya etika. Belajarlah lagi sopan santun! Tidak semua orang bisa nyaman dekat dengan orang asing, termasuk aku.” ucap Freya pedas tanpa menutupi rasa tidak sukaannya. “Aku datang bersama Satria sebagai calon patner kerjasama Linzone. Kami juga sudah lama saling kenal, iya kan Sat?” sahutnya sambil tersenyum tidak tahu malu. Satria sempat menoleh ke Rena, tapi wanitanya itu justru melengos membuang wajah marahnya. Suara dentingan terdengar keras saat Satria melempar sendoknya kasar. Beberapa pengunjung yang menempati meja samping mereka sampai terang-terangan mengalihkan pandangannya ke mereka. “Mau kamu apa sebenarnya Nad? Kita memang sudah lama kenal, tapi bukan teman dan tidak punya urusan apa-apa. Kamu jangan coba-coba membuat masalah denganku!” “Kenapa kamu marah? Aku cuma datang untuk membicarakan lagi soal kerjasama yang kemarin itu,” ucapnya seakan sama sekali tidak terganggu oleh kemarahan Satria. "Kamu ini benar-benar sudah tidak punya urat malu. Tadinya aku ingin membantu menengahi mencari kata sepakat tentang kerjasama yang menemui jalan buntu, tapi ternyata kamu malah berulah lagi dan membuat semua semakin runyam!" "Salahku dimana?!" sanggahnya. “Kamu jangan sok bego! Tadi sudah kubilang aku bukan lagi penanggung jawabnya. Semua hal tentang rencana kerjasama itu sudah diambil alih oleh iparku. Kalau memang masih ada yang mengganjal kamu datangi saja dia, kenapa malah terus mengejarku bahkan sampai menyusul kesini?!” sahut Satria geram. “Tapi …” “Tidak perlu mendatangi suamiku, waktunya terlalu berharga untuk mengurus hal sepele seperti ini. Kalau kamu belum lupa ingatan, waktu di Bali aku sudah memberikan jawabannya kan? Bagian kalian hanya dua puluh persen saham dari proyek kerjasama ini. Kalau setuju kita lanjut pembahasannya, tapi kalau tidak mau ya sudah! Ada yang masih kurang paham?!” tegas Freya. “Dua puluh persen terlalu kecil, bukankah tadinya kalian sendiri yang menawarkan empat puluh persen saham? Kenapa malah turun jadi setengahnya saja?” tanyanya dengan raut kesal. “Karena kamu menolak empat puluh persen yang tadinya kami tawarkan,” jawab Freya. “Tapi sekarang aku berubah pikiran dan menerima tawaran kalian itu.” “Sama, aku juga sudah berubah pikiran untuk menurunkan tawaran kami. Kamu kira cuma kalian saja yang bisa plin-plan, kalau mau kami bahkan jauh lebih bisa.”sahut Freya telak membungkam lawan bicaranya. Rena mengulum senyum melihat Nadine yang mati kutu berhadapan dengan Freya. Sejak dulu saat masih menjadi fotografer dan belum bertemu ayah kandungnya yang ternyata seorang konglomerat, Freya sudah dikenal pendiam tapi judes. Apa yang Nadine lakukan sekarang dengan mendatangi mereka yang sedang makan siang di kafe dan bersikap seenaknya, justru semakin membuat istri sang presiden direktur itu meradang. Satria tidak lagi menggubris Nadine yang menatapnya penuh harap untuk membantunya membujuk Freya. Niat baiknya sudah terlanjur menguap oleh kelakuan Nadine sendiri yang telah dengan sengaja membuat Rena salah paham. Satria meraih gelas minuman di tangan Rena, lalu meneguk habis sisa jus jeruk di dalamnya. Emosi menguras habis tenaganya. “Masih ada meja kosong, tolong pindah karena aku dan Rena tidak nyaman dengan keberadaanmu di sini! Kalau perusahaan kalian masih ingin meneruskan rencana kerjasama ini dengan dua puluh persen tawaran saham, silahkan hubungi sekretaris suamiku!” tandas Freya tanpa basa-basi mengusir tamu tak diundangnya itu pergi dari meja mereka. Namun, nyatanya tidak semudah itu. “Aku minta maaf kalau memang ada sikapku yang tidak berkenan, tapi tolong jangan campur adukkan antara bisnis dan pribadi. Kerjasama ini jelas saling menguntungkan. Tidak bisakah kita diskusikan lagi dengan kepala dingin?” ucap Nadine belum ingin menyerah, meski muka Freya sudah terlihat begitu tidak bersahabat. “Maksudmu aku tidak profesional?” sahut Freya. “Bukan begitu, tapi …” “Aku tidak peduli pernah ada hubungan apa kamu dengan Satria, tapi mencoba menggunakan kedekatan kalian untuk mempermudah kerjasama itu sangatlah sia-sia. Keputusan tetap ada di tanganku dan kamu sudah mendengar sendiri jawabanku,” sekali lagi Freya menegaskan ucapannya ke Nadine. “Yang kalian permasalahkan sebenarnya karena tidak menyukaiku, itu saja! Jadi apakah kalau ayahku yang datang untuk membicarakan ulang kontrak kerjasama ini, kalian juga akan berubah pikiran?” ucapnya dengan tatapan tajam ke Rena, seolah menuduh dia yang menjadi dalang di baliknya. Freya meletakkan sendok di tangannya, lalu memiringkan duduknya dan menatap jengah wanita di sampingnya itu. Lagi-lagi bau parfum wanita itu membuat perutnya bergolak mual. Nadine ini tidak jauh beda dengan Hana, mantan saudara tirinya yang berkelakuan liar, berhati busuk dan tidak tahu malu. “Pulang dan berkaca lah! Mungkin kamu akan tahu kenapa kami tidak menyukaimu. Setiap orang pasti pernah salah, tapi kalau sudah salah masih tidak tahu diri itu yang menjijikkan!” ujar Freya, lalu beranjak dari duduknya. “Ayo Ren, kita makan di tempat lain saja yang tidak ada pengganggunya!” ajaknya. Rena mengikuti Freya keluar dari kafe, meninggalkan Satria yang menatap Nadine penuh amarah. Bahkan setelah membuat suasana makan siang mereka berantakan seperti ini, dia masih menunjukkan wajah sinis dan tidak terimanya saat menatap Freya dan Rena yang semakin menjauh. “Benar kata kakakku, kelakuanmu benar-benar menjijikkan Nad!” “Jijik? Tapi kamu tiduri juga kan?!” balasnya sinis. “Iya, dan aku menyesal sekarang. Urusan kita hanya sebatas teman tidur, itupun sudah lama berlalu. Jangan karena pernah seranjang denganku, lalu kamu besar kepala merasa istimewa dan mulai bertingkah. Berhenti berulah merecoki hubunganku dengan Rena!” “Sat …” “Lain kali kamu bukan hanya kehilangan kontrak kerjasama, tapi aku juga akan menghancurkan perusahaan kalian. Camkan itu!” ucap Satria yang berdiri dari duduknya dan sedikit menunduk di depan Nadien yang menatapnya dengan wajah merah padam. “Kamu mengancamku?! Tidak takut aku membongkar semua pada Rena dan orang tuamu?!” ancamnya, tapi Satria justru menyeringai menantang. “Rena dan keluargaku sudah tahu tentang semua kelakuanku dulu. Ayo kita buktikan, siapa yang akan lebih dulu hancur! Kamu salah cari lawan, terlalu mudah bagiku untuk membuat kalian jatuh melarat.” Satria balas mengancam sebelum kemudian pergi dari sana. Beberapa pengunjung tampak mencuri pandang pada Nadine yang duduk dengan tangan terkepal dan gemetar. Seumur-umur baru kali ini dia dihina dan direndahkan seperti ini. “Freya, anak haram Jonathan Lin saja sombongnya selangit! Kamu juga Satria, kalau tidak diangkat anak, tempatmu masih di bawah jembatan dan jadi gembel di pinggir jalan!” desisnya lirih.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD