Bab.7 Jadi Teman

1800 Words
“Tunggu Ren!” Rena tidak lagi memperdulikan panggilan Xena di belakangnya. Langkah kakinya justru semakin lebar menuju ke arah mobilnya yang terparkir di halaman Golden. Dia juga tidak ingin terlihat cengeng, tapi sakit hati membuat air matanya tidak bisa berhenti mengalir. Keributan kemarin saja masih menyisakan kemarahan yang belum sepenuhnya pudar, sekarang Satria justru membuat semua menjadi semakin runyam. Rena bahkan tidak tahu lagi, apakah setelah ini mampu melanjutkan lagi hubungan mereka. “Aku bilang tunggu, Ren!" Akhirnya Xena berhasil mencekal tangan Rena yang hampir mencapai pintu mobil, tapi langsung ditepis kasar. Raut tidak bersahabatnya sangat jauh beda dari dia yang biasanya pendiam dan begitu penyabar. “Mau apa mengejarku? Menyalahkanku lagi seperti dulu saat aku meninggalkan Satria yang sudah berbohong soal Kiran?! Bela saja terus temanmu yang sialan itu!” serunya kesal. “Ck, kenapa bicaramu malah ngelantur? Mau kemana kamu dengan keadaan seperti ini?!” sahut Xena berusaha untuk tidak tersulut. “Bukan urusanmu!” “Tidak usah keras kepala, Ren! Bagaimana kamu bisa menyetir dengan tangan yang terus gemetar begitu? Aku hanya tidak ingin disalahkan Sifa kalau sampai terjadi apa-apa dengan iparnya.” Tanpa kesulitan sedikitpun Xena berhasil menyambar kunci di tangan Rena, lalu membuka pintu penumpang dan menarik lengannya yang masih berdiri gamang itu masuk. Rena duduk menyandar, matanya yang memburam panas masih menatap sakit pintu bar dimana Satria dan wanita sialan itu masih tepar di dalam sana. “Ke apartemen saja, aku tidak ingin Kak Aksa dan Mbak Sifa melihatku pulang dengan keadaan seperti ini.” ucap Rena saat Xena mulai melajukan mobilnya meninggalkan halaman Golden. “Kalau begitu beritahu mereka kalau kamu pulang ke apartemen, biar tidak khawatir.” Rena menurut, mengambil ponselnya dari dalam tas dan mengirimkan pesan ke kakaknya. Namun, saat melihat gambar foto mereka bertiga saat prewedding di layar ponselnya Rena kembali menangis terisak. Akankah seperti apa yang Nadine katakan waktu itu, foto prewedding mereka bakal terbuang percuma. “Apa yang sudah Nadine katakan saat menelpon menyuruhmu datang ke Golden?” tanya Xena saat mobil mereka berhenti di lampu merah. “Apa yang dia katakan tidak lagi penting, karena buktinya Satria memang ada bersamanya di sana.” jawab Rena. “Iya, Satria memang yang mengajak kucing korengan itu bertemu di Golden, karena memang itu bagian dari rencana kami untuk menjebaknya. Jadi jangan percaya kalau dia bicara yang aneh-aneh untuk memanasimu,” jelas Xena berusaha menengahi salah paham mereka dengan membeberkan cerita sebenarnya. “Dia temanmu, benar salah pasti akan kamu bela.” “Bukan begitu Ren …” “Buktinya dulu kamu juga menyalahkan dan membenciku saat aku memilih putus, karena tahu Satria berbohong soal Kiran. Seandainya kamu berada di posisi yang sama denganku, sakit hati tidak kalau Bang Jo berbohong masih bekerja dan kemana-mana menempel dengan sekretarisnya yang ternyata juga mantan wanita peliharaannya? Apalagi Satria tahu betul, Kiran menyimpan perasaan padanya dan terus berharap lebih.” sela Rena telak membuat Xena terdiam. “Hubungan bukan cuma butuh cinta Xen, tapi juga kepercayaan dan kejujuran. Bagaimana aku bisa memberikan kepercayaanku, sedang Satria sudah beberapa kali tidak jujur padaku.” Xena menghela nafas kasar, kalau sudah begini siapapun pasti tidak akan bisa membela Satria lagi. “Satria memang salah tidak jujur tentang telepon itu. Mungkin dia punya pertimbangan lain, karena kamu juga masih marah soal kemarin.” ucap Xena. “Itu bukan alasan yang membenarkan ketidak jujurannya. Jangan lagi berkilah semua demi menjaga perasaanku, karena tidak ada yang namanya berbohong untuk kebaikkan.” sahut Rena menohok. Rambu menyala hijau, Xena pun kembali melajukan mobilnya. Sesekali dia melirik Rena yang menyandar dengan mata sembabnya yang terpejam rapat. “Besok kalau kalian sudah sama-sama tenang, cobalah untuk duduk dan bicara baik-baik. Acara lamaran tinggal tiga hari lagi, jangan sampai semua berantakan karena masalah ini.” ucap Xena. Lamaran, mengingat itu Rena justru tersenyum getir. Sepertinya dia juga akan memikirkan ulang apakah semua masih perlu dilanjutkan lagi. “Xen …” “Apa?” “Kalau kamu jadi aku, apakah akan tetap bertahan?” tanya Rena dengan tatapan menerawang ke luar. Dari pantulan kaca, Rena masih bisa melihat teman dekat Satria itu menoleh kaget. “Jangan bilang kamu berniat membatalkan lamaran kalian yang tinggal menghitung jam?!” tebaknya. “Kamu belum menjawab pertanyaanku,” sahut Rena. “Ck, kenapa malah memberiku pertanyaan sesulit itu?!” decak Xena kesal karena harus terjebak dalam pertanyaan memusingkan. “Supaya kali ini kamu tidak akan menyalahkan aku lagi, seperti saat aku dan Satria ribut soal Karin dulu.” “Sialan! Kamu sengaja terus mengungkitnya supaya aku merasa bersalah kan? Maksudmu menyuruhku untuk minta maaf atau gimana?!” umpat Xena menatap Rena sewot, tapi kemudian mereka berdua justru tertawa terkekeh. Tangan Rena meraih hiasan tiga boneka mungil bertuliskan namanya, Satria dan Naya di bagian tengah yang tergantung di spion, lalu mengusapnya lembut. “Kalau aku jadi kamu, mungkin juga akan berpikir ulang untuk melanjutkan hubungan ini. Namun, sebagai sahabat Satria yang tahu betul sebesar apa cintanya pada kamu dan Naya, tentu saja aku ingin kalian bisa terus bersama.” jawab Xena untuk pertanyaan yang tadi. “Ujung-ujungnya kamu tetap membelanya,” cibir Rena. “Karena aku tahu Satria tidak sebrengsek itu, Ren. Berbohong soal telepon itu memang salahnya, tapi niat dia mengajak Nadine bertemu itu juga murni hanya bagian dari rencana kami.” ucap Xena. Rena mendengus, lalu menyentil muka boneka bertuliskan nama Satria itu dengan jengkelnya. Percuma dia mengamuk sampai menangis sakit hati, sedang bisa jadi Satria yang mabuk tidak akan mengingat apapun. “Kamu teman terdekat Satria, bisa beritahu aku berapa banyak hal lagi yang dia coba sembunyikan dariku?” “Maksudmu hal apa?” Xena balik bertanya. “Hal yang aku tidak tahu dan dia tutupi dariku,” jawab Rena. “Setahuku tidak ada. Satria selalu menutup rapat apapun tentang ayah kandungnya, tapi bukankah sekarang kamu juga sudah tahu semua tentang Tirta Adiwangsa dan keluarganya?” ucap Xena. “Kalau tentang mantan kucingnya?” cecarnya. “Ya mana aku tahu!” sahut Xena merengut kesal. “Kalaupun tahu, aku yakin kamu akan lebih memilih tutup mulut.” “Masih belum puas kamu menghajar Nadine, sekarang ganti mau mengajakku gelut ya?!” balas Xena sengit, tapi Rena malah cengengesan. “Ternyata kamu tidak semenyebalkan yang aku kira. Pantas saja bisa bestian sama Mbak Sifa,” ucap Rena. “Sama, kamu ternyata tidak selemot yang kami kira. Coba kalau sejak awal kamu bisa tegas dan sedikit bar-bar seperti tadi, para mantan Satria juga tidak akan sekurang ajar itu.” Mendengar itu Rena hanya menghela nafas panjang sambil menyandarkan kepalanya yang pening ke kaca. Sama seperti kakaknya, dia tidak suka keributan dan biasa memendam semua sendiri. Kali ini dia sampai menghajar Nadine karena mulut dan kelakuan wanita itu benar-benar sudah kelewat batas. “Apa yang sebenarnya kalian rencanakan ke Nadine? Jangan mencari masalah baru yang nantinya malah akan berbuntut panjang!” tegur Rena. “Satria bilang ingin membalas Nadine yang sudah membuatmu sakit hati dan lancang menghina anaknya. Siapa sangka ujung-ujungnya malah dia sendiri yang terjebak dalam permainannya kali ini. Dasar bodoh!” jawab Xena dibuat gedek dengan kecerobohan Satria. “Jangan lanjutkan rencana kalian, Xen! Toh, aku sudah membalasnya sendiri.” “Kamu pikir Nadine akan kapok berulah setelah kamu hajar tadi?!” sahut Xena tersenyum geli melihat betapa lugunya otak Rena. “Aku akan memotong satu jariku kalau setelah dilepas begitu saja, dia tidak akan datang membalasmu. Wanita licik seperti itu memang sudah seharusnya diberi pelajaran biar lain kali lebih tahu diri.” imbuhnya “Justru kalau kalian keterlaluan membalas, Nadine akan semakin menggila Xen!” “Maka Ibra dan Satria pasti akan membuat dia sekeluarga kehilangan segalanya,” tegas Xena. Rena sudah tidak berminat lagi meneruskan debat mereka. Percuma, Ibra dan Satria memang tidak pernah membiarkan begitu saja siapapun yang berani menyenggol keluarganya. “Ren …” “Hm …” “Tolong jangan tinggalkan Satria. Dia tidak akan bisa tanpa kamu dan Naya. Aku adalah orang yang melihat sendiri seperti apa hancurnya dia saat kamu tinggal pergi dulu,” ucap Xena saat sudah hampir sampai di apartemen kakak Rena. “Tapi nyatanya dia tidak bisa belajar dari apa yang telah kami alami dulu, Xen. Satria tetap mengulangi kesalahan yang sama, dan sepertinya juga akan membuat kami berakhir terpisah lagi.” Xena menoleh setelah mobil mereka berhenti tepat di depan lobi. Ingin sekali dia meminta Rena supaya memberi kesempatan untuk temannya yang bodoh itu, tapi sebagai sama-sama perempuan dia tahu sesakit apa hatinya sekarang. Tidak, kali ini dia tidak akan lagi membela Satria. Pria bodoh itu memang perlu diberi pelajaran biar bisa lebih tegas dan terbuka. Kenapa begitu? Karena Xena tahu Satria juga masih belum mengatakan pada Rena tentang keinginannya untuk tidak punya anak dari darah dagingnya sendiri. Hal penting yang dianggap remeh oleh Satria, tapi bagi mereka adalah wujud nyata keegoisannya. Kalaupun kali ini Rena mau memaafkan Satria, bukan tidak mungkin soal keturunan akan jadi jurang pemisah bagi hubungan mereka nantinya. Pernikahan dan anak, dua hal yang tidak bisa terpisah. Tapi, Satria hanya menginginkan satu diantaranya. “Pikirkan lagi baik-baik, Ren! Ini bukan masalah antara kamu dan Satria saja, tapi pertimbangkan juga perasaan Naya.” “Aku tahu,” sahut Rena mengangguk. “Tidak apa-apa kamu sendirian? Aku akan ikut naik kalau kamu merasa butuh teman,” tawar Xena tampak khawatir melihat keadaan Rena yang jauh dari kata baik-baik saja. “Memangnya kita teman? Setahuku kamu tidak pernah menyukaiku, apalagi sejak aku putus dengan Satria dan dekat dengan Bang Rendra.” sindir Rena. “Sialan! Tahu begitu aku tidak akan sudi repot-repot mengantarmu ke sini. Lama-lama kamu sama menyebalkannya dengan Satria!” umpatnya kesal. Rena meraih tasnya, lalu beranjak turun. Sebelum menutup pintu dia menunduk dan tersenyum ke Xena. “Terima kasih Xen, tolong titip Satria kalau memang setelah ini kami terpaksa tidak bisa lagi bersama.” ucapnya. Xena mengangguk, sepertinya masalah ini memang tidak akan semudah itu selesai. Besok saat bangun dan mulai mengingat semua, Satria pasti akan menyesal setengah mati. “Hubungi aku kapanpun kamu butuh! Aku tidak akan mengatakan apapun ke Satria.” “Apa kamu sedang mengajakku berteman?” ledek Rena terkekeh. “Tidak, aku hanya kasihan melihatmu lebih sering sendirian.” sahut Xena ketus. Kali ini Rena tertawa terbahak. Tidak menyangka wanita ganteng berambut cepak dengan tangan dipenuhi tato, dan selalu bermulut pedas itu ternyata menyenangkan juga diajak ngobrol. “Good job Ren, apa yang kamu lakukan tadi ke Nadine dan Satria memang sudah tepat. Tetaplah begitu, tegas dan berani biar tidak ada yang berani menginjak.” tambah Xena. Rena mengangguk, lalu tersenyum melambaikan tangannya sebelum menutup pintu mobil. “Bye-bye Xenxen.” Xena tergelak mendengar Rena menirukan panggilan sayang dari Jo. Mobil yang disetirnya melaju meninggalkan halaman apartemen Aksa. Dari spion Xena melihat Rena yang melangkah gontai masuk ke lobi. Benar-benar tidak tega melihatnya begitu terluka. “Terserah Sat, goblokmu itu memang sudah tidak ketulungan lagi.” gumamnya menggeleng.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD