Bab.8 Kalang Kabut

2016 Words
Mulai hari ini aku berhenti sebagai sekretarismu. Surat pengunduran diri akan menyusul secepatnya. Setelah terbangun dengan kepala sakit bukan main, sekarang pesan singkat Rena di pagi itu sontak membuat Satria kalang kabut. Dia bergegas ke rumah Aksa, namun bukannya menemukan Rena justru disambut muka masam yang punya rumah. “Semalam dia pamit katanya mau mencarimu ke Golden, tapi sampai sekarang tidak pulang. Seharusnya aku yang bertanya dimana adikku. Kenapa kamu malah pulang sendirian?!” Sifa mengulum senyum mendengar jawaban ketus suaminya pada Satria yang datang tergopoh mencari Rena. “Maaf Bang, semalam karena terlalu mabuk Wira yang mengantarku pulang.” “Lalu Rena? Kamu tinggal begitu saja di sana?” tanya Aksa kesal. Satria menggeleng dengan wajah bersalahnya, “Wira bilang dia malah pulang duluan diantar Xena.” “Kalau begitu tanya saja ke Xena, kenapa malah ke sini?!” sahut Aksa jengkel, lalu bergegas mengangkat bergantian bayi kembarnya yang merangkak menjauh. “Fa, kamu pasti tahu Rena dimana kan? Xena mana mungkin tidak memberitahumu kemana dia mengantarnya semalam,” Satria alih bertanya ke dokter cantik itu. “Tentu saja tahu, kalau tidak mana mungkin kami bisa duduk tenang sementara Rena semalaman tidak pulang.” jawab Sifa kalem seperti biasanya. Bukan kalemnya wanita pendiam, tapi kalem dengan tatap matanya yang mematikan. Sifa dan Xena bisa berteman dekat bukan tanpa alasan. Di balik wajah tegas dan murah senyumnya sebagai pimpinan rumah sakit, Sifa menyimpan rapi sifat aslinya yang bar-bar. “Kalau begitu tolong beritahu aku dimana Rena sekarang!” “Dia tidak pulang karena belum siap bertemu denganmu, Sat. Rena bilang butuh sedikit waktu untuk berpikir jernih. Memaksa mengajaknya bicara saat dia masih emosi hanya akan memperburuk keadaan.” “Tapi dia berpikirnya malah makin ngawur. Barusan Rena bilang mulai hari ini berhenti jadi sekretarisku, lalu nanti apalagi? Aku tidak mau kalau dia sampai berpikiran membatalkan acara lamaran kami lusa.” Bahkan meski melihat Satria cemas tidak karuan, Aksa dan Sifa tampak sama sekali tidak peduli. Melihat keduanya ribut itu sudah biasa, tapi kali ini sepertinya Satria benar-benar sudah membuat Rena marah. “Pilihan ada di tangan Rena, kami tidak akan ikut campur urusan kalian. Sebagai kakaknya, aku akan mendukung penuh apapun keputusannya. Termasuk keluar dari Linzone, ataupun jika dia memang ingin membatalkan lamarannya.” tegas Aksa dengan tatapan kecewanya ke Satria. “Bang …” “Ini bahkan kesempatan kedua yang Rena berikan padamu, tapi nyatanya kamu masih tidak bisa belajar dari kesalahanmu dulu dan mengulanginya lagi Sat. Kalau kamu memang merasa belum siap berkomitmen, lebih baik lepaskan Rena dan Naya! Aku tidak akan tinggal diam melihat adikku tersakiti lagi!” ujar Aksa. “Tentu saja aku sudah siap, kalau tidak mana mungkin sampai prewedding segala dan ingin pernikahan kami dipercepat setelah lamaran nanti.” sahutnya begitu yakin. “Tapi kamu belum bisa meyakinkan Rena untuk memberikan kepercayaannya padamu, Sat. Bukankah karena itu juga kalian ribut semalam sampai akhirnya jadi berantakan begini?!” Ucapan Aksa menampar telak Satria. Tidak berkhianat, tapi memilih berbohong saat dia punya kesempatan untuk jujur ke Rena. Kelicikan Nadine benar-benar membuatnya terancam kehilangan segalanya. “Sudah berapa kali kamu membuatnya kecewa? Kalau sampai Rena memutuskan untuk pergi lagi darimu, aku yakin kamu tidak akan semudah dulu membujukkan untuk kembal.” ucap Sifa. “Karena itu tolong beritahu aku dimana Rena sekarang?” pinta Satria hampir dibuat putus asa. Sifa tetap menggeleng, meski sebenarnya tidak tega melihatnya kebingungan mencari keberadaan Rena dengan keadaannya yang tampak berantakan dan wajah pucat. “Jadi pria harus gentle, hargai apapun keputusan yang nantinya Rena ambil.” ujar Aksa. Satria akhirnya pergi setelah mereka bersikeras tutup mulut. Rena tidak punya banyak teman, jadi tempat yang bisa ditujunya juga hanya beberapa. Namun, tidak satupun dari mereka yang tahu keberadaannya. Sialnya lagi Xena pun memilih bungkam, seperti sengaja membantu Rena bersembunyi darinya. Sebenarnya Satria sudah mendatangi apartemen Aksa, tapi tertahan oleh pihak resepsionis yang tidak mengizinkannya naik. Itu yang membuatnya yakin kemungkinan Rena berada di sana, karena biasanya dia punya akses untuk masuk. Daripada membuat gaduh, dia memilih cara lain untuk menemukan Rena. Sayang, nasib sialnya belum berakhir karena begitu sampai kantor dia langsung disambut amukan iparnya. “Tidak bisakah kamu lebih serius Sat?! LinZone bukan kedai kopi yang bisa seenaknya kalian tinggal begitu saja. Aku sudah peringatkan kamu dan Rena, jangan campur aduk masalah pribadi dengan urusan kantor!” bentak Ibra marah begitu mendapati ruang wakil direktur kosong tak berpenghuni. Satria melangkah gontai melewati iparnya yang baru keluar dari ruang kerjanya. Ibra mendengus, dari pagi urusan kantor berantakan gara-gara wakil direktur dan sekretarisnya sama-sama absen tanpa kabar. “Maaf, beri aku waktu sehari ini saja untuk menyelesaikan masalahku dengan Rena.” ucap Satria. “Yakin masalahmu bisa selesai hari ini?! Rena barusan telpon dan bilang mau keluar. Pekerjaanku saja tidak habisnya, masih harus pusing dengan urusan kalian.” sahut Ibra menyusul duduk di sofa ruang kerja Satria. “Aku tidak akan membiarkannya pergi begitu saja!” “Heran aku, Sat! Mengurus seorang Nadine saja kamu tidak becus sampai masalahnya malah jadi berantakan begini,” dengus Ibra. “Mana aku tahu kalau dia akan selicik itu menjebakku dengan memberitahu ke Rena?!” sungut Satria makin kesal terus-terusan kena omel. Ibra menggeleng, masalah Nadine pasti akan terus berlanjut dengan apa yang sudah Satria lakukan pada mereka hari ini. “Papa akan menendangmu kalau sampai tahu, apa yang sudah kamu lakukan pada Nadine dan Mahendra grup.” tegur Ibra. “Itu harga paling pantas untuk apa yang sudah dia lakukan padaku dan Rena,” sahutnya. Telepon di atas meja berdering, Satria bergegas bangun dan mengangkatnya. Wajah keruhnya tampak menyeringai senang mendengar sambungan dari resepsionis kantor mereka. “Biarkan dia masuk!” titahnya, lalu meletakkan gagang telepon. “Siapa?” tanya Ibra. “Nadine,” jawabnya. “Masih berani dia kelayapan pamer muka, setelah foto panasnya jadi maskot di web Mahendra grup.” ucap Ibra dibuat gedek dengan kelakuan Nadine yang seperti sudah tidak punya urat malu. “Karin saja dulu sampai babak belur dihajar Nadine saat tidak sengaja bertemu kami di restoran. Dia sama sekali tidak malu sudah jadi tontonan banyak orang disana,” ujar Satria yang kembali dengan dua cangkir kopi. Dari pagi perutnya belum terisi apapun, ditambah kepalanya yang berdenyut sakit bukan main. Rena belum bisa dia temui, sekarang justru Nadine datang mau membuat ribut lagi. Cari mati! Wanita yang satu itu masih juga tidak sadar, kalau dampak dari ulahnya kali ini akan membuat perusahaan keluarganya hancur berantakan. “Keluar kamu, Sat!” Pintu ruangan Satria didobrak kasar dari luar. Tentu saja bukan Nadine pelakunya, tapi dua orang bodyguard bertubuh gempal tinggi besar bawaannya. Nadine masuk dan melangkah lebar ke arah Satria yang sedang duduk menikmati kopinya. Namun, saat lewat di depan Ibra tiba-tiba dia jatuh terjerembab setelah tersandung kaki sang direktur. “Sialan!” umpatnya melotot marah menatap Ibra. “Jadi tamu yang sopan! Apa kamu tidak diajari untuk mengucap permisi saat lewat di depan orang?!” tegur Ibra. “Sopan? Setelah semalam menjebakku dan mengambil foto tidak pantas, kalian membobol sistem keamanan perusahaan kami dan memajang foto-foto itu di sana! Apa itu yang namanya sopan?!” Ibra menoleh, mengernyit ke iparnya yang masih duduk tenang menikmati kopinya. “Kamu menjebaknya, Sat? Keterlaluan sekali kamu ini! Mahendra grup bukan situs begituan, kenapa malah kamu buat jadi galeri pameran foto dewasa?” tanya Ibra seolah dia benar-benar tidak tahu apa-apa. “Tidak, justru aku yang dijebak.” bantah Satria menggeleng. “Cih … muka brengsekmu sama sekali tidak pantas berlagak bodoh, sialan!” umpatnya menuding dengan mata melotot. Dalam suasana memanas, Satria justru tertawa celikikan melihat wajah Nadine yang babak belur. Pantas saja tadi saat baru masuk dia mengenakan topi dan masker, ternyata untuk menyembunyikan muka dan keningnya yang bonyok dihajar Rena semalam. “Apa tukang profesional kalian belum bisa juga mengambil alih lagi sistem perusahaan kalian yang dibobol hacker? Orang tuamu pasti bangga melihat anaknya jadi model khusus dewasa sekarang.” cibir Satria. “k*****t kamu, Sat! Ini urusan kita, tapi kamu malah berani menghancurkan nama baik keluarga dan perusahaan kami!” teriak Nadine. "Bagaimana kalau besok kita ganti fotomu dengan video? Pasti akan lebih laris daripada jualan obat hasil perusahaan kalian yang kurang diminati pasar itu!" cibir Satria. "b******n kamu, Satria!" Nadine tidak bisa menahan emosinya lagi. Dia menghambur seolah tidak sabar ingin mencabik-cabik tubuh Satria untuk membalas kelakuannya yang sudah mempermalukan dia dan keluarganya. Namun, belum sempat dia bisa menyentuh ujung rambut Satria, Nadine menjerit saat sisa kopi panas di cangkir pria itu menyiram pahanya. Dua bodyguard bawaannya yang hendak mendekat terhenti oleh Ibra yang tiba-tiba berdiri menghadang. “Jangan coba-coba membuat gaduh di tempatku!” ucapnya penuh peringatan. “Sayangnya kami memang datang untuk membuat gaduh, terus kalian mau apa?!” sahut salah satu dari mereka sambil menghantamkan tinjunya Dari arah belakang Ibra, Satria menyambut pukulan pria itu dengan menghempaskan tinjunya ke arah mata. Lengking kesakitan terdengar keras. Ibra menendang kuat tubuh pria yang terhuyung ke belakang sambil memegangi matanya itu hingga terjungkal ke lantai. “Mau cari gaduh kan? Kebetulan aku juga butuh teman bermain,” ucap Satria menyeringai ke pria satunya lagi. Dari kemarin kepalanya sudah mendidih, kebetulan Nadine datang membawa orang untuk jadi samsaknya. Menarik lepas dasinya, Satria melangkah mendekat sambil melirik Nadine yang berdiri terpaku melihat orang bawaannya terkapar kena bogem iparnya. Pria itu mulai terlihat panik mendapati lawannya ternyata tidak hanya tak mempan gertak, tapi juga lebih jago berkelahi dari mereka. Tangannya yang gemetar meraih keramik hias di atas meja saat dia terpepet mundur. Begitu di lempar, Satria berkelit ke samping lalu menendang perutnya dengan tenaga penuh. “Mau lari kemana kamu?!” ucapnya kembali menendang ulu hati pria itu saat mencoba kabur. Nadine berdiri dengan kaki gemetar melihat Satria seperti orang kesetanan memukuli pria yang meringkuk itu tanpa ampun. Wajahnya memerah kaku dengan mata nanar, benar-benar mengerikan tak seperti Satria yang biasa menawan dengan senyumnya. “Berhenti Sat! Kamu bisa membunuhnya!” seru Ibra menarik lengan iparnya menjauh dari tubuh pria yang sudah babak belur itu. Satria menepis tangan Ibra, lalu mendekat ke Nadine dan menudingnya penuh amarah. “Buka matamu lebar-lebar wanita sialan! Jangan pikir karena kamu perempuan aku tidak berani membalasmu. Berani berulah lagi mengusik Rena dan Naya, aku akan melemparmu ke neraka! Camkan itu!” gertaknya dengan nafas terengah. “Kamu pikir bisa menggertakku?! Dengan apa yang kamu lakukan pada perusahaan kami hari ini, aku tidak takut apapun lagi.” desisnya menantang, padahal dia juga sudah ketakutan. Satria menyeringai, perlahan mendekat mengikuti Nadine yang terus mundur dengan wajah pucatnya. Begitu punggung wanita itu menabrak tembok di belakangnya, tangan besar Satria mencengkram leher Nadine hingga membuatnya mendongak dengan mata melotot. “Lepaskan k*****t!” ucapnya serak dengan kedua tangan berusaha keras menghempas cengkraman Satria. “Bukannya kamu bilang tidak takut apapun lagi?” olok Satria tersenyum miring, menikmati wajah ketakutan wanita yang sudah membuat hubungannya dengan Rena retak. “Sat!” seru Ibra mengingatkan iparnya untuk tidak lepas kendali. “Ini hanya permulaan, lain kali kalau kamu masih berulah aku tidak akan berpikir dua kali untuk mengirimmu ke neraka!” ucap Satria tepat di depan wajah pucat Nadine yang tersengal-sengal. Dia melepaskan cengkraman tangannya, tubuh wanita itu seketika melorot jatuh terduduk dan terbatuk-batuk. Pintu terdengar diketuk, beberapa orang security bergegas masuk dan membawa ketiganya keluar. “Dasar pembawa sial!” umpat Satria menghempaskan punggungnya ke sofa. “Sudah cukup memberinya peringatan, Sat. minta Naresh untuk memulihkan sistem jaringan perusahaan mereka. Biar bagaimanapun orang tuanya juga tidak tahu apa-apa soal kelakuan Nadine,” ucap Ibra. “Biar jatuh melarat sekalian,” sahut Satria masih dengan emosinya. “Waktumu untuk membujuk Rena tinggal dua hari lagi sebelum lamaran. Kalau kamu gagal meyakinkan dia, berarti kamu juga harus siap kehilangan Rena dan Naya.” Mendengar itu Satria meringis mengusap wajahnya kasar. Kenapa harus di saat-saat terakhir menjelang lamaran justru hubungan mereka dihantam masalah seperti ini. Kemarin dia juga terpaksa berbohong soal telpon itu ke Rena karena tidak ingin membuatnya semakin marah. Ternyata justru itu jadi boomerang yang kini menghancurkan kepercayaan Rena terhadapnya. “Mau kemana lagi kamu?” tanya Ibra melihat Satria bangun dan bergegas keluar. “Ke sekolah Naya. Rena pasti kesana menjemput anaknya,” sahut Satria dengan langkah lebarnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD